cover
Contact Name
Dian Aries Mujiburohman
Contact Email
esamujiburohman@stpn.ac.id
Phone
+62817160272
Journal Mail Official
jurnalpertanahan@stpn.ac.id
Editorial Address
Jl. Tata Bumi No.5, Area Sawah, Banyuraden, Kec. Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55293
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Pertanahan
ISSN : 08531676     EISSN : 27971252     DOI : https://doi.org/10.53686
Jurnal Pertanahan was first published online in 2021 by the Center for Development and Standardization of Agrarian, Spatial Planning, and Land Policy (Pusbang SKATP), Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency (ATR/BPN). Since its inception, the journal has served as an academic medium for disseminating research results, policy studies, and critical thinking in the fields of agrarian affairs, land, and spatial planning. The journal is published twice a year (July and November) with registration numbers P-ISSN 0853-1676 and E-ISSN 2797-1252. Pusbang SKATP ATR/BPN will manage it until 2024. However, based on Service Note Number 60.1/ND-100.7.LB.02/V/2025 and Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 6 of 2025 concerning the Organization and Work Procedures of the Ministry of ATR/BPN, the Pusbang SKATP unit is no longer listed in the organizational structure. Therefore, the Sekolah Tinggi Pertanhan Nasional (STPN) has been continuing the publication of the Jurnal Pertanahan since 2025. .Focus and scope of Jurnal Pertanahan includes, but are not limited to the following fields of: Tata ruang (Spatial Planning) Survei dan Pemetaan (Survey and Mapping) Hubungan Hukum Keagrariaan (Agrarian Law Relationships) Penataan Agraria dan Tata Guna Tanah (Agrarian Structuring and Land Use) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan (Land Acquisition and Land Development) Sengketa dan Konflik Pertanahan dan Tata Ruang (Land and Spatial Disputes and Conflicts) Administrasi dan Manajemen Pertanahan (Land Administration and Management) Inovasi Pertanahan dan Tata Ruang (Land and Spatial Innovation)
Arjuna Subject : -
Articles 86 Documents
Urgensi Lembaga Negara Independen Penyelesaian Konflik Pertanahan dan Proses Penyelesaian yang Berbasis Teori Hukum Progresif Toloh, Pascal Wilmar Yehezkiel; Pangau, Vanda
Jurnal Pertanahan Vol 13 No 2 (2023): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v13i2.215

Abstract

Eskalasi konflik agraria (pertanahan) selalu meningkat setiap tahun, penyebabnya ialah adanya ketimpangan penguasaan tanah dan realisasi reforma agraria yang belum maksimal, kemudian faktor penyelesaian konflik pertanahan yang belum didukung oleh kelembagaan yang dapat menyelesaikan kasus secara berkeadilan artikel ini bertujuan untuk mengetahui konsep penyelesaian konflik pertanahan yang berlandaskan teori hukum progresif dan desain lembaga negara independen penyelesaian konflik agraria yang berpegang pada prinsip musyawarah dan penghormatan hak masyarakat adat. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukan Penyelesaian konflik oleh masyarakat adat yang berbasis pada mediasi sebagai alternatif penyelesaian konflik secara non litigasi, secara esensial merupakan bagian dari pendekatan hukum progresif. Penguatan mekanisme mediasi dalam penyelesaian konflik pertahanahan, harus disertai dengan penguatan eksistensi masyarakat hukum adat, sebab sebagaimana praktik mediasi atau perundingan di beberapa daerah Indonesia, peran lembaga adat sangat dominan karna dinilai dapat menggali rasa keadilan ditengah masyarakat yang berkonflik. Untuk menjamin efektifitas operasionaisasi penyelesaian konflik pertanahan maka diperlukan pembentukan lembaga yang independen secara institusional dan fungsional dengan penguatan kewenangan pada ranah pencegahan berupa pengawasan realisasi reforma agraria yang berorientas pada prinsip tanah untuk rakyat serta pemberantasan mafia tanah, dan kewenangan penyelesaian konflik melalui mekanisme mediasi yang berprinsip musyawarah dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat dengan mengakomodir unsur masyarakat adat sebagai mediator dalam proses penyelesaian konflik pertanahan. The escalation of agrarian (land) conflicts always increases every year, the cause is the inequality of land control and the realization of agrarian reform which has not been optimal, then the factor of resolving land conflicts which is not yet supported by institutions that can resolve cases fairly. This article aims to understand the concept of conflict resolution land based on progressive legal theory and the form of independent state agency for resolving agrarian conflicts that adhere to the principles of deliberation and respect for the rights of indigenous peoples. The research method used in this study is a normative legal study with a statutory approach, a conceptual approach and a comparative approach. The research results show that conflict resolution by indigenous communities based on mediation as an alternative to non-litigation conflict resolution is essentially part of a progressive legal approach. Strengthening mediation mechanisms in resolving defense conflicts must be accompanied by strengthening the existence of customary law communities, because as with the practice of mediation or negotiation in several regions of Indonesia, the role of traditional institutions is very dominant because they are considered to be able to explore a sense of justice among communities in conflict. To ensure the effectiveness of the operationalization of land conflict resolution, it is necessary to establish institutions that are institutionally independent and functional by strengthening authority in the realm of prevention in the form of monitoring the realization of agrarian reform that is oriented towards the principle of land for the people and eradicating the land mafia, and the authority to resolve conflicts through a mediation mechanism based on the principle of deliberation. and respect for the rights of customary law communities by accommodating elements of indigenous communities as mediators in the process of resolving land conflicts.
Pembuatan Model Peta Pola Ruang Berbasis Bidang Dalam Rangka Penyusunan RDTR: Studi Kasus di Desa Lesmana dan Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas Purnomo, Catur Kuat; Munir, Akhmad Misbakhul
Jurnal Pertanahan Vol 15 No 1 (2025): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v15i1.216

Abstract

The issues in spatial planning involve not only the slow progress of completing RDTR products but also the need for RDTR to ensure legal certainty and justice for both the community and businesses. This study attempts to offer work steps for the preparation of a field-based spatial pattern map model so that the process of collecting data and information in the preparation of RDTR can be more comprehensive to address various findings from several studies, including those related to the large number of land parcels included in two or more zones in the RDTR. The study locus is Lesmana Village and Pancurendang Village, which are included in the Ajibarang Urban Area (in the process of discussion and preparation at the Banyumas Regency Government). The creation of this RDTR Spatial Pattern Map model was carried out using the identification approach of land ownership, control, use, and utilization, overlay analysis, and ground check. The result of this study is a field-based spatial pattern map with an area of ​​interest of 204.04 hectares covering eight zones so that each land parcel will be identified in a different zone.   Permasalahan pada perencanaan tata ruang tidak hanya terkait percepatan penyelesaian produk RDTR yang capaiannya dirasa masih rendah tetapi juga terkait aspek kualitas RDTR yang harus dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dan dunia usaha. Kajian ini mencoba menawarkan langkah kerja untuk penyusunan model peta pola ruang berbasis bidang sehingga proses pengumpulan data dan informasi pada penyusunan RDTR dapat lebih komprehensif untuk mengatasi berbagai temuan dari beberapa kajian diantaranya terkait dengan banyaknya bidang tanah yang masuk pada dua atau lebih zona pada RDTR. Lokus studi adalah Desa Lesmana dan Desa Pancurendang yang termasuk wilayah Kawasan Perkotaan Ajibarang (dalam proses pembahasan dan penyusunan di Pemerintah Kabupaten Banyumas). Pembuatan model Peta Pola Ruang RDTR ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan identifikasi pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, analisis overlay dan ground check. Hasil dari kajian ini yaitu Peta Pola Ruang berbasis bidang dengan luas area of interest sebesar 204,04 hektar yang meliputi delapan zona sehingga setiap bidang tanah akan teridentifikasi pada satu zona yang berbeda
Pengembangan Usaha Perikanan Melalui Penanganan Akses Reforma Agraria di Desa Tengkurak, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Sinaga, Eva; Massardy, Egi; Yulianto, Tri
Jurnal Pertanahan Vol 13 No 2 (2023): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v13i2.220

Abstract

Masyarakat Desa Tengkurak sebagian besar menggantungkan kelangsungan hidupnya sebagai nelayan karena sebelah utara desa berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Mereka memanfaatkan penggunaan tanah sebagai tambak ikan sebagai upaya meningkatkan sumber usahanya. Namun, adanya hambatan terkait kekurangan modal serta sarana prasarana yang kurang memadai dalam bidang usaha perikanan menyebabkan para nelayan terpaksa mengandalkan pengepul ikan untuk menjual hasil tangkapannya meskipun secara mandiri sebetulnya mereka bisa lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah mencoba mengurai permasalahan di Desa Tengkurak melalui akses reforma agraria dengan penyuluhan, dan mengembangkan kemampuanberinovasi serta mendorong terbentuknya kelompok usaha seperti koperasi sebagai wadah pengembangan potensi masyarakat khususnya bagi para nelayan. Metode penelitian menggunakan kualitatif analisis deskriptif dengan sumber data wawancara dan observasi kepada para nelayan. Hasil dari penelitian ini adanya bentuk kerja sama serta pola komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah daerah terutama dalam pembentukan koperasi guna mengembangkan hasil usaha mikro kecil menengah (UMKM) perikanan tanpa mengandalkan pengepul. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dengan adanya kerja sama yang baik antara masyarakat Desa Tengkurak dengan pemerintah daerah serta instansi terkait, diharapkan masyarakat dapat mampu mengelola UMKM dan mempromosikan hasil usahanya secara mandiri terutama para nelayan. Most of the people in Tengkurak Village depend on fishing for their livelihood, as the village is bordered by the Java Sea to the north. They use land for fish ponds in an effort to increase their business resources. However, the lack of capital and inadequate infrastructure in the fisheries business sector has forced fishermen to rely on fish collectors to sell their catch, even though they could do better independently. The purpose of this study is to try to unravel the problems in Tengkurak Village through access to agrarian reform with counseling, Focus Group Discussion (FGD), and developing the ability to innovate and encourage the formation of business groups such as cooperatives as a forum for community potential development, especially for fishermen. The research method used qualitative escriptive analysis with data sources from interviews and observations of fishermen. The results of this study show that there is a form of cooperation and communication patterns between the community and the local government, especially in the formation of cooperatives to develop the results of Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs) fisheries without relying on collectors. The conclusion of this study is that with good cooperation between the Tengkurak Village community and the local government and related agencies, it is expected that the community will be able to manage SMEs and promote their business results independently, especially fishermen.
Analisis Spatial Autocorrelation pada Kampung Reforma Agraria di Kabupaten Buleleng Utomo, Dani Lukmito
Jurnal Pertanahan Vol 13 No 2 (2023): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v13i2.222

Abstract

Reforma agraria adalah suatu perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan bagi mereka yang menggarap lahan. Kurangnya informasi analisis spasial terkait kampung reforma agraria di Indonesia menjadi salah satu perhatian serta alasan dalam penyusunan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran serta hubungan spasial bidang-bidang tanah pada lokasi kampung reforma agraria di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Metode analisis yang digunakan adalah analisis spatial autocorrelation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran spasial bidang tanah kampung reforma agraria dan potensi tanah objek reforma agraria di Desa Sumberklampok memperlihatkan pola mengelompok. Hubungan spasial yang paling signifikan adalah pada lokasi permukiman yang mengindikasikan bahwa masyarakat Desa Sumberklampok lebih terkonsentrasi di lokasi ini. Penelitian ini menunjukkan perlunya kebijakan reforma agraria yang lebih efektif untuk pemerataan kepemilikan tanah dan pengembangan wilayah kawasan kampung reforma agraria. Agrarian reform is a significant change in the agrarian structure that enhances access to land for poor farmers with provides certainty of ownership for those cultivating the land. The lack of spatial analysis information regarding Agrarian Reform Villages in Indonesia is one of the concerns and reasons for preparing this study. This study aims to analyze the spatial distribution patterns and relationships of land parcels in the Agrarian Reform Village located in Sumberklampok Village, Gerokgak District, Buleleng Regency, Bali Province. The analytical method used is spatial autocorrelation analysis. The research findings indicate that the spatial distribution pattern of land parcels in the Agrarian Reform Village and the potential of the Land Object of Agrarian Reform in Sumberklampok Village show a clustered pattern. The most significant spatial relationship is observed in residential areas, indicating a higher concentration of the Sumberklampok Village community in this location. This study indicates the need for more effective agrarian reform policies to promote equitable land ownership and the development of the Agrarian Reform Village area.
Pemanfaatan Sipetik dalam Identifikasi Tipologi Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik Hak Atas Tanah dengan Kawasan Hutan (Uji Coba: Provinsi Bali) Wahyudi, Agus; Pradnya Paramita, Bintang Aulia; Swantika, Septein Paramia; Thriatmoko, Edy; Ginanjar, Theo
Jurnal Pertanahan Vol 14 No 1 (2024): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v14i1.227

Abstract

ABSTRAK Mitigasi risiko terhadap adanya indikasi tumpang tindih merupakan langkah penting untuk mencegah sengketa, konflik, perkara dalam tingkat individual ataupun sektoral. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan indikasi tumpang tindih bidang tanah dengan kawasan hutan di Provinsi Bali memanfaatkan Sipetik. Metode analisis berbasis dokumen dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi, peta penetapan kawasan hutan, dan peta bidang tanah. Selanjutnya, hasil analisis tersebut diverifikasi melalui penelitian lapangan. Sipetik adalah suatu platform inovatif yang menyediakan beragam fitur untuk mengelola informasi geospasial. Arsitektur Sipetik melibatkan perangkat keras GPS geodetik untuk meningkatkan akurasi data yang dihasilkan. Hasil temuan ini memberikan gambaran tentang 8 tipologi tumpang tindih yang khas antara hak atas tanah dan kawasan hutan di Provinsi Bali, yaitu T1A (tidak bertumpang tindih, posisi bidang tanah sesuai dan pal batas kehutanan sesuai), T2A (tidak bertumpang tindih, posisi bidang tanah sesuai dan perlu update pal batas kehutanan), T3A (tidak bertumpang tindih, posisi bidang tanah tidak sesuai dan pal batas kehutanan sesuai), T4A (tidak bertumpang tindih, posisi bidang tanah tidak sesuai dan perlu update pal batas kehutanan), T1B (bertumpang tindih, posisi bidang tanah sesuai dan pal batas kehutanan sesuai), T2B (bertumpang tindih, posisi bidang tanah sesuai dan perlu update pal batas kehutanan), T3B (bertumpang tindih, posisi bidang tanah tidak sesuai dan pal batas kehutanan sesuai), dan T4B (bertumpang tindih, posisi bidang tanah tidak sesuai dan perlu update pal batas kehutanan). Penemuan ini dapat menjadi dasar untuk pengembangan strategi mitigasi risiko yang lebih efektif dalam pengelolaan hak atas tanah dan kawasan hutan di Provinsi Bali.   ABSTRACT Mitigating risks associated with overlapping indicative maps is a crucial measure to preempt conflicts, both at the individual and sectoral levels. This study seeks to identify instances of land parcels overlapping with forested areas within Bali Province. The research employs a document-based analytical approach, utilizing high-resolution satellite imagery, forest area delineation maps, and land rights status maps. Subsequently, the outcomes of this analysis are corroborated through field (survey). Sipetik is an innovative platform that provides various features for managing geospatial information. The Sipetik architecture involves geodetic GPS hardware to improve the accuracy of the data generated. These findings yield insights into eight distinct typologies of overlap between land rights and forested areas in bali province, denoted as T1A (non-overlapping, with the land parcel position matching forestry boundaries), T2A (Non-overlapping, with the land parcel position matching but requiring forestry boundary updates), T3A (Non-overlapping, with land parcel position mismatching but forestry boundaries matching), T4A (Non-overlapping, with land parcel position mismatching and necessitating forestry boundary updates), T1B (overlapping, with the land parcel position matching forestry boundaries), T2B (overlapping, with the land parcel position matching but necessitating forestry boundary updates), T3B (overlapping, with the land parcel position mismatching but forestry boundaries matching), and T4B (overlapping, with the land parcel position mismatching and requiring forestry boundary updates). These f indings lay the groundwork for the development of more effective risk mitigation strategies in the management of land rights and forested areas in the Bali Province.
Implementasi Data Geospasial Bidang Tanah dalam Standar Administrasi Pertanahan Wibowo, Hendry Yuli; Diyono
Jurnal Pertanahan Vol 14 No 2 (2024): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v14i2.230

Abstract

Data bidang tanah yang berkualitas saat ini dibutuhkan untuk berbagai keperluan stakeholder. Mulai dari untuk kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, perpajakan, perencanaan pembangunan maupun untuk kebutuhan informasi masyarakat umum. Penjaminan kualitas menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam produksi data spasial bidang tanah. Namun penjaminan kualitas data bidang tanah masih belum menjadi prioritas pada regulasi di Indonesia. Makalah ini merupakan studi rinci sejauh mana kualitas data diatur dalam regulasi data geospasial bidang tanah mengacu pada standar SNI ISO 19157. Regulasi yang dipelajari merupakan peraturan terkait pengukuran dan pemetaan sejak tahun 1997 sampai Petunjuk Teknis PTSL 2023. Hasil studi menunjukkan bahwa kontrol kualitas dan penjaminan kualitas masih belum terintegrasi secara spesifik dalam regulasi. Direkomendasikan studi lebih lanjut mengenai bagaimana penjaminan kualitas data geospasial bidang tanah dapat diatur sedemikian rupa dalam regulasi yang bersifat implementatif untuk menjamin data bidang tanah dapat berkualitas dan reliable dalam pemanfaatannya.   Data Quality of land parcel data is currently needed for various stakeholder purposes, s. Starting from land acquisition activities for the public interest, taxation, planning and development and for the information needs of the general public. Quality assurance is an important aspect that needs to be considered in the production of spatial land data. However, quality assurance of land parcel data is still not a priority in Indonesian regulations. This paper is a detailed study of the extent to which data quality is regulated in the regulation of geospatial data on land referring to the SNI ISO 19157 standard. The regulations studied are those related to measurement and mapping from 1997 to the PTSL Technical Guidance 2023. The study results show that quality control and quality assurance are still not specifically integrated in the regulations. Further study is recommended on how quality assurance of geospatial data of land parcels can be regulated in an implementable regulation to ensure the quality and reliability of land parcel data in its utilization.
Analisis Yuridis Pemberian Hak Atas Tanah di Sempadan Pantai Adinegoro, Kurnia Rheza Randy
Jurnal Pertanahan Vol 13 No 2 (2023): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v13i2.231

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis yuridis terhadap pemberian hak atas tanah di sempadan pantai. Sempadan pantai merupakan wilayah yang memiliki peran penting dalam keberlanjutan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam. Pemberian hak atas tanah di sempadan pantai sering kali menjadi isu kontroversial karena berpotensi mengganggu ekosistem pesisir. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif melalui analisis dokumen hukum, perundang-undangan, dan putusan pengadilan terkait dengan pemberian hak atas tanah di sempadan pantai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian hak atas tanah di sempadan pantai harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aspek lingkungan, dan ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian ini juga mengidentifikasi tantangan dan implikasi yang mungkin dihadapi dalam praktek pemberian hak atas tanah di sempadan Pantai. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kerangka hukum yang mengatur pemberian hak atas tanah di sempadan pantai. Hal ini diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan antara pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan di wilayah sempadan pantai. This research aims to carry out a juridical analysis of the granting of land rights on coastal borders. The coastal border is an area that has an important role in environmental sustainability and utilization of natural resources. Granting land rights along coastal borders is often a controversial issue because it has the potential to disrupt coastal ecosystems. The research method used is normative juridical through analysis of legal documents, legislation and court decisions related to the granting of land rights on coastal borders. The results of this research indicate that granting land rights along coastal borders must consider various factors, including environmental aspects and applicable legal provisions. This research also identifies the challenges and implications that may be faced in the practice of granting land rights on the coastal border. It is hoped that this research will provide a better understanding of the legal framework that regulates the granting of land rights on coastal borders. It is hoped that this can help maintain a balance between sustainable development and environmental preservation in coastal border areas.
Degradasi Kekuatan Hak Guna Usaha untuk Perkebunan Kelapa Sawit yang Terindikasi Tumpang Tindih dengan Ketetapan Pengukuhan Kawasan Hutan Salsabila, Dara
Jurnal Pertanahan Vol 14 No 2 (2024): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v14i2.234

Abstract

Penyelenggaraan kegiatan usaha perkebunan dan industri kelapa sawit membutuhkan luasan lahan dengan hak guna usaha yang sesuai agar produktivitas perkebunan maksimal. Hak guna usaha merupakan hak konstitusional yang lahir dari konsep hak menguasai negara dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Konsep ini mengejawantahkan kepada Pemerintah sebagai penerima mandat dari Negara dalam melakukan pengurusan negara. Apabila pelaku usaha telah mendapatkan hak guna usaha dan perizinan berusaha lainnya terkait, maka sudah berdasarkan hukumlah penyelenggaraan kegiatan usaha di atasnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Akan tetapi dalam beberapa waktu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan keputusan penetapan kawasan hutan untuk beberapa provinsi di indonesia, dan dalam penetapan tersebut dinyatakan tumpang tindih dengan kawasan perkebunan dengan hak guna usaha di atasnya. Pada praktiknya terdapat dua penyelesaian dengan perubahan areal batas kawasan hutan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau dengan pelepasan kawasan hutan yang dimohonkan oleh pelaku usaha. Akan tetapi pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Undang-undang Cipta Kerja dilakukan dengan mekanisme 110A dan 110B dengan indikasi pelaku usaha belum memiliki perizinan berusaha. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, sehingga dikemukakan bahwa terlanggarnya hak-hak konstitusional pelaku usaha yang memiliki hak guna usaha dan perizinan berusaha lainnya apabila dilakukan mekanisme pelepasan kawasan hutan. Pemegang hak harus menaati keputusan badan tata usaha negara sehubungan dengan penetapan kawasan hutan, namun terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mempertahankan haknya.Kata kunci : hak guna usaha, perkebunan kelapa sawit, kawasan hutan, Undang-Undang Cipta Kerja, hak menguasai negara   Plantation business activities and palm oil industry requires large area of land with Business Use Rights (HGU) to maximize its productivity. Business Use Right (HGU) is a constitutional right arises from the concept of State Control Rights from Article33 of the Constitution of the Republic of Indonesia. This concept entrusted the Government as the recipient the State’smandate in carrying out state management. If a business actor has obtained a Right to Use Business by the Head of NationalLand Agency and other related business licenses, it is considered as legally valid. However, in a later time, the Minister ofEnvironment and Forestry established a Forest Area Determination Decree for several provinces in Indonesia. By this decree,some of plantation area with HGU right are stated to be overlapped with the forest area. In practice, should this occur, thereare two solutions: by changing the forest area boundaries by the Minister of Environment and Forestry or by releasing forestareas requested by business actors. However, the release of forest areas as referred to in the Job Creation law is carried out with the mechanisms of 110A and 110B, indicated that business actors currently lack of business license. This research using qualitative method with a normative juridical approach. The result indicated that the constitutional rights of business actors holding HGU and other business permits are violated if the second option, by releasing forest area, is carried out. The rights holder must comply with the decisions of the administrative body regarding the designation of forest areas; however, there are legal remedies that can be pursued to defend their rights.
The Sustainability of Agrarian Reform In A Macro Perspective (Comparative Study Between Target Areas of Complete Systematic Land Registration Program) Fitri Wahyuni, Fitri Wahyuni; Mursa, Vito Haga; Zevaya , Faradina
Jurnal Pertanahan Vol 14 No 1 (2024): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v14i1.238

Abstract

Agrarian reform emerges as a continuous process of restructuring the tenure, ownership, and utilization of agrarian resources to ensure legal certainty and protection and achieve justice and people’s welfare. One of the activities in agrarian reform is the complete systematic land registration (PTSL), a simultaneous land registration of all land in Indonesian territory at a village level. This study aims to identify and analyze macroeconomic variables associated with geographical or regional aspects, where each region has characteristics including layout, differences in natural and human resources, customs and culture, and local wisdom. Based on the results of the study, it was obtained that the macroeconomic variables population, gini index, natural resource potential, and Human development index did not have a significant effect on the realization of PTSL in Kerinci Regency and Sarolangun Regency in Jambi Province. There are economic factors that are thought to have a significant influence on the realization of PTSL including customs or culture, regional administration, community participation, migrant communities, and vulnerability to disasters.   Reforma agraria hadir sebagai suatu proses berkesinambungan dalam penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria untuk tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Salah satu kegiatan dalam reforma agraria adalah program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) yang merupakan kegiatan pendaftaran tanah dilakukan secara bersama dan serentak bagi semua objek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia dalam satu wilayah desa atau kelurahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis variabel makro ekonomi yang dikaitkan dengan aspek nonekonomi seperti geografis atau wilayah, dimana tiap-tiap wilayah memiliki karakteristik meliputi tata letak, perbedaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, adat istiadat dan budaya, serta kearifan lokal. Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh variabel makro ekonomi jumlah penduduk (JP), indeks gini (GI), potensi sumberdaya alam (PSD), dan indeks pembangunan manusia (IPM) tidak berpengaruh signifikan terhadap realisasi PTSL di Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Sarolangun di Provinsi Jambi. Terdapat faktor nonekonomi yang diduga berpengaruh signifikan terhadap realisasi PTSL diantaranya adat istiadat atau budaya, administrasi wilayah, partisipatif masyarakat, masyarakat pendatang serta kerentanan terhadap bencana.
Pengelolaan Tanah Adat Keraton Kasepuhan Cirebon dalam Bingkai Kebijakan Agraria Nasional terhadap UUPA Prasetyo, Geta Ilham Adi; Farizy, Budi Salman; Billah, Mumtaz Mustaqim; Yustirandi, Ahmad Fahmi
Jurnal Pertanahan Vol 14 No 1 (2024): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v14i1.239

Abstract

Dalam konteks kepastian hukum di bidang pertahanan, struktur hukum jelas sangat diperlukan. Kejelasan mengenai status tanah, kepemilikan, bukti kepemilikan, batas-batas, dan luasnya sangat penting dalam menyelesaikan konflik dan sengketa tanah. Tujuannya adalah untuk menghindari ketidakjelasan dan konflik yang mungkin timbul terkait pengakuan dan penguasaan tanah oleh pihak tertentu. Sebagai contoh, kasus konflik yang muncul di sekitar tanah adat Keraton Kasepuhan Cirebon menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana-perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-adat- setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahunc1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pendekatan deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif digunakan dalam penulisan ini, dengan menganalisis sumber data primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian-ini menunjukkan beberapa hal. Pertama,-secara-formal,-status-tanah adat (ulayat) diakui dan dilindungi selama masih ada dalam kenyataan. Konstitusionalnya, hak-hak tradisional dari masyarakat hukum adat juga mendapat perlindungan. Kedua, status hukum tanah Keraton Kasepuhan Cirebong dapat ditelusuri kembali dari Inggris, Belanda, awal kemerdekaan, hingga era reformasi sebagai hak milik atau hak turun temurun dari Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Ketiga,dalam konteks hukum tanah nasional, hak ulayat diakui sebagaimana-diatur-dalam peraturan-peraturan yang berlaku, dan masih ada sekelompok orang yang mengikuti tatanan hukum adat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mekanisme penyelesaian-masalah hak ulayat-dalam konteks Kesultanan-Cirebon diatur-dalam peraturan-yang berlaku. Sengketa tanah antara Keraton Kasepuhan Cirebon dan Pemerintah Kota Cirebon merupakan kasus yang kompleks dan belum terselesaikan, yang memerlukan pendekatan yang komprehensif dan konsultatif lintas-sektor untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.   In the context of legal certainty in the land sector, a clear legal structure is needed. This is important because in resolving land conflicts and disputes, clarity regarding land status, ownership, proof of ownership, boundaries and extent is needed. This aims to avoid ambiguities and conflicts that may arise regarding the recognition and control of land by certain parties. For example, the conflict that arose around the customary land of Keraton Kasepuhan Cirebon raises the question of how the legal protection of the rights of indigenous peoples after the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Principles. This writing uses an analytical descriptive approach using a normative juridical approach method, namely by analysing primary, secondary, and tertiary data sources. The results of this research show several things. First, formally, the status of customary land (ulayat) is recognised and protected as long as it still exists in reality. Constitutionally, the traditional rights of customary law communities also receive protection. Second, the legal status of Cirebon Kasepuhan Palace land can be traced back from the British, Dutch, early independence, to the reform era as property rights or hereditary rights of the Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Third, in the context of national land law, customary rights are recognised as stipulated in applicable regulations, and there is still a group of people who follow customary law in their daily lives. The mechanism for resolving customary rights issues in the context of the Sultanate of Cirebon is regulated in the applicable regulations.