cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
Jurnal Mahupiki
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 368 Documents
KESALAHAN PROSEDUR PEMAKAIAN SENJATA API YANG MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG OLEH APARAT POLRI ( Studi Kasus No. 2.090/Pid.B/2011/PN Medan) Togi Sihite; Syafruddin Kalo; Abul Khair
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (86.459 KB)

Abstract

ABSTRAK Bentuk kejahatan terhadap keamanan dan keselamatan Negara dewasa ini semakin bervariasi hal ini dilihat dari perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, mengakibatkan adanya perubahan tuntutan pelayanan terhadap masyarakat di segala bidang, beberapa tahun terakhir ini terkesan dan begitu banyak aparat kepolisian yang menyalahgunakan pemakaian senjata api hal ini telah dibuktikan dengan beberapa kasus yang ada di media cetak maupun media elektronik. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam jurnal ini penulis mencoba mengemukakan permasalahan bagaimana prosedur kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi aparat Polri, apa peranan Polri dalam penyelidikan tindak pidana enjata api dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pemakaian senjata api yang tidak sesuai prosedur. Jurnal ini merupakan penelitian yuridis normative yakni penelitian yang dilakukan dengan menginventisir hukum positif yang berkaitan dengan bidang permasalahan, penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan literatur yang berkaitan. Hasil yang diperoleh dari pengkajian ini adalah bahwa prosedur kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi aparat Polri yaitu senjata sebagai alat yang digunakan untuk berkelahi dan berperang dan menggunakan mesiu yang berfungsi sebagai alat untuk melaksanakan tugas pokok pengamanan bagi TNI dan Polri serta bagi kalangan sipil. Dasar hukum penggunaan senjata api bagi anggota Polri diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009. Peran Polri dalam penyelidikan tindak pidana senjata api meliputi, prosedur izin kepemilikan senjata api, jenis-jenis senjata api yang boleh dimiliki aparat Polri dan akibat dari kesalahan prosedur pemakaian senjata api. Pertanggungjawaban pidana terhadap kesalahan prosedur penggunaan senjata api meliputi tindakan disiplin yang berupa teguran lisan atau teguran fisik dan hukuman disiplin. Adapun saran bahwa setiap anggota Polri yang mempunyai senjata harus benar-benar dipersiapkan dengan baik khususnya dalam hal latihan serta hukuman anggota Polri diperberat.
PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI KABUPATEN FAK-FAK) Rozhi Ananda Sitepu; Syafruddin Kalo; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (81.763 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Rozhi Ananda Sitepu   Korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara dan masyarakat sehingga dapat menghambat jalannya pembangunan nasional, oleh karena itu segala macam perbuatan yang sifatnya merugikan keuangan negara perlu dikikis habis diantaranya adalah dengan cara memaksimalkan daya kerja dan daya paksa dari peraturan perundang-undangan yang ada baik melalui penegakan hukum pidana maupun melalui penegakan hukum perdata. Permasalahan dari skripsi ini adalah bagaimana Peranan kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam segi umum. Dan bagaimana pelaksanaan dan hambatan-hambatan yang dihadapi pihak kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti pada perkara tindak Pidana Korupsi didaerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian dengan cara pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengembalian uang pengganti tersebut dapat dilihat dari UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU. No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan hasil penelitian maka di kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak dalam pelaksanaannya menggunakan sistem yang sama dengan yang tertulis dalam UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengenai hambatan yang dihadapi pihak kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak yaitu terdakwa pernah melarikan diri sewaktu pihak penyidik akan melakukan penyidikan dan terpidana tidak dapat membayarkan uang pengganti sehingga terpidana hanya dikenakan hukuman pengganti berupa hukuman penjara tambahan selama 6 (enam) bulan, sehingga uang pengganti tidak dapat dikembalikan ke negara.  
PERKEMBANGAN HUKUM MENGENAI PEMBERANTASAN JUDI TOTO GELAP ( TOGEL ) DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI Asrul Azis; Edi Warman; Nurmala Waty
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.515 KB)

Abstract

ABSTRAKSI   Oleh : Asrul Azis   Di Indonesia, banyak jenis perjudian yang telah dikenal masyarakat. Mulai perjudian tingkat atas seperti kasino hingga judi kartu. Namun yang paling marak di Indonesia dan yang paling dikenal adalah Togel atau totogelap. Togel mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 2000an. Jenis perjudian ini sangat diminati oleh semua kalangan, tua muda, anak - anak dewasa, karena perjudian ini relatif murah. Hanya bermodal uang seribu rupiah apabila nomor yang mereka beli telah keluar maka akan mendapatkan uang ratusan ribu atau bahkan jutaan. Judi togel atau Judi toto gelap dalam permainnya diadakan setiap hari Senin, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu mulai dari pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB dan pengundiannya dilakukan setiap hari penjualan kupon judi toto gelap yaitu pada pukul 18.00 WIB, dimana harga kupon judi togel tersebut paling rendah sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Menurut dari hasil penelitian, masyarakat yang banyak menggemari permainan togel adalah masyarakat dari golongan bawah. Mereka awalnya hanya ingin coba-coba, menambah uang saku bahkan untuk mata pencarian. Ini disebabkan karena tingkat pendidik yang rendah, pekerjaan yang tak menetap (semberautan) makanya banyak masyarakat yang menggemari togel. Berdasarkan data diatas atas dapat disimpulkan Toto gelap (togel) adalah jenis perjudian yang amat digemari oleh masyarakat  pada saat ini. Masalah yang dibahas mengenai togel ini adalah bagaimana pengaturan hukum tentang tindak Pidana togel serta pemberantasannya?, bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi tindak pidana terjadinya togel dalam masyarakat?, dan bagaimana kebijakan hukum Pidana dalam pemberantasan togel?. Perjudian ini belum ada diatur secara khusus dalam hukum, namun pemain togel dapat dikenakan hukum pidana sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI James Antro; Liza Erwina; Abul Khair
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.14 KB)

Abstract

ABSTRAKSI James Antro Yosua Panjaitan* Liza Erwina** Abul Khair***   The criminal Justice system in Indonesia stressed the importance of witness as primary factor to reveal criminal offence. But  the appreciation of witness role was still too little. This can be seen in KUHAP was still not protecting the existence of a comprehensive witness. However with the born of Law No. 13 of 2006 about Protecting of Witness and Victims may be an alternative legal system in Indonesia which specifically regulate about protecting of witness. * Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing I. *** Dosen Pembimbing II.    
IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.Sel) christian damero; Syafruddin Kalo; Abul Khair
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.Sel) Christian Damero Sitompul*   ABSTRAK   Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat apapun. Tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh anggota militer (TNI) bersama-sama dengan sipil, yang secara yuridis formal harus diadili dalam peradilan koneksitas. Perkara koneksitas baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus (korupsi). Dasar hukum peradilan koneksitas diatur dalam Pasal 89 KUHAP, Pasal 198 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan  Kehakiman. Dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan  Kehakiman ini diperlukan suatu peraturan pelaksanaan mengenai Pasal 16 tersebut, agar ada keseragaman ketentuan Pasal-Pasal mengenai peradilan koneksitas. Perkara Penyalahgunaan Dana Tabungan Wajib Perumahan   Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat sebagian telah dilaksanakan sesuai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dalam rangka penegakan   hukum khususnya yaitu telah diatur cara penentuan pengadilan yang mengadilinya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui prosedur penelitian bersama antara Jaksa dan Oditur Militer Jenderal atas hasil penyidikan perkaranya (Pasal 90 KUHAP). Begitu juga pembentukan majelis hakim yang terdiri dari 3 orang yang
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ( Studi Kasus Putusan Reg. No. 1. 101 / Pid.B / 2011 / PN. Mdn ) Juli murniaty; Madiasa ablisar; Nurmala waty
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.977 KB)

Abstract

ABSTRAKSI   Tindak pidana narkotika adalah tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada dasarnya narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan terhadap penggunaan narkotika saat ini semakin meningkat karena tidak lagi hanya dipergunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan saja, namun justru narkotika pada saat ini disalahgunakan oleh berbagai kalangan bahkan disalahgunakan oleh kalangan anak-anak. Anak yang terlibat dalam kasus pidana dengan melakukan tindak pidana narkotika dapat dihukum apabila terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan yang di atur dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Maka timbul permasalahan berhubungan dengan penerapan sanksi pidana  terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meliputi ketentuan pidana yang dapat diterapkan, penerapan sanksi pidana dalam kasus pidana anak yang melakukan tindak pidana narkotika, dan tujuan pemidanaan dengan penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika. Untuk itu dilakukan suatu penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan mempelajari buku-buku teks serta mempelajari perundang-undangan. Ketentuan pidana sebagai landasan penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika berdasarkan pada Pasal 127 dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, juga mempertimbangkan kekhususan Undang-undang Pengadilan anak yang mengatur berat ringannya sanksi pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang dalam hal ini anak yang melakukan tindak pidana narkotika  yang diterapkan berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara tersebut memenuhi tujuan pemidanaan jika dapat dijamin kepentingan terbaik bagi anak.
PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM KASUS PELANGGARAN LALU LINTAS DI MEDAN (STUDI PELANGGARAN LALU LINTAS DI MEDAN) Ferdian Ade Cecar Tarigan; Suwarto Suwarto; Marlina Marlina
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.952 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Prof. Dr. Suwarto, S.H.,M.H.* Dr. Marlina, SH.,M.Hum.* * Ferdian Ade Cecar Tarigan * * *   Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya. Transpotasi harus digunakan sesuai dengan peruntukannya dan pengoperasiannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan, namun dalam kenyataannya masih sering ditemui masyarakat yang menggunakan transportasi tidak berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang ini menjadi dasar penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai penerapan denda terhadap setiap pelanggar lalu lintas secara jelas telah diatur dalam undang-undang tersebut. Permasalahan yang diambil dari penulisan skripsi ini adalah bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu lintas, bagaimana penerapan pidana denda dalam pelanggaran pidana lalu lintas di Medan serta bagaimana analisa putusan tilang di Medan terhadap penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas. Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif guna memperleh data primer dan data sekunder yang dimana data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Selain metode yuridis normatif sebagai data penunjang juga dilakukan wawancara dengan informan dari Pengadilan Negeri Medan, Kejaksaan Negeri Medan, Kepolisian Resort Kota Medan dan beberapa pelanggar lalu lintas.  iBerdasarkan hasil penelitian, penerapan pidana denda terhadap pelanggaran lalu lintas diatur dalam ketentuan pidana Pasal 273 sampai Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Pengadilan Negeri Medan telah menetapkan besarnya denda tilang yang harus dibayar pelanggar yang melanggar ketentuan sesuai dengan koordinasi antara Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian yang membuat suatu tabel tilang. Besarnya denda tilang tersebut didasarkan oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Kota Medan. Penerapan denda tilang ternyata belum efektif untuk mencegah dan mengendalikan pelanggaran lalu lintas, hal ini ditunjukkan dari angka pelanggaran lalu lintas di Kota Medan yang masih tinggi. Kurang efektifnya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan undang-undang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah denda tilang yang ada di Kota Medan masih dalam kategori rendah. Hal ini yang menyebabkan tidak adanya efek jera, akan tetapi efektifitas dari penerapan sanksi denda terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas bukan melihat besarnya denda yang dijatuhi kepada si pelanggar akan tetapi perlu adanya suatu kebijakan yang menyeluruh baik dalam bidang legislatif, yudikatif dan ekseku * Dosen Pembimbing I * * Dosen Pembimbing II * * * Mahasiswa Fakultas Hukum USU
TINJAUAN HAM TERHADAP PENUNDAAN EKSEKUSI HUKUMAN MATI Eka Supandi Lingga; Muhammad Hamdan; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.045 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Konsep hukuman pidana mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya, penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam upaya menganalisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa bukan hanya persoalan pidana matinya, namun “raison de etre” dari pidana mati, ialah tenggang waktu yang acap kali begitu lama dan seperti tidak jelas apakah akan dilaksanakan pidana mati dalam jangka waktu bertahun-tahun, apalagi sampai melebihi sepuluh atau dua puluh tahun, jelas merupakan pertanggungjawaban dari pihak yang berkuasa. Apapun alasan dan motivasi dari pertanggungjawaban itu, tidak dapat dibenarkan secara moral dan etis. Dalam Pasal 340 KUHP, mengatur tentang barangsiapa dengan sengaja direncanakan dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Pidana mati yang tercantum dalam pasal 10 KUHP yang berlaku sekarang adalah warisan dari pemerintahan kolonial belanda, dimana hukum pidana peninggalan kaum penjajah tersebut aslinya masih dalam bahasa belanda yaitu “Wetboek van Strafrechit” (WvS) yang dinyatakan berlaku di Indonesia oleh pemerintah hindia belanda pada tanggal 1 januari 1918 berdasarkan Staadblad 1915 No.735 dan setelah Indonesia merdeka dengan kekuatan aturan peralihan Undang-undang dasar 1945 dinyatakan masih tetap berlaku.. kemudian dengan kekuatan Undang-undang no.1 tahun 1946 jo, undang-undang No.73 tahun 1958 istilah WvS disebut dengan kitab undang-undang hukum pidana dan dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah republik Indonesia sampai sekarang ini meskipun dengan beberapa perubahan. namun beberapa perubahan tersebut memiliki permasalahan-permasalahan yaitu perkembangan hokum eksekusi pidana mati di indonesia  dan ada penundaan ekeskusi hukumam pidana mati yang tidak jelas arah tujuan untuk menjalankan hukuman tersenut tanpa memandang sudut padang HAM . Mengenai pidana mati jika dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) memang menjadi masalah yang besar bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi para penegak hukum. Di satu pihak mereka harus menegakkan keadilan dan dipihak lain dianggap merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga menghambat penegakkan HAM di Indonesia. Dianggap menghambat penegakkan HAM dan merupakan pelanggaran HAM harus dilihat dahulu sejauh mana konteks kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan, apakah dapat ditolerir atau tidak. Faktor-faktor dalam penundaan eksekusi pidana mati di Indonesia dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu terdapat dalam upaya hukum biasa (pemeriksaan tingkat banding dan upaya hukum kasasi), upaya hukum luar biasa (pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap), dan permohonan grasi.
TINDAK PIDANA PENGOPERASIAN KAPAL PENANGKAP IKAN BERBENDERA INDONESIA DI WILAYAH TERITORIAL INDONESIA TANPA DISERTAI SURAT PERSETUJUAN BERLAYAR Donris Sihaloho; Liza Erwina; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.1 KB)

Abstract

Dewasa ini, tindak pidana di bidang perikanan begitu jamak terjadi di negara kita. Masalah yang sering kita dengar tentu saja masalah ilegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing dari negara tetangga. Lemahnya pengawasan serta koordinasi antar instansi menjadi salah satu faktor penunjang terjadinya hal demikian. Selain tindak pidana ilegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, pelanggaran-pelanggaran juga sering dilakukan oleh nelayan lokal atau kapal berbendera Indonesia. Pelanggaran yang marak terjadi adalah masalah perizinan di bidang perikanan tangkap. Salah satunya adalah marak terjadi pengoperasian kapal tanpa disertai Surat Persetujuan Berlayar (port clearance). Topik permasalahan yang dibahas dalam jurnal ilmiah ini adalah, bagaimana pengaturan mengenai pengoperasian kapal penangkap ikan tanpa Surat Persetujuan Berlayar menurut Undang-Undang Perikanan di Indonesia serta bagaimana pertanggungjawaban pidana pengoperasian kapal penangkap ikan tanpa Surat Persetujuan Berlayar. Surat Persetujuan Berlayar diatur dalam pasal 43 ayat (3) Undang-Undang No.45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan. Yang mana pasal tersebut menyebutkan bahwa pengoperasian kapal penangkap ikan wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar. Ketentuan pidananya diatur dalam pasal 98 UU No.45 tahun 2009 dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Pengoperasian kapal penangkap ikan tanpa disertai Surat Persetujuan Berlayar merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang No.45 tahun 2009. Tindak pidana tersebut digolongkan sebagai delik pelanggaran. Salah satu kasus pelanggaran mengenai pengoperasian kapal tanpa Surat Persetujuan Berlayar adalah kasus No.20/Pid.P/2011/PN-Mdn. Yang mana, terdakwa dalam kasus tersebut, Samsuddin Sitorus selaku nakhoda divonis bersalah dan dihukum dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Kasus tersebut berawal ketika kapal yang dinakhodai oleh Samsuddin Sitorus diperiksa oleh kapal patroli pengawas perikanan dari Ditpolair Polda Sumut dan tidak bisa menunjukkan dokumen Surat Persetujuan Berlayar yang sah. Oleh karena itu kapal tersebut ditangkap dan ditarik ke Pelabuhan Belawan untuk pemeriksaan lebih lanjut.   Kata kunci: Surat Persetujuan Berlayar, Tindak Pidana Perikanan, Pengoperasian
TINJAUAN YURIDIS HUKUM ACARA PIDANA DALAM UU NO. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Syarifah Tigris; Syarifuddin Kalo; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (244.902 KB)

Abstract

ABSTRAK   Masalah pencucian uang di Indonesia bukan lagi masalah baru dalam persoalan Hukum dan ekonomi, perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun kualitas Tindak Pidana Pencucian uang yang dilakukan semakin rapi dan sistematis tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, namun juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 dan terahir dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang. Adapun rumusan permasalahannya yang akan di bahas di dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang menurut UU No. 8 Tahun 2010 dan bagaimana hukum acara Tindak Pidana Pencucian Uang dalam hal pembuktian yang diatur dalam UU tersebut. Metode Penelitian yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan Normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum  dan sejarah hukum, dimana pengumpulan data dilakukan Library Research (penelitian Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini. Pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian dapat di bagi dalam tiga bagian, yakni bagian pertama adalah Perbuatan Pidana Pencucian Uang dalam UU No. 8 Tahun 2010, bagian kedua adalah pertanggung jawaban tindak pidana pencucian uang dalam UU No 8 Tahun 2010. Pembuktian terbalik yang dijelaskan pada Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak pidana pencucian uang, mengatur secara rinci mengenai pembuktian terbalik saat masih dalam proses penyidikan atau sudah masuk ke pengadilan. Rangkuman dari semua pembahasan tersebut bahwa diperlukan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Page 2 of 37 | Total Record : 368