cover
Contact Name
Siti Tatmainul Qulub
Contact Email
tatmainulqulub@uinsa.ac.id
Phone
+6285290373455
Journal Mail Official
prodifalak@gmail.com
Editorial Address
Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani No. 117 Surabaya 60237. Telp. (031) 8417198. E-mail: prodifalak@gmail.com
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy
ISSN : 27758206     EISSN : 27747719     DOI : https://doi.org/10.15642/azimuth.2020.1.1
Azimuth Journal of Islamic Astronomy merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Jurnal ini terbit dua kali dalam satu tahun pada bulan Januari dan Juli. Jurnal ini memuat artikel tentang ilmu falak dan ilmu-ilmu terkait.
Articles 52 Documents
Transformasi Kalender Islam di Turki dari Rukyat ke Hisab Rofiuddin, Ahmad Adib
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 3 No. 1 (2022): Januari
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v3i1.1437

Abstract

Turkey has a long history in the study of the Islamic Calendar. Since the arrival of Islam in Turkey, the Islamic Calendar has been the main reference in the administration of the kingdom for hundreds of years. Furthermore, the kingdom also paid special attention to developing the Istanbul Observatory, which was considered the most sophisticated observatory at that time, to support the implementation of the early determination of the Hijri month using the observation (rukyat) method. For hundreds of years running, the use of the Hijri calendar then began to be shifted by the Gregorian Calendar System along with the collapse of the Ottoman Empire. In addition to changing the calendar system, Mustafa Kemal Attaturk also changed the method of determining the beginning of the month from observation (rukyat) to calculation (hisab). Although it has undergone many changes since the birth of the Republic of Turkey, the Turkish government's attention to the Islamic Calendar still continuing. After successfully holding the International Hijri Calendar Unification conference in 1978, in 2016 Turkey also held the same event and introduced the 2016 Turkish criteria. Then, this criterion becomes a reference for several countries in determining the beginning of the Hijri month. Despite getting a lot of criticism regarding the 2016 Turkey Criteria, we need to give appreciation to Turkey for its active role in the development of the Global Islamic calendar discourse.
Implementasi Dua Jenis Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa di Kota Parepare Kurniawati, Kurniawati; Izzuddin, Ahmad
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 3 No. 1 (2022): Januari
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v3i1.1470

Abstract

Abstrak: Kota Parepare merupakan salah satu kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang masih berpedoman pada jadwal waktu salat sepanjang masa. Di kota ini beredar dua jenis jadwal waktu salat sepanjang masa yang memiliki sistem dan bentuk yang berbeda. Meskipun telah beredar secara luas di masyarakat namun kedua jadwal waktu salat tersebut belum mendapatkan legalitas hukum. Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7% masjid di Kota Parepare berpedoman pada jadwal waktu salat sepanjang masa Pengadilan Agama Parepare dan 90% masjid berpedoman pada jadwal waktu salat sepanjang masa PA Makassar. Jadwal waktu salat sepanjang masa Pengadilan Agama Parepare masih layak digunakan untuk Kota Parepare karena hanya memiliki selisih 1-3 menit dari waktu sebenarnya sedangkan jadwal waktu salat sepanjang masa PA Makassar tidak dianjurkan karena memiliki selisih waktu hingga 6 menit. Faktor yang melatarbelakangi penggunaan jadwal waktu salat sepanjang masa di Kota Parepare ialah faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor budaya dan faktor pemerintah. Kata Kunci:  Implementasi, Jadwal Salat, masjid, hisab, Kota Parepare.   Abstract:       Parepare is one of the cities in South Sulawesi Province which is still guided by the all-time prayer schedules. In this city circulated two types of prayer times that have different systems and forms. Although it has been widely circulated in the community, the two prayer times have not yet received legal legality. This research is included in the field research with a qualitative approach. The results showed that 7% of mosques in Parepare City were guided by the all-time prayer schedule of Parepare Religious Courts and 90% of mosques were guided by the all-time prayer schedule of Makassar Religious Courts. The all-time prayer schedule of Parepare Religious Courts is still suitable for the City of Parepare because it only has a 1-3 minute difference from the actual time, while the all-time prayer schedule of Makassar Religious Courts is not recommended because it has a time difference of up to 6 minutes. The factors behind the use of the all-time prayer schedule in Parepare City are educational factors, economic factors, cultural factors and government factors. Keywords:    Implementation, Prayer Schedule, mosque, hisab, Parepare.  
Implikasi Kriteria Neo-Mabims Pada Penentuan 1 Dzulhijjah 1443 H (Studi Kritis Konsep Matla’ dalam Hadis) Hijriyati, Muthiah; Islam, Ahmad Fakhruddin Fajrul
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 4 No. 1 (2023): Januari
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v4i1.1494

Abstract

Abstract:        Mabims criteria that have been implemented in Indonesia since Ramadan 1443 Hijriyah have become a new discourse. The criteria for the minimum height of the hilal of  3 degrees and elongation of 6.4 degrees annul the previous criteria, namely the minimum height of the hilal of 2 degrees, elongation of 3 degrees and hilal mucus for 8 hours. This change became a new problem considering that on 29 Dhulqa'dah 1443 H all regions in Indonesia had not yet reached the latest Imkanur rukyah MABIMS criteria. Therefore, this research was conducted aiming to find out the implications of the latest MABIMS criteria on the determination of 1 Dhulhijjah 1443 H with the analysis of Ma'anil Hadith related to Matla' as the theoretical basis used. Using qualitative research methods with data collection by library research. This data is both primary and secondary to be analyzed by interconnecting the theory of ma'anil hadith with the conception of the visibility of the new moon in the latest MABIMS criteria. The results of this study illustrate that the difference in matla' has emerged since the time of the Companions as in the hadith narrated by Kuraib and this becomes the basis for the possibility of different days for certain regions on Earth, as in Saudi Arabia which performs wukuf in Arafah and Eid al-Adha is different from in Indonesia. Of course this is not the first time in Indonesia, but potential conflicts and theoretical weaknesses must be resolved for the common good. Keywords:      Neo-Mabims Criteria, Matla', Ma'anil Hadith   Abstrak:         Kriteria MABIMS yang telah diterapkan di Indonesia sejak Ramadhan 1443 Hijriyah menjadi wacana baru. Kriteria dengan tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat, merubah kriteria sebelumnya yaitu tinggi hilal minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat dan umur hilal 8 jam. Perubahan ini menjadi masalah baru mengingat pada tanggal 29 Dzulqa'dah 1443 H seluruh wilayah di Indonesia belum mencapai kriteria MABIMS Imkanur Rukyah Baru. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui implikasi kriteria Neo-MABIMS Baru terhadap penentuan 1 Dzulhijjah 1443 H dengan analisis Ma'anil Hadits terkait Matla' sebagai dasar teori yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data berupa studi pustaka. Data ini bersifat primer dan sekunder untuk dianalisis dengan menghubungkan teori ma'anil hadits dengan konsepsi visibilitas hilal dalam kriteria Neo-MABIMS. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa perbedaan matla' telah muncul sejak zaman para sahabat seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib dan ini menjadi dasar kemungkinan hari yang berbeda untuk wilayah tertentu di Bumi, seperti di Arab Saudi yang melakukan wukuf di Arafah dan Idul Adha berbeda dengan di Indonesia. Tentu ini bukan pertama kalinya di Indonesia, tetapi potensi konflik dan kelemahan teoritis harus diselesaikan untuk kebaikan bersama. Kata Kunci:   Kriteria Neo-Mabims, Matla’, Ma’anil Hadis
Dinamika Usaha Penyatuan Penetapan Awal Bulan Kamariah Pada Masa Menteri Agama H.A. Mukti Ali (1971-1978) Sari , Indah Ayu; Niam, M Ihtirozun
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 1 No. 2 (2020): Juli
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v1i2.1550

Abstract

Penetapan awal bulan Kamariah merupakan persoalan krusial bagi umat Islam karena mengandung waktu ibadah yang harus ditentukan secara hati-hati agar pelaksanaan ibadah pada bulan tersabut berlangsung tepat pada waktunya. Oleh karenanya, setiap pejabat pemerintahan yang menduduki kursi Menteri Agama dituntut untuk dapat mampu menetralisir perselisihan yang diakibatkan oleh penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia. Seperti halnya Menteri Agama H. A. Mukti Ali yang dilantik menjadi Menteri Agama pada saat masa Orde Baru sehingga menyebabkan banyak sekali permasalah terkait pelaksanaan keagamaan maupun peribadatan. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan dan memberikan gambaran terhadap upaya-upaya apa saja yang dilakukan pada masa H. A. Mukti Ali dalam menjembatani dan mendialogkan persoalan-persoalan yang ada di Indonesia. Penelitian menggunakan penelitian kepustakaan atau library research sehingga mampu menelaah secara jauh ke belakang mengenai penetapan awal bulan Kamariah yang terjadi pada masa H. A. Mukti Ali. Dari penelitian ini ditemukan banyak kebijakan-kebijakan Menteri Agama H. A. Mukti Ali yang kemaslahatannya masih dapat dirasakan hingga saat ini, seperti terbentuknya organisasi Badan Hisab dan Rukyat (BHR), dibuatnya buku “Ephemeris Hisab dan Rukyat”, hingga diberlakukannya kriteria MABIMS. Kata Kunci:  Bulan, Kamariah, hisab, rukyat, Menteri Agama.   Abstract:       Determining the beginning lunar month is a crucial issue for Muslims because it contains a time of worship that must be determined carefully so that the implementation of worship in that month takes place on time. Therefore, every government official who occupies the position of Minister of Religion is required to be able to neutralize disputes caused by the initial determination of the lunar month in Indonesia. Like the Minister of Religion H. A. Mukti Ali who was appointed Minister of Religion during the New Order era, causing a lot of problems related to the implementation of religion and worship. This study aims to describe and provide an overview of the efforts made during H. A. Mukti Ali's era in bridging and dialogue on problems in Indonesia. The research uses library research or library research so that it can be examined far back regarding the determination of the beginning of the lunar month that occurred during the time of H. A. Mukti Ali. There are many policies whose benefits can still be felt today, such as the formation of the ‘Badan Hisab dan Rukyat’ (BHR) organization, the creation of the book "Ephemeris Hisab and Rukyat", and the enactment of the MABIMS criteria. Keywords:    Month, Kamariah, hisab, rukyat, Minister of Religion.  
Tipologi Menghadap Kiblat KH. Ahmad Rifa’i Luthfi, Muhammad; Izzuddin , Ahmad
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 2 No. 1 (2021): Januari
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v2i1.1556

Abstract

Perkembangan sains dan teknologi memudahkan masyarakat dalam mencari arah kiblat. Namun, definisi arah menghadap kiblat yang bervariatif secara fiqih mengakibatkan pemahaman masyarakat tentang penentuan arah kiblat ramai dipermasalahkan. Konsep menghadap kiblat yang diterangkan oleh KH Ahmad Rifai dalam kitab Absyar mengharuskan orang yang melaksanakan sholat untuk menghadap ke ‘ain al-ka’bah. Artikel ini membahas tentang konsep arah kiblat menurut KH Ahmad Rifa’i dalam kitab Absyar. Artikel ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Artikel ini menemukan bahwa konsep arah kiblat Ahmad Rifa’i tidak sesuai secara astronomis, arah kiblat Jawa berada di antara barat dan barat laut, sehingga bagian tengahnya adalah arah kiblat, yaitu 22° 30’, yang tidak sesuai dengan perhitungan astronomis jika disesuaikan dengan koordinat tempat. The development of science and technology makes it easier for people to find the direction of Qibla. However, the definition of the direction facing Qibla which varies in fiqh has resulted in people's understanding of determining the direction of Qibla is widely questioned. The concept of facing the Qibla explained by KH Ahmad Rifai in the book of Absyar requires the person performing the prayer to face 'ain al-ka'bah. This article discusses the concept of Qibla direction according to KH Ahmad Rifa'i in the book of Absyar. This article uses a descriptive-qualitative method. This article finds that Ahmad Rifa'i's concept of Qibla direction is not astronomically appropriate, Java's Qibla direction is between west and northwest, so the middle part is Qibla direction, which is 22° 30', which does not match astronomical calculations when adjusted to the coordinates of the place.
Keberagaman Kriteria Hisab Rukyat ORMAS di Indonesia Adji, Bayu Krisna
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 1 No. 2 (2020): Juli
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v1i2.1610

Abstract

Artikel ini membahas keberagaman kriteria hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan Qomariyah oleh berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan LDII. Perbedaan metode dan interpretasi terhadap ayat dan hadis tentang hilal menjadi penyebab utama terjadinya polemik penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Meskipun terdapat perbedaan, pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan sebagai otoritas tunggal yang mengeluarkan fatwa dan menyatukan berbagai kriteria melalui pendekatan Imkan Rukyat. Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 dijadikan acuan nasional dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan menggabungkan pendekatan hisab dan rukyat. Artikel ini menekankan pentingnya koordinasi antara ormas dan pemerintah demi mewujudkan kalender Islam nasional yang seragam di Indonesia.Kata kunci: Hisab, Rukyat, Hilal, Ormas. Abstract: This article discusses the diversity of criteria for hisab and rukyat in determining the beginning of the month of Qomariyah by various Islamic community organizations (CSOs) in Indonesia, such as Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, and LDII. Differences in methods and interpretations of verses and hadiths about the new moon are the main cause of the polemic over the determination of the beginning of the months of Ramadan, Shawwal, and Dzulhijjah. Despite the differences, the government through the Indonesian Ulema Council (MUI) plays the role of the sole authority that issues fatwas and unifies various criteria through the Imkan Rukyat approach. MUI Fatwa No. 2 of 2004 was used as a national reference in determining the beginning of the month of Qomariyah by combining the approach of hisab and rukyat. This article emphasizes the importance of coordination between CSOs and the government in order to realize a uniform national Islamic calendar in Indonesia.Keywords: Hisab, Rukyat, Hilal, CSOs.
Fiqh Mawaqit Hilal Nahdlatul Ulama Indayati, Wiwik
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 1 No. 2 (2020): Juli
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v1i2.1707

Abstract

Hilal merupakan fenomena bulan sabit yang nampak dari permukaan Bumi setelah ijtimak. Munculnya hilal adalah hal yang pasti terjadi setelah adanya peristiwa ijtimak Matahari dan Bulan dalam satu garis bujur astronomis yang sama setiap akhir bulan menjelang awal bulan. Hal ini memunculkan beberapa perspektif di kalangan para ahli, apakah hilal sudah tampak dan bisa dilihat atau belum. Tak jarang timbul kontroversi antara satu sama lain karena belum menemukan kesepakatan dalam hal penafsiran hilal. Dua organisasi Islam di Indonesia yang tidak luput dari adanya perbedaan pendapat mengenai hal ini adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang keduanya memiliki penafsiran masing-masing mengenai penetapan hilal dengan cara menggunakannya.Kata kunci: fiqh, NU, hilal, rukyat. Abstract: Hilal is the visible crescent phenomenon that appears from the Earth's surface after the ijtima. The appearance of the hilal is inevitable after the ijtima event of the Sun and Moon in one astronomical longitude at each end of the month toward the beginning of the month. This raises some perspectives among experts, whether the hilal is visible and can be seen or not. It is not uncommon controversy for each other because they have not found agreement in the interpretation of the hilal. Two Islamic organizations in Indonesia that are not escape from differences of opinion on this matter are Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah, both of which have their own interpretations regarding the determination of the hilal by how to use it.Keywords: fiqh, NU, hilal, rukyat.  
Etno-Astronomi pada Candi Pari dan Candi Dermo di Sidoarjo Putra, Ade; Aprilia, Afiyata Vita; Aurellia, Inez; Fahmi, Muchammad; Rohman, Muhammad Atho'ur; Firdiniah, Nur Eka Putri; Dewi, Putri Sita
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 4 No. 1 (2023): Januari
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v4i1.2163

Abstract

Etno-astronomi merupakan suatu ilmu cabang dari antropologi budaya yang mencari bukti keterkaitan suatu kebudayaan masyarakat terhadap fenomena-fenomena astronomis. Dalam menjalani kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari budaya. Budaya merupakan sebuah cara hidup yang tumbuh dan berkembang oleh sekelompok orang, kemudian diturunkan pada generasi selanjutnya. Salah satu bentuk dari budaya yang berwujud bangunan adalah candi. Candi adalah sebuah bangunan keagamaan dari masa lalu yang terbuat dari batu atau bata, yang berasal dari peninggalan Hindu-Budha. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat suci pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan buddha. Selain itu candi juga berfungsi menjadi tempat pemujaan, tempat penyimpanan, tempat pendharmaan, tempat pertapaan, tempat petirtaan, dan gapura. Ada dua contoh candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terdapat di Kabupaten Sidoarjo yang jadi objek pada penelitian ini yaitu Candi Pari dan Candi Dermo. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah kebudayaan masyarakat Sidoarjo yang berupa candi tersebut ternyata memiliki nilai-nilai astronomi di dalamnya. Salah satunya adalah arah hadap kedua candi tersebut memiliki kemungkinan yang sangat besar diorientasikan pada matahari pada saat pembuatannya, hal itu dikarenakan nilai azimut candi dan deklinasi candi mendekati nilai azimut dan deklinasi matahari pada waktu equinox.
Persepsi Santriwati Pondok Pesantren Al Jihad Surabaya terhadap Arah Kiblat Sholikah, Nurus; Muna, Putri Nailul; Arifin, Rochmalia Faizah; Solikin, Agus
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 2 No. 1 (2021): Januari
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v2i1.2207

Abstract

Abstrak: Salat merupakan ibadah penting bagi seluruh umat Islam di dunia. Agar dihukumi sah, salat memiliki beberapa syarat sah yang harus dipenuhi, salah satunya adalah menghadap kiblat. Sebagai topik utama dalam penulisan ini, arah kiblat sering kali dibingungkan oleh masyarakat Islam di Indonesia, baik dalam pengimplementasiannya pada tempat salat maupun pemahaman tiap individu terkait arah kiblat itu sendiri. Jika dalam pandangan ulama fiqih 4 mazhab terdapat 2 bagian tentang arah kiblat, yakni bagi orang yang dapat melihat Ka’bah langsung dan sebaliknya, sehingga memunculkan istilah ‘ainul Ka’bah dan jihatul Ka’bah. Begitu pula dengan adanya fatwa terbaru yang dikeluarkan MUI terkait arah kiblat, yang menunjukkan bahwa kiblat umat Islam Indonesia adalah mengarah ke Barat Laut, bukan Barat saja. Santriwati Ponpes Al Jihad Surabaya yang yang peneliti kumpulkan menjadi responden tentu memiliki persepsi yang berbeda antar satu dengan lainyya dalam beribadah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan wawancara mendalam yang hasilnya nanti sebagai data primer dan diikuti studi kepustakaan sebagai data sekunder. Sehingga, diperoleh hasil bahwa adanya perbedaan pandangan tentang arah kiblat dapat disebabkan oleh perbedaan latar belakang seseorang dalam menuntut ilmu sebelumnya, yakni baik yang belum pernah mondok maupun sudah pernah mondok.Kata kunci: persepsi, santriwati, arah kiblat Abstract: Prayer is an important worship for all Muslims in the world. In order to be considered valid, a prayer has several legal requirements that must be met, one of which is facing the Qibla. As the main topic in this paper, the direction of the Qibla is often confused by the Islamic community in Indonesia, both in its implementation at prayer places and in each individual's understanding of the direction of the Qibla itself. If in the view of the scholars of fiqh, 4 schools there are 2 parts regarding the direction of the Qibla, namely for people who can see the Kaaba directly and vice versa, thus giving rise to the terms 'ainul Ka'bah and jihatul Ka'bah. Likewise, with the latest fatwa issued by the MUI regarding the direction of the Qibla, which shows that the Qibla of Indonesian Muslims is directed to the Northwest, not only to the West. The Santriwati Islamic Boarding School of Al Jihad Surabaya, which the researchers collected as respondents, of course, have different perceptions of one another in worship. This study uses a qualitative method with an in-depth interview approach, whose results will be used as primary data, followed by a literature study as secondary data. So, the result is that there are differences in views about the direction of the Qibla, which can be caused by differences in someone's background in studying before, namely, those who have never attended school or have attended school.Keywords: Perception, female students, Qibla direction.  
Tinggi Matahari Awal Waktu Subuh Perspektif Maqasid Al-Shari'ah Qulub, Siti Tatmainul; Sanuri, Sanuri
Azimuth: Journal of Islamic Astronomy Vol. 3 No. 1 (2022): Januari
Publisher : Program Studi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/azimuth.v3i1.2352

Abstract

Artikel ini mengkaji pemikiran Tono Saksono tentang tinggi matahari awal waktu Subuh menggunakan perspektif maqasid al-shari'ah, terutama dari segi daruriyyah al-khams, yaitu hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), dan hifz al-‘aql (menjaga akal). Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang memadukan metode deskriptif-analitis dan metode astronomi. Data dikumpulkan melalui studi literatur terhadap literatur klasik dan kontemporer terkait penentuan waktu shalat Subuh dan maqāṣid al-sharī’ah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dari perspektif hifz al-din, Tono Saksono berupaya menjaga agama dengan memastikan pelaksanaan shalat Subuh di waktu yang tepat, sebagaimana diatur dalam al-Qur’an dan hadis. Namun, dari perspektif hifz al-nafs, waktu yang diusulkan oleh Tono Saksono menimbulkan kesulitan praktis bagi umat Islam di Indonesia, karena durasi waktu Subuh yang terlalu pendek. Adapun dari perspektif hifz al-‘aql, meskipun keberanian Tono Saksono untuk berbeda pendapat perlu diapresiasi, penting untuk menekankan bahwa setiap ijtihad dan pendapat harus didasarkan pada metodologi yang benar dan akurasi yang tepat. Penggunaan teknologi canggih dalam pengamatan astronomi harus didukung oleh metode yang benar dan analisis yang akurat agar hasilnya dapat diandalkan. Dengan demikian, usaha Tono Saksono dalam menjaga akal harus mencerminkan komitmen terhadap metodologi ilmiah yang tepat guna memastikan bahwa interpretasi hukum yang dihasilkan benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.