The recognition of indigenous community rights, particularly ulayat rights, within Indonesia’s national agrarian legal system faces significant regulatory and practical challenges. Although Article 18B(2) of the 1945 Constitution and the Basic Agrarian Law (UUPA) acknowledge ulayat rights, the lack of clear technical regulations creates legal uncertainty and frequently sparks agrarian conflicts between indigenous communities, the government, and private entities. This study aims to analyze the recognition of ulayat rights and the challenges of integrating customary law into the national agrarian legal framework. Utilizing a normative juridical method, this research examines relevant regulations and legal literature to identify regulatory gaps and propose ideal solutions for ulayat rights protection. The research results indicate that the absence of clear verification and registration mechanisms has hindered the protection of ulayat rights, caused legal uncertainty, and triggered agrarian conflicts, as seen in the case of Pulau Rempang. To deal with these problems, this research suggests creating a separate, open, and honest body to check ulayat rights along with a computerized system for registering these rights that takes into account local knowledge. Pengakuan hak ulayat masyarakat adat dalam sistem hukum agraria nasional menghadapi tantangan signifikan, baik dari sisi regulasi maupun implementasi. Meskipun Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui hak ulayat, ketiadaan peraturan teknis yang jelas menyebabkan ketidakpastian hukum dan sering memicu konflik agraria antara masyarakat adat, pemerintah, dan pihak swasta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk pengakuan hak ulayat dan tantangan integrasi hukum adat dalam hukum agraria nasional. Menggunakan metode yuridis normatif, penelitian ini mengkaji peraturan yang berlaku dan literatur hukum untuk mengidentifikasi kesenjangan regulasi serta solusi ideal untuk perlindungan hak ulayat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme verifikasi dan registrasi yang jelas telah menghambat perlindungan hak ulayat, menyebabkan ketidakpastian hukum, dan memicu konflik agraria, seperti yang terlihat dalam kasus Pulau Rempang. Untuk mengatasi tantangan ini, penelitian ini mengusulkan pembentukan badan independen untuk verifikasi hak ulayat yang bekerja secara transparan, serta sistem pendaftaran hak ulayat berbasis digital yang responsif terhadap kearifan lokal.