Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

URGENSI RATIFIKASI KONVENSI INTERNASIONAL THE INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE PROTECTION OF ALL PERSONS FROM ENFORCED DISAPPEARANCE DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Ronauli, Monalisa Indah; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 11 No. 04 (2024): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v1i1.59754

Abstract

Mekanisme penghilangan paksa diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, namun dalam undang-undang tersebut definisi penghilangan paksa masih belum jelas tidak terdapat subjek aktif dan tidak terdapat unsur merendahkan martabat kemanusiaan dalam kejahatan kemanusiaan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis urgensi ratifikasi konvensi internasional The Internasional Convention For The Protection Of All Persons From Enforced Disappearance (ICPPED) dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia serta mengkaji perlindungan hukum terhadap korban dan kleuarga korban penghilangan paksa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan konsep ilmu hukum dalam dasar analisis. Adapun hasil penelitian yang diperoleh, meratifikasi konvensi The Internasional Convention For The Protection Of All Persons From Enforced Disappearance (ICPPED) dilakukan sebagai upaya pemutus rantai praktik penghilangan paksa, anti impunitas, dan sebagai upaya pemberian jaminan pemulihan bagi korban penghilangan paksa. Perlindungan hukum diberikan sebagai bentuk penguatan regulasi dan sebagai upaya keberpihakan terhadap korban dalam bentuk pemulihan hak-hak korban perlindungan hak-hak yang dirampas mencakup restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi.
Indonesian Legal Protection for Indonesian Citizens Who Have Been Sentenced by Criminal Punishments Abroad from an International Legal Perspective Koraag, Miracle Arthur; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 11 No. 03 (2024): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v0i0.63565

Abstract

Diplomatic protection by the Indonesian government is crucial in safeguarding Indonesian citizens facing legal problems under foreign jurisdictions. The cases of Siti Zainab and Tuti Tursilawati highlight the challenges faced by Indonesia in providing effective diplomatic assistance, where both citizens were sentenced to death with permanent legal force abroad. This research aims to analyze the resolution of criminal cases involving Indonesian citizens who have received final and binding criminal sentences abroad from the perspective of international law and international relations. The study employs a normative juridical method with a prescriptive approach, focusing on the analysis of legal norms to offer constructive solutions. The findings show that Indonesia’s diplomatic efforts in such cases are often hindered by limited access to legal processes in the host country and the principle of state sovereignty. Nonetheless, the Indonesian government undertakes several strategies to provide protection: (1) legal protection through consular assistance, (2) forming bilateral agreements on placement and protection of migrant workers, and (3) implementing a Single Channel Placement System (SPSK) through digital diplomacy. The study recommends strengthening diplomatic relations and proactive legal frameworks to enhance the state's ability to intervene effectively. By fostering mutual agreements and international cooperation, future cases similar to those of Tuti Tursilawati and Siti Zainab can be better addressed, ensuring the rights and safety of Indonesian citizens abroad are more effectively protected.
Critical Analysis of Anti-Slapp Regulations in The Field of Criminal Law in Indonesia Ahmad, Gelar Ali
Golden Ratio of Law and Social Policy Review Vol. 4 No. 1 (2024): July - December
Publisher : Manunggal Halim Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52970/grlspr.v4i1.920

Abstract

This study examines the issue of SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) and the appropriate Anti-SLAPP legal protections for environmental activists in Indonesia. It highlights how SLAPP serves as a tool for corporations to intimidate and silence environmental activists who oppose practices detrimental to society and the environment, particularly those resulting from the exploitation of natural resources. This study critically analyzes the existing Anti-SLAPP regulations in Indonesia, particularly within the context of criminal law, as outlined in various regulations. The study identifies significant shortcomings in these regulations, such as the lack of clear definitions of environmental activism, bureaucratic obstacles in seeking protection, and insufficient coverage throughout the entire criminal process. The results indicate that while legal protection for environmental activists is in place, it remains partial and inadequate, necessitating a more integrated and robust regulatory framework to better protect the rights and activities of environmental activists. This study offers suggestions for harmonizing Anti-SLAPP regulations across relevant legal institutions to ensure consistent and reliable protection for environmental activists.
Critical Analysis of Anti-Slapp Regulations in The Field of Criminal Law in Indonesia Ahmad, Gelar Ali
Golden Ratio of Law and Social Policy Review Vol. 4 No. 1 (2024): July - December
Publisher : Manunggal Halim Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52970/grlspr.v4i1.920

Abstract

This study examines the issue of SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) and the appropriate Anti-SLAPP legal protections for environmental activists in Indonesia. It highlights how SLAPP serves as a tool for corporations to intimidate and silence environmental activists who oppose practices detrimental to society and the environment, particularly those resulting from the exploitation of natural resources. This study critically analyzes the existing Anti-SLAPP regulations in Indonesia, particularly within the context of criminal law, as outlined in various regulations. The study identifies significant shortcomings in these regulations, such as the lack of clear definitions of environmental activism, bureaucratic obstacles in seeking protection, and insufficient coverage throughout the entire criminal process. The results indicate that while legal protection for environmental activists is in place, it remains partial and inadequate, necessitating a more integrated and robust regulatory framework to better protect the rights and activities of environmental activists. This study offers suggestions for harmonizing Anti-SLAPP regulations across relevant legal institutions to ensure consistent and reliable protection for environmental activists.
Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Manipulasi Hasil Pertandingan Dalam Persepakbolaan Indonesia Erganto Jai, Alfansyi Maximilano; Astuti, Pudji; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 7 No. 01 (2020): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v7i1.31108

Abstract

EKSISTENSI HUKUMAN KEBIRI KIMIA BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DITINJAU DARI PEMBENTUKAN NORMA HUKUM PIDANA roszana, dina; Rusdiana, Emmilia; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 7 No. 03 (2020): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v7i3.32337

Abstract

Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia merupakan suatu permasalahan besar yang dihadapi oleh masyarakat. dalam setiap tahunnya. Kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan yang cukup siknifikan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memuat hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dianggap belum efektif untuk memberikan efek jera kepada pelakunya. Menindaklanjuti hal tersebut pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Perubahan yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan residivis serta pelaku yang mengakibatkan gangguan jiwa, luka berat, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, terkena penyakit menular, dan/atau mengakibatkan matinya korban dengan memberikan hukuman kebiri kimia. Hukuman ini menjadi kontrofersial di masyarakat terkait pemberlakuan dan efektivitasnya yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan pembaharuan hukum dalam politik hukum pidana. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan adanya hukuman kebiri kimia dalam pembentukannya belum memenuhi pembentukan norma hukum pidana yang secara ideal harus mempertimbangkan necessity, adequacy, legal certainty, actuality, feasibility, verifiability, enforceability, dan provability. Dari delapan kriteria yang harus dipenuhi dalam pembentukan norma hukum pidana hukuman kebiri kimia hanya sesuai dengan kriteria legal certainty bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar, dan tidak menimbulkan penafsiran.
EKSAMINASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN PADA PENGADILAN NEGERI KUDUS DALAM PUTUSAN PERKARA NO. 124/Pid.B/2019/Pn.Kds: EKSAMINASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN PADA PENGADILAN NEGERI KUDUS DALAM PUTUSAN PERKARA NO. 124/Pid.B/2019/Pn.Kds Nugroho, Haryo Yudhistira Hamengku; Astuti, Pudji; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 8 No. 04 (2021): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v0i0.38166

Abstract

Developers are prohibited from selling plots of land, according to Article 1 number 17 of Law no. 1 of 2011 concerning Housing and Settlement Areas defines mature land plots as "a plot of land that has been prepared for a house in accordance with the requirements for use, control, land ownership, detailed spatial planning, as well as building and environmental planning." In connection with the provisions regarding selling mature land lots according to the explanation of Article 146 paragraph (1) of Law no. 1 of 2011 concerning Housing and Settlement Areas states that mature land lots are "an activity of a legal entity that deliberately only markets mature land lots to consumers without building houses first". Selling mature land lots, according to Article 146 of Law no. 1 of 2011 concerning Housing and Settlement Areas that "legal entities that build Ready-to-Build Environment (hereinafter abbreviated as Lisiba) are prohibited from selling mature land plots without houses", the prohibition is aimed at developers who build housing which are prohibited from selling mature land lots without houses. Taking into account the description, the issues discussed were what was the basis for the consideration of the public prosecutor to charge ADY PRIYO LEKSONO with Article 378 of the Criminal Code in cases that were decided by decision Number 124 / Pid.B / 2019 / Pn Kds and Is Article 154 of Law Number 1 Year 2011 concerning Housing and Housing not worthy of being accused.
Analisis Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 Ramadhani, Mitha Annisa; Astuti, Pudji; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 9 No. 01 (2022): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

World Health Organization telah mengumumkan status pandemi global untuk penyakit COVID-19 pada tanggal 11 Maret 2020. WHO mengkonfirmasi bahwa COVID-19 merupakan darurat internasional. Berbagai sektor terkena imbas dari ganasnya persebaran virus COVID-19, salah satunya sektor hukum. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly membuat kebijakan pembebasan narapidana di tengah pandemi Covid-19. Melihat lapas dan rutan di Indonesia yang memiliki kondisi over kapasitas membuat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan aturan berupa Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang pengeluaran Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi, dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Keputusan Menteri yang dikeluarkan mengundang kontroversi dari berbagai pihak khususnya masyarakat. Dikatakan pada peraturan tersebut asimilasi dilaksanakan di rumah dan dilakukan secara daring yang dimana hal tersebut menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya recidivist. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan meneliti bahan pustaka. Pendekatan dalam penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep, dengan menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan kesesuaian Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 dengan Permenkumham No.3 Tahun 2018 yang dikeluarkan tidaklah sesuai karena pengeluaran keputusan menteri tidak memperhatikan kepentingan umum dan keadaan yang terjadi di masyarakat dan untuk mengatasinya digunakan asas praduga rechmatig sebagai pedoman. Kata Kunci : Covid-19, Narapidana, Asimilasi
KEWENANGAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA TERORISME: THE AUTHORITY OF THE INDONESIAN NATIONAL ARMY IN HANDLING CRIMINAL ACTS OF TERRORISM Firdaus, Yusrizal; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 9 No. 01 (2022): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v0i0.39850

Abstract

Terorisme sangat meresahkan Indonesia. Serentetan terorisme sering terjadi di Indonesia. Terutama pada tahun 2002 terjadi BOM Bali yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Namun pada saat itu Indonesia belum mempunyai Undang-Undang yang Khusus mengatur tindak pidana terorisme. Dan akhirnnya pada tahun tersebut dibentuklah Perpu yaitu Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Seterusnya Perpu tersebut ditetapkan sebagai Undang-Undang dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dan diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Ada materi tambahan dalam pembaharuan tersebut yaitu adanya kewenangan TNI dalam menangani tindak pidana terorisme. Hal ini bisa menyebabkan tumbang tindih kewenagan serta penyalahgunaaan wewenang dikarenakan secara teknis masih belum ada perarturan yang mengaturnya. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui batasan kewenagan TNI dalam menangani aksi teorisme berdasarkan paradigma criminal justice system model dan untuk mengetahui implikasi hukum keterlibatan TNI dalam menangani tindak pidana terorisme. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yang digunakan berupa pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, teknik pengumpulan bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, teknik analisis bahan hukum dengan metode deduksi yang hasilnya berupa argumen preskripsi. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa batasan kewenagan TNI dalam menangani teorisme berdasarkan paradigma criminal justice system model yaitu hanya sebatas penangkapan, penyergapan dan penyerangan dimana aksi terorisme yang ditangani TNI harus mempunyai ancaman tinggi serta dalam menjalankan kewenangannya tersebut harus sesui dengan asas-asas operasi militer selain perang (OMSP). Implikasi hukum keterlibatan TNI menangani terorisme terbagi menajadi dua yaitu implikasi hukum positif dan implikasi hukum negatif.
TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU YANG MASIH ADA HUBUNGAN KELUARGA: (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong No. 458/Pid.Sus/ 2019/PN Trg) Yolanda, Ade; Rusdiana, S.H.,M.H, Emmilia; Ahmad, Gelar Ali
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 9 No. 03 (2022): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v0i0.42302

Abstract

Pengadilan Negeri Tenggarong dalam putusannya Nomor 458/ Pid.Sus/ 2019/PN Trg, menyatakan bahwa HS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan cabul dengan kekerasan terhadap anak dan terbukti masih ada hubungan keluarga dengan korban. Pasal yang digunakan dalam Putusan Nomor 458/Pid.Sus/ 2019/PN Trg tersebut tidak mempertimbangkan status terdakwa yang masih ada hubungan keluarga dengan korban. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui ketepatan putusan no.458/Pid.Sus/2019/PN.Trg berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan mengetahui akibat hukum putusan Pengadilan Negeri Tenggarong yang memutuskan perkara pidana terhadap anak dengan berdasarkan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukanahwa Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor 458/Pid.Sus/ 2019/PN.Trg tidak tepat karena jika dikaitkan dengan tempus delicti penggunakan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dapat dikualifikasikan melanggar asas lex posteriori derogat legi priori. Dakwaan penuntut umum menjadi kesalahan utama dalam pelanggaran asas lex posteriori derogat legi priori terhadap ketentuan perlindungan anak korban pencabulan karena ketidakcermatan penuntut umum dalam penuntutan asal yang dikenakan dalam surat dakwaan yang dilimpahkan ke pengadilan akan berdampak pada pemberian pertimbangan hukum dan proses penjatuhan putusan oleh hakim. Akibat hukum yang timbul dalam pelanggaran asas lex posteriori derogat legi priori tersebut adalah putusan tersebut dapat diajukan ke tahap selanjutnya yang lebih tinggi melalui mekanisme upaya hukum banding yang diatur dalam 67 KUHAP.