Articles
Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Manipulasi Hasil Pertandingan Dalam Persepakbolaan Indonesia
Erganto Jai, Alfansyi Maximilano;
Astuti, Pudji;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 7 No 1 (2020)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v7i1.31108
AbstrakSepakbola merupakan salah satu cabang olahraga yang memiliki banyak penggemar di setiap negara, termasuk di Indonesia. Sepakbola di Indonesia pada saat ini telah menjadi salah satu sarana komoditas ekonomi dengan diselenggarakannya kompetisi-kompetisi sepakbola oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia sebagai induk organisasi persepakbolaan di Indonesia. Sepakbola sebagai salah satu cabang olahraga yang populer mengakibatkan munculnya pihak-pihak yang memanfaatkannya sebagai ladang untuk menghasilkan keuntungan pribadi dengan mengesampingkan prinsip fair play atau kejujuran dalam berolahraga yang biasa disebut dengan manipulasi hasil pertandingan. Manipulasi hasil pertandingan adalah sebuah perbuatan yang dilakukan agar salah satu tim yang sedang bertanding bermain untuk kalah atau dikalahkan. Perbuatan manipulasi hasil pertandingan sepakbola dilakukan oleh bandar judi bermodal besar yang memiliki tujuan untuk dapat memenangkan pasar taruhan. Bandar Judi dalam melakukan perbuatan manipulasi hasil pertandingan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu menemui langsung para target atau meminta bantuan kepada agen yang dapat membantunya dalam menemukan para target. Para agen ini yang nantinya akan mencari target yang dapat membantunya melakukan manipulasi hasil pertandingan dengan cara menawarkan atau menjanjikan sesuatu yang memiliki nilai ekonomis kepada seseorang yang memiliki wewenang dalam persepakbolaan di Indonesia dan/atau seseorang yang terlibat secara langsung dalam sebuah pertandingan, seperti wasit, pemain, pelatih, dan lain-lain.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbuatan manipulasi hasil pertandingan sepakbola dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana suap dan untuk mengetahui apakah hukum pidana yang berlaku di Indonesia dapat diberlakukan kepada para pelaku manipulasi hasil pertandingan sepakbola yang berasal dan berada di luar Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan penelitian, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Permasalahan pada penelitian ini dianalisa dengan menggunakan cara preskriptif.Hasil pada penelitian ini menunjukan bahwa perbuatan manipulasi hasil pertandingan sepakbola dapat diklasifikasikan sebagai sebuah tindak pidana suap dengan berdasarkan unsur-unsur yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dan hukum pidana di Indonesia dapat diberlakukan kepada para pelaku perbuatan manipulasi hasil pertandingan sepakbola yang berasal dan berada dari luar Indonesia berdasarkan asas teritorial, asas nasional pasif, dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana SuapKata kunci: Manipulasi hasil pertandingan, Suap, Berlakunya hukum pidana
EKSISTENSI HUKUMAN KEBIRI KIMIA BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DITINJAU DARI PEMBENTUKAN NORMA HUKUM PIDANA
roszana, dina;
Rusdiana, Emmilia;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 7 No 3 (2020)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v7i3.32337
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia merupakan suatu permasalahan besar yang dihadapi oleh masyarakat. dalam setiap tahunnya. Kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan yang cukup siknifikan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memuat hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dianggap belum efektif untuk memberikan efek jera kepada pelakunya. Menindaklanjuti hal tersebut pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Perubahan yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan residivis serta pelaku yang mengakibatkan gangguan jiwa, luka berat, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, terkena penyakit menular, dan/atau mengakibatkan matinya korban dengan memberikan hukuman kebiri kimia. Hukuman ini menjadi kontrofersial di masyarakat terkait pemberlakuan dan efektivitasnya yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan pembaharuan hukum dalam politik hukum pidana. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan adanya hukuman kebiri kimia dalam pembentukannya belum memenuhi pembentukan norma hukum pidana yang secara ideal harus mempertimbangkan necessity, adequacy, legal certainty, actuality, feasibility, verifiability, enforceability, dan provability. Dari delapan kriteria yang harus dipenuhi dalam pembentukan norma hukum pidana hukuman kebiri kimia hanya sesuai dengan kriteria legal certainty bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar, dan tidak menimbulkan penafsiran.
EKSAMINASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN PADA PENGADILAN NEGERI KUDUS DALAM PUTUSAN PERKARA NO. 124/Pid.B/2019/Pn.Kds
Nugroho, Haryo Yudhistira Hamengku;
Astuti, Pudji;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM In Press - Syarat SPK (4)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v0i0.38166
Developers are prohibited from selling plots of land, according to Article 1 number 17 of Law no. 1 of 2011 concerning Housing and Settlement Areas defines mature land plots as "a plot of land that has been prepared for a house in accordance with the requirements for use, control, land ownership, detailed spatial planning, as well as building and environmental planning." In connection with the provisions regarding selling mature land lots according to the explanation of Article 146 paragraph (1) of Law no. 1 of 2011 concerning Housing and Settlement Areas states that mature land lots are "an activity of a legal entity that deliberately only markets mature land lots to consumers without building houses first". Selling mature land lots, according to Article 146 of Law no. 1 of 2011 concerning Housing and Settlement Areas that "legal entities that build Ready-to-Build Environment (hereinafter abbreviated as Lisiba) are prohibited from selling mature land plots without houses", the prohibition is aimed at developers who build housing which are prohibited from selling mature land lots without houses. Taking into account the description, the issues discussed were what was the basis for the consideration of the public prosecutor to charge ADY PRIYO LEKSONO with Article 378 of the Criminal Code in cases that were decided by decision Number 124 / Pid.B / 2019 / Pn Kds and Is Article 154 of Law Number 1 Year 2011 concerning Housing and Housing not worthy of being accused.
URGENSI KRIMINALISASI KEPEMILIKAN PEROLEHAN DAN PENGGUNAAN AIRSOFT GUN TANPA IZIN
Bustomi, Yazid;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM In Press - Syarat SPK (5)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Airsoft gun merupakan sebuah replika senjata api yang dibuat sedemikian rupa dengan kemiripan 1:1. Indonesia memiliki dua peraturan tentang airsoft gun yang tertuang pada Peraturan Polri Nomor 5 Tahun 2018 dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2012. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah peraturan airsoft gun dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menentukan suatu tindak pidana dan menjelaskan mengenai urgensi perlunya dilakukan kriminalisasi perbuatan berkaitan dengan airsoft gun. Penelitian dilakukan menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus, pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka dan dianalisis dengan metode preskriptif. Hasil pembahasan menunjukkan, bahwa peraturan tentang airsoft gun yang ada, tidak dapat dijadikan sebagai dasasr hukum untuk menentukan suatu tindak pidana dan hakim dalam memutus perkara tentang airsoft gun akan menggunakan peraturan lain yang menyertai perbuatan pidana yang dilakukan dengan airsoft gun. Hal demikian terjadi karena peraturan tentang airsoft gun tidak berada pada level undang-undang, serta juga tidak sejalan dengan asas no punish without representative yang menyatakan bahwa dalam pencantuman norma pidana perlu persetujuan dari rakyat. Karena persetujuan rakyat hanya pada level undang-undang dan Perda. Dikaitkan dengan asas legalitas, peraturan tentang airsoft gun juga tidak secara eksplisit menyebutkan norma sanksi pidana di dalamnya. Karena asas legalitas bermakna peraturan harus jelas, tegas dan tertulis. Perlu dilakukan upaya kriminalisasi untuk menciptakan sebuah kepastian hukum dengan dilakukan upaya adendum dengan menambahkan airsoft gun dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 supaya eksistensi airsoft gun memiliki kedudukan dalam peraturan perundang-undangan.
Analisis Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19
Ramadhani, Mitha Annisa;
Astuti, Pudji;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM In Press - Syarat SPK (5)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
World Health Organization telah mengumumkan status pandemi global untuk penyakit COVID-19 pada tanggal 11 Maret 2020. WHO mengkonfirmasi bahwa COVID-19 merupakan darurat internasional. Berbagai sektor terkena imbas dari ganasnya persebaran virus COVID-19, salah satunya sektor hukum. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly membuat kebijakan pembebasan narapidana di tengah pandemi Covid-19. Melihat lapas dan rutan di Indonesia yang memiliki kondisi over kapasitas membuat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan aturan berupa Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang pengeluaran Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi, dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Keputusan Menteri yang dikeluarkan mengundang kontroversi dari berbagai pihak khususnya masyarakat. Dikatakan pada peraturan tersebut asimilasi dilaksanakan di rumah dan dilakukan secara daring yang dimana hal tersebut menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya recidivist. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan meneliti bahan pustaka. Pendekatan dalam penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep, dengan menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan kesesuaian Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 dengan Permenkumham No.3 Tahun 2018 yang dikeluarkan tidaklah sesuai karena pengeluaran keputusan menteri tidak memperhatikan kepentingan umum dan keadaan yang terjadi di masyarakat dan untuk mengatasinya digunakan asas praduga rechmatig sebagai pedoman. Kata Kunci : Covid-19, Narapidana, Asimilasi
KAJIAN YURIDIS PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HAL TERSANGKA MELARIKAN DIRI
Ardhana, Mahardhika Achmad;
Astuti, Pudji;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM In Press - Syarat SPK (5)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v0i0.39307
Di Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini cenderung mengutamakan melalui jalur pidana yang lebih berfokus kepada penghukuman pelaku tindak pidana korupsi daripada pengembalian aset negara. Perampasan aset negara tanpa pemidanaan juga salah satu tindakan yang bisa dilakukan negara guna mengembalikan aset negara yang sudah di ambil oleh para koruptor. Perampasan aset tanpa pemidanaan telah termuat dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun pasal tersebut hanya berlaku bagi terdakwa yang meninggal sebelum putusan dijatuhkan. Jika koruptor melarikan diri sebelum dijatuhi putusan sehingga terdakwa atau tersangka ini tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana dan mengakibatkan negara tidak bisa mendapatkan asetnya kembali. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hal tersangka melarikan diri dan memahami pelanggaran hak yang terjadi pada saat perampasan aset. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat tiga mekanisme untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yaitu melalui gugatan perdata, dengan proses pidana, dan tanpa proses pemidanaan. Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi terhadap orang yang melarikan diri yaitu menggunakan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Mekanisme perampasan aset ini tidak melanggar hak tersangka untuk melakukan pembuktian karena sebelum persidangan dimulai tersangka akan dipanggil terlebih dahulu untuk menghadiri persidangan sebanyak tiga kali. Dan jika tersangka tidak menghadirinya maka hal ini tidak melanggar hak tersangka untuk melakukan pembuktian.
KEWENANGAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA TERORISME
Firdaus, Yusrizal;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM In Press - Syarat SPK (5)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v0i0.39850
Terorisme sangat meresahkan Indonesia. Serentetan terorisme sering terjadi di Indonesia. Terutama pada tahun 2002 terjadi BOM Bali yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Namun pada saat itu Indonesia belum mempunyai Undang-Undang yang Khusus mengatur tindak pidana terorisme. Dan akhirnnya pada tahun tersebut dibentuklah Perpu yaitu Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Seterusnya Perpu tersebut ditetapkan sebagai Undang-Undang dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dan diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Ada materi tambahan dalam pembaharuan tersebut yaitu adanya kewenangan TNI dalam menangani tindak pidana terorisme. Hal ini bisa menyebabkan tumbang tindih kewenagan serta penyalahgunaaan wewenang dikarenakan secara teknis masih belum ada perarturan yang mengaturnya. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui batasan kewenagan TNI dalam menangani aksi teorisme berdasarkan paradigma criminal justice system model dan untuk mengetahui implikasi hukum keterlibatan TNI dalam menangani tindak pidana terorisme. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yang digunakan berupa pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, teknik pengumpulan bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, teknik analisis bahan hukum dengan metode deduksi yang hasilnya berupa argumen preskripsi. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa batasan kewenagan TNI dalam menangani teorisme berdasarkan paradigma criminal justice system model yaitu hanya sebatas penangkapan, penyergapan dan penyerangan dimana aksi terorisme yang ditangani TNI harus mempunyai ancaman tinggi serta dalam menjalankan kewenangannya tersebut harus sesui dengan asas-asas operasi militer selain perang (OMSP). Implikasi hukum keterlibatan TNI menangani terorisme terbagi menajadi dua yaitu implikasi hukum positif dan implikasi hukum negatif.
STUDI PUTUSAN NOMOR 288/PID.B/2020/PN PMS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG MENGIDAP SKIZOFRENIA
Mahbubah, A'thi Rizqi;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 10 No. 03 (2023): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Putusan yang diberikan hakim dalam memutus perkara yang pelakunya merupakan orang yang menderita gangguan jiwa umumnya adalah berupa sanksi tindakan, yakni melakukan perawatan di rumah sakit jiwa paling lama 1 tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal 44 ayat (2) KUHP, namun terdapat hakim yang tetap menjatuhkan sanksi pidana pada pelaku yang menderita gangguan jiwa. Misalnya dalam Putusan Nomor 288/Pid.B/2020/PN Pms tentang perkara pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang mengidap skizofrenia. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengklasifikasian gangguan jiwa skizofrenia dalam pasal 44 KUHP sebagai alasan peniadaan pidana dan menganalisis ketepatan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Pematangsiantar Nomor 288/Pid.B/2020/PN Pms dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian yaitu skizofrenia dapat diklasifikasikan dalam pasal 44 KUHP sebagai alasan penghapus pidana sebab terganggu karena penyakit dikarenakan skizofrenia merupakan gangguan jiwa golongan psikosis. Penderita skizofrenia dinilai tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab karena adanya halusinasi dan delusi. Selain itu, pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor 288/Pid.B/2020/PN Pms kurang tepat, sebab hakim kurang memperhatikan hubungan deskriptif-normatif pembuktian ketidakmampuan bertanggungjawab. Berdasarkan teori psikoanalisis, penyebab tindak pidana dalam Putusan Nomor 288/Pid.B/2020/PN Pms adalah karena adanya gangguan jiwa yang mempengaruhi penerimaan informasi dan persepsi terdakwa.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN LEPAS (ONTSLAG VAN ALLE RECHTSVERVOLGING) MELALUI PUTUSAN NOMOR 121 K/PID.SUS/2020 DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
Cahyono, Yoshua;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 9 No. 01 (2022): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Jabatan direktur pada sebuah perseroan merupakan dambaan bagi sebagian orang. Kewenangan direktur yang melekat secara inherent pada diri dan jabatan direktur berdasarkan undang-undang untuk mewakili perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) UUPT adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, namun hal demikian seringkali rawan akan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Penyalahgunaan wewenang dalam jabatan merupakan salah satu delik tindak pidana korupsi yang termuat dalam Pasal 3 UU PTPK. Dalam hal ini pasal tersebut telah digunakan untuk menjerat terdakwa Karen Agustiawan selaku Direktur PT. Pertamina Hulu Energi dan telah terpenuhi semua unsur formil dan materiil delik pasal a quo sebagaimana telah diputus pada pengadilan tingkat pertama dan banding, namun pada tingkat kasasi dalam Putusan Nomor 121 K/PID.SUS/2020 terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Alle Rechtsvervolging) oleh Mahkamah Agung dengan 2 dasar pertimbangan hukum. Pertama, perbuatan terdakwa tidak keluar dari ranah Business Judgement Rule; Kedua, kerugian yang dialami oleh anak perusahaan BUMN bukanlah kerugian keuangan negara sebagaimana dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/PHPU-Pres/XVII/2019 yang menyatakan bahwa penyertaan modal dan penempatan modal BUMN dalam anak perusahaan BUMN tidak menjadikan anak perusahaan menjadi BUMN. Perlu diketahui bahwa Business Judgement Rule merupakan doktrin dalam hukum perseroan terbatas yang mempunyai condition precedent yang ketat untuk dapat dipakai direksi sebagai pembelaannya, sebagaimana terejawantahkan dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT. Selain itu terkait status hukum anak perusahaan BUMN yang dipersamakan dengan BUMN menurut Putusan Nomor: 21 P/HUM/2017 tersebut implikasinya adalah kekayaan pada anak perusahaan tersebut masuk dalam kategori kekayaan negara.
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PERDAMAIAN DAN SURAT PERMOHONAN SEBAGAI KERINGANAN PIDANA PADA PENCABULAN AYAH TIRI (STUDI PUTUSAN NOMOR 469/PID.SUS/2020/PT.PBR)
Sudarto, Labib Mirza;
Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 9 No. 01 (2022): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v1i1.59784
Abstrak Pertimbangan hakim merupakan penentu dari nilai nilai yang terdapat pada suatu putusan hakim dengan menilai baik atau buruknya, tepat atau tidak tepat dan benar atau salahnya suatu peristiwa dengan melihat rasa keadilan dan juga kepastian hukum. Lalu, bagaimana bila terdapat pertimbangan hakim yang kurang memberikan kepastian hukum dan argument argument yang sesuai hukum seperti pada putusan Nomor 469/Pid.Sus/2020/PT.Pbr. Pada pertimbangan putusan tersebut yang menjadi pokok permasalahan yang akan di analisis oleh penulis adalah perdamaian dimuka persidangan dan surat permohonan sebanyak 129 orang desa setumuk yang menjadi keringanan pidana. Akan hal tersebut putusan 469/Pid.Sus/2020/PT.Pbr menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terkait dengan apakah pertimbangan yang dibuat oleh hakim sudah sesuai dengan hukum atau belum. Pada penelitian ini menggunakan metode yuridis normatife dengan pendekatan perundang undangan dan juga kasus. Hasil dari penelitian ini adalah adanya perdamaian di muka persidangan dan surat permohonan tidak memenuhi ancaman hukumannya, seharusnya ancaman hukumannya seimbang dengan pidana yang telah diperbuat agar dapat memberikan efek jera terhadap pelaku pencabulan. Kata Kunci: Pencabulan, Perdamaian, Surat Permohonan.