cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
Jurnal Mahupiki
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 368 Documents
ANALISA HUKUM MENGENAI EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 003/PUU-IV/2006 Arrahman Arrahman
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.391 KB)

Abstract

ABSTRAKSI *) Arrahman **) Syafruddin Kalo ***) Edi Yunara   Masalah korupsi di Indonesia bukan lagi merupakan masalah baru bahkan masalah korupsi ini telah ada pada masa VOC sampai mengakibat VOC bubar hingga sekarang ini masalah korupsi tetap merupakan hal yang harus diatasi keberadaaannya. Oleh karenanya dibutuhkan hukum untuk mengatasi permasalahan ini, namun dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 telah meniadakan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 kalimat pertama Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menimbulkan ketidakjelasan akan eksistensi sifat melawan  hukum dalam tindak pidana korupsi. Padahal masalah korupsi ini dalam perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun, kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin rapi dan sistematis dengan lingkup yang sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, salah satunya di lingkungan pemerintahan. Dengan demikian semakin susah para penegak hukum dalam mengatasi masalah tindak pidana korupsi ini. Adapun rumusan permasalahannya yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah bagaimana konsep sifat melawan hukum dalam tindak pidana di Indonesia dan bagaimana eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research (penelitian Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku dan internet yang di nilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal dua macam sifat melawan hukum yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Dalam perkembangannya, ternyata pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, Mahkamah Agung RI dalam prakteknya ada yang menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tapi ada pula dalam beberapa putusannya ternyata tetap menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi berdasarkan sumber hukum formil, Doktrin  “Sen-Clair” atau “La doctrine du Sen-Clair” dan Yurisprudensi yang diakui oleh Mahkamah Agung RI.  
ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI DALAM KAITAN TERHADAP TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA Yessi Kurnia Arjani Manik
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (145.504 KB)

Abstract

ABSTRAK Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu lembaga penegak hukum yang berfungsi melakukan tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan dan memberikan perlindungan terhadap seluruh masyarakat. Dalam pelaksanaan hukum pidana dan hukum acara pidana tindakan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian sebagai langkah awal dalam proses penegakan hukum. Permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah adalah Bagaimana fungsi Polri dalam penegakan hukum, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum  serta Bagaimana pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap terjadinya salah tangkap atau error in persona. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif.  Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan  menganalisis putusan pengadilan negeri, dihubungkan dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan mewawancarai instansi pemerintah terkait yang dapat membantu memecahkan permasalahan dalam skripsi ini. Penyidik sebagai salah satu aparat penegak hukum diberikan tugas dan kewenangan untuk menegakkan hukum, oleh karenanya tugas dan wewenang yang dilaksanakan harus sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga penegak hukum, namun penyidik dalam melaksanakan tugas dan wewenang terkadang terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti penyalahgunaan wewenang maupun kelalaian, seperti dalam hal proses penyidikan, dapat mengakibatkan terjadinya salah tangkap oleh penyidik. Penyimpangan yang terjadi dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya moralitas yang kurang serta pengetahuan penyidik dalam menegakkan hukum.    
ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642/Pid.B/2009/PN.Medan Daniel Andreo
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (90.109 KB)

Abstract

ABSTRAK Perdagangan orang adalah  bentuk  modern  dari  perbudakan  manusia. Perdagangan  orang juga merupakan  salah  satu  bentuk  perlakuan  terburuk  dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Makanya tindak pidana perdagangan di Indonesia  telah  menjadi perhatian  khusus  bagi  aparat  penegak  hukum.  Hal  ini disebabkan perdagangan orang di Indonesia dilakukan dengan terorganisasi oleh pelakunya sehingga menyulitkan  aparat  penegak  hukum  untuk  mengungkap tindak pidana perdagangan orang ini. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan tentang  tindak  pidana perdagangan  orang dalam  peraturan  perundang-udangan. Peraturan tentang perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007  tentang Pemberantasan  Tindak  Pidana Perdagangan  Orang,  dan  dijadikan sebagai  alat  untuk  menganalisis Putusan  Pengadilan  Negeri  Medan Nomor 1642/Pid.B/2009 PN.Mdn. Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Undang- Undang No.  21  Tahun  2007  merupakan peraturan  khusus  (Lex specialis)  dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perdagangan orang adalah salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan Orang adalah  tindakan perekrutan,  pengangkutan,  penampungan,  pengiriman, pemindahan, dan penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,  penculikan, penyekapan,  pemalsuan,  penipuan, penyalahgunaan kekerasan,  atau  posisi  rentan,  penjeratan  utang atau  memberi  bayaran  atau manfaat,  sehingga memperoleh  persetujuan  dari orang yang memegang  kendali atas  orang lain  tersebut, baik  yang dilakukan  di dalam  negara maupun  di  luar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA POLISI TERHADAP TEMBAK DI TEMPAT PADA PELAKU KEJAHATAN TERORISME Tommy Elvani Siregar
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (189.354 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Tommy Elvani Siregar * Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S ** Alwan, SH, M.Hum *** Skripsi ini berbicara mengenai pertanggungjawaban polisi pidana terhadap pelaku terorisme yang ditembak mati dimana pada saat ini sering terjadi suatu proses penangkapan yang tidak memandang kepada hak asasi manusia (HAM) mengenai hak untuk hidup yang diatur oleh UUD 1945 oleh pihak kepolisian serta melakukan penembakan mati terhadap orang yang diduga terkait terorisme tanpa menjalani suatu proses peradilan yang menentukan salah tidaknya seseorang. Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana aturan mengenai tembak mati di tempat oleh pihak kepolisian dan bagaimana pertanggungjawaban anggota kepolisian yang melakukan tembak mati di tempat pada pelaku kejahatan terorisme dapat diminta pertanggungjawabnnya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif.Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan melihat kasus-kasus penembakan mati orang yang diduga terorisme oleh polisi.Kemudian pendekatan secara kualitatif dilakukan dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan.Tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui mengenai aturan tembak mati di tempat serta mengetahui sejauh mana polisi dapat diminta pertanggungjawabannya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Mengenai aturan tembak mati di tempat oleh polisi pada pelaku kejahatan terorisme diatur dalam KUHP dan KUHAP, dalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisan serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Mengenai pertanggungjawaban pidana polisi, tidak dapat diminta pertanggungjawabnnya karena dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur sehingga ada alasan pembenar dan dapat diminta pertanggungjawabannya apabila dalam melakukan tugasnya tidak sesuai dengan prosedur. Sehingga kesimpulannya bahwa polisi mempunyai aturan dalam melakukan tembak mati di tempat sesuai peraturan perundang-undangan dan dapat diminta pertanggungjawabanya apabila menjalankan tugasnya tidak sesuai prosedur dan perlunya masyarakat dan polisi mengetahui mengenai prosedur yang jelas dalam melakukan tembak di tempat serta dapatnya polisi diminta pertanggungjawabannya.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA MELALUI JEJARING SOSIAL DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK M.Andri Fauzan Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (107.078 KB)

Abstract

ABSTRAK     Jejaring sosial baru-baru ini diramaikan dengan adanya pengguna akun jejaring sosial nakal yang mempostingkan penistaan terhadap agama. Alasan pemostingan itu terbilang sederhana, yakni kebebasan menyatakan pendapat, terlebih lagi medianya adalah akun pribadi di jejaring sosial. Postingan itu akhirnya memancing amarah dari pemeluk agama yang dinistakan, dan menistakan kembali agama yang dianut si pemostingnya. Pada akhirnya, keadaannya justru semakin meluas dan berimbas ke dunia nyata. Sebagai contoh, perang antar agama misalnya. permasalahan yang timbul dari hal diatas bagaimana pengaturan penistaan agama melalui jejaring sosial, bagaimana pertanggungjawaban pelaku penistaan agama melalui jejaring sosial, dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penistaan agama di jejaring sosial. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode normatif dengan menggunakan data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum yang telah ada dan yang berhubungan dengan judul skripsi ini yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku pendapat para sarjana, hasil penelitian, dan kasus-kasus hukum yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. Bahwa penistaan agama melalui media jejaring sosial telah diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahwa menurut undang-undang tersebut, penistaan agama dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila telah memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni barang siapa yang telah memberikan informasi yang menimbulkan rasa benci dan permusuhan terhadap Suku, Agama, Ras, Antar golongan (SARA).Meskipun terdapat hambatan dalam menanggulangi penistaan agama melalui jejaring sosial, tetap ada upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulanginya. Pemerintah baik dengan sarana penal, seperti membuat peraturan perundang-undangan yang baru, maupun memperluas pengaturan cybercrime dalam RUU KUHP, dan non penal,seperti pendekatan budaya dan berkerja sama dengan Internet Service Provider (ISP), dan masyarakat sekalipun bertanggungjawab dalam menanggulangi masalah ini dan mengupayakan agar kasus penistaan agama ini tak terulang kembali.
KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT IZIN MENGEMUDI (STUDY PUTUSAN NOMOR 600/Pid.B/2009/PN.MDN) Putra Jaya H Manalu; Madiasa Ablisar; Rafiqoh lubis
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.005 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Putra Jaya H. Manalu* Madiasa Ablisar** Rafiqoh Lubis*** Skripsi ini berbicara tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang melihatnya dalam hukum positif di Indonesia, dimana kita tahu bahwa kendaraan bermotor seperti sepeda motor telah menjelma menjadi suatu kebutuhan yang harus dimiliki oleh setiap orang demi menunjang kegiatannya sehari-hari dalam beraktifitas, yang apabila terjadi pemalsuan SIM khususnya pada SIM C yakni SIM untuk jenis kendaraan sepeda motor, kita dapat mengetahuinya pengaturan hukumnya. Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang: -   Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM? -   Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.MDN? Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan pengadilan negeri Medan yang memutus terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Menyuruh Membuat Surat Palsu dan Mempergunakannya dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Bahwa berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam terjadinya pemalsuan SIM, pengaturan hukum atas tindak pidana pemalsuan tersebut masih memakai KUHP sebagai pengaturan umum dalam Bab XII tentang memalsukan surat-surat, dengan tidak adanya pengaturan secara khusus mengenai tindak pidana pemalsuan SIM. Dan di dalam analisis putusan pengadilan negeri Medan tersebut dinilai terlalu kecil mengingat dengan terbukti dilakukannya tindak pidana pemalsuan surat maka telah menciderai kebenaran akan kepercayaan seseorang tentang keabsahan suatu surat yang nantinya akan memiliki dampak luas seperti ketidakpastian hukum dalam proses tata cara pengeluaran SIM oleh pihak yang berwenang sebagaimana mestinya yang dimana seseorang akan dengan mudah memesan tanpa harus mengikuti uji kesehatan, uji teori maupun uji praktek, lalu menggunakan SIM C palsu di dalam berkendara kendaraan bermotor guna kegiatan sehari-hari.
EKSISTENSI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP PADA PERADILAN PIDANA Anistia Ratenia P Siregar
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.949 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Anistia Ratenia Putri Siregar * Ediwarman** Abul Khair***   Tindak Pidana Ringan merupakan kasus yang tidak asing lagi kita dengar dan sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik di kota maupun desa, baik juga dari kalangan menengah kebawah maupun dari kalangan menengah keatas. Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang di proses di pengadilan menjadi perhatian dan memunculkan tanggapan miring masyarakat atas sistem peradilan Indonesia yang kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena perbuatan yang seharusnya dijatuhkan pidana ringan, namun diberlakukan pidana biasa. Selain itu juga jumlah pidana denda dalam KUHP sangat ringan dan tidak sesuai dengan keadaan masyarakat sekarang, sehingga pidana denda sebagai ancaman hukuman alternatif tidak efektif. Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa permasalahan yaitu bagaimana aturan hukum mengenai penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan Jumlah Denda, penyebab lahirnya PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, dan bagaimana upaya yang dilakukan dalam penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan Jumlah Denda dalam peradilan pidana. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, yaitu merubah batasan dalam perkara-perkara tindak pidana ringan sebagaimana tercantum dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP yang semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan jumlah pidana denda yang dilipat gandakan menjadi 1000 (seribu) kali, kecuali terhadap Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 303 bis ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Upaya penerapan Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah denda sudah disosialisasikan ke beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia, dan lembaga-lembaga hukum terkait, yang pada akhirnya sudah diterapkan dalam mengadili dan memutus perkara-perkara sebagaimana yang diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG - UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Erikson Sibarani
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.005 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Erikson P Sibarani * Dr. Madiasa Ablisar S.H., M.S.** Dr. Marlina S.H.,M.Hum.*** Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Dewasa ini kejahatan yang dilakukan oleh anak mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).  Oleh karena itu banyak anak yang akhirnya harus memasuki proses peradilan pidana untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukannya. Anak pelaku tindak pidana yang memasuki sistem peradilan pidana anak harus diperlakukan secara khusus mengingat sifat anak yang belum mampu untuk dimintai pertanggungjawaban sehingga perlu adanya perlindungan hukum istimewa terhadap setiap anak yang mengalami pemeriksaan di peradilan pidana anak. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah peraturan yang secara khusus mengatur hukum acara peradilan anak di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara dalam melindungi hak-hak anak.    Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta apakah yang menjadi kelemahan dari Undang-undang ini dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam memberikan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak mulai dari tahap penyidikan hingga tahap pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan tetap menjamin hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum. Penjatuhan hukuman terhadap anak hanya merupakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), apabila tidak ada kesepakatan terhadap diversi yang diupayakan. Undang-undang ini merupakan suatu kemajuan dalam pembaharuan hukum terhadap anak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang ini masih banyak memiliki titik kelemahan dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN DAN KEDUDUKAN INTERNET PROTOKOL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) Ivan Giovani sembiring; Abul Khair; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (61.672 KB)

Abstract

IVAN GIOVANI SEMBIRING Abstrak Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi internet adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cyber crime (kejahatan mayantara). Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan alat bukti informasi elektronik berupa internet protocol dalam tindak pidana kejahatan mayantara berdasarkan UU No. 11/2008. Rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana pengaturan mengenai penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik sebagai bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan bagaimana kedudukan Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime). Pendekatan yang digunakan adalah konseptual. Materi penelitian diambil dari data primer data primer dan data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian. Kedudukan Internet Protokol sebagai alat bukti dalam kejahatan mayantara (cyber crime) adalah sebagai petunjuk dalam mencari kebenaran materiil dalam kasus kejahatan mayantara (cyber crime). Petunjuk diperoleh berdasarkan keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Implikasi yuridisnya adalah dengan digunakannya Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara atau cyber crime, maka setiap orang yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dikenakan pemidanaan.
PERANAN AJARAN KAUSALITAS DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1429 K/PID/2010 A.N Terdakwa Antasari Azhar) Mario Tondi Natio; Madiasa Ablisar; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.818 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Mario Tondi Natio * Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. ** Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum *** Skripsi ini berbicara tentang peranan ajaran kausalitas dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan khususnya pembunuhan berencana yang terjadi pada kasus Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar. Permasalahan dari penulisan skripsi ini yaitu terletak pada bagaimana kedudukan kausalitas dalam hukum pidana di Indonesia dan bagaimana penerapan ajaran kausalitas dalam kasus pembunuhan yang meninjau Putusan Mahkamah Agung No. 1429 K/PID/2010 A.N Terdakwa Antasari Azhar. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif.  Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Ajaran kausalitas merupakan hubungan sebab akibat yang diterapkan pada suatu peristiwa untuk menentukan faktor-faktor penyebab utama yang mengakibatkan timbulnya akibat tertentu. Dikenal tiga macam ajaran kausalitas yaitu Teori Conditio Sine qua non, Teori Individualisasi, dan Teori Generalisir. Permasalahan utama yang dibahas adalah ajaran kausalitas ini yang mempermasalahkan hingga seberapa jauh sesuatu tindakan itu dapat dikategorikan sebagai faktor penyebab dari suatu peristiwa atau hingga berapa jauh suatu peristiwa itu dapat dipandang sebagai suatu akibat dari suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan tindakan tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Oleh karena itu pembuktian tindak pidana pembunuhan diperlukan persesuaian alat bukti dan hubungan kausalitas sebagai acuan untuk hakim dalam keyakinannya untuk mengambil keputusan yang seadil-adilnya.

Page 4 of 37 | Total Record : 368