cover
Contact Name
Iwan
Contact Email
lexpublicaappthi@gmail.com
Phone
+6285395403342
Journal Mail Official
lexpublicaappthi@gmail.com
Editorial Address
Jl. Pemuda No.70, Pandansari, Kec. Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah 50133
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Lex Publica
ISSN : 23549181     EISSN : 25798855     DOI : https://doi.org/10.58829/lp
Core Subject : Social,
Lex Publica (e-issn 2579-8855; p-issn 2354-9181) is an international, double blind peer reviewed, open access journal, featuring scholarly work which examines critical developments in the substance and process of legal systems throughout the world. Lex Publica published biannually online every June and December by Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) and managed by Institute of Social Sciences and Cultural Studies (ISOCU), aims at critically investigating and pursuing academic insights of legal systems, theory, and institutions around the world. Lex Publica encourages legal scholars, analysts, policymakers, legal experts and practitioners to publish their empirical, doctrinal and/or theoretical research in as much detail as possible. Lex Publica publishes research papers, review article, literature reviews, case note, book review, symposia and short communications on a broad range of topical subjects such as civil law, common law, criminal law, international law, environmental law, business law, constitutional law, and numerous human rights-related topics. The journal encourages authors to submit articles that are ranging from 6000-8000 words in length including text, footnotes, and other accompanying material.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 166 Documents
Ratio Decidendi and the Constitutional Court Jurisprudence in Examining Constitutional Rights of Single Candidate in Regional Head Election Anwar Usman
Lex Publica Vol. 4 No. 2 (2017)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.589 KB) | DOI: 10.58829/lp.4.2.2017.743-751

Abstract

The first wave of simultaneous regional elections in 2015 emerged a new phenomenon: several regions that carried out regional elections had one pair of candidates. So there is a possibility that the celebration of the local democratic party at that time will have to be postponed, bearing in mind Law No. 8 of 2015 requires that regional elections can take place if there are at least two pairs of candidates contestations. The method used in this research will examine the main issues through a case approach, namely examining the ratio decidendi in the Constitutional Court decisions, which are the object of research, and the statutory approach. The data analysis method is a qualitative analysis and is presented in a descriptive form. The legal problems of a single regional head candidate in the simultaneous regional head elections in 2015 were motivated by negligence in the legislative process of Law No. 8 of 2015 regarding the emergence of the phenomenon of a single regional head candidate in several regions. The Pilkada Law requires that regional head elections have a minimum of two pairs of candidates in each region. However, on a das sein basis, three regions have only one pair of regional head candidates at the end of the registration extension period. Against this condition, a single-candidate solution emerged from the Indonesian General Elections Commission (Komisi Pemilihan Umum/KPU) with the issuance of General Election Commission Regulation No. 12 of 2015, which contains the postponement of the implementation of elections for regions with only one pair of candidates. Based on these conditions, Constitutional Court Decision No. 100/PUU-XIII/2015 provides a solution whereby regions with a single candidate can still carry out Pilkada so that the constitutional rights of the people in the area are not lost. For the constitution to live and be reflected in the administration of the state and the citizens’ daily lives, the Constitutional Court and other state components must approach and make constitutional thoughts. This task is the responsibility of all state institutions, government agencies, and citizens. Abstrak Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 muncul fenomena baru, di mana beberapa daerah yang melaksanakan Pilkada hanya mempunyai satu pasangan calon. Sehingga ada kemungkinan perayaan pesta demokrasi lokal kala itu harus tertunda, mengingat Undang-Undang No.8 tahun 2015 mensyaratkan bahwa Pilkada dapat berjalan apabila minimal ada dua pasangan calon yang bertarung. Metode yang digunakan penelitian ini akan mengkaji pokok permasalahan melalui pendekatan kasus, yakni mengkaji ratio decidendi dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi objek penelitian dan pendekatan perundangundangan (statute approach). Adapun metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif. Problematika hukum calon tunggal kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah serentak di 2015 dilatarbelakangi oleh kealpaan proses legislasi Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 terhadap munculnya fenomena calon tunggal kepala daerah di beberapa daerah. Undang-undang Pilkada menghendaki bahwa pemilihan kepala daerah memiliki minimal dua pasangan calon di masing-masing daerah. Akan tetapi, secara das sein terdapat tiga daerah yang pada akhir masa perpanjangan pendaftaran hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah. Terhadap kondisi demikian muncul solusi calon tunggal yang berasal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan dikeluarkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 12 Tahun 2015 yang berisi penundaan pelaksanaan pemilihan bagi daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon. Atas kondisi tersebut, Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 memberikan solusi daerah-daerah dengan calon tunggal tetap dapat melaksanakan Pilkada agar hak konstitusional masyarakat di daerah tersebut tidak menjadi hilang. Agar konstitusi dapat hidup dan tercermin dalam penyelenggaraan negara dan keseharian hidup warga negara, Mahkamah Konstitusi dan komponen negara lainnya harus mendekatkan dan menjadikan pemikiran-pemikiran konstitusional. Tugas inilah yang menjadi tanggungjawab seluruh lembaga negara, lembaga pemerintah, dan setiap warga negara. Kata Kunci: Hak Konstitusional, Ratio Decidendi, Yurisprudensi, Pemilihan Kepala Daerah, Mahkamah Konstitusi
Application of the Retroactive Principle in Criminal Law on Gross Human Rights Violations Joko Sasmito
Lex Publica Vol. 4 No. 2 (2017)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.43 KB) | DOI: 10.58829/lp.4.2.2017.775-781

Abstract

AbstractStarting from the development of law in Indonesia to resolve the problem of gross human rights violations, it is necessary to establish a human rights court that is specifically a court for gross human rights violators. The superiority of regulating human rights in the constitution provides a very tight guarantee because amendments and/or deletion of one of the articles in the constitution, such as in the Indonesian constitution, experience a very difficult and lengthy process, while the weakness is that what is regulated in the constitution only contains rules that are still global in nature. The purpose of this research is to find out and understand the existence of the principle of legality in the applicable laws and regulations in Indonesia, restorative policies in law enforcement against human rights violations in the legal context in Indonesia, and find the ideal legal concept in law enforcement against human rights violations. The type of research to be used is included in the normative legal research group, namely legal research on legal principles, legal systematics, legal synchronization, comparative law, and legal history. So, research or study of legal norms is the legal system’s contents. The results of the study found that the legality principle in Indonesian laws and regulations still needs to be maintained because the essence of the legality principle is to create legal certainty and justice. Retroactive policies in law enforcement against human rights violations in the context of Indonesian law need to be carried out to uphold justice because there are general or greater benefits than protecting the rights of perpetrators that are partial. The ideal concept in retroactive policies against gross human rights violations is to clarify the substance of statutory provisions regarding retroactive enforcement of extraordinary crimes Abstrak Berawal dari perkembangan hukum di Indonesia untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat, maka perlu dibentuk pengadilan HAM yang khusus merupakan pengadilan bagi pelanggar HAM berat. Keunggulan pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat ketat karena perubahan dan/atau penghapusan salah satu pasal dalam konstitusi, seperti dalam konstitusi Indonesia, mengalami proses yang sangat sulit dan panjang, sedangkan kelemahannya adalah yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan-aturan yang masih bersifat global. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami adanya asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kebijakan restoratif dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM dalam konteks hukum di Indonesia, dan menemukan konsep hukum yang ideal dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM. Jenis penelitian yang akan digunakan termasuk dalam kelompok penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum tentang asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Jadi, penelitian atau penelaahan terhadap norma hukum yang merupakan isi dari sistem hukum. Hasil kajian menemukan bahwa asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih perlu dipertahankan keberadaannya, karena hakikat asas legalitas adalah untuk menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Kebijakan retroaktif dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM dalam konteks hukum Indonesia perlu dilakukan untuk menegakkan keadilan karena ada kemanfaatan yang bersifat umum atau lebih besar dari perlindungan hak pelaku yang bersifat parsial. Konsep ideal dalam kebijakan retroaktif terhadap pelanggaran HAM berat adalah memperjelas substansi ketentuan perundang-undangan tentang pemberlakuan retroaktif terhadap kejahatan luar biasa. Kata kunci: Asas Retroaktif, Hukum, Hukum Pidana, Hak Asasi Manusia, Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Beritikad Baik dalam Transaksi Jual Beli yang Dibatalkan karena Adanya Gugatan Pihak Ketiga: Studi Kasus Putusan Nomor 800/Pdt.G/2013/PN.Dps Hidayati Hidayati
Lex Publica Vol. 4 No. 2 (2017)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.526 KB) | DOI: 10.58829/lp.4.2.2017.782-788

Abstract

Dalam kehidupan di masyarakat banyak transaksi jual beli yang tidak sempurna artinya memiliki cacat hukum, baik objek jual beli tersebut belum diserahkan dalam transaksi jual beli maupun mengenai keabsahan legalitas seseorang untuk dinyatakan sah sebagai hak untuk melakukan transaksi jual beli. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis aspek perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik dalam transaksi jual beli yang dibatalkan karena adanya gugatan pihak ketiga. Studi ini mengambil studi kasus Putusan No. 800/Pdt.G/2013/PN.Dps. Dalam studi ini, aspek hukum yang dikaji adalah adanya gugatan terhadap suatu transaksi jual beli dari pihak ketiga. Ini secara hukum mempunyai konsekuensi terhadap hak pembeli yang beritikad baik, dan aturan hukum menyediakan perlindungan hukum dalam kasus ini. Sebagai temuan, bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap pembeli tanah yang beriktikad baik tidak dipertimbangkan oleh hakim, dalam kasus Putusan No. 800/Pdt.G/2013/PN.Dps. Sebaliknya, pertimbangan hakim hanya ditujukan terhadap Penggugat saja tanpa mempertimbangkan mengenai adanya unsur-unsur pemenuhan kategori pembeli beritikad baik yang juga seharusnya dilindungi hak-haknya sesuai undang-undang yang ada. Abstract In life in society, many buying and selling transactions are imperfect, meaning they have legal defects, whether the object of sale and purchase has not been submitted in a sale and purchase transaction or regarding the validity of the legality of a person to be declared valid as the right to carry out a sale and purchase transaction. This study analyzes aspects of legal protection for good faith buyers in sales and purchase transactions canceled due to a third-party lawsuit. This study takes the case study of Decision No. 800/Pdt.G/2013/PN.Dps. In this study, the legal aspect studied was a lawsuit against a sale and purchase transaction from a third party. It has legal consequences for the rights of the good faith purchaser, and the rule of law provides legal protection in this case. As a finding, the form of legal protection given to land buyers with good intentions was not considered by the judges in the case of Decision No. 800/Pdt.G/2013/PN.Dps. On the other hand, the judge's considerations were only aimed at the plaintiff without considering the elements of fulfilling the category of good faith buyers whose rights should also be protected in accordance with existing laws. Keywords: Legal protection, Transactions, Good faith
Perubahan Paradigma Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk Mewujudkan Daya Saing Nasional: Studi Perlindungan Rahasia Dagang Bidang Obat-Obatan Tradisional Suparno Suparno; Faisal Santiago
Lex Publica Vol. 5 No. 1 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.551 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.1.2018.8-15

Abstract

Dalam perdagangan internasional, khususnya yang berkenaan dengan aspek Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Indonesia berada di bawah tekanan Negara-negara maju karena harus mengimplementasikan Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Agrement sebagai salah satu kesepakatan di dalam rezim World Trade Organisation (WTO). Penelitian ini menggunakan tiga metode penelitian, yaitu yuridis normatif, kualitatif dan komparatif. Permasalahan dalam penelitian adalah mengapa paradigma HKI hukum Indonesia harus ada perubahan, upaya-upaya apakah yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam perubahan tersebut, dan apakah budaya hukum masyarakat Indonesia dapat menerima perlindungan rahasia dagang bidang obat-obatan tradisional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, paradigma HKI Indonesia harus berlandaskan Pancasila sebagai landasan filosofis, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan yuridis dan realitas sosial bangsa Indonesia sebagai landasan sosiologis. Kedua, upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam perubahan tersebut harus terus dilakukan, mengingat sistem hukum HKI yang berasal dari Barat bersifat individualistik. Ketiga, budaya hukum masyarakat tradisional belum seluruhnya memahami perlunya perlindungan rahasia dagang bidang obat-obatan tradisional. Abstract In international trade, especially with regard to aspects of Intellectual Property Rights (IPR), Indonesia is under pressure from developed countries because they have to implement the Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Agreement as one of the agreements within the World Trade Organization (WTO) regime. This study uses three research methods: normative, qualitative, and comparative juridical. The problems in this research are why the paradigm of IPR in Indonesian law has to change, what efforts have been made by the Indonesian government for this change, and whether the legal culture of Indonesian society can accept trade secret protection in the field of traditional medicines. The results of the study show that first, the paradigm of Indonesian IPR must be based on Pancasila as a philosophical basis, the 1945 Constitution as a juridical basis, and the social reality of the Indonesian people as a sociological basis. Second, the efforts of the Government of Indonesia in these changes must be continued, bearing in mind that the IPR legal system originating from the West is individualistic. Third, the legal culture of traditional communities has not fully understood the need to protect trade secrets in the field of traditional medicines. Keywords: Paradigm Change, Politics, Law
Judicial Independence in the Enforcement of Military Crimes in the Indonesian Justice System Joko Sasmito
Lex Publica Vol. 5 No. 1 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (167.162 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.1.2018.16-22

Abstract

The military court has the function of carrying out judicial duties in the context of upholding law and justice by taking into account the interests of the administration of state defense and security, which in this case, is carried out by the military. However, it should be remembered that law enforcement through military courts is the last resort (ultimum remidium) when disciplinary law enforcement by superiors fails to overcome the existing problems. Military Courts are regulated in Article 10 of Law No. 31 of 1997, that Courts under Military Courts are authorized to try crimes committed in the jurisdiction of defendants, including units in their jurisdiction. The protection of judicial independence is usually considered to cover various aspects that operate at different levels, in this case, external and internal independence and institutional and individual independence. External independence refers to the independence of the judiciary from political branches (Executive and Legislative powers), as well as other non-judicial actors. However, there must be a relationship between the judiciary and political power (especially the executive). The importance of the independence, impartiality, and competence of military courts is recognized by all experts. In a number of presentations, it was noted that, in some countries, the issue of command interference and lack of institutional independence remains a source of concern. Regarding the personal jurisdiction of military courts, the Human Rights Committee has discussed this issue, stating that civilians should not submit to the jurisdiction of military courts except in exceptional circumstances. Military jurisdiction should be set aside in favor of civilian courts in cases where allegations of serious human rights violations are made against military personnel, and that military jurisdiction should be limited to military offenses. Abstrak Peradilan militer mempunyai fungsi melaksanakan tugas peradilan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara, yang dalam hal ini dilakukan oleh militer. Namun perlu diingat bahwa penegakan hukum melalui peradilan militer merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) ketika penegakan hukum disiplin oleh atasan gagal mengatasi permasalahan yang ada. Peradilan Militer diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997, bahwa Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer berwenang untuk mengadili kejahatan yang dilakukan dalam wilayah hukum atau para terdakwa, termasuk unit-unit yang berada dalam wilayah hukumnya. Perlindungan independensi peradilan biasanya dianggap mencakup berbagai aspek yang beroperasi pada berbagai tingkatan, dalam hal ini independensi eksternal dan internal, serta independensi institusional dan individu. Independensi eksternal mengacu pada independensi peradilan dari cabang-cabang politik (kekuasaan eksekutif dan legislatif), serta aktor non-yudisial lainnya, meskipun harus ada hubungan antara kekuasaan yudikatif dan politik (khususnya eksekutif). Pentingnya kemandirian, ketidakberpihakan dan kompetensi pengadilan militer diakui oleh semua ahli. Dalam sejumlah presentasi, disebutkan bahwa di beberapa negara, isu campur tangan komando dan kurangnya independensi kelembagaan masih menjadi perhatian. Mengenai yurisdiksi pribadi pengadilan militer, Komite Hak Asasi Manusia telah membahas masalah ini yang menyatakan bahwa warga sipil tidak boleh tunduk pada yurisdiksi pengadilan militer kecuali dalam keadaan luar biasa. Yurisdiksi militer harus dikesampingkan demi pengadilan sipil dalam kasus-kasus di mana tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dilakukan terhadap personel militer dan bahwa yurisdiksi militer harus dibatasi pada pelanggaran militer. Kata kunci: Kemerdekaan, Hakim, Kejahatan, Sistem Peradilan, Militer, Indonesia
Demokrasi dan Legitimasi Kepemimpinan Desa: Tinjauan Hukum Normatif terhadap Dinamika dan Peraturan Terkait Pemilihan Kepala Desa Dedi Mulyadi; M. Rendi Aridhayandi; Aris Budiono
Lex Publica Vol. 5 No. 1 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (208.989 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.1.2018.23-31

Abstract

Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan bagaimana dinamika dan peraturan terkait dengan pemilihan kepala desa di Indonesia. Desa berperan penting sebagai tonggak demokrasi publik di akar rumput, sehingga pemilihan kepala desa merupakan wujud akar rumput dari pemberian legitimasi dari masyarakat kepada kandidat yang ditunjuk dalam jabatan publik. Terdapat beberapa aturan yang secara spesifik mengatur tentang pemilihan kepala desa. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dilakukan secara Demokrasi dan menggunakan sistem jujur adil dan Transparan agar tidak munculnya ketidakpercayaan terhadap Panitia Pemilihan khususnya Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) diatur dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia No. 112 tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa. Abstract This research describes the dynamics and regulations related to village head elections in Indonesia. The village plays an important role as a pillar of public democracy at the grassroots, so the election of a village head is a grassroots form of granting legitimacy from the community to candidates appointed to public office. Several rules specifically regulate village head elections. Regional Head Elections (Pilkada) and Village Head Elections (Pilkades) are carried out democratically and use an honest, fair, and transparent system so that distrust does not arise in the Election Committee, especially the Election of Village Heads (Pilkades) regulated in the Regulation of the Ministry of Home Affairs of the Republic of Indonesia No. 112 of 2014 concerning Village Head Election.No. Keywords: Village Head Election, Simultaneous Village Head Election, Democracy, Legitimacy, Normative Law
Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Ganti Rugi Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Pembangunan Ruas Jalan Tol Cecep Wiharma; Asep Hasanudin; Leny Megawati; Hadi Koswara
Lex Publica Vol. 5 No. 1 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.543 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.1.2018.44-50

Abstract

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus menjamin keadilan bagi masyarakat dalam perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan, termasuk di dalamnya pemberian ganti rugi pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan ruas jalan tol. Dalam pelaksanaannya timbul pertanyaan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum perlu mendapatkan ganti rugi, dan bagaimana bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah berdasarkan peraturan perundang – undangan serta upaya yang harus di lakukan masyarakat untuk menanggulangi hambatan bagi masyarakat mendapatkan ganti rugi sesuai aturan yang berlaku. Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara: yuridis normatif, deskriptif analis, jenis dan sumber, yaitu data primer dan skunder, kualitatif. Setelah di kaji lebih dalam menunjukan bahwa ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan amanat konstitusional dan sebagai kompensasi atas potensi ekonomi tanah yang dimiliki masayarakat. Ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman Kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Upaya yang harus di lakukan masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi adalah mendatangi sumber informasi resmi seperti kantor desa atau kelurahan dan kecamatan. Kemudian pastikan dokumen-dokumen adalah dokumen asli yang diakui oleh negara. Abstract Procurement of land for the public interest must ensure justice for the community in acquiring land for the implementation of development, including the provision of compensation for land acquisition for the benefit of the construction of toll roads. In practice, the question arises, why does land acquisition for the public interest need compensation? What is the form of compensation given to the owner of land rights based on the legislation? What efforts should be made by the community to overcome obstacles for the community to get compensation? According to applicable regulations? The methods used in this study include normative juridical, descriptive analysis; types and sources, namely primary and secondary data, qualitative. After further review, it shows that compensation in land acquisition for the public interest is a constitutional mandate and is compensation for the economic potential of the land owned by the community. Compensation can be given as money, replacement land, resettlement, share ownership, or other forms agreed upon by both parties. Efforts that the community must make to obtain compensation are to visit official sources of information such as the Office Village and Subdistrict. Then make sure the documents are original documents recognized by the state. Keywords: Land Acquisition, Compensation, Public Interest, Law No. 2 of 2012
Reconceptualization of Empowerment Principles by Banking in Supporting Small and Medium Enterprises According to Law No. 20 of 2008 Concerning SMEs Ukay Karyadi; Lutfi Trisandi Rizki
Lex Publica Vol. 5 No. 1 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.947 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.1.2018.1-7

Abstract

In the economy, Small and Medium Enterprises (SMEs) are the business groups that have the largest number of business actors. In addition, this group has proven to be resistant to various kinds of shocks from the economic crisis. It is very important to strengthen the SME group that involves many parties because the SME sector contributes greatly to employment. The criteria for businesses included in SMEs have been regulated under the legal umbrella based on the law, especially Law No. 20 of 2008 concerning SMEs. This study aims to determine the role of banking in empowering SMEs by using the empowerment principle as stated in Law No. 20 of 2008 concerning SMEs. Law No. 20 of 2008 concerning SMEs provides a foundation and an important role for banks and financial institutions in funding and empowering SMEs. In accordance with the principle of empowerment, a broader effort is needed to foster a business climate by establishing laws and policies covering aspects of funding. From an empowerment perspective, banks indirectly play a role in driving the community's economy by channeling funds to the real sector in society. Further, the development of the SME sector will be able to absorb more workers, improve the welfare of the working community the workforce, reduce unemployment, and ultimately alleviate poverty. Abstrak Dalam perekonomian, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan kelompok usaha yang memiliki jumlah pelaku usaha terbesar. Selain itu, kelompok ini terbukti tahan terhadap berbagai macam goncangan akibat krisis ekonomi. Penguatan kelompok UKM yang melibatkan banyak pihak ini sangat penting karena sektor UKM memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja. Kriteria usaha yang termasuk dalam UKM telah diatur dalam payung hukum berdasarkan undang-undang, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UKM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perbankan dalam pemberdayaan UMKM dengan menggunakan prinsip pemberdayaan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UKM memberikan landasan dan peran penting bagi bank dan lembaga keuangan dalam pembiayaan dan pemberdayaan UKM. Sesuai dengan asas pemberdayaan, diperlukan upaya yang lebih luas untuk menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mencakup aspek pendanaan. Dari sisi pemberdayaan, dengan menyalurkan dana ke sektor riil di masyarakat, secara tidak langsung bank berperan dalam menggerakkan perekonomian masyarakat. Selanjutnya, pengembangan sektor UKM akan mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pekerja dalam angkatan kerja, mengurangi pengangguran dan pada akhirnya mengentaskan kemiskinan. Kata kunci: Rekonseptualisasi, Prinsip Pemberdayaan, UKM, Bank
Public Participation for Constitutional Democracy and Constitutional Governance Based on Law No. 17 of 2014 Ma’ruf Cahyono
Lex Publica Vol. 5 No. 2 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.636 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.2.2018.13-22

Abstract

The existence of community and regional aspirations is very important in implementing democratic consolidation towards democratic and constitutional governance, so as a technical and substantial supporting element, it is necessary to develop strategies for managing community and regional aspirations to increase public participation optimally. This paper aims to discuss the task of The People Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR) to absorb community aspiration and involve public participation. The analysis was conducted based on Law No. 17 of 2014 concerning the People’s Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR), House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR), Regional Representative Council (Dewan Perwakilan Daerah/DPD) and Regional People’s Representative Assembly (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) (MD3). This study uses research methods with a qualitative approach. The law stipulates that one of the tasks of the MPR is to review the constitutional system, the Constitution, and its implementation, as well as absorb the aspirations of the people and regions regarding the implementation of the Constitution. The MPR, as a people’s deliberation institution, must be able to respond to the dynamics of aspirations and strengthen people’s sovereignty. This research is also to provide a breakthrough in the optimal management of community aspirations through technology-based change projects. The conclusion of the study found that to be able to achieve these goals; key success factors must be implemented, such as commitment and support from leaders and stakeholders, discipline in time management related to the implementation of the change project agenda that has been made, as well as the adoption and adaptation of best practices of the innovation of existing complementary-collaborative policies. Abstrak Keberadaan aspirasi masyarakat dan daerah sangat penting dalam rangka pelaksanaan konsolidasi demokrasi menuju pemerintahan yang demokratis dan konstitusional, sehingga sebagai unsur pendukung teknis dan substansial perlu disusun strategi pengelolaan aspirasi masyarakat dan daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara optimal. MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat harus mampu menjawab dinamika aspirasi, sekaligus memperkuat kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba memberikan terobosan dalam pengelolaan aspirasi masyarakat secara optimal melalui proyek-proyek perubahan berbasis teknologi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan kualitatif memiliki tahapan penelitian yang melampaui berbagai tahapan berpikir kritis ilmiah, dimana seorang peneliti mulai berpikir secara induktif yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena sosial melalui observasi di lapangan, kemudian menganalisisnya dan mencoba melakukan penelitian. berteori berdasarkan konteks dari apa yang diamati. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk dapat mencapai tujuan tersebut, faktor kunci keberhasilan harus dilaksanakan seperti komitmen dan dukungan dari pimpinan dan pemangku kepentingan, disiplin dalam manajemen waktu terkait pelaksanaan agenda proyek perubahan yang telah dibuat, sebagai serta adopsi dan adaptasi praktik terbaik (best practice) dari inovasi kebijakan kolaboratif komplementer yang ada. Kata kunci: Partisipasi publik, Ketatanegaraan, Kekuasaan legislatif, Demokrasi, UU No 17 Tahun 2014
Preference of Non-litigation Procedures through Alternative Dispute Resolution in the Settlement of Sharia Economic Disputes Amran Suadi
Lex Publica Vol. 5 No. 2 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (242.701 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.2.2018.1-12

Abstract

Besides the settlement of cases through litigation in courts, there is another institution of non-litigation settlements through Alternative Dispute Resolution (ADR). From the normative side, it is clear that alternative dispute resolution is given a wide space to solve disputes between citizens and citizens and the state, especially regarding sharia economic disputes. Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Case Resolution regulates dispute resolution outside the Court through Consultation, Negotiation, Mediation, Conciliation, and Expert Assessment. Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution can be said to be the most real and more specific manifestation of the state’s efforts to apply and socialize the institution of peace in sharia business disputes. This law also states that the state gives freedom to the public to resolve their sharia business disputes outside the court, either through consultation, mediation, negotiation, conciliation, or expert judgment. The law is intended to regulate dispute resolution in sharia business disputes outside the court forum by providing the possibility and right for the disputing parties to resolve disputes or differences of opinion between the parties in a forum that is more in line with the parties’ intentions. This forum is expected to accommodate the interests of the disputing parties, especially in terms of sharia economic disputes. Abstrak Cara penyelesaian konflik (perselisihan) antar individu dalam masyarakat selama ini, cenderung lebih banyak dilakukan melalui jalur konvensional yaitu penyelesaian perkara melalui litigasi (pengadilan). Sehingga banyak orang ingin mencari cara lain atau lembaga lain dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui alternatif penyelesaian sengketa. Saat ini penyelesaian sengketa atau konflik sudah mulai bergeser ke penyelesaian non litigasi yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. yaitu melalui Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Expert Assessment. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dikatakan sebagai wujud paling nyata dan lebih spesifik dari upaya Negara menerapkan dan mensosialisasikan pranata perdamaian dalam sengketa bisnis. Undang-undang ini juga menyatakan bahwa Negara memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya di luar pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, maupun penilaian ahli. Undang-undang dimaksudkan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan sengketa atau perbedaan pendapat antara para pihak dalam suatu forum yang lebih sesuai dengan keinginan para pihak. Sebuah forum diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa. Kata kunci: Peradilan Agama, Sengketa Ekonomi Syariah, Non-litigasi, Alternative Dispute Resolution

Page 7 of 17 | Total Record : 166