Articles
182 Documents
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN BERDASARKAN PASAL 363 KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PIDANA (STUDI PUTUSAN NOMOR 1092/PID.B/2017/PN.BTM)
pratama tambunan, hendra wijaya
PETITA Vol 1, No 1 (2019): PETITA Vol.1 No.1 Juli 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v6i1.1865
Tindak pidana pencurian dengan pemberatan ini berbeda dengan pencurian biasa, tindak pidana pencurian dengan pemberatan seperti pengerusakan, membongkar dan lain-lain, maka ancaman hukumannya pun lebih berat dari pada pencurian biasa, maka didalam penelitian ini peneliti tertarik mengambil kasus dan meneliti dalam hal kasus pembegalan yang akhir- akhir ini sering terjadi di kota Batam. Tujuan Penelitian untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam Putusan nomor : 1092/PID.B/2017/PN.BTM dan untuk menganalisis Putusan hakim dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan.Metode / Jenis Penelitian yang digunakan dalam pembuatan karya ilmiah ini adalah Yuridis sosiologis empiris dan mencari referensi bahan – bahan kepustakaan. Khususnya perundang – undangan serta literature hukum yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum acara pidana yang berarti memperhatikan segala aspek dan pranata – pranata social lainnya.Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat dikemukakan kesimpulan Majelis Hakim telah menerapkan unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam keadaan pemberatan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 dan ke - 5 KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a) Barang siapa; b) Mengambil suatu barang; c) Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; d) Dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hak; e) Dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; Dengan jalan memanjat atau membongkar. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan diketahui bahwa semua unsur-unsur tersebut telah terpenuhi. Dengan telah terpenuhinya semua unsur-unsur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 dan ke - 5 KUHP. Dalam bab ini peneliti menguraikan dan menjelaskan dengan mengacu pada rumusan masalah, maka peneliti dapat menarik kesimpulan antara lain Penerapan unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP dalam Putusan PN No 1092/Pid.B/2017/PN.BTM Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam telah menerapkan unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam keadaan pemberatan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 dan ke - 5 KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Barang siapa; Mengambil suatu barang; Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; Dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hak; Dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; Dengan jalan memanjat atau membongkar.
PERJANJIAN KERJA BAGI TENAGA KERJA HARIAN DITINJAU DARI KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.100/MEN/VI/2004 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
Pristika Handayani
PETITA Vol 3, No 1 (2021): PETITA Vol. 3 No. 1 Juni 2021
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (133.488 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i1.3412
Perjanjian kerja tenaga kerja harian pada ditinjau dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka. Perjanjian kerja tenaga kerja harian merupakan bagian dari perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan kepmenaker KEP.100/MEN/VI/2004. Sementara itu, permasalahan hak atas THR yang tidak dibayarkan oleh pengusaha terhadap tenaga kerja harian ini dapat menimbulkan pemberian sanksi administratif terhadap pengusaha sesuai dengan aturan Permenaker No.6 Tahun 2016 Pasal 5 (lima) ayat (4); THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Pasal 11 (sebelas) ayat (1); pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenai sanksi administratif, ayat (2); sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
EFEKTIVITAS REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA UNTUK MENEKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI LOKA REHABILITASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI KEPULAUAN RIAU)
Alwan Hadiyanto
PETITA Vol 1, No 1 (2019): PETITA Vol. 1 No. 1 Juni 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (151.08 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i1.4030
Tindak kejahatan narkotika saat ini tidak lagi secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan yang dilakukan oleh para pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya itu. Tindak pidana ini dengan cepat tersebar di seluruh tanah air. Tentu tidak asing dengan fenomena penyalahgunaan narkotika saat ini.Dilihat dari Undang-Undang narkotika ini dijelaskan bahwa pelaku penyalahgunaan merupakan pelaku tindak pidana terhadap narkotika itu sendiri.Dari latar belakang yang telah ada, maka tersusunlah rumusan masalah, yaitu bagaimanakah efektifitas rehabilitasi bagi pecandu narkotika untuk menekan tindak pidana narkotika di Loka Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Kepulauan Riau, selain mengetahui keefektifitasan rehabilitasi itu sendiri, pastinya pihak BNN memiliki kendala yang dihadapi dalam menerapkan rehabilitasi bagi pecandu narkotika untuk menekan tindak pidana narkotika di Loka Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Kepulauan Riau. Dengan telah mengetahui efektifitas rehabilitasi dan kendala yang diterapkan dengan cara metode penelitian hukum empiris, dimana metode ini adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum yang nyata serta meneliti bagaimana kinerja hukum di suatu wilayah, maka jenis metode penelitian hukum ini juga menggunakan data primer yang merupakan data yang berasal dari lapangan. Dan juga dibutuhkan pula sumber data sekunder guna menunjang kelengkapan data serta referensi yang di angkat. Melihat dari yang telah dijabarkan di bab berikutnya, maka dapat disimpulkan bahwa Rehabilitasi merupakan salah satu solusi terbaik dan tepat bagi para korban yang ingin berhenti dari barang haram tersebut karena sangat merugikan hidupnya. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.Tujuan penelitian ini juga untuk mengetahui efektivitas rehabilitasi bagi pecandu narkotika untuk menekan tindak pidana narkotika. Maka konsep dari rehabilitasi diharapkan dapat menjadi solusi terbaik bagi penyalahguna narkotika.
TINJAUAN KONSTITUSIONAL PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Affandi, Muhammad;
Affandi, Muhammad;
abra, emy hajar
PETITA Vol 1, No 2 (2019): Vol 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v6i2.2200
First, the procedure of dismissing the President and / or Vice President of the Republic of Indonesia Before Amendment of the 1945 Constitution. Before the amendment of the 1945 Constitution, the procedure for dismissal of the President and / or Vice President is preceded by the opinion (allegation) made by the House of Representative and / or Vice President submitted to the MPR. The MPR will hold a court to decide the opinion which has been submitted by the House of Representative. At this time the procedure for dismissal of the President and / or Vice President is not included in the 1945 Constitution. Second, the procedure for dismissing the President and/or Vice President of the Republic of Indonesia after the Amendment of the 1945 Constitution. After the amendment of the 1945 Constitution, the procedure for dismissal of the President and/or Vice President shall be initiated by the opinion of the House of Representative. The opinion was submitted to the Constitutional Court to examine, prosecute and decide by the opinion of the House of Representative. If the Constitutional Court confirms the opinion of the House of Representative then the case file will be returned to House of Representative to proceed to the MPR. MPR will conduct a hearing to decide the opinion submitted by the House of Representative. At this time the procedure for dismissal of the President and/or Vice President is clearly stated in Article 7A and 7B of the 1945 Constitution.Not only that, in this study the author also conducted a comparison of dismissal procedure of President and/or Vice President between Republic of Indonesia, United States and Filipina. In general, the dismissal of the President and/or Vice President between the United States and the Philippines is the same, which is preceded by the House of Representative applying the indictment to the Senate. Then the Senate tried the case by chaired by the Chief of Supreme Court in each country. At the court also directly decided whether the President and/or Vice President can be dismissed or not from his position. Judging from the procedure, the dismissal of the President and/or Vice President of the United States and Philippines adopts an impeachment model.
TINJAUAN YURIDIS UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI MENURUT UNDANG – UNDANG NO 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG – UNDANG NO 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Helman Cipta Sialangan;
Isfandir Hutasoit;
Rahmanidar Rahmanidar
PETITA Vol 3, No 2 (2021): PETITA Vol. 3 No. 2 Desember 2021
Publisher : Universitas Riau Kepulauan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (366.646 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i2.3844
Indonesia adalah negara hukum, yang mana tiap tindakan pelanggaran akan diselesaikan dan diatur melalui hukum yang berlaku. Salah satu tindak pidana yang acap kali terjadi di lingkungan pemerintahan adalah korupsi. Di Indonesia, bentuk pencegahan tindak pidana korupsi tersebut adalah dengan adanya peraturan perundang-undangan yang memberatkan pelaku dan juga adanya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk pencegahan dan pengamatan terkait kegiatan praktik korupsi. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam pemberantasan korupsi terutama di daerah yakni dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan hak dan tanggung-jawab dari masyarakat. Hak dan tanggung-jawab tersebut dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan-ketentuan yang berlaku, dengan mentaati norma agama dan sosial lainnya. Upaya penegakan hukum dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman hukum bagi masyarakat khususnya dalam pemberantasan korupsi yakni, tindakan represif. Pendekatan represif berupa penindakan dan penanganan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi dilakukan secara profesional dan proporsional. Upaya Preventif, berupa sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan, yang mengedepankan pada aspek keseimbangan kepentingan dan pemulihan keadaan yang diakibatkan adanya pelanggaran hukum. Namun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum secara optimal melaksanakan tugas, fungsi, kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
Rahmanidar, Rahmanidar
PETITA Vol 2, No 2 (2015): Vol. 2 No. 2 Desember 2015
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i2.674
Grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Dalam keputusan dari permohonan grasi ini, baik diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaanMengenai kewenangan presiden memberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judisial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.Dengan pengabulan grasi, seseorang dapat lebih ringan, berkurang, atau bahkan hapus sama sekali pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Seperti diketahui sebelumnya, permohonan grasi hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, tapi dapat dengan jalan upaya hukum luar biasa.
TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN DOMESTIK PT. GARUDA INDONESIA TERHADAP PENUMPANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009
Anna Andriany Siagian
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (200.235 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4047
Tanggung jawab atas pemakai jasa angkutan udara didasarkan perjanjian antara pengangkut dengan penumpang, sehingga apabila terjadi suatu hal yang menyebabkan kerugian bagi penumpang maka pihak pengangkut bisa dimintai pertanggungjawaban. Selama pengangkutan berlangsung, penguasaan pesawat beserta isinya ada di tangan pengangkut. Oleh sebab itu, apabila dalam pengangkutan udara terjadi musibah atau kecelakaan, kerugian yang timbul dari keadaan tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut. Jenis penelitian adalah yuridis empiris. Yuridis empiris yaitu penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat dalam hubungan hidup masyarakat. Perilaku itu meliputi perbuatan yang seharusnya dipatuhi, baik bersifat perintah maupun larangan. Perbuatan tersebut merupakan perwujudan dan pernyataan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Dengan kata lain penelitian hukum empiris mengungkapkan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat. Penelitian bertujuan melihat bagaimana tanggung jawab maskapai penerbangan domestik PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan. Pelaksanaan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap kerugian penumpang domestik yaitu pasal 141 ayat (1), (2), (3) adalah Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut Dalam realisasinya PT. Garuda Indonesia memberikan ganti rugi kematian atau lukanya penumpang lebih besar dari besarnya ganti rugi yang ditentukan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Hilang atau rusaknya barang penumpang. Pelaksanaan tanggung sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Besarnya jawab PT. Garuda Indonesia terhadap hilang atau rusaknya barang bagasi ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu ganti rugi dibatasi setinggitingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogramnya. Keterlambatan pengangkutan. Dalam prakteknya, pihak PT. Garuda Indonesia hanya bertanggung jawab secara moril saja. Dalam hal ini berarti bila terjadi keterlambatan pengangkutan penumpang yang disebabkan oleh pihak pengangkut, maka pihak PT. Garuda Indonesia hanya melakukan permintaan maaf saja dan memberikan sebatas makan gratis untuk para penumpang. Pelaksanaan, PT. Garuda Indonesia memberikan batas ganti rugi seperti ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tersebut. Untuk keterlambatan bagasi apabila merupakan kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) perkilogramnya.
ANALISIS HUKUM PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) PADA PERUSAHAAN PERHOTELAN
Rahmanidar Rahmanidar;
Tuti Herningtyas;
Rizki Tri Anugrah Bhakti;
Putri Dwi Yulisa;
Tri Novianti
PETITA Vol 2, No 2 (2020): PETITA Vol. 2 No. 2 Desember 2020
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (171.904 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i2.4005
Penelitian ini membahas mengenai pelanggaran perjanjian kerja waktu tertentu yang terjadi pada perusahaan perhotelan, mengenai masa percobaan yang diterapkan oleh perusahaan. Perjanjian kerja adalah awal dari lahirnya kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan pekerja. Pada saat ini banyak ditemukan sebuah perusahaan yang menggunakan penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak lain untuk menekan biaya buruh demi meningkatkan keuntungan perusahaan. Penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan data diperoleh, melalui penelitian kepustakaan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian ini menunjukan pelaksanaannya masih terdapat pelanggaran yang dilakukan perusahaan perhotelan tentang penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, sehingga tidak terlaksana sesuai dengan aturan undang-undang nomor 13 tahun 2003.
KETENTUAN PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK AGRARIA (UUPA) (Studi Kasus Kantor Pertanahan Kota Batam
Maelani, Dwi Afni
PETITA Vol 1, No 2 (2014): Vol 1 No 2 Desember 2014
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.686
Pelaksanaan ketentuan tentang jangka waktu pengajuan permohonan perpanjangan hak guna bangunan dalam prakteknya Kantor Pertanahan tidak membeda-bedakan pengajuan permohonan perpanjangan hak guna bangunan menurut ketentuan Pasal 27 ayat (1) PP. No. 40 Tahun 1996 karena Kantor Pertanahan menerapkan 2 (dua) ketentuan tersebut. Perbedaan pengaturan mengenai perpanjangan Hak guna bangunan dalam 2 (dua) ketentuan tersebut lebih bersifat ketatausahaan. Penetapan jangka waktu 2 (dua) tahun dalam pengajuan perpanjangan Hak Guna Bangunan bertujuan untuk memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi kepala BPN atau pejabat yang di tunjuk dalam memproses SK pemberian perpanjangan jangka waktu dari hak yang bersangkutan dengan demikian pemegang Hak Guna Bangunan yang bersangkutan belum berakhir. Pengajuan Permohonan perpanjangan hak guna bangunan yang sedang dibebani dengan hak tanggungan, dalam prakteknya pihak Kantor Pertanahan mensyaratkan adanya surat persetujuan dari Bank. Apabila di ajukan sendiri oleh pemohon (Pemegang Hak Guna Bangunan/pemberi Hak Tanggungan) namun apabila bank melaksanakan kuasa untuk mengurus perpanjangan Hak Guna Bangunan sebagaimana yang tercantum dalam APHT, maka dengan sendirinya tidak perlu di buat persetujuan dari Bank Akibat hukum apabila HGB obyek Hak Tanggungan berakhir maka berdasarkan Pasal 18 UUHT mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Oleh karena salah satu peristiwa yang menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1d) UUHT, bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah dapat ditafsirkan fisik tanah/persilnya yang hapus maupun “hak” atas tanahnya.Pemegang Hak Guna Bangunan dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan hendaknya mempertimbangkan juga mengenai waktu yang di perlukan bagi pejabat yang berwenang untuk mengurus dan menyiapkan surat keputusan pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996 untuk mengakomodir keperluan ruang waktu untuk pengurusan perpanjangan Hak Guna Bangunan
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS DALAM PENANGGULANGAN PENGECERAN MINYAK DI LUAR STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM DI KOTA BATAM
Agus Riyanto
PETITA Vol 3, No 1 (2021): PETITA Vol. 3 No. 1 Juni 2021
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (138.528 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i1.3406
Kegiatan usaha memerlukan suatu izin atau prosedur yang harus dipenuhi terlebih dahulu, prosedur perizinan kegiatan usaha hasil olahan minyak bumi menurut Pasal 2 PP Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Oleh karena itu, setiap Badan Usaha yang melakukan kegiatan usaha hilir harus memiliki izin usaha terlebih dahulu. Badan Usaha mengajukan permohonan izin usaha kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jendral Migas dengan melampirkan persyaratan administratif dan teknis. Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Minyak Dan Gas dalam penanggulangan pengeceran minyak di luar stasiun pengisian bahan bakar di Kota Batam dan Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Tindak Pidana Dalam Pengeceran Minyak Di Luar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di Kota Batam. Yuridis Empiris, sedangkan data diperoleh ,melalui penelitian penelitian lapangan dan wawancara dengan berbagai narasumber kemudian mengambil kesimpulan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Besarnya keuntungan yang diperoleh pembeli dan kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin meningkat seperti keperluan industri maupun transportasi menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam penjualan bahan bakar minyak. Juga kesulitan dalam mengurus izin usaha dan tempat tinggal masyarakat yang jauh dari Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum menjadi faktor pendorong terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum.