Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Perlindungan Hukum Dokter Dalam Melakukan Tindakan Emergensi Di Rumah Sakit Yang Mengakibatkan Komplain Pasien Negoro, Luhung Wikant Bakti; Husain, Bahtiar; Prasetyo, Boedi
JURNAL SYNTAX IMPERATIF : Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol. 5 No. 5 (2024): Jurnal Syntax Imperatif: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan
Publisher : CV RIFAINSTITUT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36418/syntaximperatif.v5i5.512

Abstract

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang memberikan pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kegawatdaruratan. Dalam keadaan kegawatdaruratan semua fasilitas pelayanan kesehatan maupun seorang dokter yang tidak mempunyai kompetensi dibidang penyakit itu, diwajibkan oleh Undang-Undang untuk memberikan pertolongan pertama. Rentannya dokter yang bertugas dalam pelayanan kegawatdaruratan medis mendapat tuntutan dari pasien atau keluarga pasien. Dilihat dari sudut hukum pidana, persoalan pokok yang menjadi titik taut antara hukum kesehatan dan hukum pidana ialah adanya kesalahan. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian hukum normatif. Dalam perspektif hukum perdata, pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan bahwa tuntutan ganti rugi tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. Pasien yang kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin neko77 Kedokteran Indonesia dan tidak menghilangkan hak menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Dari sistem hukum, tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan harus mendapat persetujuan dan tindakan yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
THE LEGAL REVIEW OF INTRACEREBRAL ARTERIAL HEPARIN FLUSHING MEDICAL PROCEDURE AS A NON-EVIDENCE BASED THERAPY Sapan, Heber Bombang; Husain, Bahtiar; Rokhmat, Rokhmat; Makbul, Ahmad; Osman, Ahmed Kheir
Jurnal Pembaharuan Hukum Vol 11, No 3 (2024): Jurnal Pembaharuan Hukum
Publisher : UNISSULA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26532/jph.v11i3.40360

Abstract

The implementation of medical practice must follow service standards. The purpose of this study is to determine the quality of medical services based on scientific evidence. The research method used was normative juridical, the results of the study state that in efforts to improve the quality of medical services in Indonesia, the government had set health service standards as binding laws for health workers. However, these service standards are often not always implemented, so they have the potential to cause deviations that are detrimental to the community. Quality medical services based on scientific evidence are the main paradigm for quality medical services and community protection. Currently, there are still medical actions that are not based on scientific evidence, intracerebral arterial heparin flushing but have been widely applied and commercialized. intracerebral arterial heparin flushing is an action that is not based on strong scientific evidence so it is unethical. Therefore, legal protection is needed for the community from medical actions that are not based on scientific evidence. Medical personnel are advised to comply with service standards and carry out medical practices based on scientific evidence in carrying out their profession in order to avoid violating the law.
Epidemiological and Clinical Features of COVID-19 Patients at National Emergency Hospital Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Indonesia Susanto, Agus Dwi; Rozaliyani, Anna; Prasetyo, Budi; Agustin, Heidy; Baskoro, Hario; Arifin, Arief Riadi; Pratama, Satria; Zaini, Jamal; Hasto, Bambang Dwi; Ratmono, Tugas; Savitri, Ary Indriana; Samoedro, Erlang; Husain, Bahtiar; Nawas, Arifin; Burhan, Erlina
Kesmas Vol. 16, No. 5
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The emergency hospital is intended to prevent transmission of COVID-19 in the community by isolating patients without symptoms, with mild or moderate symptoms. This study evaluated the clinical characteristics and outcomes of COVID-19 patients who were admitted to this facility. This retrospective study re-viewed data of patients treated at the National Emergency Hospital Wisma Atlet Kemayoran in Jakarta, Indonesia, from March 23 to April 30, 2020. Patient characteristics (clinical symptoms, laboratory test results, Chest X-Ray, SARS-CoV-2 immunoserology, and RT-PCR results from nasopharyngeal/ oropharyngeal preparations) were compared between severity groups. There were 413 COVID-19 cases analyzed, of which 190 (46%) were asymptomatic, 93 (22.5%) were mild, and 130 (31.5%) were moderate cases. Most asymptomatic cases were male, with young age, and without comorbidity. Mild cases were dominated by female and young patients, while most moderate cases were male and older patients. The number of patients with comorbidities was higher in mild and mod-erate cases. The patient’s overall outcome was good and did not differ based on the severity of symptoms. Despite the many challenges, patients with moderate symptoms can be safely treated in the emergency hospital.
Pertanggungjawaban Hukum Informed Consent dalam Perspektif Hukum Perdata Kesehatan Nirmalasari, Lucia; Husain, Bahtiar; Sutrisno, Sutrisno
Ranah Research : Journal of Multidisciplinary Research and Development Vol. 8 No. 1 (2025): Ranah Research : Journal Of Multidisciplinary Research and Development
Publisher : Dinasti Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/rrj.v8i1.1828

Abstract

This paper examines the legal liability aspects of the implementation of informed consent in medical practice in Indonesia from the perspective of civil health law. Informed consent is a form of approval for medical procedures given consciously and voluntarily by the patient after receiving sufficient information from medical personnel. The study focuses on the development of legal norms in Law Number 17 of 2023 on Health, which replaces Law Number 36 of 2009, and how the new regulation governs the rights and obligations within the informed consent process, particularly in situations where the patient is unable to provide consent directly. The paper also explores the role and legal status of guardians in providing informed consent, based on both general civil law and health law. This study is expected to contribute to the understanding of legal and medical practitioners in handling liability cases arising from failures in obtaining valid informed consent
Analisis Yuridis Kelalaian Tindakan Ortopedi Karena Kurangnya Kemampuan Memprediksi Sulaeman, Asep; Husain, Bahtiar; Nasser, Nasser
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 3 No. 1 (2022)
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v3i1.3702

Abstract

Dalam dunia kedokteran pastinya sangat berkaitan atas pelayanan kesehatan yang dibagikan kepada pasien sebagai penerima dan pengguna layanan kesehatan. Dokter spesialis orthopedi adalah salah satu profesi yang mempunyai kewenangan dan kompetensi dalam memberi suatu tindakan penyembuhan kepada pasien yang berhubungan dengan orthopedi. Akan tetapi kelalaian tidak dapat dihindarkan yang mengakibatkan suatu kerugian baik cacat fisik bahkan kematian. Seringkali upaya hukum atas penyelesaiannya tidak terselesaikan dengan baik. Sehingga penulis sangat tertarik membahas tema ini dengan judul “Analisis Yuridis Kelalaian Tindakan Orthopedi Karena Kurangnya Kemampuan Memprediksi” dengan pokok permasalahan yaitu Bagaimana tanggung jawab hukum akibat kelalaian tindakan Orthopedi akibat kurangnya ketidakmampuan memprediksi? Dimana Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan tujuan untuk mengetahui atas pertanggungjawaban hukum dokter dalam tindakan kelalaiannya kepada pasien. Diketahui bahwa dalam pertanggungjawabannya dapat dimintai ketika telah melakukan sesuatu tindakan yang digolongkan dalam kelalaian medis jika memenuhi unsur-unsur dari kelalaian tersebut. KUHP sendiri telah mengatur atas kelalaian apabila dilakukan oleh dokter yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain (luka berat atau cacat fisik permanen) bahkan menyebabkan kematian. Selain itu Peraturan lainnya mengenai kelalaian juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran kedokteran. Tak lupa pula Undang-Undang Nomor Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang baru tahun kemarin diperbaharui juga mengatur dan menjelaskan atas suatu kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis, yakni ketika dalam menjalankan suatu profesinya terjadi suatu kelalaian maka harus diselesaikan dengan dikenai beberapa pasal didalamnya.
ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DOKTER BEDAH ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI TERHADAP KEGAGALAN PEMASANGAN IMPLAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 Nagieb, Moch; Rokhmat, Rokhmat; Husain, Bahtiar; Purnomo, Budi
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 3 No. 1 (2022)
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v3i1.3738

Abstract

Tujuan dalam penelitian ini yaitu menganalisis secara yuridis hubungan hukum dokter bedah orthopaedi dan traumatologi dengan pasien berdasarkan perspektif UU No. 17 Tahun 2023 dan pertanggungjawaban hukum dokter bedah orthopaedi dan traumatologi terhadap kegagalan pemasangan implan pasien berdasarkan perspektif UU No. 17 Tahun 2023. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara perspektif UU No. 17 Tahun 2023 telah diatur bahwa setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter bedah orthopaedi dan traumatologi harus mendapat persetujuan (informed consent) dari pasien, hal ini merupakan dasar yuridis hubungan hukum antara dokter bedah orthopaedi dan traumatologi dengan pasien. Hubungan hukum antara dokter bedah orthopaedi dan traumatologi dengan pasien termasuk hubungan hukum bersegi dua. Pertanggungjawaban hukum dokter bedah orthopaedi dan traumatologi terhadap kegagalan pemasangan implan pasien berdasarkan perspektif UU No. 17 Tahun 2023 terbagi menjadi pertanggungjawaban hukum administrasi, pertanggungjawaban hukum perdata, dan pertanggungjawaban hukum pidana. Secara administratif, UU No. 17 Tahun 2023 mengatur sanksi disiplin. Terkait pertanggungjawaban hukum secara pidana dan perdata diatur bahwa terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis. Secara hukum pidana Undang-Undang tersebut mengatur hukuman penjara atau pidana denda terhadap kelapaan terkait kegagalan pemasangan implan pasien, namun Undang-Undang tersebut lebih mengutamakan terlebih dahulu mekanisme keadilan restoratif. Begitu juga terkait pertanggungjawaban hukum perdata, Undang-Undang tersebut juga mengamanatkan agar diselesaikan terlebih dahulu melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Surrogate Informed Concent Sebagai Element Preventif Sengketa Medis Pada Pembedahan Elektif Wibowo, Arif; Nasser, M.; Husain, Bahtiar; Bungin, Sator Sapan
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 3 No. 1 (2022)
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v3i1.3740

Abstract

yang membentuk hubungan terapeutik dan hubungan hukum. Kepercayaan dan harapan pasien, dapat menimbulkan kekecewaan ketika hasil pelayanan medis tidak sesuai harapan, yang kemudian menimbulkan konflik atau sengketa medik. Dokter Orthopaedi merupakan ahli bedah yang berpotensi lebih tinggi untuk menghadapi resiko tindakan medis daripada spesialisasi lain. Pembedahan orthopaedi merupakan tindakan yang sangat berpotensi terjadi resiko medis. Persetujuan tindakan medis merupakan suatu persetujuan yang harus diberikan oleh pasien dan keluarganya setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap tentang rencana tindakan medis. Seringkali Dokter Orthopaedi memerlukan persetujuan tindakan pada saat pembedahan elektif berlangsung, untuk memberikan persetujuan tindakan yang tidak termasuk dalam penjelasan awal. Penelitian ini untuk menganalisis pentingnya surrogate informed consent selama pembedahan elektif berlangsung dengan tujuan menghindari timbulnya sengketa medis. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis normative. Surrogate informed consent dalam hal seorang Dokter Orthopaedi memerlukan persetujuan tindakan pada saat pembedahan elektif berlangsung, merupakan prosedur yang bisa dibenarkan secara hukum.
Perlindungan Hukum Fisioterapi dalam Menjalankan Amanah Tugas Profesi Thouresia, Suraeni; Husain, Bahtiar; Maryani, Ani
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 5 No. 2 (2024)
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v5i2.3765

Abstract

Penelitian ini meneliti perlindungan hukum bagi fisioterapis dalam menjalankan tugas profesinya di Indonesia. Ketidakjelasan batas kewenangan fisioterapi, ditambah dengan tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur profesi ini, telah membatasi pelayanan fisioterapi secara optimal dan berpotensi merugikan pasien. Situasi ini juga dapat memicu konflik dengan profesi medis lainnya. Studi ini didasarkan pada UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh layanan kesehatan serta perlindungan kebebasan profesi sebagai hak asasi manusia. Meskipun profesi fisioterapi berkembang pesat di Indonesia, masih terdapat celah hukum yang signifikan, sehingga diperlukan regulasi dan perlindungan hukum yang jelas. Penelitian ini menggunakan pendekatan advokasi, edukasi, dan analisis hukum untuk menangani masalah ini, bertujuan untuk memperjelas batasan dan mendapatkan perlindungan hukum bagi fisioterapis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat meningkatkan kualitas pelayanan fisioterapi, memastikan para praktisi dapat menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab tanpa khawatir terhadap tuntutan hukum. Rekomendasi termasuk penyusunan undang-undang khusus yang mengatur praktik fisioterapi secara komprehensif dan peningkatan dukungan pemerintah terhadap profesi ini.