Claim Missing Document
Check
Articles

KEDUDUKAN HUKUM ANAK PEREMPUAN YANG NINGGAL KEDATON PASCA PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT BALI Dwijanata, Anak Agung Bagus Cahya; Griadhi, Ni Made Ari Yuliartini
Kertha Desa Vol 8 No 3 (2020)
Publisher : Kertha Desa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.937 KB)

Abstract

Keberagaman yang ada di Indonesia tentu juga termasuk dengan masyarakat hukum adatnya beserta dengan adat istiadatnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa adat istiadat yang bersifat luwes dan dinamis tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Melihat perkembangan tersebut tidak jarang kita temukan perkawinan antara kesatuan masyarakat hukum adat yang berbeda salah satunya masyarakat hukum adat di Bali. Perkawinan tersebut akan menimbulkan suatu permasalahan apabila terjadi suatu perceraian. Melihat permasalahan seperti itu maka perlu dilakukan penelitian terkait kedudukan hukum perempuan Bali yang ninggal kedaton pasca status perceraian. Penulisan ini menggunakan penelitian normatif dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini yaitu perempuan yang ninggal kedaton secara penuh sudah tidak memiliki hak dan tanggung jawab kepada orang tuanya apabila menurut Hukum Adat Bali. Ketika terjadi percerain terhadap perempuan Bali yang ninggal kedaton berdasarkan keputusan pesamuan MUDP ke-III harus diterima oleh orang tua dan keluarga asalnya, akan tetapi permasalahan ekonomi orang tua biasanya yang menjadikan perempuan Bali tersebut tidak mendapatkan haknya seperti halnya waris. Perlunya pemahaman terkait hukum adat dan hukum nasional agar permasalahan perempuan Bali yang ninggal kedaton pasca perceraian tersebut dapat terselesaikan karena hubungan orang tua dan anak tersebut dilindungi oleh UU HAM. Kata Kunci: Ninggal Kedaton, Perceraian, Hukum Adat Bali
IMPLEMENTASI PENGATURAN HAK KONSTITUSIONAL ANAK DALAM PEMENUHAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN DI PROVINSI BALI Yuliartini Griadhi, Ni Made Ari
VYAVAHARA DUTA Vol 13, No 2 (2018): SEPTEMBER 2018
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (214.148 KB)

Abstract

Pembangunan sumber daya manusia mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesuksesan dan kesinambungan Pembangunan Nasional. Oleh karena itu pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia mutlak harus diperhatikan dan dirancang dengan seksama berdasarkan pemikiran yang matang. Program wajib belajar 12 tahun merupakan kebijakan yang diambil Pemerintah untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Perlu kiranya  dipikirkan hal­hal yang dapat menunjang serta masalah ­ masalah apa saja yang akan timbul, mulai dari perencanaan serta payung hukum yang jelas, sosialisasi pada masyarakat, sampai dengan pelaksanaan di lapangan, hal tersebut harus terencana  dengan  sebaik­baiknya.  Penulisan ini  mengkaji  sejauh  mana  regulasi  serta pengimplementasian pengaturan terhadap  hak konstitusional anak dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali pasca diterbitkannya Peraturan Gubernur Bali No. 40 Tahun 2017. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sosiolegal menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dengan menggunakan teknik analisis yaitu teknik deskriptif, evaluasi dan argumentasi serta kemudian mengelaborasi terhadap fakta­fakta yang terjadi.  Peraturan secara Nasional  yang terkait dengan pengaturan dibidang pendidikan diantaranya: Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Tap MPR No.9 tahun 2007 Tentang Anggaran Dana Pendidikan, Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Nasional Pendidikan, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Rencana Strategic Pembangunan Provinsi, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi serta Permendiknas No 17 Tahun 2017 tentang Prosedur dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2017/2018. Pengimplementasian pengaturan terhadap  hak konstitusional anak dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali pasca diterbitkannya Peraturan Gubernur No. 40 Tahun 2017 sudah terpenuhi. Dimana diterbitkanya Peraturan Gubernur tersebut untuk mengatasi kendala dari pengimplementasian Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017. Dengan adanya Pergub tersebut calon siswa yang tercecer dari ketentuan zonasi dalam Permendiknas bisa tercover lagi dengan membuka pendaftaran gelombang kedua. Serta Pergub tersebut telah mengakomodir terpenuhinya hak Konstitusional anak dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun di provinsi Bali dimana diberikan peluang bagi anakanak yang berasal dari keluarga kurang mampu diterima di sekolah­sekolah negeri menurut ketentuan yang berlaku serta bagi siswa yang berprestasipun diberikan peluang untuk diterima disekolah­sekolah negeri
AFFIRMATIVE ACTION UNTUK PENINGKATAN KESETARAAN BAGI KAUM DISABILITAS TUNARUNGU DALAM PEMENUHAN HAK MENIKMATI ACARA TELEVISI Griadhi, Ni Made Ari Yuliartini
VYAVAHARA DUTA Vol 14, No 2 (2019): SEPTEMBER 2019
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.995 KB)

Abstract

Disabilitas merupakan suatu ketidakmampuan tubuh dalam melakukan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana orang normal pada umumnya yang disebabkan oleh kondisi ketidakmampuan dalam hal fisiologis, psikologis dan kelainan struktur atau fungsi anatomi. Ketika penyandang disabilitas berhadapan dengan hambatan maka hal itu akan menyulitkan mereka dalam berpartisipasi penuh dan efektif dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan kesamaan hak.Pengembangan bahasa isyarat bagi yang berkebutuhan khusus yaitu penyandang disabilitas sangat dibutuhkan dalam pengembangan dan pembinaan bahasa di Indonesia. Kekurangan ini tentunya memberikan hambatan serta menyulitkan penyandang disabilitas salah satunya dalam menikmati beritamaupun hiburan pada siaran televisi. Undang-UndangNomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjamin bahwa hak memperoleh informasi adalah hak mutlak bagi setiap warga negara tanpa memandang kelompok. Jaminan ini harusnya juga diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan yang berbeda atau kaum disabilitas seperti tuna rungu. Pasal 39 ayat(3) UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 menyatakan jaminan akan hak informasi dengan ketersediaan penerjamahan. Akan tetapi pasal dalam UU tersebut tidak tegas mewajibkanserta tidak adanya pengaturan sanksi bilamana tidak menerapkannya dengan baik terhadap kepastian pemenuhan secara maksimal bagi kaum disabilitas dalam menikmati siaran televisi. Berdasarkanpemaparantersebut di atas, makadapatdirumuskanpermasalahansebagaiberikut, 1. Pengaturan bagi kaum disabilitas dalam memperoleh informasi; 2. Urgensi perlindungan serta Affirmative Action terkait kepastian dalam pemenuhan hak menikmati acara televisi bagi kaum disabilitas. UU telah memberikan jaminan kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses; dan menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi, serta mewajibkan Pemerintah serta Pemerintah Daerah utk menjaminnya.UU Penyiaran didalamnya belum secara tegas mengatur mengenai kewajiban stasiun televisi untuk menyediakan aksesuntuk kaum disabilitas tuna rungu untuk menikmati semua acara di televisi sangat urgen untuk memberikan pengaturan yang lebih menjamin pemenuhan hak menikmati acara televisi bagi kaum disabilitas tuna rungu dengan menentukan suatu Affirmative Action yang mewajibkan bagi stasiun TV untukmenyertakan Bahasa Isyarat dalam setiap siarannya.
MODEL PENGATURAN ANTI OBESITAS DALAM RANGKA PENGUATAN SERTA PENINGKATAN DERAJAT KESEHATAN MASYARAKAT DI INDONESIA Bagiastra, I Nyoman; Yuliartini Griadhi, Ni Made Ari
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jish-undiksha.v8i2.22377

Abstract

Secara regulasi, sejatinya pemerintah Indonesia menyadari akan bahaya dampak serta resiko  yang ditimbulkan dari obesitas. Terlihat dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji yang selanjutnya diamandemen dengan Permenkes Nomor 63 Tahun 2015. Di Negara maju yaitu Amerika dan Jepang memiliki program khusus serta regulasi terkait penanganan obesitas. Malaysia merupakan yang menjadi negara pertama di Asia yang memiliki undang-undang antiobesitas agar obesitas menurun di masyarakatnya. Roscoe Pound menyatakan hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan. Prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan mencapai tingkat yang membahayakan. Intervensi pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan, yatu dengan membuat suatu regulasi sebagai alat untuk merekayasa sosial terkait permasalahan obesitas di Indonesia. Kata kunci  : Pengaturan, Obesitas, Kesehatan Masyarakat
IMPLEMENTASI PENGATURAN HAK KONSTITUSIONAL ANAK DALAM PEMENUHAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN DI PROVINSI BALI Yuliartini Griadhi, Ni Made Ari
VYAVAHARA DUTA Vol 13, No 2 (2018): SEPTEMBER 2018
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25078/vd.v13i2.686

Abstract

Pembangunan sumber daya manusia mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesuksesan dan kesinambungan Pembangunan Nasional. Oleh karena itu pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia mutlak harus diperhatikan dan dirancang dengan seksama berdasarkan pemikiran yang matang. Program wajib belajar 12 tahun merupakan kebijakan yang diambil Pemerintah untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Perlu kiranya  dipikirkan hal­hal yang dapat menunjang serta masalah ­ masalah apa saja yang akan timbul, mulai dari perencanaan serta payung hukum yang jelas, sosialisasi pada masyarakat, sampai dengan pelaksanaan di lapangan, hal tersebut harus terencana  dengan  sebaik­baiknya.  Penulisan ini  mengkaji  sejauh  mana  regulasi  serta pengimplementasian pengaturan terhadap  hak konstitusional anak dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali pasca diterbitkannya Peraturan Gubernur Bali No. 40 Tahun 2017. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sosiolegal menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dengan menggunakan teknik analisis yaitu teknik deskriptif, evaluasi dan argumentasi serta kemudian mengelaborasi terhadap fakta­fakta yang terjadi.  Peraturan secara Nasional  yang terkait dengan pengaturan dibidang pendidikan diantaranya: Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Tap MPR No.9 tahun 2007 Tentang Anggaran Dana Pendidikan, Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Nasional Pendidikan, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Rencana Strategic Pembangunan Provinsi, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi serta Permendiknas No 17 Tahun 2017 tentang Prosedur dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2017/2018. Pengimplementasian pengaturan terhadap  hak konstitusional anak dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali pasca diterbitkannya Peraturan Gubernur No. 40 Tahun 2017 sudah terpenuhi. Dimana diterbitkanya Peraturan Gubernur tersebut untuk mengatasi kendala dari pengimplementasian Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017. Dengan adanya Pergub tersebut calon siswa yang tercecer dari ketentuan zonasi dalam Permendiknas bisa tercover lagi dengan membuka pendaftaran gelombang kedua. Serta Pergub tersebut telah mengakomodir terpenuhinya hak Konstitusional anak dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun di provinsi Bali dimana diberikan peluang bagi anakanak yang berasal dari keluarga kurang mampu diterima di sekolah­sekolah negeri menurut ketentuan yang berlaku serta bagi siswa yang berprestasipun diberikan peluang untuk diterima disekolah­sekolah negeri
AFFIRMATIVE ACTION UNTUK PENINGKATAN KESETARAAN BAGI KAUM DISABILITAS TUNARUNGU DALAM PEMENUHAN HAK MENIKMATI ACARA TELEVISI Griadhi, Ni Made Ari Yuliartini
VYAVAHARA DUTA Vol 14, No 2 (2019): SEPTEMBER 2019
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25078/vd.v14i2.1254

Abstract

Disabilitas merupakan suatu ketidakmampuan tubuh dalam melakukan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana orang normal pada umumnya yang disebabkan oleh kondisi ketidakmampuan dalam hal fisiologis, psikologis dan kelainan struktur atau fungsi anatomi. Ketika penyandang disabilitas berhadapan dengan hambatan maka hal itu akan menyulitkan mereka dalam berpartisipasi penuh dan efektif dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan kesamaan hak.Pengembangan bahasa isyarat bagi yang berkebutuhan khusus yaitu penyandang disabilitas sangat dibutuhkan dalam pengembangan dan pembinaan bahasa di Indonesia. Kekurangan ini tentunya memberikan hambatan serta menyulitkan penyandang disabilitas salah satunya dalam menikmati beritamaupun hiburan pada siaran televisi. Undang-UndangNomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjamin bahwa hak memperoleh informasi adalah hak mutlak bagi setiap warga negara tanpa memandang kelompok. Jaminan ini harusnya juga diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan yang berbeda atau kaum disabilitas seperti tuna rungu. Pasal 39 ayat(3) UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 menyatakan jaminan akan hak informasi dengan ketersediaan penerjamahan. Akan tetapi pasal dalam UU tersebut tidak tegas mewajibkanserta tidak adanya pengaturan sanksi bilamana tidak menerapkannya dengan baik terhadap kepastian pemenuhan secara maksimal bagi kaum disabilitas dalam menikmati siaran televisi. Berdasarkanpemaparantersebut di atas, makadapatdirumuskanpermasalahansebagaiberikut, 1. Pengaturan bagi kaum disabilitas dalam memperoleh informasi; 2. Urgensi perlindungan serta Affirmative Action terkait kepastian dalam pemenuhan hak menikmati acara televisi bagi kaum disabilitas. UU telah memberikan jaminan kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses; dan menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi, serta mewajibkan Pemerintah serta Pemerintah Daerah utk menjaminnya.UU Penyiaran didalamnya belum secara tegas mengatur mengenai kewajiban stasiun televisi untuk menyediakan aksesuntuk kaum disabilitas tuna rungu untuk menikmati semua acara di televisi sangat urgen untuk memberikan pengaturan yang lebih menjamin pemenuhan hak menikmati acara televisi bagi kaum disabilitas tuna rungu dengan menentukan suatu Affirmative Action yang mewajibkan bagi stasiun TV untukmenyertakan Bahasa Isyarat dalam setiap siarannya.
HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA Ida Bagus Paramaningrat Manuaba; Ni Made Ari Yuliartini Griadhi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 01, No. 03, Juli 2013
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The paper is titled " The Right To Take Legal Actions By Victims Of Crime Reviewed From The Indonesian Book Of The Law Of Criminal Procedure." This paper uses normative analytical methods and statute approach. Indonesian the book of the law of criminal procedure law gives right to suspects that they can do legal actions like apeal, casation, and then until judicial review. On the other hand, the law give now right to do the legal actions to the victims because they have to be representation by public prosecutor. This term make unfair to the victims because they have no right that the law gives to the suspects. Hence it is necessary to revise the law with a view to equal the right between the victims and the sucpects in terms of legal actions.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN SATWA DILINDUNGI BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA Eka Wijaya Adhis Thanaya; Ni Made Ari Yuliartini Griadhi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia merupakan negara yang memiliki beraneka ragam satwa langka endemik yang dilindungi. Oleh sebab itu, banyak orang yang menjadikan satwa langka sebagai sumber pendapatan dengan cara menyelundupkan satwa langka tersebut kemudian menjualnya dalam keadaan hidup atau mati. Permasalahan yang dikaji pada jurnal ilmiah ini adalah bagaimanakah pengaturan mengenai tindak pidana penyelundupan terhadap satwa yang dilindungi serta bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penyelundupan satwa dilindungi. Jurnal ilmiah ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap masyarakat luas pada umumnya mengenai pengaturan tindak pidana penyelundupan satwa dilindungi serta pertanggungjawaban pidana pelaku penyelundupan satwa dilindungi. Berdasarkan metode penelitian hukum normatif yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini, menghasilkan analisis bahwa tindak pidana penyelundupan terhadap satwa dilindungi pengaturannya terletak dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya yang selanjutnya disebut dengan UU KSDA. Kemudian pertanggungjawaban pidananya diatur dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (4) UU KSDA. Kesimpulan yang dapat diambil yakni secara yuridis penyelundupan satwa dilindungi tidak diatur secara jelas dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c UU KSDA. Akan tetapi, sudah dapat dikategorikan sebagai penyelundupan berdasarkan pengkategorian penyelundupan dari Pasal 42 ayat (1) Jo Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar. Kemudian untuk pertanggungjawaban pidananya diatur di dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (4) UU KSDA, apabila satwa tersebut termasuk dalam kategori satwa dilindungi. Kata kunci: penyelundupan, satwa dilindungi, hukum positif
Akibat Hukum Bagi Produsen Air Minum Dalam Kemasan Yang Mencantumkan Label Menyesatkan Marhadi Hasibuan; Ni Made Ari Yuliartini Griadhi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan jurnal ini untuk mengkaji pengaturan mengenai tindak pidana air minum dalam kemasan dengan mencantumkan label yang menyesatkan serta mengetahui akibat hukum terhadap produsen yang mencantumkan label menyesatkan. Metode yang di gunakan dalam penulisan ini menggunakan metode hukum normatif dengan mengkaji Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang perlindungan Konsumen. Hasil analisa dari penelitian ini adalah mengenai kejahatan terhadap konsumen yang sudah di atur dalam undang-undang, namun dalam regulasinya masih ada kekaburan norma yang membuat tidak terjaminnya kepastian hukum bagi konsumen akibat dari produk air minum yang menyesatkan bagi konsumen, sehingga diperlukan pembaharuan hukum.
KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Ida Bagus Oka Mahendra Putra; Ni Made Ari Yuliartini Griadhi
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol. 02, No. 04, Juni 2014
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (44.134 KB)

Abstract

Scientific paper titled “Standard Clause of Bank Credit Agreement Related to the Act No. 8 Year 1999 concerning Consumer Protection”, using empiric writing method. Issues raised in this paper is whether the standard clause of BRI bank credit agreement had complied with the Act No. 8 Year 1999 concerning Consumer Protection and how is the legal consequences if the standard clause of bank credit agreement does not complywith the provisions of article 18 of Act No. 8 Year 1999 concerning Consumer Protection. Based on research, the results are standard clause of bank credit agreement has not beencomplied with the Act No. 8 Year 1999 concerning Consumer Protection and the legal consequences of the standard clause of bank credit agreements that do not comply with the provisions of the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection is null and void.