Kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT) merupakan bagian khusus dari hukum pidana di Indonesia. Disebut khusus karena tindak pidana KDRT diatur tersendiri dalam UU No. 23 Tahun 2004. Lahirnya UU ini berasal dari keprihatinan bangsa Indonesia atas maraknya kekerasan dalam rumah tangga yang secara substansi tidak ada pengaturan khusus dalam KUHP. Oleh sebab itu, masalah KDRT ini sulit diselesaikan secara hukum. Di samping itu, kesulitan lain muncul dalam penyelesaian KDRT ini akibat pemahaman yang sempit bahwa masalah keluarga adalah ruang privat yang tabu dibicarakan. Pada satu sisi, tujuan dari dibuatnya UU No. 23 Tahun 2004 ini dianggap baik karena sebagai upaya preventif untuk melindungi pihak-pihak yang lemah dalam rumah tangga agar terjaga dari tindak kekerasan oleh anggota keluarga. Sekaligus sebagai upaya penjeraan bagi pelaku kekerasan agar tidak mengulangi lagi perbuatannta. Namun, dalam pengaturan yang sangat rinci tersebut, ada kriteria kekerasan yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu sulit juga untuk membatasi ukurannya dan membuktikannya. Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan secara deskriptif, analisis, dan kritis. Hasilnya, kriteria kekerasan yang disebutkan dalam UU No. 23 tahun 2004 tersebut pada prinsipnya sudah sesuai dengan ajaran Islam. Hanya saja, dalam rinciannya ada yang tidak sesuai seperti tindakan suami yang menggauli istrinya dengan paksaan karena suami sangat membutuhkannya. Padahal, dalam ajaran Islam isteri merupakan haq al-intifa` suami yang bisa dimanfaatkan oleh suami selama isteri tidak ada halangan syar`i untuk berhubungan badan. Sehingga jika suami ingin melakukannya dan isteri menolaknya tanpa alasan yang dibenarkan syara`, maka isteri di sini telah melakukan nusyuz, dan suami dianggap tidak melakukan kekerasan, tapi meminta haknya. Sedangkan sanksi yang diterapkan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga meliputi penjara atau denda sebagaimana diatur dalam UU No. 23 tahun 2004, pada dasarnya juga seudah sesuai dengan fungsi utama penerapan hukuman dalam Islam yaitu zawajir (efek jera) dan ta’dib (pembelajaran). Hanya saja, dalam penerapannya ada yang bertentangan dengan tujuan hukuman itu sendiri. Sebagai contoh, suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga yang miskin, jika si suami harus dipidana atau didenda dengan putusan hakim, maka tentu akan menghilangkan sumber nafkah keluarga dan memperparah ekonomi keluarga. Begitu juga dengan sanksi denda yang harus diserahkan ke negara. Sanksi denda yang diterapkan seharusnya diserahkan kepada pihak korban kekerasan yang dirugikan, dan bukan kepada negara yang dalam hal ini bertindak sebagai hakam. Abstrak: Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sanksi, Hukum Islam