cover
Contact Name
Agus Sumpena
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
+6281906532003
Journal Mail Official
redaksi.bhl@gmail.com
Editorial Address
Jl. Imam Bonjol No 21 Bandung 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : https://doi.org/10.24970/bhl
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan (BHL) adalah terbitan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) terbit tiga kali setahun pada bulan Oktober, Februari, dan Juni. Jurnal BHL merupakan sarana publikasi bagi akademisi dan praktisi untuk menerbitkan artikel hasil penelitian dan artikel telaah konseptual di bidang hukum lingkungan (nasional dan internasional). Ruang lingkup kajian pada Jurnal Bina Hukum Lingkungan meliputi aspek hukum: Tata Ruang; Agraria; Kehutanan; Pertambangan; Energi, Sumber Daya Mineral dan Batu Bara; Kearifan Lokal; Sengketa Lingkungan; Kelautan dan Perikanan; Keanekaragaman Hayati; Perubahan Iklim; Perumahan Permukiman; Sumber Daya Air.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 269 Documents
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI DALAM PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN TANAMAN SAGU DI MALUKU Victor Juzuf Sedubun; Muhammad Irham
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.595 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.2

Abstract

AbstrakSalah satu instrumen hukum administrasi adalah pengawasan. Pengawasan yang dimaksud, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap tindakan pengelolaan dan pembinaan tanaman sagu di Maluku. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pembinaan Pohon Sagu, telah mengatribusikan kewenangan pengelolaan dan pembinaan Pohon Sagu di Maluku kepada Pemerintah Provinsi. Wujud dari kewenangan dalam pengelolaan dan pembinaan tanaman sagu oleh Pemerintah Provinsi Maluku adalah pengawasan terhadap pengelolaan pohon sagu. Penebangan pohon Sagu hanya dapat dilakukan setelah ada rekomendasi dari Badan Penggelolan Pohon Sagu. Pengawasan ini menjadi tidak berarti ketika penegakkan hukum tidak dapat diterapkan secara optimal, disebabkan karena Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 tidak mengatur tentang sanksi administrasi terhadap pelanggaran administrasi. Kekosongan hukum ini berakibat pada penegakkan hukum administrasi yang lemah. Untuk itu perlu kiranya diatur mengenai sanksi admistrasi yang menjadi dasar hukum penindakan pelanggaran administrasi dalam pengelolaan dan pembinaan Pohon Sagu di Maluku.Kata kunci: hukum administrasi; pelestarian; sagu. AbstractOne of the instrument of administrative law is control. Control, including the control of the management measures and conservation of Sagu in Molluca. Local Regulation of Molluca Province Number 10 Year 2011 about Management and Conservation Sagu, has attributed authority to management and the preservation of Sagu in Molluca to the Provincial Government. he authority to management and development of sagu by Molluca provincial government are controlling the management of the sagu. he logging of Sagu tree can be doing after get a recommendation from the BPPS. his control becomes meaningless when law enforcement cannot be applied optimally, it because in a Local Regulation of Molluca Provincial Number 10 of 2011 does not provide for administrative sanctions against administrative violations, it mean that enforcement of administrative law can be doing. It is necesaary to set administrative sanction as the foundational of law enforcement administrative violations in the management and preservation of Sago in Molluca.keywords: administrative law; conservation; sagu.
PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI KAWASAN PERBATASAN DARAT INDONESIA – MALAYSIA DI KALIMANTAN Nia Kurniati; Maret Priyanta
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (973.251 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.47

Abstract

Penyediaan lahan bagi pembangunan infrastruktur pertahanan keamanan dan jaringan jalan di kawasan perbatasan darat Indonesia – Malaysia di Kalimantan tidak dipungkiri akan melalui kawasan lindung telah didukung dengan legal policy Pemerintah dalam Perpres No.31 Tahun 2015, menjadi landasan hukum bagi instansi pemerintah yang membutuhkan tanah untuk penyelenggaraan kegiatan pembangunan infrastruktur hankam dan jaringan jalan yang dilaksanakan berdasarkan UU No.2 Tahun 2012. Pengambilalihan tanah pribadi untuk kegiatan kepentingan umum, bukan pedang bermata dua, karena penempatan aturan pengadaan tanah ke dalam UU sudah merefleksikan unsur “persetujuan” dari pemegang hak yang bersangkutan untuk melepaskan haknya atas tanah bagi kepentingan yang lebih besar dari sekedar kepentingan pribadi dijiwai oleh asas fungsi social hak atas tanah mengakibatkan berakhirnya hak atas tanah. 
ASPEK HUKUM ADMINISTRASI KEPENDUDUDKAN DIHUBUNGKAN DENGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA ABSENTEE Djakaria, Mulyani
Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.697 KB)

Abstract

Secara implisit, ketentuan Pasal 10 UU No. 5/1960 menetapkan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Agar tanah pertanian hanya dapat dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, maka dibuatlah ketentuan untuk menghapuskan pengusaan tanah pertanian secara absentee dengan beberapa pihak yang dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dianalisis secara normatif kualitatif. Semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian melalui jual beli, tukar menukar, atau hibah yang mengakibatkan pemilikan baru tanah pertanian secara absentee dilarang. Tanah-tanah pertanian yang terkena larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee akan dikuasai oleh pemerintah untuk selanjutnya dijadikan objek land reform (diredistribusikan) kepada petani yang memerlukan tanah dan kepada bekas pemilik tanah pertanian secara absentee diberikan ganti kerugian. Namun dalam praktik masih banyak pemilikan tanah secara absentee oleh masyarakat/pihak di luar yang dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Hal ini dapat terjadi dengan cara pemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee, walaupun dalam Pasal 63 ayat (6) UU Adminduk telah dinyatakan KTP-el berlaku secara nasional. Ketentuan mengenai tanah absentee perlu dipertahankan dengan didukung pendaftaran tanah secara akurat, dan penyalahgunaan KTP bisa dihindari, disertai sanksi yang tegas.
PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN TIGA MEKANISME FLEKSIBEL DALAM PROTOKOL KYOTO Jane, Heidy; Gianova, Gabriella; Firdaus, Linny; Reinhard, Zoar
Bina Hukum Lingkungan Vol. 3 No. 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan, Volume 3, Nomor 1, Oktober 2018
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.244 KB)

Abstract

Salah satu tonggak penting dari perjanjian terkait perubahan iklim adalah Protokol Kyoto tahun 1997. Protokol ini tidak hanya menentukan tingkat pengurangan atau pembatasan emisi gas rumah kaca dari negara maju (negara Annex I), tetapi juga memberikan kesempatan kepada negara tersebut untuk menurunkan emisi melalui mekanisme fleksibel (flexible mechanisms) sebagai tambahan dari penurunan emisi di negaranya masing-masing. Tiga mekanisme ini adalah mekanisme perdagangan emisi/karbon (emission/carbon trading), mekanisme Joint Implementation, dan Clean Development Mechanism. Seiring dengan berjalannya waktu, timbul berbagai masalah dalam pelaksanaan ketiga mekanisme fleksibel tersebut. Salah satu masalah terbesar dan pertanda kegagalan dari ketiga mekanisme tersebut adalah Negara Annex I bahkan jauh dari target pengurangan emisi yang telah ditentukan. Persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan Protokol Kyoto dan mekanisme fleksibelnya merupakan pelajaran berharga bagi pelaksanaan perjanjian pasca Kyoto, termasuk Perjanjian Paris 2015.
PROBLEMATIKA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI RIAU Suparto, Suparto
Bina Hukum Lingkungan Vol. 4 No. 1 (2019): Bina Hukum Lingkungan, Volume 4, Nomor 1, Oktober 2019
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.751 KB)

Abstract

Salah satu Peraturan Daerah (Perda) yang mempunyai fungsi strategis adalah Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Akan tetapi penyusunan Perda RTRW ini tidaklah mudah dan berbeda dengan Perda-perda yang lain karena banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan. Contohnya adalah dalam penyusunan Perda RTRW Provinsi Riau. Walaupun Perda mengenai RTRW Provinsi Riau telah ditetapkan, penyusunannya memerlukan waktu yang cukup lama dikarenakan banyaknya institusi dan kementerian yang terlibat. Hal ini berbeda dengan penyusunan Perda yang lain. Selain itu, secara teknis di lapangan ada permasalahan yang harus diselesaikan yaitu menyangkut pengosongan areal yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Hal ini bukanlah pekerjaan mudah karena harus menebang pohon kelapa sawit dengan luasan ratusan ribu hektar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan empiris dengan data sekunder dan primer. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme dan permasalahan dalam penyusunan RTRW Provinsi Riau.
TUJUAN PEMIDANAAN UNDANG-UNDANG MINERBA DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINALISASI Faisal, Faisal; Rahayu, Derita Prapti
Bina Hukum Lingkungan Vol. 5 No. 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 5, Nomor 2, Februari 2021
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.129 KB)

Abstract

Ketentuan pidana Pasal 162 UU Minerba menetapkan perbuatan menghalang-halangi kegiatan usaha pertambangan sebagai perbuatan pidana (delik). Tujuan penelitian ingin mengetahui secara kritis tujuan pemidanaan delik Pasal 162 dalam perspektif kebijakan kriminalisasi. Asas manfaat yang diharapkan agar dapat melihat secara objektif dalil teori kriminalisasi, sehingga dapat memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang dalam memformulasikan ketentuan pidana. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menyimpulkan kebijakan kriminalisasi pada delik Pasal 162 tidak dapat dibenarkan menurut teori moral dan teori liberal individualistik. Hakikat nilai moralitas masyarakat terdistorsi dengan keberlakuan delik tersebut. Negara telah membatasi ruang kebebasan warga negara untuk hidup merdeka menyampaikan dan memperjuangkan hak-hak dasarnya. Bahkan kebijakan kriminalisasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang tidak mendapat legitimasi yang kuat dari esensi tujuan pemidanaan yang sejalan dengan prinsip nilai, prinsip kemanfaatan, dan prinsip kemanusiaan. Rekomendasi kedepan agar kebijakan legislasi haruslah dilakukan dengan pendekatan rasional dan pendekatan kebijakan.
TINJAUAN NORMATIF PENERAPAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB PRODUSEN DALAM PENGATURAN TATA KELOLA SAMPAH PLASTIK DI INDONESIA Maskun, Maskun; Assidiq, Hasbi; Bachril, Siti Nurhaliza; Mukarramah, Nurul Habaib Al
Bina Hukum Lingkungan Vol. 6 No. 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan, Volume 6, Nomor 2, Februari 2022
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (257.148 KB)

Abstract

Meningkatnya konsumsi dan penggunaan plastik di era modern menyisakan berbagai permasalahan terhadap lingkungan. Sampah plastik yang sulit terurai, ditambah dengan pengelolaannya yang kurang terintegrasi, berimplikasi pada pencemaran lingkungan di darat dan di laut. Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini adalah produsen dari produk yang menyisakan sampah plastik. Artikel ini hendak meninjau secara normatif berbagai aturan terkait pengelolaan sampah khususnya sampah plastik di Indonesia, termasuk dan terutama mengenai tanggung jawab produsen di dalam pengelolaan tersebut. Tinjauan dan analisis dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif dengan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Temuan utama mengungkapkan, masih terdapat kekurangan dan tantangan implementasi pada aturan mengenai tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah. Lebih lanjut, artikel ini juga mencoba menguraikan skema tanggung jawab produsen yang dimungkinkan untuk mengupayakan tanggung jawab produsen dalam mengurangi timbulan sampah plastik dari produk yang mereka hasilkan.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN KEARIFAN TRADISIONAL SASI DI AMBON PASCA PANDEMI COVID-19 Tehupeiory, Aarce
Bina Hukum Lingkungan Vol. 5 No. 3 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 5, Nomor 3, Juni 2021
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (253.712 KB)

Abstract

Tulisan ini mengkaji pengelolaan lingkungan dan kearifan tradisional Sasi. Adapun tujuan penulisan kajian ini untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan dan kearifan tradisional Sasi di Ambon pasca pandemic COVID-19. Kajian ini dilaksanakan di Universitas Kristen Indonesia selama 3 bulan dari Januari–Maret 2021. Adapun metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Adapun instrumen yang digunakan pada kajian ini adalah dokumen dalam bentuk laporan-laporan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam mewujudkan kedaulatan pangan dimasa pasca pandemi Covid-19. Temuan dalam penelitian ini mengatakan bahwa kearifan tradisional Sasi yang memiliki nilai dan norma untuk melindungi hutan, sumber air, tanaman tahunan (sagu, dan lain-lainnya), serta tanaman pangan dengan konsep dan pemahaman terhadap bagaimana pengelola lingkungan dengan berbagai aturan adat untuk mendapatkan manfaat dan mempertahankan nilai kekerabatan dari satuan kawasan yang sudah memiliki identitas serta terus menerus wajib dipertahankan dalam pasca pandemi COVID-19.
PENERBITAN HAK PENGELOLAAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) YANG BERASAL DARI TANAH GRONDKAART DI KELURAHAN LENTENG AGUNG, KECAMATAN JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN Wahanisa , Rofi; Akhmad Darajati Setiawan; Alwaahab Agirda Nugraha Effendi; Adiyatma, Septhian Eka Adiyatma
Bina Hukum Lingkungan Vol. 8 No. 3 (2024): Bina Hukum Lingkungan, Volume 8, Nomor 3, Juni 2024
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.77 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v8i3.265

Abstract

ABSTRAKBukti kepemilikan atas tanah merupakan bentuk kepastian hukum seseorang sebagai pemilik hak atas tanah. Kenyataannya pembuktian hak atas tanah masih menjadi permasalahan yang menyulitkan untuk diselesaikan. Peranan perkembangan sejarah pertanahan Indonesia dari sejak berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda hingga berdaulat sebagai sebuah negara kesatuan sangat signifikan mempengaruhi proses penyelesaian permasalahan. Salah satu bukti kepemilikan yang diwarisi pada masa kolonial yaitu Grondkaart, jenis penguasaan tanah yang pada saat ini masih dipegang oleh PT. Kereta Api Indonesia. Penelitian ini menelaah mengenai eksistensi Grondkaart setelah disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria, yang telah banyak mengonversi hak kebendaan. Melalui metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan sebagai bentuk pembanding dengan beberapa negara yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan Grondkaart merupakan tanda bukti penguasaan tanah oleh PT. KAI mengenai penguasaan sebidang lahan, eksistensinya menjadi tidak jelas pasca penerbitan UUPA namun masih dapat diperjuangkan dengan cara dialihkan menjadi penguasaan atas hak pengelolaan. Pelaksanaan penerbitan hak pengelolaan atas cakupan luasan sesuai peta Grondkaart merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Kata kunci: hak atas tanah; kepastian hukum; grondkaart.ABSTRACTProof of ownership of land is a form of legal certainty for an individual as the rightful owner of land rights. However, the task of proving land rights remains a challenging issue to resolve. The trajectory of Indonesia's land history, from its colonial period under the Dutch East Indies to its status as a unitary state, has significantly influenced the process of addressing this problem. One such proof of ownership inherited from the colonial era is the Grondkaart, a type of land tenure that is still held by PT Kereta Api Indonesia. This study examines the status of Grondkaart following the enactment of the Basic Agrarian Law, which has transformed numerous property rights. Utilizing normative juridical research methods, this study employs a comparative approach to juxtapose the Indonesian scenario with relevant practices in several other countries. The findings reveal that Grondkaart serves as evidence of land tenure by PT KAI concerning its control over a parcel of land. However, its status becomes ambiguous after the implementation of the UUPA, although it can still be asserted through the transfer of management rights. The execution of the transfer of management rights over the areas delineated in the Grondkaart map is governed by Government Regulation Number 24 of 1997 regarding Land Registration and Government Regulation Number 18 of 2021 concerning Management Rights, Land Rights, Flat Housing Units, and Land Registration.Keywords: land rights; legal certainty; grondkaart.
MEDIASI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI TERHADAP PELANGGARAN HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG SEHAT Marhaeni Ria Siombo
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.547 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.11

Abstract

AbstrakUUPPLH tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan bahwa mendapatkan lingkungan hidup yang sehat adalah ‘hak’ setiap warga negara Indonesia. Manusia adalah subyek hukum, pemikul hak dan kewajiban. Fungsi hukum adalah mengatur terlaksananya interaksi antara hak dan kewajiban masing-masing orang, supaya tercipta ketertiban. Hak dan kewajiban melekat utuh dalam diri manusia. Dalam hukum perdata mengatur interaksi hak di satu pihak dan kewajiban dipihak lainnya, begitu seterusnya pergaulan manusia. Pelanggaran terhadap ‘hak’ akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidaktertiban atau sengketa di antara para pihak, yang harus diselesaikan secara hukum.Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan persyaratan yang diwajibkan terhadap suatu kegiatan yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap lingkungan. AMDAL merupakan instrumen hukum berkaitan dengan perizinan yang esensinya untuk mengontrol pelaksanaan tiga pilar pembangunan, ekonomi, sosial dan ekologi. Dokumen AMDAL akan memberikan petunjuk terjadinya pelanggaran terhadap ‘hak’ masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup berkaitan dnengan ganti rugi terhadap mereka yang dilanggar haknya dan pemulihan lingkungan terhadap lingkungan yang rusak. Pembayaran ganti rugi sebagai konpensasi atas penderitaan dari pelanggaran hak lingkungan, pengembalian penderita pada kedaan semula (restitusio in integrum).Pasal 84 UUPPLH menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi). Secara non litigasi lebih mengutamakan musyawarah mufakat, win-win solution, misalnya mediasi. Dalam mediasi kedua pihak sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian, selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak, di sinilah titik lemahnya penyelesaian non litigasi. Secara teknis penyelesaian sengketa non litigasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tetapi sampai saat ini khusus untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup non litigasi belum menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat dalam memperjuangkan haknya.Kata Kunci: mediasi; penyelesaian sengketa non litigasi; pelanggaran hak; lingkungan hidup; sehat. AbstractEnvironmental Law concerning Environment Protection and Management proclaimed that having a healthy environment is the right of every Indonesian citizen.1 Human is a legal subject who has right and obligation. Legal function is to administer harmonious right and obligation of every citizen. Both right and obligation are in unity with human. Civil law administers the interaction of right and obligation, then human interaction. Violation towards ‘right’ will create imbalance and unsynchronized or dispute among parties, which need legal settlement.Environmental Impact Assessment (AMDAL) is a requirement for an activity, which predicted to have environment impact. AMDAL is a legal instrument related to license which mean to control the three main development cores, which are economy, social and ecology. AMDAL document will provide clues for people’s right violation to have a healthy environment. Environmental violation relates with compensation towards those who’s right where violated and environmental reinstate. (restitusio in integrum).Article 84 of UUPLH proclaims that environmental dispute settlement could be done through court (litigation) or outside the court (non-litigation). Non-litigation settlement put forwards mutual agreement, win-win solution such as mediation. In the process of mediation there should be no forced idea or agreement in accepting or rejecting statements. Every parties should give consent, where this can be say as the weakness of non-litigation settlement. echnically, non-litigation dispute settlement is arranged in Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Year 2008 about Mediation Procedure in Court, but up to now it was not a major choice for people to fight for their right.Keywords: mediation; non-litigation dispute settlement; law violation; environment; health.  

Page 1 of 27 | Total Record : 269


Filter by Year

2016 2025


Filter By Issues
All Issue Vol. 10 No. 1 (2025): Bina Hukum Lingkungan, Volume 10, Nomor 1, Oktober 2025 Vol. 9 No. 3 (2025): Bina Hukum Lingkungan, Volume 9, Nomor 3, Juni 2025 Vol. 9 No. 2 (2025): Bina Hukum Lingkungan, Volume 9, Nomor 2, Februari 2025 Vol. 9 No. 1 (2024): Bina Hukum Lingkungan, Volume 9, Nomor 1, Oktober 2024 Vol. 8 No. 3 (2024): Bina Hukum Lingkungan, Volume 8, Nomor 3, Juni 2024 Vol. 8 No. 2 (2024): Bina Hukum Lingkungan, Volume 8, Nomor 2, Februari 2024 Vol. 8 No. 1 (2023): Bina Hukum Lingkungan, Volume 8, Nomor 1, Oktober 2023 Vol. 7 No. 3 (2023): Bina Hukum Lingkungan, Volume 7, Nomor 3, Juni 2023 Vol. 7 No. 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan, Volume 7, Nomor 2, Februari 2023 Vol 8, No 1 (2023): Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 3 (2023): Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan Vol. 7 No. 1 (2022): Bina Hukum Lingkungan, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2022 Vol. 6 No. 3 (2022): Bina Hukum Lingkungan, Volume 6, Nomor 3, Juni 2022 Vol. 6 No. 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan, Volume 6, Nomor 2, Februari 2022 Vol 7, No 1 (2022): Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 3 (2022): Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan Vol. 6 No. 1 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2021 Vol. 5 No. 3 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 5, Nomor 3, Juni 2021 Vol. 5 No. 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 5, Nomor 2, Februari 2021 Vol 6, No 1 (2021): Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan Vol. 5 No. 1 (2020): Bina Hukum Lingkungan, Volume 5, Nomor 1, Oktober 2020 Vol. 4 No. 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan, Volume 4, Nomor 2, April 2020 Vol 5, No 1 (2020): Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan Vol. 4 No. 1 (2019): Bina Hukum Lingkungan, Volume 4, Nomor 1, Oktober 2019 Vol. 3 No. 2 (2019): Bina Hukum Lingkungan, Volume 3, Nomor 2, April 2019 Vol 4, No 1 (2019): Bina Hukum Lingkungan Vol. 3 No. 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan, Volume 3, Nomor 1, Oktober 2018 Vol. 2 No. 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan, Volume 2, Nomor 2, April 2018 Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan Vol. 2 No. 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan, Volume 2, Nomor 1, Oktober 2017 Vol. 1 No. 2 (2017): Bina Hukum Lingkungan, Volume 1, Nomor 2, April 2017 Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN Vol. 1 No. 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016 Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan More Issue