Articles
            
            
            
            
            
                            
                    
                        PERWAKAFAN TANAH NON HAK MILIK PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 
                    
                    Anda Setiawati                    
                     SUPREMASI HUKUM Vol 15 No 02 (2019): Supremasi Hukum 
                    
                    Publisher : Universitas Islam Syekh Yusuf 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.33592/jsh.v15i2.441                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Pasca diundangkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terjadi perubahan paradigma tanah wakaf. Jika sebelumnya hanya tanah Hak Milik yang dapat diwakafkan, dalam perkembangannya tanah-tanah non Hak Milik juga dapat diwakafkan. Dimungkinkannya tanah non Hak Milik (HGU, HGB, HP di atas tanah negara maupun tanah HGB atau HP di atas tanah HPL atau di atas Hak Milik) untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan sisa jangka waktu hak atas tanah yang bersangkutan memunculkan persoalan hukum, dimana ada ketidaksinkronan (inharmonisasi) antara UU wakaf dan peraturan di bidang pertanahan. Dalam perkembangannya, pemerintah melalui instansi terkait menerbitkan peraturan yang mengatur perwakafan tanah non Hak Milik antara lain Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak Dan Benda Bergerak Selain Uang dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Ka. BPN No. 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf Di Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/BPN.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        URGENSI SERTIFIKAT LAIK FUNGSI (SLF) SEBAGAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGGUNA/PENGHUNI BANGUNAN GEDUNG 
                    
                    Anda Setiawati                    
                     terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 2 No. 1: Mei 2020 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (297.072 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/teras-lrev.v1i2.7104                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Kasus robohnya bangunan gedung terutama di Jakarta,  tidak bisa dilepaskan dari adanya kondisi fungsi bangunan yang tidak layak. Dalam aturannya, setiap pemilik bangunan gedung wajib memperoleh SLF yang membuktikan keandalan bangunan miliknya sekaligus menjamin keamanan, kenyamanan dan keselamatan pengguna/penghuninya. Kewajiban memperoleh SLF pada dasarnya untuk memberikan rasa aman terutama bagi diri pribadi, keluarga, dan hak milik penghuni/pengguna bangunan gedung sebagaimana tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang HAM. Perlindungan atas rasa aman terutama hak milik dari penghuni/pengguna diwujudkan dalam bentuk tanggung gugat pemilik bangunan. Tanggung gugat pemilik bangunan gedung didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Hak asasi pengguna/penghuni bangunan gedung yang laik fungsi juga dilindungi agar pemerintah daerah beserta aparatnya tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam melakukan proses SLF. Dari aspek hukum administratif, penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SLF melanggar UU No. 30/2014 terutama asas perlindungan atas HAM. Sedangkan secara perdata, tindakan pemerintah daerah dan pejabatnya juga dapat digugat atas dasar perbuatan melanggar hukum dari penguasa.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        TANAH WAKAF UNTUK RUMAH SUSUN UMUM 
                    
                    Anda Setiawati                    
                     Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 1 (2018): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (75.031 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/hpph.v1i1.3578                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Berdasarkan Pasal 18 UU No 20/2011 Tentang Rumah Susun, tanah wakaf dapat dimanfaatkan untuk pembangunan rumah susun umum. Selain dengan cara sewa, pemanfaatan tanah wakaf untuk rumah susun umum juga dapat dilakukan dengan cara kerjasama pemanfaatan, sepanjang sesuai dengan ikrar wakaf, prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya adalah pola atau bentuk kerjasama yang seperti apa yang sesuai untuk pembangunan rumah susun umum di atas tanah wakaf. Untuk menemukan pola kerjasama yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah dilakukan penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum normatif (doctrinal research) dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan berupa data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara dedutif. Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat dijelaskan bahwa Build Operate and Transfer (BOT) dapat dipakai sebagai pola kerjasama pemanfaatan tanah wakaf untuk rumah susun umum yang menggunakan akad musyarakah. Dipilihnya BOT sebagai pola kerjasama pemanfaatkan tanah wakaf didasarkan pada adanya kesamaan BOT dengan musyarakah, dimana keduanya merupakan bentuk kerjasama modal yang didasarkan pada kesepakatan antara investor dan pemilik/pengelola tanah. Persamaan lainnya adalah dalam pembagian keuntungan dan kerugian yang didasarkan pada prosentase (nisbah) atas dasar kesepakatan para pihak. Akan tetapi, kerjasama pemanfaatan tanah wakaf  yang menggunakan pola BOT dengan akad musyarakah hanya dilakukan terhadap tanah-tanah wakaf yang sudah tidak produktif dan pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mengingat belum adanya aturan hukum yang mengatur BOT tanah wakaf untuk pembangunan rumah susun umum, sebagai upaya mengisi kekosongan hukum dapat digunakan ketentuan BOT yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Milik Negara/Daerah, Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kata kunci: BOT tanah wakaf untuk rumah susun umum
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        UPAYA HUKUM TERKAIT MASALAH PENJUALAN RUMAH SUSUN YANG DIIKAT DENGAN PPJB 
                    
                    Anda Setiawati                    
                     Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 2 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (242.143 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/hpph.v1i2.5482                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Penjualan rumah susun/apartemen/kondominium dalam kondisi belum selesai dibangun (penjualan secara off-plan/pre-project selling) banyak dilakukan melalui PPJB yang umumnya dibuat dalam bentuk yang baku. Model penjualan melalui PPJB ternyata menimbulkan masalah hukum yang cenderung merugikan calon pembeli. Banyak pengembang yang dalam pembuatan PPJB selalu mencantumkan klausula baku dan penghindaran atau pengabaian Pasal 43 ayat (2) UURS. Berlindung di balik berlakunya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak, para pengembang berusaha menghindar dari persyaratan penjualan melalui PPJB, terutama syarat kepastian hak atas tanah, IMB dan keterbangunan 20%. Untuk meminimalisir kerugian pada konsumen rumah susun (calon pembeli) dan itikad tidak baik dari pengembang harus ada penegakan hukum yang jelas dan pasti yang dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan perlindungan hukum  bagi masyarakat pembeli rumah susun. Ada berbagai instrumen hukum yang dapat digunakan oleh calon pembeli dalam menuntut menuntut hak-haknya, yaitu melalui upaya hukum perdata dan pidana. Dalam penyelesaian perdatanya,  dapat dipilih penyelesaian melalui cara non litigasi/ADR dan mengadu ke BPSK atau menggunakan cara litigasi melalui gugatan wanprestasi atau gugatan perbuatan melawan hukum. Penggunaan instrumen hukum pidana didasarkan pada pengenaan sanksi pidana yang terdapat Pasal 110 UURS dan 62 ayat (1) UUPK.Kata Kunci: Rumah Susun, PPJB
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        KAJIAN ATAS SENGKETA DUALISME KEPENGURUSAN PERHIMPUNAN PENGHUNI DAN PEMILIK SARUSUN (PPPSRS) 
                    
                    Anda Setiawati                    
                     Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 2 No. 1 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (143.349 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/hpph.v2i1.7682                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Dalam praktik pengurusan dan pengelolaan rumah susun oleh PPPSRS, muncul persoalan adanya dualisme kepengurusan PPPSRS. Masing-masing pihak merasa memiliki legitimasi dan kewenangan berdasarkan pemberian status badan hukum oleh pemerintah daerah. Secara normatif, legalitas pengurus PPPSRS merujuk pada legalitas pembentukan PPPSRS yang dibuktikan dengan akta pendirian beserta AD/ART PPPSRS.  yang dilaporkan ke instansi terkait untuk memperoleh status badan hukum. Pemilihan pengurus dilakukan atas dasar musyawarah mufakat dan jika tidak mencapai kuorum dilakukan atas dasar suara terbanyak. Pergantian atau perubahan pengurus dapat dilakukan melalui RULB berdasarkan hak suara pemilihan yang dimiliki oleh anggota PPPSRS dan dituangkan dalam suatu akta notariil, untuk kemudian dilakukan pencatatannya ke instansi/dinas terkait.  Pencatatan ini tidak bisa ditafsirkan sebagai cara untuk memperoleh status badan hukum baru dari PPPSRS baru melainkan hanya berupa pencatatan pergantian atau perubahan pengurus dari yang lama ke yang baru.Kata kunci: Dualisme Kepengurusan, PPPSRS
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        MASALAH PEMBATALAN PERJANJIAN YANG BERBAHASA ASING PASCA BERLAKUNYA UU NO. 24 TAHUN 2009 
                    
                    Anda Setiawati                    
                     Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (385.734 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/hpph.v4i1.13124                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Dengan diundangkannya UU No. 24 Tahun 2009 setiap nota kesepahaman atau perjanjian atau kontrak wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia. Akibatnya banyak pihak menggunakan undang-undang tersebut sebagai dasar untuk menuntut pembatalan perjanjian dengan alasan perjanjian berbahasa asing tidak sah dan melanggar syarat causa yang halal. Berangkat dari konsepsi hukumnya, causa adalah isi perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Sedangkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian merupakan formalitas atau prosedur pembuatan perjanjian. Jadi terkait keabsahan perjanjian yang berbahasa asing, pada prinsipnya perjanjian tersebut tetap sah. Meskipun demikian, karena penggunaan bahasa Indonesia menjadi syarat formil pembuatan kontrak, maka perjanjian yang berbahasa asing menjadi batal ketika formalitas yang dipersyaratkan tidak dipenuhi. Namun karena UU No. 24/2009 tidak mengatur sanksi atau akibat hukumnya, maka perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam bahasa asing harus dianggap sah dan mengikat.Kata kunci : Perjanjian, bahasa Indonesia, pembatalan perjanjian
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        ASPEK YURIDIS KEPEMILIKAN KONDOTEL SWISS BELHOTEL TUBAN – KUTA BALI OLEH WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN PP NO. 103 TAHUN 2015 
                    
                    Nastasha Estherina. G; 
Anda Setiawati                    
                     Reformasi Hukum Trisakti Vol. 3 No. 1 (2021): Reformasi Hukum Trisakti 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (247.726 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/refor.v3i1.10342                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
If previously the apartments were only meant for domestic use, they are now also utilized for non-residential uses, such as service hotels, one of which is situated in Bali, namely the Swiss Belhotel Tuban - Kuta Bali Condotel, whose existence draws tourists from abroad. According to PP No. 103 of 2015 concerning Ownership of Residential or Residential Houses by Foreigners Domiciled in Indonesia, the foreigner must be domiciled in Indonesia, provide economic benefits and the condotel purchased must be a new unit and built on Land Right to Use in order to be able to own and control the Swiss Belhotel Tuban - Kuta Bali Condotel unit. Simply said, there is a violation in the condotel unit's ownership Condotel ownership is given with a "strata title certificate" that includes 14 units that are owned and controlled by foreigners, in accordance with the provisions of PP No. 103/2015 and UURS. Given that the condotel is constructed on land with usage rights, foreigners should have ownership rights over flat units (HMSRS) rather than a "strata title" for their unit.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        PEMBATALAN SERTIFIKAT YANG DITERBITKAN DARI JUAL BELI YANG MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NO.1/Pdt.G/2015/PN.Mrj) 
                    
                    Farsya Fachira Aslam; 
Anda Setiawati                    
                     Reformasi Hukum Trisakti Vol. 3 No. 1 (2021): Reformasi Hukum Trisakti 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (316.17 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/refor.v3i1.10343                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
In reality, non-title holders often discover incidents of land sales and purchases. The land sale and purchase case involving H.M. Noor Habdi and Khairul Mahdi involved a parcel of land registered in Tirani's name as the object. Even though H.M. Noor Habdi did not actually own the property, he secured a land certificate from Tirani's husband in order to obtain a bank loan. However, H.M. Noor Habdi did not return the certificate he had borrowed after Tirani's spouse passed away; instead, he changed the name to his own and sold it to his son, Khairul Mahdi. Tirani and her kids, believing their rights had been violated, launched a case on the grounds urged that the land sale and purchase agreement be terminated after being accused of an illegal act. The findings of the study, the discussion and the conclusion led the judges on the Muaro District Court panel to issue Decision No. 1/Pdt.G/2015/PN.Mrj, which declared that H.M. Noor Habdi's legal transaction of buying and selling Khairul Mahdi was invalid and had no legal standing. However, Tirani's side had file a lawsuit with the State Administrative Court (PTUN) in order have the certificate that had been granted Khairul Mahdi's name revoked.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        MASALAH WANPRESTASI PENGEMBANG APARTEMEN NEWTON RESIDENCE 
                    
                    Erica Khoirunnisa; 
Anda Setiawati                    
                     Reformasi Hukum Trisakti Vol. 3 No. 2 (2021): Reformasi Hukum Trisakti 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (328.126 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/refor.v3i2.13451                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
The practice of Pre-Project Selling is used by people in the construction of flats by binding potential buyers through a Sale and Purchase Agreement (PPJB). In reality, many problems arise, especially the problems in PPJB violations. The problems in this research are whether pre-project selling of Newton Residence Apartments is in accordance with applicable procedures and whether PPJB violations by the developer include acts of default or acts against the law and whether the consideration of the panel of judges stated that the perpetrators of the construction of defaults were in accordance with the provisions of the applicable law. To answer the problems, the authors conduct a normative and descriptive legal research by using secondary data obtained trough library research, analyzed qualitatively and the conclusions are drawn deductively. The results of this research are that the pre-project selling of Newton Residence Apartments is not in accordance with the Decree of Menpera No. 11/KPTS/1994 and the actions of the perpetrators of the development include acts of default in the form of not carrying out what has been agreed upon, and a court decision stating that the developer is default is in accordance with the applicable law and regulations.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        KAJIAN MASALAH PRE-PROJECT SELLING APARTEMEN THE ASPEN PEAK RESIDENCE (PUTUSAN NO. 390/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL) 
                    
                    Sarah Anissa Rahmayanti; 
Anda Setiawati                    
                     Reformasi Hukum Trisakti Vol. 3 No. 4 (2021): Reformasi Hukum Trisakti 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                    |
                            
                            
                                Full PDF (268.588 KB)
                            
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.25105/refor.v4i2.13608                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
The practice of pre-project selling is widely used by development actors by being tied to the PPJB. However, problems arose, especially PPJB violations which led to lawsuits in court. In this study, the authors question whether the pre-project selling that is bound by the PPJB is in accordance with the applicable legal provisions and whether the judge's considerations in decision  No. 390/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel which stated that the default developer was correct. To answer these problems, research was carried out using normative juridical research types based on secondary data and the nature of the research was analytical descriptive with inductive conclusions drawn. From the analysis that has been carried out, the results of the research show that there is a discrepancy between the pre-project selling of The Aspen Peak Residence Apartment and the requirements of Articles 42 and 43 of the UURS, especially the conditions for certainty over land rights and matters agreed upon. Then the judge's decision stating that the developer was in default, the decision was correct because the developer was proven to have committed a default or violated the obligation to hand over two units of The Aspen Peak Residence Apartment.