cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 518 Documents
Khazanah: Hans Kelsen Latipulhayat, Atip
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4864.041 KB)

Abstract

Hans Kelsen adalah seorang pemikir hukum dunia yang buah pemikirannya bukan saja diperbincangkan di berbagai belahan bumi, tapi juga menjadi salah satu pemikir hukum garda depan (avant garde) pada zamannya, bahkan mungkin sampai sekarang. Roscoe Pound yang juga seorang filosof hukum kenamaan memberikan testimoninya sebagai berikut: “...Kelsen was unquestionably the leading jurist of the time. It is said that if the mark of the genius is that he creates a cosmos out of chaos, then Kelsen has evidently earned that title”. Pengakuan Roscoe Pound tentunya bukan tanpa dasar atau sekedar basa-basi, melainkan sebuah testimoni objektif dengan memperhatikan warisan pemikirannya yang tersebar dalam beratus-ratus karya ilmiah yang masih memiliki pengaruh penting sampai saat ini. DOI:https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a12
Konstitusionalitas Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Sanjaya, William
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (585.762 KB)

Abstract

AbstrakDekonsentrasi adalah salah satu mekanisme yang sangat penting dalam penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah. Pengaturan mengenai dekonsentrasi ini terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) yang belum lama ini menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004). Salah satu hal menarik dari UU Pemda 2014 adalah mengenai pengaturan dekonsentrasi yang diberlakukan hingga ke daerah kabupaten dan kota, yang pada dasarnya dalam pengaturan UU Pemda 2004, dekonsentrasi sebelumnya hanya diberlakukan kepada daerah provinsi. Sekarang ini kedudukan daerah kabupaten dan kota bukan hanya sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri urusan daerahnya, tapi juga sebagai wilayah administratif yang dapat melaksanakan pelimpahan wewenang dari pusat untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut. Sementara itu, jika dilihat landasan konstitusionalnya, pada Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 justru dekonsentrasi tidaklah diatur. Selain itu, dengan menguatnya kembali pengaturan mengenai dekonsentrasi, UU Pemda 2014 dianggap bercorak sentralistik.Constitutionality of Deconcentration Regulation in Law Number 23 of 2014 Concerning Local GovernmentAbstractDeconcentration is an important mechanism for the implementation of central government on the regional level. The regulation concerning deconcentration contained in Law Number 23 of 2014 Concerning Local Government (Local Government Law 2014) that has recently amended by Law Number 32 of 2004 on Local Government (Local Government Law 2004). An interesting aspect of the Local Government Law 2014 is the implementation of deconcentration even at the level of regency and town. In the Local Government Law 2004, deconcentration was only implemented at regional level. Today, the position of regency and town is not only as autonomous region with a capacity of managing their own local affairs, but also as administrative unit capable of bestowal of authority from the central government to perform absolute governmental affairs. However, in the Article 18, 18A, and 18D of the 1945 Constitution which should serve as its constitutional foundation, deconcentration is never actually regulated. Furthermore, the implementation of deconcentration makes the Local Government 2014 a more centralistic law in nature.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a9
Perbedaan Pandangan Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Tindak Pidana Korupsi Wibowo, Seno; Nurhayati, Ratna
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (600.961 KB)

Abstract

Penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor 2001) oleh Mahkamah Agung pasca putusan Mahkamah Konstitusi telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) huruf D dan asas legalitas serta asas pemisahan kekuasaan negara. Selain itu, hal tersebut juga dinilai tidak mengindahkan sudut hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum. Mahkamah Agung tidak berwenang menerapkan kembali ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yang terdapat dalam UU Tipikor 2001 dikarenakan dengan hal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara namun juga rakyat dan lembaga tinggi negara termasuk Mahkamah Agung. Mahkamah Agung harus melaksanakan dan mematuhi putusan judicial review tersebut mengingat kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislation. Apabila instansi penegak hukum maupun aparaturnya menggunakan suatu instrumen hukum yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, maka akibat hukum yang terjadi dapat berupa kerugian finansial. Instansi penegak hukum atau aparaturnya dapat menanggung akibat hukum secara pribadi (personal liability) untuk mengganti kerugian yang dituntut melalui peradilan biasa yang ditegakkan secara paksa dan demi hukum batal sejak semula (ab initio). Differences in Point of Views on the Nature of Unlawful Material Doctrine of CorruptionAbstractThe application of the unlawful materiel doctrine in a positive function in Law Number 20 in2001 on The Amendment of Law Number 31 in 1999 on Corruption Eradication (UU Tipikor 2001) by the Supreme Court after the decision of the Constitutional Courtis contrary to the Constitution of 1945 Article 28 D paragraph 1 and the principle of legality and the principle of separation of state powers. The application does not heed the hierarchy of legislation in Indonesia, and thus does not reflect any legal certainty. The Supreme Court has no authority to re-implement the unlawful materiel doctrine in the positive functions contained in the law of corruption in this case, because it is adjudged in the judicial review by Constitutional Court which has no binding force. The decision by the Constitutional Court for a judicial review binds the litigants as well as the citizen and state officials. The Supreme Court should also implement and abide by the decision of the judicial review with consideration that the Constitutional Courts decision is a negative legislation. If a law enforcement agency or apparatus uses a legal instrument which has been declared having no legal binding, legal consequences are to occur in the form of financial losses to the extent that the state officials shall be liabileto give compensation, which,through the regular court, can be enforced by force and by the void from the beginning law (ad initio).Keywords: unlawful materiel doctrine, Supreme Court, Supreme Constitutional Court, judicial review, negative legislation. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n2.a8
Model Penyelesaian Konflik Kewenangan dalam Hal Timbulnya Dampak Dumping Limbah Batu Bara: Studi Kasus pada Pemda Kota Bengkulu dengan Pemda Kabupaten Bengkulu Tengah Pareke, J. T.; Putra, David Aprizon
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (616.748 KB)

Abstract

AbstrakPenelitian ini difokuskan pada model penyelesaian konflik kewenangan terhadap timbulnya dampak dumping limbah batu bara studi kasus pada Pemerintah Kota (Pemkot) Bengkulu dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bengkulu Tengah: pertama, bagaimana dampak kerusakan yang terjadi akibat dari pencemaran di daerah hilir aliran Sungai Bengkulu; kedua, bagaimana tindakan pencegahan yang dilakukan terhadap perluasan dampak pencemaran bagi perusahaan di daerah hulu sungai Bengkulu; dan ketiga, bagaimana konsep ideal pencegahan perluasan dampak pencemaran yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-sosiologis, menggunakan data hasil studi lapangan, dan melakukan studi kepustakaan. Studi ini menyimpulkan bahwa: pertama, ada beberapa dampak yang diakibatkan dari pencemaran limbah batu bara, diantaranya dampak terhadap kerusakan ekosistem sungai, dampak terhadap kondisi air (PDAM Kota Bengkulu), efek domino yang terjadi di hilir sungai, dan dampak terhadap estetika lingkungan; kedua, tindakan pencegahan yang dilakukan terhadap perluasan dampak pencemaran bagi perusahaan di daerah hulu Sungai Bengkulu masih terbatas pada instrumen perizinan saja, tidak menitikberatkan pada pengawasan yang lebih ketat; ketiga, konsep ideal pencegahan perluasan dampak pencemaran yang seharusnya dilakukan adalah dengan melibatkan berbagai pihak terkait, seperti pemerintah, masyarakat, dan stakeholder yang dimotori oleh pemerintah provinsi karena konflik kewenangan ini menyangkut dua wilayah administratif yang berbeda.Kata Kunci: konflik kewenangan, dampak dumping, pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem sungai, limbah batu bara. Conflict of Authority Resolution Model in Case of Emergence of Coal Dumping Effect: Case Study on Bengkulu Municipality Government and Bengkulu Regency GovernmentAbstractThis study focuses on authority conflict resolution model concerning the impact of coal waste dumping—case study on the Bengkulu Municipality Government and Bengkulu Regency Government: first, what is the damage caused by pollution in the river downstream of Bengkulu; second, what are the precautions against the impact of the expansion of the companys pollution in the headwaters area of Bengkulu; and third, what is the ideal concept of prevention of the expansion of pollution impact that should have been conducted by the Government of Bengkulu Province. This research utilizes sociological-normative approach, using data from field and literature. Studies conclude that, first, there are several impacts of coal waste pollution - including impact on river ecosystem, impact on water conditions (PDAM Bengkulu), a domino effect which occurs in the lower river, as well as aesthetic impact on the environment; second, the precautions taken against the expansion of the environmental impact by companies in the upstream areas of Bengkulu are still limited only to the licensing instrument, while disregarding not stricter supervision; third, the most ideal concept to prevent the expansion of pollution should be one that involves various parties such as governments, communities, and stakeholders led by the provincial government; since authority conflict involves two different administrative regions.Keywords: conflict of authority, impact of dumping, environmental pollution, the damage of river ecosystem, coal waste.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n2.a6
Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Negara Ketiga: Praktik Indonesia Fitria, Fitria
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2870.557 KB)

Abstract

Setiap orang selalu berupaya memiliki kehidupan yang aman, damai dan sejahtera dimana hak dan kebebasannya dijamin negara. Sayangnya, sampai saat ini masih terjadi konflik atau kegagalan negara dalam mewujudkan hal tersebut bagi warga negaranya. Hal tersebutlah yang menyebabkan orang-orang yang tidak terpenuhi haknya kemudian mencari suaka ke negara-negara yang dapat memberikan apa yang mereka inginkan, yaitu negara maju. Upaya mencari suaka yang dilakukan dengan segala keterbatasan menyebabkan para pencari suaka dalam perjalanannya terhenti dan bahkan menetap selamanya di negara ketiga. Dalam hukum internasional, perlindungan atas pencari suaka dan pengungsi diakomodasi oleh Konvensi Pengungsi 1951. Permasalahannya negara ketiga yang sering menjadi tempat pemberhentian bahkan penampungan pencari suaka dan pengungsi kebanyakan tidak meratifikasi konvensi tersebut, meskipun setiap negara mengakui prinsip non-refoulement bagi pengungsi dan pencari suaka sebagai kebiasaan internasional, termasuk Indonesia. Tulisan ini mengkaji praktik perlindungan dan tindakan lainnya yang dilakukan Indonesia dalam menangani permasalahan pengungsi di wilayah NKRI sebagai negara non-peratifikasi, termasuk keterlibatan dan kerjasama organisasi internasional seperti IOM dan UNHCR.  Refugees Protection in Thirld World Countries: Indonesian Practices AbstractEvery person tends to strive for having a safe, peaceful, and prosperous life in which their rights and freedom are guaranteed by the state. Unfortunately, conflicts or state failures on realizing its citizens’ rights still occur untill now. This is become the sole reason why people seek asylum in countries that may provide their rights, namely the developed countries. Lack of logistic support caused asylum seekers stop and even settled permanently in a third country. In international law, the protection of asylum seekers and refugees are regulated by the 1951 Refugee Convention. The problem comes up as the third countries which often become shelters or even dismissal places of asylum seekers and refugees mostly have not ratified the convention, even though the non-refoulement principle for refugees and asylum seekers recognize as an international customary law (including Indonesia). This article assess the protection and the other acts undertaken by Indonesian government on refugees and asylum seekers issue as a non-state parties to the 1951 Refugee Convention, including the involvement and cooperation of international organizations such as the IOM and UNHCR.Keywords: IOM, Refugee Convention, refugee protection, non-refoulement principle, UNHCR.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n1.a7
The Models of Constitutional Interpretation between the Constitutional Court of Indonesia and Japan: The Case of the Verdict Regarding Illegitimate Child Rudy, Rudy
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7282.571 KB)

Abstract

AbstractThe Constitutional Court of Indonesia issued a landmark judgment on February 2012 stipulating that the civil rights of children born out of wedlock should be recognized by their biological fathers. In June 2008, the Supreme Court of Japan issued a judgment that struck down the same issue stipulating that illegitimate child shall be acknowledged as having legal relationship with the father, and that the Nationality Act was violation of the constitution. These two judgments call comparative study on constitutional judgment and interpretation. In the specific area of constitutional interpretation, Vicki C. Jackson has argued that at least three models might broadly describe the relationships between domestic constitutions and law from trans-national sources. Firstly, the convergence model that assumes the desirability of convergence with the constitutional laws of other nations; secondly, the resistance model that relishes resistance by national constitutions from foreign influence; and the engagement model arguing that the constitution can best be viewed as a site of engagement with the trans-national, informed but not controlled by legal norms of other nations and questions they put to interpret their constitution. Based on the theory, the aim of this article is to see the models of interpretation of constitutional relationships between Indonesia and Japan while both nations give similar judgments on illegitimate child. This study will answer this question by integrating the interpretation of the judgments of The Constitutional Court of Indonesia and the Supreme Court of Japan on illegitimate Child. Hopefully, the result of this research paper may enlighten the context of constitutionalism in Asia.Keywords: comparative, constitutionalism, engagement, illegitimate child, judgment. Model Interpretasi Konstitusi di Indonesia dan Jepang: Tinjauan Kasus mengenai Putusan Anak yang Lahir di Luar NikahAbstrakPada Februari 2012, Mahkamah Konstitusi Indonesia memberikan putusan yang bersejarah yang mengatur hak perdata setiap anak yang lahir di luar nikah agar diakui oleh ayah biologisnya. Pada Juni 2008, Mahkamah Agung Jepang mengeluarkan putusan yang membatalkan permasalahan yang sama terhadap klausa dalam undang-undang nasional sebagai suatu pelanggaran atas konstitusi yang mengatur bahwa anak yang lahir di luar nikah harus diakui memiliki hubungan resmi dengan ayah biologisnya. Kedua putusan ini memberikan studi komparatif dalam hal putusan konstitusi dan penafsirannya. Di dalam area spesifik mengenai penafsiran konstitusi, Vicki C. Jackson telah memberikan argumentasi bahwa sedikitnya terdapat tiga bentuk yang dapat menggambarkan hubungan antara konstitusi dalam negeri dan hukum dari sumber yang transnasional, yaitu: bentuk campuran yang menunjukkan adanya keinginan untuk mencampurkan hukum konstitusi nasional dengan negara lain; bentuk penolakan adanya pengaruh luar terhadap konstitusi nasional; dan bentuk penerimaan yang berpendapat bahwa konstitusi lebih baik dilibatkan secara transnasional, mengetahui tetapi tidak terpengaruh oleh pertimbangan norma hukum negara lain dan terhadap pertanyaan yang mereka ajukan mengenai konstitusi nasional secara spesifik. Dalam teori ini, penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dari penafsiran hubungan konstitusi antara Indonesia dan Jepang sebagaimana kedua negara tersebut telah memberikan putusan dalam kasus anak yang lahir di luar nikah. Penulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan dengan meningkatkan pembacaan atas putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia dan putusan Mahkamah Agung Jepang dalam kasus anak yang lahir di luar nikah. Semoga hasil dari penulisan penelitian ini dapat memberikan pencerahan terhadap konstitusionalisme di Asia.Kata Kunci: anak yang lahir di luar nikah, hubungan, konstitusionalisme, perbandingan, putusan. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a9
Pengawasan Preventif Sebagai Kontrol Pusat Terhadap Daerah di Era Reformasi Rahayu, Derita Prapti
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1520.984 KB)

Abstract

AbstrakEra reformasi ditandai dengan adanya pemberian hak, wewenang, dan kewajiban bagi daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah berimplikasi pada praktik pengawasan, khususnya pengawasan preventif yang cenderung terlalu ketat. Hal ini cenderung melemahkan otonomi dan resentralisasi.Preventive Control of Central Government to Local Government in Reformation EraAbstractThe reformation era marked by granting of rights, powers, obligations and autonomous regions to set up and manage the affairs and interests of their own local community reviewaccording to the rules. Directing local administration toaccelerate the establishment of public welfare through service improvement, empowerment, and community participation, as well as increasing competitiveness of the region viewed withprinciples of democracy, equality, justice, and the peculiarities of System The Unitary State The Republic Of Indonesia. In Law Number 23 of 2014 Concerning Local Government, the relation between central and local government, effects on preventive control, supervision particularly felt tend to be too tight. Too set how local government should be careful central government authority. It tends to weaken the autonomy and recentralisation.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a2
Kewajiban Upaya Nonajudikasi Sebagai Syarat Mendaftarkan Gugatan Guna Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (Tinjauan atas Perma No. 1 Tahun 2008) Sufiarina, Sufiarina; Fakhirah, Efa Laela
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7131.735 KB)

Abstract

AbstrakPerma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mewajibkan hakim untuk mengupayakan perdamaian bagi pihak yang bersengketa di pengadilan. Dengan kata lain, kewajiban mediasi ditujukan bagi sengketa yang sudah terdaftar di pengadilan, tetapi tidak berpotensi menekan jumlah sengketa di pengadilan. Penyelesaian sengketa yang masuk ke pengadilan kemungkinan dapat ditekan dengan cara membebankan persyaratan imperatif tertentu mengingat penyelesaian sengketa perdata di pengadilan bersifat ultimum remedium. Ketentuan syarat imperatif itu sebagai sarana untuk membatasi sengketa yang terdaftar di pengadilan. Persyaratan imperatif berupa upaya perdamaian sebelum gugatan didaftarkan ke pengadilan menarik untuk dikaji sekaligus menekan pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan. Pengkajian dapat dilakukan dengan pendekatan norma sebagai penelitian hukum normatif melalui penelitian terhadap asas-asas hukum penyelesaian sengketa, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Melalui persyaratan upaya imperatif musyawarah mufakat oleh para pihak secara optimal sebelum gugatan dimajukan, diharapkan sengketa yang harus diselesaikan oleh pengadilan dapat menjadi berkurang dan pihak yang berselisih tidak lagi berada dalam posisi saling berhadapan sebagai musuh yang berseteru.Kata Kunci: non ajudikasi, ultimum remedium, alternative dispute resolution (ADR), mediasi, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Non-Adjudicative Proceedings as a Requirement for Lawsuit Registration to Create a Simple, Rapid, and Low-priced Court Proceedings (An Overview of the Supreme Court Regulation No. 1 of 2008)AbstractSupreme Court Regulation No. 1 of 2008 on the Mediation Procedure in Court requires the judge to seek peace for the parties having dispute in court. This means the mediation obligation is aimed towards disputes that have been registered in the court; however, it does not potentially reduce the number of incoming disputes. The number of settlement of disputes that enters the court can be suppressed by fulfilling certain imperative requirements considering the settlement of civil disputes in court as ultimum remedium. The imperative requirement in the form of a settlement before the lawsuit is registered for the court is an interesting topic to be discussed, as well as strengthening the parties having dispute in court. This study is assessed by normative approaches of normative law through researches on legal principles on dispute settlement, systematic law, vertical and horizontal levels of synchronization, comparative law, and legal history. Through the effort of the imperative requirement, an optimal deliberation to reach a consensus by parties in dispute before the lawsuit is brought forward is expected to reduce the number of disputes entering the court; resulting in the disputing parties no longer having to be put under in the situation of facing one another as hostile enemies.Keywords: non-adjudication, ultimum remedium, alternative dispute resolution (ADR), mediation, simple, rapid, and low-priced court proceedings. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a7
Khazanah: Sri Soemantri Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.741 KB)

Abstract

Dalam perjalanannya, Sri Soemantri dikenal sebagai seseorang dengan latar belakang beragam mulai dari pejuang kemerdekaan, aktivis pergerakan, politisi, hingga ilmuwan Hukum Tata Negara. Meskipun demikian, peran sebagai ilmuwan merupakan peran yang sangat dibanggakannya. Diyakininya menjadi guru merupakan ladang amalan yang tak akan pernah terputus, yang membawa kedamaian dalam hidup, terutama saat menyaksikan para muridnya melesat berprestasi dan menyumbangkan beragam kontribusi bagi negeri yang sangat dicintainya: Indonesia. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a12
Artikel Kehormatan: Kajian dan Catatan Hukum Atas Putusan Pra-peradilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Tertanggal 16 Februari 2015 Pada Kasus Budi Gunawan: Sebuah Analisis Kritis Sapardjaja, Komariah Emong
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (552.081 KB)

Abstract

AbstrakArtikel ini membahas pertimbangan putusan hukum pra-peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang dimohonkan Pemohon Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Dalam putusan tersebut, hakim tunggal Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan pemohon dengan dalil utama melakukan penemuan hukum. Artikel ini akan menguraikan kritik terhadap pertimbangan hukum dari putusan, yakni mengenai esensi Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan asas legalitas dalam hukum acara pidana. Dalam hal metode penemuan hukum oleh hakim, tulisan ini juga membahas penafsiran hukum oleh hakim mengenai upaya paksa; kewenangan hakim dalam menetapkan hukum yang semula tidak ada; penggunaan bahasa Belanda serta penyingkatan uraian putusan; dan lain-lain. Di akhir tulisan, Penulis menyimpulkan bahwa putusan tersebut telah menunjukkan keberpihakan karena tidak melihat pada fakta konkret persidangan dan tidak disertai alasan hukum sesuai hukum acara pidana. Legal Annotation and Review of Pre-Trial Verdict Number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Dated February 16th of 2015 on the Budi Gunawan Case: A Critical AnalysisAbstractThis article discusses the dictum on the pre-trial verdict number 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel filed by Commissioner General Budi Gunawan to the South Jakarta District Court. In this verdict, the Court represented by Judge Sarpin Rizaldi granted the applicant’s request with legal finding as the main proposition. This article criticeses the consideration of the judge in issuing the judgement by covering the questions of: the substance of Article 77 of Indonesian Criminal Procedural Code and principle of legality in criminal procedural law. In the context of legal finding method, this article reviews the judge’s authority in finding and interpreting the law as well as establishing a rule of law that does not exist before; the using of dutch language in the verdict; the permissibility in condensing a  final judgment; and etc. In conclusion, the writer finds the verdict is not independent, seeing that all of its considerations not in accordance with the facts brought before the court, and also does not contain any legal basis pursuant to the Indonesian Criminal Procedural Code.Keywords: pre-trial judgment, Budi Gunawan, single judge, Judge Sarpin, legal finding, criminal procedural law.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n1.a2

Page 8 of 52 | Total Record : 518


Filter by Year

2014 2025


Filter By Issues
All Issue Vol 12, No 1 (2025): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 3 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 2 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 1 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 3 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 2 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 1 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 3 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 2 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 1 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 3 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 2 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 1 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 2 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 3 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 2 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 1 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 3 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) More Issue