Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSU Cut Meutia Aceh Utara Tahun 2022 Simanjuntak, Muhammad Rizky; Zachreini, Indra; Rahayu, Mulyati Sri
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 3 No. 2 (2024): Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - April 2024
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v3i2.13130

Abstract

Rinosinusitis kronis (RSK) merupakan penyakit umum dengan akibat signifikan pada kualitas hidup yang terlihat dari seluruh kelompok usia.RSK ialah inflamasi heterogen kompleks dari ruang sinus dengan gejala parah yang beragam. Rencana pengobatan RSK yang sukses sering membutuhkan kombinasi dari pengobatan tropika dan sistemik, dan di beberapa kasus membutuhkan pembedahan. Walaupun RSK memberikan dampak negatif pada gejala sinonasal, tidur, suasana hati, dan penurunan fungsi pernafasan, ujung klinis RSK berpusat pasien adalah penurunan produktifitas kerja, oleh karena itu RSK tidak hanya memiliki biaya pengobatan langsung yang besar namun juga memberikan dampak besar pada biaya tidak langsung kepada masyarakat dari kehilangan kemampuan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran karakteristik penderita RSK pasien rawat jalan di poliklinik THT-KL RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2022. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif. Sampel penelitian ini adalah pasien RSK yang datang ke poliklinik THT-KL RSU Cut Meutia selama 1 Januari sampai 31 Desember, menggunakan sampel bedasarkan purposive sampling sebanyak 134 pasien. Hasil menunjukkan bahwa pasien paling banyak berusia 17-25 tahun sebanyak 27 orang (20,14%) dan hampir 95 pasien (70,9%) wanita. Keluhan utama pasien RSK yang paling banyak adalah hidung tersumbat (73,88%), diikuti dengan sakit telinga (11,94%) dan sakit kepala (7,46%).
Black garlic exhibited hepatoprotective effect against monosodium glutamate-induced hepatotoxicity in animal model Maulina, Nora; Zachreini, Indra; Gholib, Gholib; Suwandi, Abdulhadi; Akmal, Muslim
Narra J Vol. 4 No. 2 (2024): August 2024
Publisher : Narra Sains Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52225/narra.v4i2.799

Abstract

Monosodium glutamate (MSG) is commonly used as a flavor-enhancing agent in foods, and studies have demonstrated its toxic effects in animal models. Black garlic is known for its antioxidant and anti-inflammatory properties; however, there is a lack of studies on the potential hepatoprotective effect of black garlic ethanol extract (BGE) against MSG-induced hepatotoxicity in rats. The aim of this study was to investigate the hepatoprotective effects of ethanol extract of black garlic against MSG-induced liver damage in animal model. Twenty-five male Wistar rats were randomly assigned to five groups (n=5): negative control, MSG only, and MSG with three different doses of BGE. The MSG only and MSG with BGE groups were orally administered with 8 mg/kg MSG daily. After MSG treatment, the MSG with BGE groups received BGE orally at daily doses of 200, 400, or 600 mg/kg body weight for 16 consecutive days. Subsequently, the levels of serum liver enzymes aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), interferon-gamma (IFN-γ), and cyclooxygenase-2 (COX-2) were measured. Our data indicated that the group treated with 200 mg/kg BGE had significant lower levels of AST and ALT significantly compared to the MSG-only group. The MSG-treated group had higher levels of the inflammatory markers COX-2 and IFN-γ, which were lowered by administration of 200 mg/kg BGE. In contrast, higher doses of BGE led to greater levels of COX-2 and IFN-γ compared to those in the MSG-only group. This study suggested that BGE might have hepatoprotective effects at low dose, potentially mitigating MSG-induced liver damage. However, the higher dose of black garlic extract did not alleviate inflammation, as shown by the higher levels of COX-2 and IFN-γ.
Financing hearing aids for patients with congenital deafness in Indonesia Zachreini, Indra; Bashiruddin, Jenny; Zizlavsky, Semiramis; Tamin, Susyana; Priyono, Harim; Mayangsari, Ika Dwi; Alviandi, Widayat; Supartono, Natasha; Soetjipto, Damayanti; Ranakusuma, Respati; Damayanti, Heditya; Alia, Dina; Hajar Haryuna, Tengku Siti; Harahap, Juliandi; Warto, Nirza; Fitria, Hidayatul
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol. 52 No. 1 (2022): VOLUME 52, NO. 1 JANUARY - JUNE 2022
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v52i1.550

Abstract

ABSTRACTBackground: The appropriate management of patients with congenital deafness is installing hearing aids, either external hearing aids or implanted in the ear (cochlear implant), aiming to reduce the medical and social burden, besides improving the quality of life of the sufferers. Objective: To ascertain the cost of hearing aids in patients with congenital deafness, in the form of external hearing aids or cochlear implants. Method: A descriptive study with cross-sectional design using questionnaires through interviews. The sample size was 535 mothers whose children had congenital deafness at 24 hospitals with facilities for establishing a diagnosis of congenital deafness in 17 provinces in Indonesia. Result: Most respondents were aged 30-39 years (55%), occupations were housewives (71.8%), and education level was high school (52.5%). The type of hearing aid used mostly was external (92.7%), with 45.9% paid by personal expense. The surgically planted hearing aids in 22 children was mostly cochlear implants (95.5%), which were financed by the Indonesian Healthcare and Social Security Agency (BPJS) plus personal costs (50%). Discussion: This study found that the most common type of hearing aid used by children with hearing impairments was external hearing aids (92.7%) through independent financing (45.9%). Only 7.3% of patients chose surgery in hearing habilitation, and 95.5% were cochlear implants. The small percentage of surgery were due to the high-priced of cochlear implants, and the government did not cover all financial expenses. Conclusion: Most external hearing aids were paid independently-out-of-pocket, while cochlear implant surgeries were funded by BPJS, plus extra costs independently. ABSTRAKLatar belakang: Penatalaksanaan terbaik untuk penderita tuli kongenital adalah pemasangan alat bantu dengar (ABD), baik berupa ABD eksternal maupun ABD yang ditanam dalam telinga (implan koklea), dengan tujuan untuk mengurangi beban medis dan sosial, serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Tujuan: Untuk mengetahui seberapa besar biaya pemasangan ABD pada penderita tuli kongenital, baik berupa ABD eksternal maupun implan koklea. Metode: Penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional study menggunakan kuesioner melalui wawancara. Besar sampel 535 ibu yang anaknya menderita tuli kongenital pada 24 rumah sakit yang memiliki fasilitas penegakkan diagnosis tuli kongenital di 17 provinsi di Indonesia. Hasil: Sebagian besar responden berusia 30-39 tahun (55%), pekerjaan terbanyak adalah ibu rumah tangga (71.8%), dan tingkat pendidikan SMA (52.5%). Jenis ABD yang terbanyak adalah ABD eksternal (92,7%) dengan pembiayaan secara mandiri 45,9%. Pemasangan ABD dengan tindakan operasi dilakukan pada 22 anak, yang terbanyak adalah implan koklea (95,5%) yang dibiayai oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditambah dengan biaya sendiri (50%). Diskusi: Penelitian ini mendapati bahwa ABD yang terbanyak digunakan oleh anak dengan gangguan pendengaran adalah ABD eksternal (92,7%) dengan biaya mandiri (45,9%). Habilitasi pendengaran dengan tindakan operasi hanya dilakukan pada 7,3% pasien, berupa implantasi koklea 95,5%. Kecilnya persentase habilitasi bedah dikarenakan tingginya harga implant koklea, dan bantuan dari BPJS tidak meliputi keseluruhan biaya. Kesimpulan: Sebagian besar pembiayaan alat bantu dengar eksternal secara mandiri, sedangkan operasi implan koklea menggunakan biaya BPJS ditambah biaya sendiri.
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Serumen Obsturan pada Pasien Rawat Jalan di Poliklinik THT RSU Cut Meutia Tahun 2023 Valensky, Ryan; Zachreini, Indra; Zubir, Zubir
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 3 No. 5 (2024): GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - Oktober 20
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v3i5.13146

Abstract

Serumen secara normal dapat ditemukan pada telinga, dapat mengumpul membentuk massa yang dapat menyumbat liang telinga sehingga menyebabkan gangguan pada hantaran suara yang berakibat terjadinya gangguan pendengaran. Serumen obsturan berpotensi menjadi masalah kesehatan karena dapat menurunkan fungsi pendengaran dan sebab utama gangguan pendengaran konduktif. Faktor usia mempengaruhi masalah kesehatan pendengaran.Semakin bertambahnya usia, maka gangguan pendengaran akan semakin rentan terjadi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi serumen obsturan adalah faktor genetik atau Riwayat keluarga. Indeks Massa Tubuh (IMT) serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi terbentuknya serumen obsturan. Studi literatur menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang menjelaskan secara bersamaan terkait dengan faktor- faktor usia, riwayat keluarga, pekerjaan dan IMT yang mempengaruhi pembentukan serumen obsturan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi prevalensi serumen obsturan pada pasien rawat jalan di Poliklinik THT RS Cut Meutia Lhokseumawe. Metode pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik dengan design cross-sectional. Populasi penelitian ini yaitu pasien rawat jalan di Poliklinik THT RS Cut Meutia periode Juni hingga Agustus 2023. Sampel pada penelitian ini berjumlah 121 responden. Hasil penelitian didapatkan prevalensi serumen obsturan sebesar 71 orang (58,7%). Tidak terdapat hubungan antara usia, pekerjaan dan IMT terhadap pembentukan serumen dan terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat keluarga (genetik) terhadap pembentukan serumen. Faktor yang paling bermakna terhadap pembentukan serumen obsturan adalah faktor riwayat keluarga (genetik) yang dapat meningkatkan risiko pembentukan serumen obsturan sebesar 3,875%.
Gangguan Pendengaran Akibat Pekerjaan Alfalah, Rizki; Zachreini, Indra
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 3 No. 6 (2024): GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - November 2
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v3i6.19088

Abstract

Gangguan pendengaran merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi di lingkungan kerja. Gangguan pendengaran akibat kerja adalah keadaan hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran secara permanen yang terjadi pada salah satu atau kedua telinga akibat terpapar oleh kebisingan secara terus-menerus di tempat kerja. Paparan kebisingan di tempat kerja sangat umum terjadi di seluruh dunia. Hingga 25% pekerja terpapar kebisingan di tempat kerja dengan tingkat kebisingan di atas 85 Db. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 466 juta orang hidup dengan gangguan pendengaran pada tahun 2018 dan perkiraan ini diperkirakann akan meningkat menjadi 630 juta orang pada tahun 2030 dan menjadi lebih dari 900 juta pada tahun 2050. Hal tersebut dinyatakan oleh Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian pada tahun 2014 yang menyebutkan bahwa gangguan pendengaran karena paparan bising di Indonesia masih tertinggi di Asia Tenggara yaitu dengan jumlah 16,8% atau sekitar 36 juta penduduk. Faktor risiko gangguan pendengaran pada pekerja dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, status perkawinan, riwayat hipertensi, waktu audiogram awal. Adapun faktor risiko yang dapat diubah yaitu intensitas kebisingan, shift kerja, lama kerja atau durasi kerja, penggunaan APD, merokok, tidak konsumsi obat-obatan. Cara paling efektif untuk mencegah gangguan pendengaran akibat kebisingan atau paparan bahan kimia adalah dengan menghilangkan sumber risiko dari tempat kerja melalui pengendalian teknis, mencari alternatif untuk meminimalkan paparan (seperti mengurangi durasi paparan), atau mewajibkan penggunaan alat pelindung diri. Peralatan jika pengendalian teknik atau administratif tidak menghilangkan paparan.
Hubungan Usia Dan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Otitis Media Supuratif Kronik Di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Tahun 2019-2020 Monganisa Alwy, putri; Zachreini, Indra; Sawitri, Harvina
Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan Vol. 6 No. 1 (2023): Jurnal Ilmiah MANUSIA DAN KESEHATAN
Publisher : FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31850/makes.v6i1.1963

Abstract

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. OMSK merupakan penyakit yang sering terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Kejadian tersering terjadi pada anak dan jenis kelamin laki-laki. Secara anatomi, tuba eustachius anak lebih pendek sehingga patogen mudah bermigrasi. Perbedaan tingkat aktivitas pada laki-laki dan perempuan mempengaruhi terjadinya OMSK. Penelitian ini menggunakan metode analitik cross-sectional. Subjek penelitian yaitu pasien dengan diagnosis penyakit telinga di Poliklinik THT-KL RSUD Cut Meutia Aceh Utara tahun 2019-2020, dengan teknik random sampling. Analisis data disajikan dalam bentuk tabel menggunakan uji analisis Chi Square. Jumlah pasien OMSK sebanyak 204 (42,6%) dari 479 pasien dengan penyakit telinga di Poliklinik THT-KL. Jumlah pasien OMSK terbanyak pada usia 36-45 tahun yaitu 36 pasien (17,6%) dan pasien jenis kelamin terbanyak pada perempuan yaitu 117 pasien (57,4%). Tidak terdapat hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian OMSK dengan nilai (p value 0,319 dan 0,442 > 0,05).
Hubungan Rinitis Alergi dengan Kualitas Hidup pada Guru SDN di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Muthia Zahra; Zachreini, Indra; Z, Khairunnisa
Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan Vol. 6 No. 2 (2023): Jurnal Ilmiah MANUSIA DAN KESEHATAN
Publisher : FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31850/makes.v6i2.2177

Abstract

Rinitis alergi merupakan kelainan simtomatik akibat pajanan alergen yang dimediasi oleh IgE sehingga menyebabkan inflamasi pada mukosa hidung dengan gejala bersin, hidung tersumbat, rinore dan gatal pada hidung. Rinitis alergi dapat mengganggu kesehatan, menurunkan kualitas hidup dan menimbulkan masalah fisik dan emosional pada pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan rinitis alergi dengan kualitas hidup penderitanya. Jenis/rancangan penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah guru SDN di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe dengan jumlah sampel sebanyak 221 orang. Kuesioner Score for Allergic Rhinitis (SFAR) dan The Short-Form-36 (SF-36) digunakan untuk mengumpulkan data masing-masing tentang rinitis alergi dan kualitas hidup. Pengumpulan data dilakukan dengan mengggunakan kuesioner Score for Allergic Rhinitis (SFAR) untuk diagnosis rinitis alergi dan kuesioner The Short-From-36 (SF-36) untuk menilai kualitas hidup. Secara keseluruhan dalam penelitian ini didapatkan 60 orang yang menderita rinitis alergi dan 161 orang yang tidak menderita rinitis alergi. Dari 60 orang yang menderita rinitis alergi, didapatkan 39 orang (65%) dengan kualitas hidup buruk dan 21 orang (35%) dengan kualitas hidup baik, sedangkan dari 161 orang yang tidak menderita rinitis alergi didapatkan 14 orang (8,7) dengan kualitas hidup buruk dan 147 orang (91,3%) dengan kualitas hidup baik. Data analisis bivariat menunjukkan nilai p <0,05 dan OR = 19,500. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara rinitis alergi dengan kualitas hidup guru SDN di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
Survei Aksesibilitas Layanan Kesehatan Penyandang Disabilitas Rungu di Indonesia Varry, Rezza; Zachreini, Indra; Ghaitsa, Fitrina
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 4 No. 3 (2025): GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - Juni 2025
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v4i3.22396

Abstract

Penyandang disabilitas rungu adalah kelompok difabel yang mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari karena ketidak mampuannya mendengar. Kesehatan adalah salah satu pelayanan dasar yang harus dipenuhi negara karena bersinggungan dengan kebutuhan dan hak utama warga. Pelaksanaan pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Artinya, setiap warga negara, tak terkecuali penyandang disabilitas, mempunyai hak yang sama untuk mendapat pelayanan kesehatan yang bermutu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat aksesibilitas layanan kesehatan penyandang disabilitas rungu. Studi ini adalah deskriptif analitik yang menggunakan pendekatan secara cross sectional. Tujuannya adalah untuk analisa tingkat aksesibilitas responden terhadap layanan kesehatan seluruh tempat/lokasi penduduk yang berada di wilayah Republik Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada selama 45 hari (18 Januari sampai 3 Maret 2023). Sampel pada penelitian ini adalah 405 responden yang memenuhi kriteria eklusi dan inklusi dengan pengambilan sampel yaitu consecutive sampling. Hasil penelitian didapatkan tingkat akses penyandang disabilitas terhadap layanan kesehatan yaitu kurang mudah (64,7%).
Exploring the Role of Primary Healthcare Workers in the Detection of Congenital Hearing Loss : a Survey-Based Study in Lhokseumawe Varry, Rezza; Ammara, Cut Balqis; Zachreini, Indra
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 4 No. 3 (2025): GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - Juni 2025
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v4i3.22516

Abstract

Healthcare workers’ behavior plays a crucial role in the success of early detection of congenital hearing loss. This behavior is influenced by their knowledge, attitudes, and practices in clinical settings. This study aims to evaluate the level of healthcare workers’ behavior in primary care services in Lhokseumawe City in detecting congenital hearing loss. Research Objective: To assess the level of healthcare workers’ behavior in the early detection of congenital hearing loss in primary care services in Lhokseumawe City. Research Method: This is a descriptive analytic study with a cross-sectional design. The research was conducted over one year (July 2023 – June 2024). The study sample consisted of healthcare workers who met the inclusion criteria: working as general practitioners, nurses, or midwives in primary care services in Lhokseumawe City, aged 20 years and above, and willing to participate in the study. The exclusion criterion was incomplete responses to the questionnaire. Research Results: The majority of respondents were female (89.93%), in the productive age group, and predominantly midwives (66%). About 48% of respondents knew that the ideal age for diagnosing congenital hearing loss is 3 months, and 50% knew that the ideal time for intervention is 6 months. Most respondents demonstrated a positive attitude toward the importance of early detection, and 100% were willing to make referrals. In practice, 95% conducted family history taking, 70% performed hearing screening tests, and 79% examined ear abnormalities in infants or children. Conclusion: The level of healthcare workers’ behavior regarding early detection of congenital hearing loss reflects generally good attitudes and practices; however, there are still gaps in knowledge related to the ideal timing of diagnosis and intervention. Training interventions and the provision of screening tools need to be improved to optimize the role of primary care services in early detection programs for congenital hearing loss.
Effects of Black Garlic Extract Against Monosodium Glutamate-Induced Liver Damage in Rats: Macroscopic Studies Maulina, Nora; Zachreini, Indra; Gholib, Gholib; Akmal, Muslim
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Volume 11 No.1 Mei 2025
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v11i1.18815

Abstract

Monosodium glutamate (MSG) enhances flavor during food processing by providing an umami taste, but its metabolic by-products can cause liver injury. The liver is crucial for the metabolism of xenobiotics including glutamate. Black garlic, derived from fresh garlic (Allium sativum L.) through chemical reactions and heat treatment, may have hepatoprotective properties; however, studies are limited. This study assessed the hepatoprotective effects of black garlic extract (BGE) on MSG-induced liver damage. Twenty-five Wistar rats (Rattus norvegicus) were divided into five groups (n = 5): P0 (negative control); P1 (MSG group), 8 mg/kg MSG for 21 days; and P2, P3, and P4, receiving the same MSG protocol as P1 plus BGE doses of 200, 400, and 600 mg/kg body weight, respectively, for 16 days. After the experiment, rats were euthanized for liver tissue extraction. Although liver weights in the BGE-treated groups were lower than those in the MSG group, the difference was not statistically significant. These results indicated that a BGE dose of 200 mg/kg body weight mitigated MSG-induced hepatic damage. Further biochemical and histological studies are required to elucidate the mechanism of BGE's hepatoprotective action of BGE against MSG-induced hepatotoxicity.