Claim Missing Document
Check
Articles

IMPLIKASI PUTUSAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP KEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN PADA MAHKAMAH AGUNG Galih Erlangga; Dian Agung Wicaksono
Jurnal Yudisial Vol 9, No 2 (2016): DINAMIKA "CORPUS JURIS"
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v9i2.19

Abstract

ABSTRAKSalah satu ciri penting negara hukum demokratis adalah kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak. Perubahan UUD NRI 1945, memberikan dinamika ketatanegaraan dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Salah satunya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, mengikat, dan berlaku umum (erga omnes). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan berlakunya Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memberikan dampak penting dalam perkembangan hukum di Indonesia. Hal ini karena putusan tersebut sangat berkaitan erat dengan kewenangan permohonan peninjauan kembali, yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Agung. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan komparatif, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Data yang terkait dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusitersebut memberikan implikasi terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung dalam hal kelembagaan pada sistem kekuasaan kehakiman dan penyelenggaraan peradilan dalam kewenangan permohonan peninjauan kembali.Kata kunci: kekuasaan kehakiman, judicial review, peninjauan kembali.ABSTRACTOne of the hallmarks of a democratic legal state is an enforcement of independent and impartial judicial power. The amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has lead to political dynamics marked by the birth of the Constitutional Court of the Republic Indonesia. The Constitutional Court as the guardian of the constitution is mandated a constitutional duty to uphold justice at the heart of community’s life. Its specificity is its final, binding, and generally applicable decision (erga omnes). The Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 annulling Article 268 paragraph (3)of Law Number 8 of 1981 on Criminal Procedure Law has significant implications in the development of law in Indonesia since it is very closely associated with one of the jurisdictions of the Supreme Court to apply for extraordinary request for review. This analysis is a normative legal research which examines legal materials of the Constitutional Court Decision Number 34/PUUXI/2013, using statutory interpretations, comparative,historical, and conceptual approach. Related data were elaborated in qualitative descriptive data analyses. The results show that the Constitutional Court decision implicates the independence of the Supreme Court in terms of the institutional system of judicial authority and administration of justice in the authority of extraordinary request for review.Keywords: judicial power, judicial review, extraordinary request for review.
KESETARAAN DALAM PERJANJIAN KERJA DAN AMBIGUITAS PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI Ayunita Nur Rohanawati; Dian Agung Wicaksono
Jurnal Yudisial Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v11i3.307

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUUXV/2017 terkait pembatalan aturan larangan pernikahan antar-karyawan sekantor, dinilai sebagai bentuk jaminan pemenuhan hak asasi manusia, berupa hak membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah sebagaimana tertuang dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945. Pertimbangan hukum putusan tersebut memuat asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian dan persepsi ketidaksetaraan dalam perjanjian kerja. Menarik untuk dikaji, bagaimana konstruksi hukum perjanjian kerja, khususnya kesetaraan pihak. Mengingat asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas dalam perjanjian yang mengindikasikan adanya ketidakcacatan kehendak, maka pertanyaan lebih lanjutnya, apakah betul perjanjian kerja tidak memberikan kesetaraan kepada para pihak sebagaimana yang didalilkan oleh Mahkamah Konstitusi? Apakah konsekuensi yuridis Mahkamah Konstitusi mendudukkan asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, yang mana hal ini bertolak belakang dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan studi kasus mengkaji bahan hukum primer berupa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Data dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian ini setidaknya menunjukkan bahwa dalam putusan tersebut, khususnya pada bagian pertimbangan, Mahkamah Konstitusi memberikan ambiguitas pertimbangan hukum, yang notabene bertentangan dengan pengaturan terkait syarat sah perjanjian.Kata kunci: kesetaraan pihak, perjanjian kerja, keabsahan perjanjian, ratio decidendi. ABSTRACTThe Constitutional Court Decision Number 13/PUUXV/2017 related to the cancellation of rules regarding the prohibition of co-worker marriage, is considered as a form of guaranteeing the fulfilment of human rights, which is the right to form a family through legal marriage as stated in Article 28B paragraph (1) of the 1945 Constitution. However, the decision contains legal considerations related to the principle of freedom of contract as one of the legal requirements of an agreement, and the perception of inequality in work agreement. It is interesting to examine the legal construction of equality of parties in work agreement as the principle of freedom of contract is one of the principles in the agreement indicating no defects on the parties' will. Then, the further question is whether it is right that work agreement does not provide equality to the parties as argued by the Constitutional Court. What are the juridical consequences of the Constitutional Court to establish the principle of freedom of contract as one of the legal requirements of an agreement, which is contrary to the provisions of Article 1320 of the Civil Code? This is a normative legal research through case study to examine the Constitutional Court Decision Number 13/PUU-XV/2017. This research uses statutory and conceptual approach based on descriptive-qualitative data analysis. The results of this study at least indicate that in the decision, especially in legal considerations, the Constitutional Court has provided ambiguity in legal considerations, which in fact contradicted the regulations regarding the legal terms of an agreement.Keywords: equality of parties, work agreement, validity of contract, ratio decidendi.
Penafsiran terhadap Kewenangan Mengatur Pemerintahan Daerah dalam Melaksanakan Urusan Pemerintahan melalui Pembentukan Peraturan Daerah (Interpretation of the Regional Government’s Authority to Regulate in Implementing Government Affairs through the ... ) Dian Agung Wicaksono; Faiz Rahman
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 11, No 2 (2020): JNH Vol 11 No 2 November 2020
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v11i2.1614

Abstract

The Elucidation of the 2014 Local Government Law has divided the concurrent government affairs between the central government and local governments in detail. To carry out government affairs, local governments have the authority to stipulate regional regulation. The existence of that specific list of concurrent affairs, therefore, raises a question regarding what extent the local government can “elaborates” the government affairs that become their domain in the formulation of regional regulation. This research focuses on two questions: (1) regarding constitutional construction of local government’s authority to regulate; and (2) interpretation of the implementation of the authority to regulate in the formulation of regional regulation. This normative legal research is descriptive, evaluative, and prescriptive in nature. The results indicate alternative interpretations of the authority to regulate, namely implementation in (1) a legalistic-formal approach, through the rigid implementation of the authority and NSPK set by the Government; (2) a normative-extensive approach, by implementing the authority and NSPK, as well as paying attention to the Region’s needs; and (3) a supra-extensive approach, in which the Region goes beyond the corridors of their authority and the NSPK. For this reason, the author suggests that in the formulation of the NSPK, the accuracy of the Central Government is needed, so that can serve as a guideline for implementing flexible government affairs and can accommodate the legal needs of the community in the regions. abstrakLampiran UU Pemda 2014 telah membagi secara detail urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren tersebut, pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah. Kehadiran daftar urusan pemerintahan yang spesifik menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana pemerintahan daerah dapat “menjabarkan” urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian ini berfokus pada dua permasalahan, yaitu: (1) konstruksi konstitusional kewenangan mengatur pemerintahan daerah; dan (2) penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengkaji data sekunder, dengan sifat penelitian deskriptif, serta berbentuk evaluatif dan preskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya alternatif penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan dalam pembentukan peraturan daerah, yaitu: (1) pelaksanaan kewenangan mengatur secara legalistik-formal, mendasarkan kewenangan dan NSPK yang ditetapkan Pemerintah secara kaku; (2) pelaksanaan kewenangan mengatur secara normatif-ekstensif, yaitu selain mendasarkan pada kewenangan dan NSPK, Daerah juga memperhatikan kebutuhan hukum di Daerah; dan (3) pelaksanaan kewenangan mengatur secara supra-ekstensif, dimana Daerah mengatur melebihi koridor kewenangan dan NSPK. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan dalam perumusan NSPK diperlukan kecermatan Pemerintah Pusat, sehingga dapat menjadi pedoman pelaksanaan urusan pemerintahan yang luwes dan dapat mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat di daerah.
Penormaan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia Ditinjau dari Ajaran Teologi Hukum Thomas Aquinas Dian Agung Wicaksono
Jurnal Filsafat "WISDOM" Vol 31, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jf.51754

Abstract

The arrangement of Islamic law in the Indonesian legal system, which is manifested in statutory regulations, is an indication that Islamic law has become part of the Indonesian legal system. This is interesting when viewed using Thomas Aquinas' legal theology which introduces a legal dichotomy based on its sources, namely lex aeterna, lex naturalist, and lex humana. The dichotomy becomes a perspective to see at what level Islamic law is embedded in the Indonesian legal system. This research examines the existence of arrangement of Islamic law in statutory regulations from the perspective of legal theology, with research questions: (a) What is the justification for the arrangement of Islamic law substance in the Indonesian legal system? (b) How is the arrangement of the substance of Islamic law in the Indonesian legal system when viewed from the teachings of Thomas Aquinas' legal theology? This is normative legal research, by analyzing secondary data in the form of laws and libraries related to the arrangement of Islamic law and the teachings of the legal theology of Thomas Aquinas. The results indicate that the justification for the arrangement of the substance of Islamic law in the Indonesian legal system has a strong foothold because it is stated in the Pancasila "God Almighty" and Article 29 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The teachings of legal theology of Thomas Aquinas show that arrangement of the substance of Islamic law in statutory regulations does not necessarily reduce the degree of Islamic law, because the substance of Islamic law in statutory regulations does not transform lex aeterna into lex humana.
PENEGAKAN HUKUM LALU LINTAS JALAN SECARA ELEKTRONIK SEBAGAI WUJUD PEMBANGUNAN HUKUM DALAM ERA DIGITAL Dian Agung Wicaksono; Chrysnanda Dwilaksana
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 9, No 2 (2020): Agustus 2020
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (32.256 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v9i2.445

Abstract

Penerapan ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) merupakan hal baru dalam penegakan hukum lalu lintas jalan di Indonesia. Sebagai hal yang baru, ETLE terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Terlebih ETLE dikembangkan dalam rezim hukum lalu lintas jalan yang telah ada, sehingga dapat dipastikan terdapat persinggungan dengan aspek hukum lain dalam penegakan hukum lalu lintas jalan. Penelitian mencoba melihat keberadaan ETLE dalam pembangunan hukum lalu lintas jalan Indonesia dalam era digital serta kompatibilitas hukum lalu lintas jalan yang berlaku di Indonesia merespons ETLE sebagai mekanisme baru dalam penegakan hukum lalu lintas jalan. Pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan penerapan ETLE dan hukum lalu lintas jalan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan ETLE sejalan dengan arah pembangunan hukum nasional Indonesia, khususnya di era digital saat ini. Selain itu, hukum lalu lintas jalan Indonesia juga relatif kompatibel terhadap penerapan ETLE sebagai mekanisme baru dalam penegakan hukum lalu lintas jalan di Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa catatan hukum penting yang perlu diperhatikan.
KOMPATIBILITAS RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (RZWP3K) SEBAGAI RENCANA TATA RUANG YANG INTEGRATIF Ananda Prima Yurista; Dian Agung Wicaksono
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 6, No 2 (2017): Agustus 2017
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2823.959 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v6i2.181

Abstract

Indonesia sebagai negara yang mayoritas wilayahnya berupa laut memiliki kompleksitas dalam melakukan perencanaan spasial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangunan nasional. Namun demikian, hukum positif Indonesia diindikasikan masih berorientasi pada perencanaan spasial di darat, yang berarti secara tidak langsung perencanaan pembangunan baru diarahkan pada pembangunan daratan. Padahal potensi ruang laut Indonesia sangat berlimpah. Hal tersebut dibuktikan dengan pengaturan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang sangat berorientasi pada ruang darat dan bahkan mendelegasikan kepada pengaturan lain untuk mengatur mengenai perencanaan ruang laut. Keberadaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diindikasikan menjadi dokumen yang relevan untuk mengatur mengenai perencanaan ruang laut. Apakah RZWP3K memiliki kompatibilitas sebagai rencana tata ruang laut? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif untuk menggali data sekunder yang relevan melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa RZWP3K tidak cukup bahkan tidak dapat difungsikan sebagai rencana tata ruang laut. RZWP3K hanya berfungsi sebagai salah satu bagian dari dokumen perencanaan ruang laut sebagaimana diamanahkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
QUO VADIS KELEMBAGAAN BADAN PELAKSANA REKLAMASI PANTAI UTARA JAKARTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEMUDAHAN BERUSAHA PADA LAHAN HASIL REKLAMASI Dian Agung Wicaksono
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 7, No 3 (2018): Desember 2018
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4063.221 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v7i3.269

Abstract

Reklamasi hampir selalu menuai polemik di seluruh Indonesia, karena disinyalir memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, walaupun reklamasi juga menjadi pilihan untuk meningkatkan fungsi suatu kawasan. Khusus dalam konteks reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, problematika tidak kunjung usai, terlebih dengan adanya nuansa politik elektoral dalam penyelenggaraan reklamasi. Penelitian ini mencoba melihat dari perspektif kajian hukum pemerintahan daerah, khususnya mengenai permasalahan konstruksi pengaturan, dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta, serta implikasinya terhadap pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta dan kemudahan berusaha. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan pelaksanaan reklamasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta berimplikasi pada pelaksanaan reklamasi dan kontra produktif dengan semangat penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta sebagaimana diamanatkan oleh Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres Reklamasi), serta mempengaruhi indikator kemudahan berusaha. Dengan demikian aspek pengaturan penataan ruang reklamasi Pantura Jakarta perlu ditelaah kembali.
DISKURSUS KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENGADILI PERBUATAN PEMERINTAH DALAM PENGADAAN BARANG/JASA Dian Agung Wicaksono; Dedy Kurniawan; Bimo Fajar Hantoro
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 9, No 3 (2020): Desember 2020
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v9i3.512

Abstract

Diskursus mengenai kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam mengadili perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa menjadi yang tidak pernah tuntas, karena dalam praktik PTUN di Indonesia ditemukan pandangan yang diametral dalam memaknai kompetensi absolut PTUN dalam memutus perkara terkait perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa. Penelitian ini mencoba menjawab: (a) bagaimana konstruksi hukum dari kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara di Indonesia? (b) bagaimana dikotomi perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa? (c) bagaimana kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara untuk mengadili perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa? Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan kompetensi absolut peradilan tata usaha negara, administrasi pemerintahan, dan hukum pengadaan barang/jasa di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keterbatasan pengaturan dalam UU Peratun 1986 dan perubahan membuat hakim memilih penafsiran ekstensif yang notabene kontradiktif dengan penafsiran gramatikal dari ketentuan UU Peratun 1986 dan perubahannya.
INISIASI PENGADILAN KHUSUS PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM MENGHADAPI KESERENTAKAN PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DI INDONESIA 1 * Dian Agung Wicaksono; Ola Anisa Ayutama
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 1 (2015): April 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (579.995 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i1.53

Abstract

Pasca pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disingkat Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya disebut Pemilihan Kepala Daerah, yang disingkat Pilkada) terdapat desain baru yang diusung terkait mekanisme Pilkada. Dalam Perppu tersebut, Pilkada diselenggarakan secara serentak pada level nasional. Desain keserentakan ini tentu membutuhkan regulasi pendukung, salah satunya melalui pembentukan pengadilan khusus Pilkada. Permasalahan yang kemudian muncul dalam penelitian ini adalah terkait bagaimana urgensi dibentuknya pengadilan khusus Pilkada, bagaimana perbandingan pengadilan khusus Pilkada di berbagai negara dan bagaimana relevansi perbandingan tersebut dapat diterapkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat urgensi untuk dibentuk pengadilan khusus Pilkada dikarenakan upaya hukum dalam proses Pilkada selama ini seringkali tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, misalnya putusan pengadilan yang baru diputus pasca tahapan Pilkada telah dilaksanakan dan berlapis- lapisnya upaya hukum Pilkada sehingga kontraproduktif dengan tahapan Pilkada yang dibatasi jangka waktu. Terlebih upaya hukum tersebut terpisah dalam beberapa lingkungan peradilan. Di berbagai negara pun telah dibentuk pengadilan khusus Pilkada dengan berbagai desain kelembagaan dan hukum acaranya. Untuk Indonesia, Pengadilan Pilkada didesain sebagai pengadilan khusus yang bersifat ad hoc , berkedudukan di Provinsi dan Kabupaten atau Kota serta berwenang memutus sengketa tentang Pilkada.Post-approval of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2014 concerning the Election of Governor, Regent, and Mayor (hereinafter called local election), there is a new design in election mechanisms of regional head. The Law a quo stated that the elections be held simultaneously at the national level. This design would require regulatory support, such as the establishment of special courts to solve any disputes that arise from the election. The problems emerge in this study is how the urgency of a special court, how it compares to special court on election matters in various countries and how the relevance of the comparison can be applied in Indonesia. This was conducted using a legal-normative research. The research conclude that it is urgent to set up special courts on local elections due to legal remedy in the local election process that has been often unable to meet the demands for justice, for example, the court’s decision are settled after the elections conducted and thick-layers on legal remedies so it is counterproductive to the elections that have limited period of time. These legal remedies are even separated in several judicatures. Various countries have also established a special court on local elections with a variety of institutional design and procedural law. For Indonesia, the special court is an ad hoc court, based on provincial and district or city and authorized to settle disputes concerning the local elections.
MENDUDUKKAN KASULTANAN DAN KADIPATEN SEBAGAI SUBYEK HAK MILIK ATAS TANAH KASULTANAN DAN TANAH KADIPATEN DALAM KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA Dian Agung Wicaksono; Ananda Prima Yurista; Almonika Cindy Fatika Sari
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 8, No 3 (2019): Desember 2019
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (494.272 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v8i3.342

Abstract

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY) menetapkan Kasultanan dan Kadipaten sebagai badan hukum pemegang hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Penetapan tersebut menjadi diskursus dalam konteks hukum pertanahan di Indonesia, karena badan hukum yang diperkenankan menjadi pemegang hak milik atas tanah secara definitif disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah (PP 38/1963). Pengaturan dalam PP a quo menimbulkan persepsi seolah-olah Kasultanan dan Kadipaten tidak dapat menjadi pemegang hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Penelitian ini mencoba melihat dari perspektif kajian hukum pemerintahan daerah dan hukum agraria dalam kerangka menjernihkan kedudukan hukum Kasultanan dan Kadipaten sebagai pemegang hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan keistimewaan Yogyakarta dan hukum pertanahan di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kasultanan dan Kadipaten merupakan salah satu badan hukum khusus yang terlepas dari ketentuan-ketentuan yang melekat bagi badan hukum publik atau privat secara an sich.