Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

JURISPRUDENCE POSITION IN THE COMMON AND CIVIL LAWS Edi Rohaedi
JHSS (JOURNAL OF HUMANITIES AND SOCIAL STUDIES) Vol 2, No 2 (2018): Journal of Humanities and Social Studies
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (71.373 KB) | DOI: 10.33751/jhss.v2i2.950

Abstract

The development of jurisprudence continues to grow in accordance with the existing laws in the society which it is not the same as the law in legal development. It is not related to the rigid nature of the law which only regulates the general nature and the process of its formation takes a long time. In practice, the development of jurisprudence, as one of the sources of formal law, can be distinguished into two legal systems affecting the legal world. They are namely the Continental European legal system with its Civil Law System which prioritizes "codification" in the field of law and the Anglo Saxon law with its Common Law System, which is famous for the "Precedent" system binding the judges to follow the previous judgment in deciding the same case.
ACCOUNTABILITY OF DISCRETION ACT BY GOVERNMENT OFFICIALS IN THE PERSPECTIVE OF STATE LAW OF WELFARE Asmak Ul Hosnah; Edi Rohaedi
JHSS (JOURNAL OF HUMANITIES AND SOCIAL STUDIES) Vol 4, No 1 (2020): Journal of Humanities and Social Studies
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (155.482 KB) | DOI: 10.33751/jhss.v4i1.1904

Abstract

Accountability of government officials' actions is strongly related to the exercise of government authority. In carrying out duties to realize the general welfare, the authority used by organs or government officials is based on the provisions of the laws and regulations (the principle of legality). However, it is not uncommon for the task to be carried out based on discretionary authority. The freedom of government officials to make decisions based on discretionary authority has a great potential to be abused which results in consequences from both point of view of administrative law as well as of criminal law. In the practice, there is discrepancy among law enforcers on the understanding of the principles related to the accountability of discretionary authority held by government officials.
MEKANISME PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM Edi Rohaedi; Isep H. Insan; Nadia Zumaro
PALAR (Pakuan Law review) Vol 5, No 2 (2019): Volume 5 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (672.229 KB) | DOI: 10.33751/palar.v5i2.1192

Abstract

ABSTRAK Pengadaan tanah merupakan perbuatan hukum yang berupa melepaskan hubungan hukum yang semula ada antara pemegang hak dan tanahnya yang diperlukan, dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang, fasilitas atau lainnya, melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat antara empunya tanah dan pihak yang memerlukan. Proses pelepasan hak atas kepemilikan orang atas tanah dan/atau benda-benda yang ada diatasnya yang dilakukan secara sukarela. Pengaturan Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil Penyelenggaraan pengadaan tanah juga sering bersinggungan dengan isu hukum mendasar seperti hak asasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun kelompok.Kata Kunci : pengaturan, pengadaan tanah, kepentingan umum. ABSTRACTLand acquisition is a legal act in the form of relinquishing the legal relationship that originally existed between the holder of the right and the land needed, by providing compensation in the form of money, facilities or others, through deliberation to reach an agreement between the owner of the land and the party in need. The process of relinquishing rights to ownership of land and / or objects thereon which is done voluntarily. Regulation on Land Procurement for development in the public interest is regulated in Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest and its Implementation Regulations are governed by Presidential Regulation and Regulation of the Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia. Land acquisition for development in the public interest is carried out through several stages, namely the planning, preparation, implementation and delivery of results. The implementation of land acquisition also often intersects with fundamental legal issues such as human rights, the principle of justice, the principle of a balance between the interests of the state and the interests of the community both individuals and groups.Keywords: arrangement, land acquisition, public interest.
PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA PEMERINTAH KOTA BOGOR Edi Rohaedi; Hasan Basri; Nandang Kusnadi
PALAR (Pakuan Law review) Vol 7, No 2 (2021): Volume 7, Nomor 2 April-Juni 2021
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1094.455 KB) | DOI: 10.33751/palar.v7i2.3581

Abstract

Abstrak Dalam rangka usaha memelihara kewibawaan Pegawai Negeri Sipil, serta untuk mewujudkan Pegawai Negeri sebagai Aparatur Pemerintah yang bersih dan berwibawa diperlukan adanya suatu perangkat peraturan disiplin yang memuat pokok-pokok kewajiban, larangan dan sanksi apabila suatu kewajiban tersebut tidak ditaati atau adanya suatu pelanggaran-pelanggaran dalam menjalankan tugas. Pengaturan dan penerapan  sanksi disiplin  terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS)  pada Pemerintah Daerah Kota Bogor diatur dengan Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 16 Tahun  2016 tentang Kinerja Dan Disiplin Pegawai di Lingkungan Pemerintah Kota Bogor sebagai penjabaran dan pedoman lebih lanjut terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang merupakan pedoman bagi pejabat yang berwenang menghukum serta memberikan kepastian dalam menjatuhkan hukuman disiplin. Demikian juga dengan batasan kewenangan bagi pejabat yang berwenang menghukum yang didasarkan pada wewenang yang jelas, mekanisme yang benar dan atas pertimbangan objektif terhadap pelanggaran yang dilakukan, selain itu pula dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong atau menyebabkan Pegawai Negeri Sipil tersebut melakukan pelanggaran disiplin. Kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam penerapan sanksi disiplin, yaitu kurangnya profesionalisme dan tanggung jawab Pegawai Negeri Sipil dalam menyelenggarakan tugasnya, kurang tegasnya sanksi yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang serta  masih rendahnya kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku Aparatur Sipil Negara. Kata Kunci : Sanksi,  Pelanggaran Disiplin, Pegawai Negeri  AbstractIn order to maintain the authority of civil servants, as well as to realize civil servants as clean and authoritative Government Apparatus, a set of disciplinary regulations containing the points of obligation, prohibition and sanctions if an obligation is not obeyed or there is a violation in carrying out the task. The regulation and application of disciplinary sanctions against Civil Servants (PNS) in the Bogor City Government is regulated by Bogor Mayor Regulation No. 16 of 2016 concerning Performance and Discipline of Employees in the Bogor City Government Environment as a further description and guideline to the provisions in Government Regulation No.53 of 2010 on Discipline of Civil Servants which is a guideline for officials authorized to punish and provide certainty in imposing disciplinary penalties. Similarly, the limitation of authority for authorized officials to punish is based on clear authority, correct mechanisms and on objective consideration of violations committed, in addition to considering the factors that encourage or cause the Civil Servant to commit disciplinary violations. Obstacles faced by the Bogor City Government in the application of disciplinary sanctions, namely the lack of professionalism and responsibility of civil servants in carrying out their duties, the lack of strict sanctions given by authorized officials and the low discipline of civil servants in carrying out their duties and obligations as civil servants. Keywords : Sanctions, Discipline Violations, Civil Servants
ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PASCA BERLAKUNYA UU NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA Nuradi ,; Dwi Andayani Budisetyowati; Edi Rohaedi; Teguh Setiadi
PALAR (Pakuan Law review) Vol 8, No 1 (2022): Volume 8, Nomor 1 Januari-Maret 2022
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1031.333 KB) | DOI: 10.33751/palar.v8i1.4689

Abstract

Abstrak Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja  khususnya ketentuan Pasal 22 berpengaruh dan membawa konsekuensi hukum terhadap beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk juga perubahan ketentuan berkaitan dengan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Tujuan Penelitian ini bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebelum dan sesudah berlakunya UU 11/2020.  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pengolahan data dilakukan secara deskriptif analitis. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan. Hasil penelitian memperlihatkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup setelah berlakunya UU 11/2020 dapat dilakukan dengan cara pengajuan gugatan keperdataan ke Pengadilan Negeri yang berwenang, dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) berupa negosiasi ataupun mediasi serta melalui arbitrase. Kata kunci : Penyelesaian Sengketa, Lingkungan Hidup, UU Cipta Kerja Absract The enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, particularly the provisions of Article 22, has legal consequences for several articles in Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management, including changes to provisions relating to the settlement of environmental disputes. This research aims to regulate the settlement of environmental disputes before and after the enactment of Law 11/2020. The method used in this study is a normative juridical approach with a statute approach and a conceptual approach. Data processing was carried out in a descriptive-analytical manner. The data collection carried out in this study used a literature study. The study results show that the settlement of environmental disputes after enacting Law 11/2020 can be carried out by submitting a civil suit to the competent District Court. Furthermore, the settlement of environmental disputes outside the court can be carried out through Alternative Settlement Keywords: Dispute Resolution, Environment, Job Creation Law
PENERBITAN PERMOHONAN PERIZINAN BERUSAHA MELALUI SISTEM ONLINE SINGLE SUBMISSION Teguh Setiadi; Edi Rohaedi; Muchamad Wajihuddin
PALAR (Pakuan Law review) Vol 7, No 1 (2021): Volume 7, Nomor 1 Januari-Maret 2021
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (867.285 KB) | DOI: 10.33751/palar.v7i1.3083

Abstract

Abstrak Online Single Submission (OSS) diluncurkan pada tanggal  8 Juli 2018 dalam rangka menyederhanakan proses perizinan berusaha. Disebut pertama kali dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017, sedangkanh peraturan pelaksanaan OSS ini  diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. OSS adalah sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik dengan seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) negara hingga Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia. Kebijakan ini diambil Pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian nasional melalui pertumbuhan dunia usaha yang selama ini mengeluhkan panjangnya waktu dan rantai birokrasi yang harus dilewati untuk memulai suatu usaha. Online Single Submission sering juga disebut dengan singkatan OSS. Penggunaan OSS ini biasanya dilakukan dalam hal pengurusan izin berusaha oleh para pelaku usaha. Jadi bila ingin berusaha atau memiliki sebuah usaha bisa melakukan pengurusan OSS ini. Usaha yang dirintis tidaklah terbatas. Maksudnya adalah semua jenis usaha bisa diperoleh ijinnya melalui pengurusan OSS ini. Baik usaha dengan tingkat mikro maupun usaha kecil dan usaha menengah hingga usaha berkelas besar sudah seharusnya mendapatkan izin untuk berdiri dan beroperasional. Baik usaha perorangan maupun usaha dalam bentuk badan usaha atau lembaga juga perlu izin untuk berdiri dan beroperasional.Dengan adanya OSS, pelaku usaha tidak lagi harus mendatangi berbagai K/L atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di pemda untuk mengurus izin berlapis-lapis yang sebelumnya harus diperoleh satu per satu secara bertahap. OSS memungkinkan pelaku usaha untuk segera memulai proses produksinya secara simultan sembari melengkapi dokumen-dokumen pelaksanaan lainnya. Kata Kunci : Penerbitan,  Perizinan Berusaha, Online Single Submission Abstract                  Online Single Submission (OSS) was launched on July 8, 2018 in order to simplify the business licensing process. It was mentioned for the first time in Presidential Regulation Number 91 of 2017, while the regulations for implementing this OSS are regulated in Government Regulation Number 24 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing Services. OSS is a business licensing system that is integrated electronically with all Ministries / Institutions (K/ L) of the country to Local Governments (Pemda) in Indonesia. This policy was taken by the Government as an effort to improve the national economy through the growth of the business world, which has been complaining about the long time and bureaucratic chains that must be passed to start a business. Online Single Submission is often referred to as the OSS acronym. The use of OSS is usually carried out in terms of obtaining business licenses by business actors. So if you want to have a business or have a business you can take care of this OSS. The efforts initiated were not limited. The point is that permits for all types of businesses can be obtained through this OSS arrangement. Both businesses with the micro level and small businesses and medium-sized businesses to large-class businesses should have obtained a license to stand and operate. Both individual businesses and businesses in the form of business entities or institutions also need a license to stand and operate. With the OSS, business actors no longer have to visit various Ministries/Agencies or Regional Apparatus Organizations (OPD) in the regional government to take care of the previous multi-layered permits. must be obtained one by one gradually. OSS allows business actors to immediately start the production process simultaneously while completing other implementation documents. KEY WORDS : Publishing, business licensing, Online Single Submission
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 H. Abid; Edi Rohaedi; Nandang Kusnadi
PALAR (Pakuan Law review) Vol 8, No 4 (2022): Volume 8, Nomor 4 Oktober-Desember 2022
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (918.637 KB) | DOI: 10.33751/palar.v8i4.6808

Abstract

AbstrakTujuan Penelitian ini ialah untuk menjelaskan bahwa dalam konteks Undang-Undang Perkawinan ditegaskan bahwa kedudukan anak di luar kawin tetap memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya walaupun tidak ada pengakuan terhadapnya menyatakan bahwa anak luar kawin berhak untuk mendapat jaminan penghidupan yang layak dan warisan dari ayah biologisnya yang telah mengakuinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan anak luar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif empiris. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif analitis. pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan Pasca putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, maka anak luar kawin berhak untuk mendapat jaminan penghidupan yang layak dan warisan dari ayah biologisnya yang telah mengakuinya. Kata kunci : Kedudukan , Anak Luar Kawin, Putusan, Mahkamah Konstitusi. AbstractThe purpose of this research is to explain that in the context of the Marriage Law it is emphasized that the position of a child out of wedlock still has a civil relationship with his mother and his mother's family even though there is no acknowledgment against him stating that a child out of wedlock has the right to receive a decent living guarantee and an inheritance from the father His biology has recognized it. This study aims to determine how the position of children out of wedlock after the decision of the Constitutional Court Number 46/PUU-VIII/2010 dated 17 February 2012. The method used in this study is empirical normative juridical. Data processing was carried out in a descriptive analytical manner. data collection carried out in this study using library research. The results of the study show that after the Constitutional Court's decision No. 46/PUU-VIII/2010 dated 17 February 2012, children out of wedlock have the right to guarantee a decent living and inheritance from their biological father who has acknowledged them. Keywords: Position, Children out of wedlock, Decision, Constitutional Court.
KEDUDUKAN UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Edi Rohaedi; Nandang Kusnadi; Bambang Heriyanto; Nuradi .
PALAR (Pakuan Law review) Vol 9, No 2 (2023): Volume 9, Nomor 2 April-Juni 2023
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v9i2.8581

Abstract

Abstrak Eksekusi merupakan cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat kekuasaan negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi substansi putusan dalam waktu yang ditentukan. Problem pelaksanaan putusan peradilan dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara telah ada sejak berdirinya peradilan ini. Untuk mengatasi permasalahn tersebut, diantaranya dilakukan penguatan lembaga eksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara, maka pada Perubahan pertama Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, telah dilengkapi lembaga paksa berupa hukuman uang paksa (dwangsom) bagi tergugat yang tidak mematuhi putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimanakah mengenai kedudukan uang paksa (dwangsom) terhadap pejabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif yang menekankan pada data sekunder yaitu bahan-bahan   hukum yang sudah didokumentasikan. Dwangsom merupakan instrumen efektif dalam rangka menjaga nilai eksekutabilitas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga untuk menghindarkan kegamangan hakim pengadilan tata usaha negara, maka mendesak untuk segera diterbitkan peraturan pelaksanaan uang paksa sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 116 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undnag No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undnag Peradilan Tata Usaha Negara. Kata kunci : Uang Paksa, Eksekusi,  Putusan Pengadilan  Abstract Execution is a method and conditions used by the instruments of state power to assist interested parties to carry out the judge's decision if the losing party is not willing to comply with the substance of the decision within the specified time. The problem of implementing judicial decisions within the State Administrative Court has existed since the establishment of this court. To overcome these problems, including strengthening the institution of execution of State Administrative Court decisions, the first amendment to the State Administrative Court Law, through Law No. 9 of 2004, has been equipped with a forced institution in the form of forced money punishment (dwangsom) for defendants who do not comply with the decision of the State Administrative Court. This study aims to examine how the position of forced money (dwangsom) against state administrative officials who do not implement the decision of the State Administrative Court. The method used in this study is normative juridical which emphasizes secondary data, namely legal materials that have been documented. Dwangsom is an effective instrument to maintain the executability value of State Administrative Court decisions. To avoid the confusion of the judges of the state administrative court, it is urgent to immediately issue regulations on the implementation of forced money as mandated by Article 116 paragraph (7) of Law No. 5 of 1986 as last amended by Law No. 51 of 2009 concerning the Second Amendment to the Law on State Administrative Court. Keywords: Forced Money, Execution, Court Verdict  
PENERAPAN TEORI KEADILAN PADA KEWARISAN ANAK ZINA abid .; edi rohaedi; Nandang Kusnadi
PALAR (Pakuan Law review) Vol 10, No 1 (2024): Volume 10, Nomor 1 Januari-Maret 2024
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v10i1.9595

Abstract

Abstrak Kompilasi Hukum Islam danperaturan  perundang-undangan  belum memberikan kedudukan dan perlindungan  yang jelas terhadap keberadaan status anak zina dalam kaitannya dengan kewarisan anak zina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan teori keadilan terhadap kedudukan anak zina dalam hukum islam dan Kompilasi Hukum Islam tentang kewarisannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif yang menekankan pada data sekunder yaitu bahan-bahan   hukum yang sudah didokumentasikan dam pengolahan data dilakukan secara deskriptif analitis. Benteng terakhir yang harus memberikan keadilan terhadap anak zina dalam hak warisnya adalah ijtihad para hakim (Pengadilan Agama) dengan memberikan wasiat wajibah untuk anak zina dari bapak biologisnya. Kata kunci : Teori Keadila, Kewarisan, Anak Zina. Abstract The purpose of this research is to explain that The compilation of Islamic Law and laws and regulations has not provided a clear position and protection against the existence of the status of adulterous children in relation to the inheritance of adulterous children. This study aims  to determine the application of justice theory to the position of adulterous children in Islamic law and the Compilation of Islamic Law on their inheritance. The method used in this study is normative juridical which emphasizes secondary data, namely legal materials that have been documented and data processing is carried out in an analytical descriptive manner. The last bastion that must provide justice to the adulterous child in his inheritance rights is the ijtihad of the judges (Religious Courts) by giving a mandatory will to the adulterous child of his biological father. Keywords: Theory of Justice, Inheritance, Son of Zina.
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 H. Abid; Edi Rohaedi; Nandang Kusnadi
PALAR (Pakuan Law review) Vol 8, No 4 (2022): Volume 8, Nomor 4 Oktober-Desember 2022
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v8i4.6808

Abstract

AbstrakTujuan Penelitian ini ialah untuk menjelaskan bahwa dalam konteks Undang-Undang Perkawinan ditegaskan bahwa kedudukan anak di luar kawin tetap memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya walaupun tidak ada pengakuan terhadapnya menyatakan bahwa anak luar kawin berhak untuk mendapat jaminan penghidupan yang layak dan warisan dari ayah biologisnya yang telah mengakuinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan anak luar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif empiris. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif analitis. pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan Pasca putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, maka anak luar kawin berhak untuk mendapat jaminan penghidupan yang layak dan warisan dari ayah biologisnya yang telah mengakuinya. Kata kunci : Kedudukan , Anak Luar Kawin, Putusan, Mahkamah Konstitusi. AbstractThe purpose of this research is to explain that in the context of the Marriage Law it is emphasized that the position of a child out of wedlock still has a civil relationship with his mother and his mother's family even though there is no acknowledgment against him stating that a child out of wedlock has the right to receive a decent living guarantee and an inheritance from the father His biology has recognized it. This study aims to determine how the position of children out of wedlock after the decision of the Constitutional Court Number 46/PUU-VIII/2010 dated 17 February 2012. The method used in this study is empirical normative juridical. Data processing was carried out in a descriptive analytical manner. data collection carried out in this study using library research. The results of the study show that after the Constitutional Court's decision No. 46/PUU-VIII/2010 dated 17 February 2012, children out of wedlock have the right to guarantee a decent living and inheritance from their biological father who has acknowledged them. Keywords: Position, Children out of wedlock, Decision, Constitutional Court.