cover
Contact Name
Iwan
Contact Email
lexpublicaappthi@gmail.com
Phone
+6285395403342
Journal Mail Official
lexpublicaappthi@gmail.com
Editorial Address
Jl. Pemuda No.70, Pandansari, Kec. Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah 50133
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Lex Publica
ISSN : 23549181     EISSN : 25798855     DOI : https://doi.org/10.58829/lp
Core Subject : Social,
Lex Publica (e-issn 2579-8855; p-issn 2354-9181) is an international, double blind peer reviewed, open access journal, featuring scholarly work which examines critical developments in the substance and process of legal systems throughout the world. Lex Publica published biannually online every June and December by Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) and managed by Institute of Social Sciences and Cultural Studies (ISOCU), aims at critically investigating and pursuing academic insights of legal systems, theory, and institutions around the world. Lex Publica encourages legal scholars, analysts, policymakers, legal experts and practitioners to publish their empirical, doctrinal and/or theoretical research in as much detail as possible. Lex Publica publishes research papers, review article, literature reviews, case note, book review, symposia and short communications on a broad range of topical subjects such as civil law, common law, criminal law, international law, environmental law, business law, constitutional law, and numerous human rights-related topics. The journal encourages authors to submit articles that are ranging from 6000-8000 words in length including text, footnotes, and other accompanying material.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 166 Documents
Rekonseptualisasi Tindak Pidana Pajak yang Merugikan Keuangan Negara sebagai Tindak Pidana Korupsi di Indonesia KMS. Herman; Faisal Santiago; Bambang Bernanthos
Lex Publica Vol. 5 No. 2 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.475 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.2.2018.23-30

Abstract

Tindak pidana di bidang perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Perbuatan pidana yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sudah seharusnya dan tepat bila dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi, sebagaimana Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Permasalahan, 1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana di bidang pajak, 2) Mengapa tindak pidana di bidang pajak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Berdasarkan permasalahan yang diteliti maka jenis penelitian adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Penelitian yang dilakukan juga bersifat deskriptif. Di dalam metode penelitian hukum normatif terdapat tiga macam bahan pustaka yang dipergunakan oleh penulis yakni : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana di bidang pajak di Indonesia saat ini dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan yang berlaku sebagai Hukum yang Khusus (Lex Spesialis) dibidang Perpajakan, namun jika tidak cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, maka diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai Hukum yang Umum (Lex Generalis) berdasarkan Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Abstract A crime in the field of taxation is an act that violates tax laws and regulations that causes losses to state finances where the perpetrator is threatened with criminal penalties. Criminal acts that can harm state finances or the country's economy should be categorized as a criminal acts of corruption, as defined in the definition of criminal acts of corruption according to the law on eradicating criminal acts of corruption. Problems, 1) How is criminal law enforcement in the tax sector, 2) Why can criminal acts in the tax sector be categorized as criminal acts of corruption? Based on the problems studied, the type of research is normative legal research methods. Normative legal research methods are carried out by examining existing library materials. The research conducted is also descriptive in nature. The authors use three kinds of library materials in the normative legal research method: primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The results of the study show that the enforcement of criminal law in the field of taxation in Indonesia is currently carried out based on laws and regulations in the field of taxation that apply as a Special Law (Lex Specialist) in the field of taxation, but if it is not sufficiently regulated in the laws and regulations in the field of taxation, then provisions, as stipulated in the Criminal Code as General Law (Lex Generalis), are enforced based on Article 103 of the Criminal Code (KUHP). Keywords: Tax, Tax Law, Tax Crime, Corruption Crime
Independensi dan Akuntabilitas Ombudsman Republik Indonesia dengan Instrumen Westminster Foundation for Democracy (WFD) Ahmad Redi; Mohammad Ryan Bakry
Lex Publica Vol. 5 No. 2 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (467.082 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.2.2018.52-66

Abstract

Tulisan ini membahas mengenai bagaimana independensi dan akuntabilitas Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam menjalankan tugasnya terhadap potensi intervensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Metode yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif, dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan, dan teknik analisis data melalui teknik deskriptif analitis kualitatif. Berdasarkan penilaian melalui Instrument Institutional design and governance, Actual autonomy in exercising its mandate dari Westminster Foundation For Democracy (WFD) terdapat beberapa penilaian independensi dan akuntabilitas yang rendah, yaitu pada: (1) sufficiency of financial resources for performing its functions; (2) extent of autonomy to generate its own financial revenues; (3) security and stability of budget during past three years; dan (4) stability of staff and extent of staff turn-over. Ke depan ORI harus memperbaiki beberapa skor rendah independensi dan akuntabilitas dengan relasi kelembagaannya kepada DPR. Abstract This paper discusses the independence and accountability of the Ombudsman of the Republic of Indonesia (ORI) in carrying out their duties regarding potential intervention from the People’s Representative Council (DPR). A method is a qualitative approach, with library research data collection techniques and data analysis techniques through qualitative analytical descriptive techniques. Based on an assessment through the Instrument Institutional design and governance, Actual autonomy in exercising its mandate from the Westminster Foundation For Democracy (WFD), there are several assessments of independence and low accountability, namely on: (1) sufficiency of financial resources for performing its functions; (2) the extent of autonomy to generate its financial revenues; (3) security and stability of the budget during the past three years; and (4) stability of staff and extent of staff turn-over. In the future, ORI must improve several low scores on independence and accountability with its institutional relationship with the DPR. Keywords: Ombudsman of the Republic of Indonesia, independence, accountability, Power, Control
Urgensi Bank Tanah dan Penguasaan Negara atas Tanah Menurut Landasan Konstitusional Indonesia I. Made Pria Dharsana; Indrasari Kresnadjaja; I Nyoman Putu Budiartha
Lex Publica Vol. 5 No. 2 (2018)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.949 KB) | DOI: 10.58829/lp.5.2.2018.31-37

Abstract

Tanah memiliki arti penting dalam kehidupan manusia berbangsa dan bernegara, dikarenakan tanah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset, tanah merupakan faktor modal bagi kepentingan pembangunan. Di satu sisi tanah harus digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat baik secara lahir, batin adil dan merata. Sedangkan disisi lainnya, tanah harus dijaga kelestariannya. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sekaligus sebagai sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara dan rakyat, dan Bank Tanah dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia, sehingga perlu campur negara untuk mengaturnya. Abstract The land has an important meaning in the life of the nation and state because the land has a dual function, namely as a social asset and a capital asset. As a social asset, the land is a means of binding social unity among Indonesian people to live and live, while as a capital asset, the land is a capital factor for development interests. On the one hand, the land must be used and utilized to the fullest extent possible for the welfare of the people both physically and spiritually fairly and equitably, while on the other hand, its sustainability must be maintained. The land is a gift from God Almighty as well as a strategic natural resource for the nation, state, and people, and the Land Bank can be used as a means to achieve the welfare of the Indonesian nation so that the state must intervene to regulate it. Keywords: Land bank, State control over land, Normative studies, Land law
Pembaruan Sistem Pemidanaan dalam Praktik Peradilan Modern Muhammad Syarifuddin
Lex Publica Vol. 6 No. 1 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.072 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.1.2019.1-9

Abstract

Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan diharapkan mampu menjawab kebutuhan pencari keadilan yang lemah secara ekonomi. “Asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, mengandung makna peradilan harus membuka ruang lebar bagi acces to justice terutama bagi yang lemah secara ekonomi dan rentan secara sosial politik, untuk itu pengadilan dituntut membantu pencari keadilan agar mendapat perlakuan yang adil.1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2 ayat (4) disebutkan: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan” dan Pasal 4 ayat (2) disebutkan: “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana2 ,cepat, dan biaya ringan”. Sejak dimulainya era reformasi sistem ketatanegaraan dan kelembagaan negara, MA sudah merespons adanya perubahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari visi, misi, dan cetak biru MA 2010-2035, yang dilakukan tahap demi tahap. Semua ini dalam rangka penanganan atau penyelesaian perkara yang efektif dan efisien melalui sarana dan prasarana teknologi informasi. Merealisasikan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan bukan lagi hanya slogan semata dalam sistem peradilan saat ini. MA telah membuktikan hal ini, dari setiap laporan tahunan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan kinerja (penyelesaian perkara) yang signifikan. Abstract A simple, fast and low-cost trial is expected to be able to answer the needs of economically weak justice seekers. "The principle of a simple, fast and low-cost judiciary means that the judiciary must open up wide space for access to justice, especially for those who are economically weak and socio-politically vulnerable. For this reason, courts are required to assist justice seekers in order to receive fair treatment. Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power, Article 2 paragraph (4) states: "Judicial are carried out simply, quickly and at low cost" and Article 4 paragraph (2) states: "The court assists justice seekers and tries to overcome all obstacles and obstacles to a simple, fast, and low-cost trial can be achieved”. Since the start of the reform era of the state administrative system and institutions, the Supreme Court has responded to these changes. This can be seen from the vision, mission, and blueprint of the 2010-2035 MA, which was carried out step by step. All of this is in the context of effective and efficient handling or settlement of cases through information technology facilities and infrastructure. Realizing the principle of simple, fast, and low-cost justice is no longer just a slogan in the current justice system. The Supreme Court has proven this, from each annual report from year to year there has been a significant increase in performance (case resolution) Keywords: Modern Justice, Criminal System, Indonesia
Proses dan Bentuk Penataan Ruang Masyarakat Hukum Adat Arfak Papua Barat dalam Perspektif Penataan Ruang Nasional Roberth Kurniawan Ruslak Hammar
Lex Publica Vol. 6 No. 1 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (341.115 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.1.2019.41-51

Abstract

Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Indonesia khususnya MHA Arfak Papua Barat memiliki kearifan lokal (local wisdom) tentang penataan ruang. Kearifan lokal penataan ruang MHA perlu digali melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam dalam rangka penataan ruang nasional dan daerah, guna sinergitas dan meminimalisasi perebutan ruang yang seringkali terjadi akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak populis dan demokratis. Penataan ruang MHA Arfak Papua Barat, pada jaman dahulu dilakukan oleh para leluhur melalui ritual guna mendapat petunjuk dari sang penguasa jagad dalam rangka keberlanjutan dan keseimbangan kosmis. Saat ini dalam konteks pembangunan nasional, proses dan bentuk penataan ruang itu dilakukan berdasarkan musyawarah MHA dengan pertimbangan tanah, hutan adalam ibu (mama) dan pertimbangan ekologis, berupa kawasan lindung, kawasan produksi dan kawasan budidaya. Abstract Indigenous Law Communities (Masyarakat Hukum Adat/MHA) in Indonesia, especially MHA Arfak West Papua, have local wisdom about spatial planning. Local wisdom of MHA spatial planning needs to be explored through in-depth research and assessment in the context of national and regional spatial planning to synergize and minimize space struggles that often occur due to unpopular and democratic development implementation. The spatial arrangement of the MHA Arfak West Papua, in ancient times, was carried out by the ancestors through rituals in order to get instructions from the ruler of the universe in the context of cosmic sustainability and balance. Currently, in the context of national development, the process and form of spatial planning are carried out based on MHA deliberations with considerations of land, forest in the mother (mama), and ecological considerations in the form of protected production areas and cultivation areas. Keywords: Spatial planning, Customary Law Community, Papua
Jaminan Hukum atas Pengakuan dan Eksistensi Hak Ulayat pada Masyarakat Hukum Adat Gamal Abdul Nasir; Khudzaifah Dimyati; Absori Absori
Lex Publica Vol. 6 No. 1 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (267.492 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.1.2019.32-40

Abstract

Hak-hak masyarakat hukum adat harus diakui sebagaimana terlihat dalam Pasal 56 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa hak-hak masyarakat hukum adat akan diatur dalam undang-undang yang belum dilaksanakan. Karena tidak ada undang-undang yang mengatur tentang hak milik, pelaksanaan hak ulayat mengalami masalah, pengabaian hak bisa terjadi terhadap masyarakat adat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kemauan politik dan itikad baik dari pemerintah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Meninggalkan hak ulayat dengan asumsi tergantung perkembangan zaman. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif atau penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pengetahuan dasar dan teori-teori yang dibahas secara tertulis dengan melakukan kajian hukum normatif yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang realitas atau fenomena pengakuan Hak Ulayat oleh Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang kemudian dianalisis guna menjelaskan keberadaan hak ulayat hingga saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam peraturan perundang-undangan keberadaan hak ulayat masih lemah. Selain itu, dalam rangka pembangunan sistem hukum tanah nasional, selain mengatur kedudukan hak ulayat, perlu diatur pula pengertian hak ulayat, subyeknya, bendanya, ciri-cirinya, batas-batasnya, hak dan kewajibannya yang melekat pada ulayat tersebut. Abstract The rights of indigenous peoples must be recognized in Article 56 of the Basic Agrarian Law (BAL), that the rights of indigenous peoples will be regulated in laws that have not been implemented. Because no law regulates property rights, implementing customary rights has problems for indigenous peoples. This condition shows that the government has no political will and good faith to recognize indigenous peoples' rights. Leaving Ulayat rights with the assumption that it depends on the times. This study uses a normative or library research method, which uses a normative juridical approach. This use is to obtain data about and theories discussed in writing by conducting a normative legal study which is used to provide an overview of the reality or phenomenon of knowledge of the recognition of Ulayat Rights by the State as regulated in Article 3 of the Basic Agrarian Law which is then analyzed to explain the existing customary rights to date. The results of the study indicate that in the legislation, customary rights are still weak. In addition, in the context of developing a national land law system, apart from regulating Ulayat rights, it is necessary to regulate the definition of Ulayat rights, their subjects, objects, characteristics, boundaries, rights, and obligations attached to these Ulayat. Keywords: Customary Rights, Indigenous Law Communities, Legal Guarantees, Indonesia
Perlindungan Konsumen terhadap Produk Makanan dalam Kemasan Label Halal Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Wiwik Sri Widiarty
Lex Publica Vol. 6 No. 2 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.832 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.2.2019.26-35

Abstract

Perlindungan hukum yang harus diperoleh konsumen khususnya untuk pengemasan produk pangan berlabel halal, pangan yang dihasilkan dihadapkan pada berbagai kendala baik dari segi pelaku usaha yang tidak mematuhi prosedur maupun dari sisi pelaksanaan. Bagi konsumen, hal ini sangat dirugikan jika pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikasi halal tidak mencantumkan label halal dalam kemasan pangan. Peraturan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atas Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang merasa dirugikan sebagai haknya, khususnya untuk produk makanan kemasan. label halal. Bagi para pelaku usaha penting untuk mengajukan sertifikasi halal, apalagi dengan masuknya berbagai produk pangan impor yang diperdagangkan dan beredar di masyarakat yang tidak mencantumkan label halal dalam kemasan produknya, sehingga masyarakat sebagai pengguna barang/jasa merasa dirugikan, dan ketidaktahuan masyarakat dapat membahayakan kesehatan dalam mengkonsumsi makanan yang tidak mencantumkan label halal dalam kemasan produknya. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang merasa haknya dirugikan oleh produsen khususnya produsen makanan, dapat mengadu ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menampung pengaduan konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas khususnya pada produk pangan dengan kemasan label halal. . Selain itu, masyarakat juga dapat mengadukan produsen pangan kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) jika produknya tidak mencantumkan label halal atau bisa juga melalui pengadilan Sengketa Konsumen dengan mengajukan permohonan ke Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK). . Sanksi pidana bagi yang melanggar produsen yang memiliki sertifikasi halal tidak mencantumkan label halal pada kemasan produknya, jika terbukti dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Abstract Legal protection must be obtained by consumers, especially for the packaging of food products labeled halal, food that is faced with various obstacles both from the point of view of business actors who do not comply with procedures and from an implementation standpoint. For consumers, this is very detrimental if business actors who have obtained halal certification do not include a halal label on food packaging. Regulations through Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection for Consumer Protection and Law Number 33 of 2014 concerning Guarantees for Halal Products aim to provide legal certainty to people who feel aggrieved about their rights, especially for packaged food products halal labeled. For business actors, it is important to apply for halal certification, especially by including various imported food products that are issued and circulated in the community that do not include a halal label on their product packaging so that the community is the user of the goods/services imposed, and public ignorance can endanger health in consuming them. . food that does not include a halal label on its product packaging. Legal remedies that can be taken by consumers who feel their rights have been harmed by producers, especially food producers, can complain to the Food and Drug Supervisory Agency (BPOM) to accommodate consumer complaints to obtain clear information, especially on food products with a halal label. . In addition, the public can also complain about food producers to the Indonesian Consumers Foundation (YLKI) if their products do not carry a halal label or can also go through the Consumer Dispute Court by submitting an application to the Consumer Settlement Agency (BPSK). . Criminal sanctions for those who violate producers who have halal certification do not include the halal label on their product packaging, if proven guilty, they will be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and administrative sanctions in the form of revocation of business licenses. Keywords: Consumer Protection, Food Products, Halal Labels
Justice and Legal Certainty in Regulating Cryptocurrency in Malaysia Muhamad Marwan; Galang Prayogo
Lex Publica Vol. 6 No. 2 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.004 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.2.2019.1-7

Abstract

Cryptocurrencies have received important attention as alternative mediums of exchange that can complement or even replace traditional ones. For this reason, cryptocurrencies have become an attractive investment vehicle with a constantly growing market cap. Cryptocurrencies’ role and economic impact cannot be concluded further than just a disruptive technology to the conventional financial system. The unstable and highly speculative value fluctuations coupled with a relatively new technological system have resulted in a lack of research to predict the future cryptocurrency market development. The research method used in this legal research is the juridical-normative method. The juridical-normative method is intended to seek or find rules, principles, and legal doctrines, which are then applied to analyze a phenomenon that is a legal subject. The presence of cryptocurrency has its own impact on social life. These impacts stem from the main feature of cryptocurrencies, the blockchain. Blockchain offers a revolution in the paradigm of the financial system, which was initially centered on the existence of central authorities such as governments and banks to become user-centered or user-centered. In addition, the philosophical values applied in cryptocurrency and blockchain reflect ideas that are synonymous with the collegial collective spirit, such as decentralization, transparency, equality, and accountability. Abstrak Mata uang kripto telah mendapat perhatian penting sebagai media pertukaran alternatif yang dapat melengkapi atau bahkan menggantikan yang tradisional. Karena alasan ini, Mata uang kripto telah menjadi sarana investasi yang menarik dengan kapitalisasi pasar yang terus berkembang. Untuk saat ini, peran dan dampak ekonomi dari Mata uang kripto tidak dapat disimpulkan lebih jauh dari sekadar teknologi yang mengganggu sistem keuangan konvensional. Fluktuasi nilai yang tidak stabil dan sangat spekulatif ditambah dengan sistem teknologi yang relatif baru mengakibatkan kurangnya penelitian untuk memprediksi perkembangan pasar Mata uang kripto di masa depan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis-normatif dimaksudkan untuk mencari atau menemukan kaidah, asas dan doktrin hukum yang kemudian diterapkan untuk menganalisis suatu fenomena yang menjadi subjek hukum. Kehadiran cryptocurrency memiliki dampak tersendiri dalam kehidupan sosial. Dampak ini berasal dari fitur utama Mata uang kripto, blockchain. Blockchain menawarkan revolusi paradigma sistem keuangan yang awalnya berpusat pada keberadaan otoritas pusat seperti pemerintah dan bank menjadi user-centered atau berpusat pada pengguna. Selain itu, nilai-nilai filosofis yang diterapkan dalam cryptocurrency dan blockchain mencerminkan ide-ide yang identik dengan semangat kolektif kolegial seperti desentralisasi, transparansi, kesetaraan, dan akuntabilitas. Kata kunci: Mata uang kripto, Bitcoin, Hukum, Ekonomi, Malaysia
Urgency of Separation of Powers in State Institutions to Defend Against Corruption in Indonesia Fatria Khairo; Firman Freaddy Busroh; Rianda Riviyusnita
Lex Publica Vol. 6 No. 2 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.043 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.2.2019.36-42

Abstract

The issue of abuse of authority is still a color of politics in every state institution, such as the ministry. Such as political member charges. There are ways for brainstorming for writers to contribute to the system as we know that Indonesia implements a system of power-sharing known as the Legislative, Executive and Judiciary. With its power distribution system, Indonesia tends to open space for corrupt behavior. The Urgency of the Separation of Power System in corruption in Indonesia aims to reduce the space that can be corrupted and to facilitate monitoring and evaluation of each performance. Abstrak Isu penyalahgunaan wewenang masih menjadi warna politik di setiap lembaga negara, seperti kementerian. Seperti biaya anggota politik. Ada cara untuk brainstorming bagi penulis untuk berkontribusi pada sistem. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia menerapkan sistem pembagian kekuasaan yang dikenal dengan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Indonesia dengan sistem distribusi kekuasaan cenderung membuka ruang perilaku korupsi. Urgensi Pemisahan Sistem Ketenagalistrikan dalam korupsi di Indonesia ditujukan untuk mengurangi ruang yang berpeluang dikorupsi dan untuk memudahkan monitoring dan evaluasi setiap kinerja. Kata kunci: Korupsi, Pemisahan Sistem Tenaga, Lembaga Negara, Indonesia
The Role of Indonesian Constitutional Court in Strengthening Welfare State and the Rule of Law Usman, Anwar
Lex Publica Vol. 7 No. 1 (2020)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (220.538 KB)

Abstract

The conception of the rule of law adopted by the 1945 Constitution is obtained from both the rechtsstaat and the rule of law. It is even obtained from other integrative legal systems, and their implementation is adjusted to the demands of needs and developments. The Amendment of the 1945 Constitution that occurred in Indonesia in 1999–2002, which gave birth to the Constitutional Court, was the right momentum to build Indonesian civilization and state administration towards a constitutional state of law. As the state’s supreme law, the Constitution must be the basis and guideline for all state elements in running the wheels of state organization. The role of the Constitutional Court is important to keep the values ​​contained in the Constitution implemented in accordance with its rules. The dynamics of the development of the Indonesian nation have created challenges and demands for handling various unresolved problems. One of them is the implementation of social security for all Indonesian people as mandated by the 1945 Constitution and the state foundation, Pancasila. The development of a legal culture or culture is unavoidable if the law is expected to be the commander in chief in a country based on the principle of the rule of law (rechtsstaat/the rule of law). As the basic law (groundwet) for the Indonesian state, the 1945 Constitution must be guided and implemented by all elements, both state administrators and citizens, in carrying out their respective duties. Because the establishment of a constitution in a country basically it really depends on the commitment of every citizen. Abstrak Konsepsi negara hukum yang dianut oleh UUD 1945 diperoleh baik dari rechtsstaats maupun rule of law. Bahkan diperoleh dari sistem hukum lain yang bersifat integratif dan pelaksanaannya disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan. Perubahan UUD 1945 yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999–2002 yang melahirkan Mahkamah Konstitusi merupakan momentum yang tepat untuk membangun peradaban dan ketatanegaraan Indonesia menuju negara hukum yang konstitusional. Konstitusi sebagai hukum dasar negara (the Supreme law of the land) harus menjadi dasar dan pedoman bagi seluruh elemen negara, dalam menjalankan roda penyelenggaraan negara. Peran MK penting untuk menjaga agar nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi dilaksanakan sesuai dengan aturannya. Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menimbulkan tantangan dan tuntutan untuk penanganan berbagai permasalahan yang belum terselesaikan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Perkembangan budaya atau budaya hukum tidak dapat dihindarkan jika hukum diharapkan menjadi panglima tertinggi dalam suatu negara berdasarkan prinsip negara hukum (rechstaat/rule of law). Sebagai hukum dasar (groundwet) bagi negara Indonesia, UUD 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh semua elemen, baik penyelenggara negara maupun warga negara dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Karena pembentukan konstitusi di suatu negara, pada dasarnya sangat tergantung pada komitmen setiap warga negara. Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, Konstitusi, Ketatanegaraan, Negara Kesejahteraan, Negara Hukum, Indonesia

Page 8 of 17 | Total Record : 166