Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

KREDIT MACET DAN CARA MENGHADAPINYA TRI ARTANTO
MINDA BAHARU Vol 1, No 1 (2017): Minda Baharu
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (221.151 KB) | DOI: 10.33373/jmb.v1i1.1181

Abstract

Perekonomian Batam yang semakin memburuk pada masa ini, dimana banyak perusahaan yang tutup atau memindahkan usahanya ke negara lain yang dianggap memiliki regulasi dan kemudahan berusaha yang lebih baik dari Indonesia. Akibatnya angka pengangguran semakin bertambah saja, dimana banyak warga Batam yang semulanya bekerja dan kini menjadi pengangguran yang diakibatkan pemutusan hubungan kerja.Padahal sebelumnya mereka mempunyai kewajiban berupa kredit, yang dilakukan berupa pinjaman untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder.Kebutuhan primer dan sekunder itu berupa, peminjaman kredit perumahan dan kendaraan ataupun lainnya. Pinjaman kredit ini dilakukan kepada pihak Bank sebagai debitur, baik pinjaman ke Bank Umum maupun ke Bank Perkereditan Rakyat (BPR) ataupun  lembaga Non Bank seperti lissing. Banyak masyarakat tidak memahami resiko dan dampak hukum yang tibul akibat kredit bermasalah sehingga banyak yang menghindar dari penagih hutang yang nantinya menimbulkan dampak yang lebih buruk. Metodologi yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metodelogi yuridis empiris.Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara menganalisis data tanpa menggunakan perhitungan angka tetapi dengan menggunakan sumber informasi yang relevan untuk melengkapi data yang penulis lakukan. Perkreditan yang dilakukan oleh perbankan merupakan salah satu usaha penting bagi bank dalam mendapatkan keuntungan atau laba.Akan tetapi perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian karena berbagai masalah atas penyaluran kredit bisa saja timbul dan yang harus dihadapi oleh perbankan tersebut. Hal ini akibatnya akan menimbulkan adanya kredit macet atau bermasalah yang biasa disebut Non Performance Loan (NPL) dengan jumlah yang cukup signifikan di sejumlah bank tersebut. Selain itu permasalahan Wanprestasi atau ingkar janji sering ditemui didalam pelaksanaannya baik berupa hak tanggungan maupun fidusia. Dalam penyelesaian kredit bermasalah tidak serta merta dengan melakukan sita jaminan atau ada jalur non litigasi dengan cara win-win solotion. Di harapkan masyarakat dapat megerti sehingga tiduk perlu menghindari Bank apa bila menunggak dan masyarakat lebih kooperatif dalam menyelesaikan kredit bermasalah. Ada banyak cara untuk menyelesaikan kredit bermasalah. Adanya kredit bermasalah (Non Performing Loan) akan menyebabkan menurunnya pendapatan bank, selanjutnya memungkinkan terjadinya penurunan laba.
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN TALAK 3 (TIGA) SECARA LANGSUNG BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Tri Artanto; Pusfa Anggraini; Parningotan Malau
PETITA Vol 1, No 1 (2019): PETITA Vol. 1 No. 1 Juni 2019
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.489 KB) | DOI: 10.33373/pta.v1i1.4035

Abstract

Talak 3 (tiga) adalah talak terakhir yang diucapkan suami kepada istrinya dalam mengakhiri keretakan rumah tangga. Ketika talak 3 sudah diucapkan maka haram bagi suami untuk perempuan itu (istrinya). Talak 3 (tiga) disebut dengan talak ba’in kubroo. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian normatif dengan data sekunder yang dilakukan dengan studi pustaka. Pokok kajiannya adalah berbentuk norma-norma atau kaidah hukum yang dipakai sebagai acuan perilaku setiap orang, sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, sistematis hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Hasil penelitian ini adalah pengaturan talak 3 yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang istri yang telah dijatuhkan talak 3 oleh suaminya wajib mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Dalam hukum Islam talak itu sendiri diperkenankan oleh Allah tetapi ada aturan-aturan dan berhati-hati dalam menjatuhkan talak, sehingga suami tidak gampang mengucapkan kata talak. Talak 3 adalah talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang ketiga kali atau secara langsung secara berturut-turut. Jika suami sudah menjatuhkan talak kepada istrinya maka haram baginya.
PERBANDINGAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT BANK ANTARA UNDANG- UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN Tri Artanto
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (447.956 KB) | DOI: 10.33373/pta.v1i2.4042

Abstract

Bank sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dalam memberikan kredit harus memperhatikan aturanaturan yang diberlakukan Bank Indonesia, dan juga wajib memperhatikan keabsahan perjanjian kredit, dan pengikatan benda jaminan kredit. Ketidaksahan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan akan menimbulkan kerugian bagi kreditur maupun debitur, dimana suatu perjanjian kredit baru dapat dinyatakan tidak sah apabila sudah diputus pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam pada itu tentunya kreditur maupun debitur akan mengeluarkan biaya misalnya biaya pengadilan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aturan-aturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan prinsip-psinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, keabsahan suatu perjanjian kredit, dan benda-benda yang dapat menjadi jaminan kredit. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbandingan hukum perjanjian kredit bank antara Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Untuk mengetahui pengaturan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit bank ketika terjadi wanprestasi.Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dan bersifat deskriptif yaitu dengan menelaah undang-undang dan regulasi-regulasi lain yang merupakan hukum positif tertulis yang berkaitan dengan perjanjian kredit bank.Berdasarkan hasil penelitian ada aturan-aturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit yang wajib   dipenuhi oleh suatu bank ketika akan memberikan kredit. Disamping itu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat keabsahan perjanjian yang ditentukan Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dan karena kredit memiliki resiko, bank meminta jaminan dari nasabah debitur, untuk pelunasan kredit apabila nasabah debitur wanprestasi.
PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NO .53 TAHUN 2010 TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL Tri Artanto
PETITA Vol 2, No 2 (2020): PETITA Vol. 2 No. 2 Desember 2020
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.373 KB) | DOI: 10.33373/pta.v2i2.4006

Abstract

Penerapan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 merupakan dasar Hukum dalam menegakkan disiplin Pegawai Negeri Sipil di Kantor Walikota Batam sebagai upaya pembentukan pemerintahan yang baik, karena peraturan ini dianggap lebih menjelaskan secara terperinci tentang kewajiban, larangan dan sanksi-sanksi hukuman disiplin, namun dalam penerapannya masih terdapat kelemahan-kelemahan sehingga tidak bisa diimplementasikan secara menyeluruh. Faktor penghambat dalam penerapan sanksi disiplin Pegawai Negeri Sipil di Kantor Walikota Batam dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain kurangnya kesadaran dan pemahaman Pegawai Negeri Sipil terhadap peraturan perundang–undangan yang berlaku, pelanggaran disiplin yang banyak dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil sehingga lunturnya Kedisiplinan di kalangan Pegawai Negeri Sipil itu sendiri, lemahnya faktor pengawasan, dan kurang tegasnya penjatuhan sanksi hukuman disiplin.
ANALISIS KOMPARATIF TENTANG PENERAPAN UANG WAJIB TAHUNAN OTORITA (UWTO) DIKAITKAN DENGAN PENERAPAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DALAM KEWENANGAN HAK PENGELOLAAN (HPL) Tri Artanto; Diyon Star Harefa
PETITA Vol 2, No 1 (2020): PETITA Vol. 2 No. 1 Juni 2020
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v2i1.4019

Abstract

Analisis Komparatip Tntang Penrapan duit Wajib Tahnan Otorita Dikaitkan Dengan Penerapan Pajak Bumi Dankan Banggunan Dalam Kewenangan Hak Pengelolaan (HPL) merupakan proses yang bertujuan pengaturan hukum terhadap Penerapan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) Dikaitkan Dengan Penerapan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Dalam Kewenangan Hak Pengelolaan (HPL). Pelaksanaan administrasi UWTO sampai dengan perpanjangan Hak Guna Bangunan di Kota Batam adalah secara administrif, setelah pengusaha yang memiliki badan hukum menerima Izin Peralihan Hak (IPH) diatas tanah Negara yang dapat dikelola oleh swasta sesuai dengan ketentuan yang ada, maka tanah-tanah tersebut wajib difungsikan sesuai dengan izin peruntukkannya. Akan tetapi yang terjadi adalah banyak tanah-tanah di Kota Batam tidak difungsikan sebagaimana mestinya, karena berbagai faktor alasan (alibi). Apabila telah dipenuhi semua persyaratan untuk mengelola tanah di wilayah Batam, sesuai dengan peruntukkannya, maka pihak pengusaha wajib segera membangun dan bukan membiarkan tanah tersebut menjadi lahan yang tidak produktif. Karena sesuai dengan aturan yang ada bahwa Batam merupakan daerah industrial yang berkompetitif dengan Negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia berdasarkan Undang-Undang no 44 tahun 2007 tentang Perdagangan bebas (Free Trade Zone), akan tetapi Kota Batam menjadi wilayah yang tidak produktif sehubungan begitu banyak lahan yang tidak dibangun dengan berbagai alasan, karena ini merugikan bagi kepentingan umum.
RUANG LINGKUP PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL Rizki Tri Anugerah Bhakti; Tri Artanto
PETITA Vol 3, No 2 (2021): PETITA Vol. 3 No. 2 Desember 2021
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v3i2.3739

Abstract

Pembiayaan perbankan syariah pada sistem hukum nasional merupakan bagian dari sistem keuangan Indonesia. Sistem keuangan adalah tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran dalam menyediakan jasa-jasa di bidang keuangan oleh lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga penunjang lainnya. Adapun yang menjadi fungsi dan peranan perbankan syariah sama dengan fungsi dan peranan perbankan pada umumnya yaitu adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Yang membedakannya dengan bank konvensional, yakni bahwa mekanisme perbankan syariah didasarkan pada prinsip mitra usaha dan bebas bunga. Bila pada perbankan konvensional hanya menggunakan satu prinsip yaitu bunga, maka pada lembaga keuangan syariah terdapat pilihan prinsip yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah, yaitu prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip sewa, dan prinsip jasa. Secara umum prinsip bagi hasil dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu mudharabah, musyarakah, muzara’ah, dan musaqah. Permasalahan yang sering muncul adalah masih sering terjadi kesalahan persepsi atau bahkan istilah yang tidak pada tempatnya padahal sistem dari pembiayaan pada perbankan konvensional dan perbankan syariah jauh berbeda.
KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKAITAN DENGAN KETERANGAN PALSU Tuti Herningtyas; Seftia Azrianti; Tri Artanto; Agus Riyanto
PETITA Vol 4, No 1 (2022): PETITA Vol. 4 No. 1 Juni 2022
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v4i1.4353

Abstract

Peran vital Notaris sebagai pembuat akta perjanjian secara tidak langsung juga merupakan saksi yang mengakui telah terjadi suatu perjanjian antara para pihak yang hadir di hadapannya dan membuat suatu perjanjian yang akhirnya ditetapkan menjadi suatu perjanjian tertulis berupa akta perjanjian. suatu akta sehingga menjadi kekuatan hukum dan berupa undang-undang yang mengikat para pihak yang membuatnya.
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PELAYANAN INFORMED CONSENT PADA PROFESI DOKTER Rizki Tri Anugerah Bhakti; Tri Artanto
PETITA Vol 4, No 2 (2022): PETITA Vol. 4 No. 2 Desember 2022
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v4i2.4918

Abstract

Informed consent bertujuan tidak hanya untuk melindungi pasien dari kesewenangan dokter, tetapi juga diperlukan untuk melindungi dokter  dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan. Kasus terjadinya konflik antara pasien dengan dokter sudah banyak terjadi dimasyarakat. Masing-masing berpegang pada keyakinan mengenai kebenaran, sehingga dengan informed consent dapat diketahui bahwa terdapat keseimbangan yang ingin dicapai baik bagi dokter maupun pasien serta hubungan hukum  antara dokter dengan pasien. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan kewajiban dokter terhadap informed consent dalam praktik kedokteran. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan kewajiban dokter terhadap informed consent dalam praktik kedokteran untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap pasien. Hasil penelitian bahwa pengaturan mengenai persetujuan tindakan medik berawal dari hubungan dokter dan pasien yang bersifat paternalistic terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 sebagaimana telah diperbarui dengan Permenkes nomor 290/Menkes/Per/III/2008, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, serta Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
PERSPEKTIF HUKUM PEMBERHENTIAN SEMENTARA TERHADAP KEPALA DAERAH YANG DI TETAPKAN SEBAGAI TERDAKWA BERDASARKAN NILAI KEADILAN Tri Artanto
JURNAL DIMENSI Vol 8, No 3 (2019): JURNAL DIMENSI (NOVEMBER 2019)
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/dms.v8i3.2220

Abstract

Di dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan yaitu kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, Namun pada pelaksanaannya saat ini Presiden tidak memberhentikan sementara kepala daerah pada Gubernur DKI Jakarta yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dengan nomor perkara 1537/PidB/2016/PNJktutr atas dugaan penodaan agama sebagaimana yang dijelaskan didalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Maka Penulisan artikel ini mempunyai tujuan untuk menjelaskan tentang penyebab kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa tidak diberhentikan sementara, kemudian menjelaskan bagaimana penafsiran Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Pemerintahan Daerah dan bagaimana kaitannya dengan Pasal 156a KUHP, serta bagaimana mekanisme pemberhentian sementara kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa. Penelitian ini bersifat normatif, maka metode pengumpulan data yang tepat yang digunakan dalam penelitian ini adalah telah peraturan perundang-undangan, telaah kepustakaan Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana. Berdasarkan penelitian, yang menyebabkan kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa tidak diberhentikan sementara adalah karena menunggu kepastian tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PELAYANAN INFORMED CONSENT PADA PROFESI DOKTER Rizki Tri Anugrah Bhakti; Tri Artanto
PETITA Vol 4, No 2 (2022): PETITA Vol. 4 No. 2 Desember 2022
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v4i2.4967

Abstract

Informed consent bertujuan tidak hanya untuk melindungi pasien dari kesewenangan dokter, tetapi juga diperlukan untuk melindungi dokter  dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan. Kasus terjadinya konflik antara pasien dengan dokter sudah banyak terjadi dimasyarakat. Masing-masing berpegang pada keyakinan mengenai kebenaran, sehingga dengan informed consent dapat diketahui bahwa terdapat keseimbangan yang ingin dicapai baik bagi dokter maupun pasien serta hubungan hukum  antara dokter dengan pasien. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan kewajiban dokter terhadap informed consent dalam praktik kedokteran. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan kewajiban dokter terhadap informed consent dalam praktik kedokteran untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap pasien. Hasil penelitian bahwa pengaturan mengenai persetujuan tindakan medik berawal dari hubungan dokter dan pasien yang bersifat paternalistic terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 sebagaimana telah diperbarui dengan Permenkes nomor 290/Menkes/Per/III/2008, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, serta Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.