Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Fungsi Teks Babad Banyumas Versi Darmasumarta B Priyadi, Sugeng
Proceeding Seminar LPPM UMP Tahun 2014 2014: Proceeding Seminar Hasil Penelitian LPPM 2014, 6 September 2014
Publisher : Proceeding Seminar LPPM UMP Tahun 2014

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKBabad Banyumas versi Darmasumarta B mencirikan teksnya dengan deskripsi relasi klien dan patron yang berbeda sesuai dengan periodisasi kerajaan Jawa dari zaman Majapahit dan diakhiri dengan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Patron Majapahit menjadi kebanggaan bagi klien Wirasaba karena Majapahit adalah kerajaan besar yang pernah berkuasa di Nusantara dan berpengaruh di Pulau Jawa. Patron Demak difungsikan dalam teks dengan berita Islamisasi di Wirasaba yang berkaitan dengan kasus perkawinan secara Islam yang menyangkut putri Adipati Warga Utama I dengan putra Demang Toyareka. Patron Pajang difungsikan dalam teks sebagai landasan legitimasi bagi Bagus Mangun yang menggantikan mertuanya dengan gelar Adipati Warga Utama II, yang menjadi pendiri Banyumas setelah membagi Wirasaba menjadi empat sehingga disebut Adipati Mrapat. Patron Mataram difungsikan untuk menjelaskan munculnya nama Kalikethok (Kaligathuk) dan kedudukan Banyumas lebih sempit. Yudanegara dianggap mempunyai masalah sehingga mereka dipecat, kecuali Yudanegara III, yang dianggap sebagai trah Banyumas yang mengalami mobilitas sosial yang tinggi dengan jabatan Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta. Yudanegara V yang dipecat tidak digantikan oleh keturunannya karena Banyumas dibagi menjadi dua,Kasepuhan dan Kanoman. Pembagian Banyumas menjadi dua memasuki masa penjajahan Belanda di Banyumas pasca-Perang Jawa. Keturunan Cakrawadana dan Bratadiningrat mengisi masa kolonial, terutama keturunan Bratadiningrat, yaitu Gandasoebrata sebagai penutup teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B.  Kata kunci: filologi, terbitan diplomatik, khazanah perbabadan, teks Darmasumarta B, klien-patron, legitimasi, Islamisasi, dan mobilitas sosial. 
PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL Priyadi, Sugeng
Proceeding Seminar LPPM UMP 2015: Buku I Bidang Ilmu Ekonomi dan Pertanian, Proceeding Seminar Nasional LPPM 2015, 26 September
Publisher : Proceeding Seminar LPPM UMP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Spirit of Indonesia yang tercermin dalam local wisdom itu dilatarbelakangi oleh tribal society kat dari suku-suku bangsa yang beraneka. Masyarakat Indonesia perlu melakukan gerakan renaissance terhadap budaya tribal dengan langkah berubahnya mitos menjadi logos. Mitos-mitos tribal menjadi inspirasi bangsa untuk menggali kekayaan local wisdom agar diperoleh sumber ilmu sepertinya mitologi Yunani. Kompleksitas sikap yang didasarkan nilai-nilai mengarahkan kepada kebiasaan hidup yang lebih baik dan maju yang disebut etos. Etos tersebut menggerakkan masyarakat Indonesia untuk mengambil langkah-langkah redifinisi, sinkretisasi, akulturasi, revitalisasi, dan reengenering untuk menghadapi globalisasi.Kata Kunci : spirit of Indonesia, local wisdom, tribal society, mitos, logos, etos, redifinisi, sikretisasi, akulturasi, revitalisasi, dan reengenering.
PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL Priyadi, Sugeng
Proceeding Seminar LPPM UMP 2015: Buku II Bidang Ilmu Pendidikan dan Sosial Humaniora, Proceeding Seminar Nasional LPPM 2015, 2
Publisher : Proceeding Seminar LPPM UMP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Spirit of Indonesia yang tercermin dalam local wisdom itu dilatarbelakangi oleh tribal society kat dari suku-suku bangsa yang beraneka. Masyarakat Indonesia perlu melakukan gerakan renaissance terhadap budaya tribal dengan langkah berubahnya mitos menjadi logos. Mitos-mitos tribal menjadi inspirasi bangsa untuk menggali kekayaan local wisdom agar diperoleh sumber ilmu sepertinya mitologi Yunani. Kompleksitas sikap yang didasarkan nilai-nilai mengarahkan kepada kebiasaan hidup yang lebih baik dan maju yang disebut etos. Etos tersebut menggerakkan masyarakat Indonesia untuk mengambil langkah-langkah redifinisi, sinkretisasi, akulturasi, revitalisasi, dan reengenering untuk menghadapi globalisasi.Kata Kunci : spirit of Indonesia, local wisdom, tribal society, mitos, logos, etos, redifinisi, sikretisasi, akulturasi, revitalisasi, dan reengenering.
PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL Priyadi, Sugeng
Proceeding Seminar LPPM UMP 2015: Buku III Bidang Ilmu Kesehatan dan Sains Teknik, Proceeding Seminar Nasional LPPM 2015, 26 Se
Publisher : Proceeding Seminar LPPM UMP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Spirit of Indonesia yang tercermin dalam local wisdom itu dilatarbelakangi oleh tribal society kat dari suku-suku bangsa yang beraneka. Masyarakat Indonesia perlu melakukan gerakan renaissance terhadap budaya tribal dengan langkah berubahnya mitos menjadi logos. Mitos-mitos tribal menjadi inspirasi bangsa untuk menggali kekayaan local wisdom agar diperoleh sumber ilmu sepertinya mitologi Yunani. Kompleksitas sikap yang didasarkan nilai-nilai mengarahkan kepada kebiasaan hidup yang lebih baik dan maju yang disebut etos. Etos tersebut menggerakkan masyarakat Indonesia untuk mengambil langkah-langkah redifinisi, sinkretisasi, akulturasi, revitalisasi, dan reengenering untuk menghadapi globalisasi.Kata Kunci : spirit of Indonesia, local wisdom, tribal society, mitos, logos, etos, redifinisi, sikretisasi, akulturasi, revitalisasi, dan reengenering.
UNSUR-UNSUR KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR CILACAP Dini Siswani Mulia, Sugeng Priyadi &
Paramita: Historical Studies Journal Vol 23, No 2 (2013): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v23i2.2666

Abstract

Local wisdom explains the phenomenon of Watugunung Complex, Sangkuriang Complex, Jaka Sona Complex, and Kamandaka Complex. This phenomenon can be compared to the Oedipus complex phenomena in classical Greek civilization. The similarity phenomenon of Jaka Sona Complex and Oedipus complex is in killing the father. However, Jaka Sona did not marry his mother, even he did not have the desire to his mother while Sangkuriang also killed his father but he failed to marry his mother. Both Watugunung and Oedipus married their mother though Watugunung did not kill his father. Among the five phenomena, only Kamandaka complex is different because he did not kill his father and he did not marry his mother either.  He just wanted to marry a woman who looked like his mother’s face. The local wisdoms happened when healing the disease epidemic by using the three-color oil. Keywords: local wisdom, Oedipus Complex, classical Greek civilization, father’s killing, Tigawarna. Kearifan lokal menjelaskan adanya fenomena Watugunung Complex, Sangkuriang Complex, Jaka Sona Complex, dan Kamandaka Complex. Fenomena tersebut dapat dibandingkan dengan fenomena Oedipus Complex dalam peradaban Yunani klasik. Kesamaan fenomena Jaka Sona Complex dengan Oedipus Complex adalah pembunuhan ayah. Namun, Jaka Sona tidak menyunting ibunya, bahkan ia tidak memiliki hasrat. Sangkuriang juga membunuh ayahnya, tetapi gagal mengawini ibunya. Oedipus dan Watugunung sama-sama mengawini ibunya, tetapi Watugunung tidak membunuh ayahnya. Di antara kelima fenomena tersebut, hanya Kamandaka yang paling ringan karena ia tidak membunuh ayahnya dan tidak mengawini ibunya, melainkan ia mempunyai hasrat terhadap wanita yang mirip dengan wajah ibunya. Muncul kearifan dalam bentuk penyembuhan terhadap wabah penyakit dengan minyak tigawarna. Kata kunci: kearifan lokal, Oedipus Complex, peradaban Yunani klasik, pembunuhan ayah, dan Tigawarna.    
BANYUMAS 1571-1937 Priyadi, Sugeng
Paramita: Historical Studies Journal Vol 28, No 1 (2018): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v28i1.13925

Abstract

Banyumas was not a village which grew to become a city, but built directly into a city in the sixteenth century by Adipati (regent) Mrapat. Banyumas as a new center of power was the binary opposition of the toponym Toyareka after its moving from Wirasaba. Back then, Banyumas was inhabited merely by its regents until the beginning of eigthteenth century. The center was then moved again reastward to what it currently known as the old Banyumas and remained there until 1937. The Regent Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata then moved the capital of both Banyumas Residency and Regency to Purwokerto, leaving Banyumas - once the biggest city in the residency, just as a capital of a kawedanan or kecamatan (municipality). Banyumas bukanlah sebuah desa yang tumbuh menjadi kota, namun dibangun langsung ke sebuah kota pada abad keenam belas oleh Adapati (bupati) Mrapat. Banyumas sebagai pusat kekuatan baru adalah oposisi biner toponim Toyareka setelah pindah dari Wirasaba. Saat itu, Banyumas hanya dihuni oleh bupati sampai awal abad ke-19. Pusat itu kemudian dipindahkan kembali ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Banyumas tua dan tetap di sana sampai tahun 1937. Bupati Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata kemudian memindahkan ibu kota Karesidenan dan Kabupaten Banyumas ke Purwokerto, meninggalkan Banyumas - yang pernah menjadi kota terbesar di kediaman , sama seperti ibu kota kawedanan atau kecamatan (kotamadya). 
LOCAL ISLAMIC RELIGIOUS LEADERS IN ISLAMIZATION IN BANYUMAS Priyadi, Sugeng
Paramita: Historical Studies Journal Vol 29, No 1 (2019): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v29i1.18612

Abstract

In the writing of Islamic-history-themed local history, especially for the Islamic missionary, there is only a small number found, including in Banyumas. Oral tradition and historical sources in the folklore form are found abundantly in the Banyumas Residency in the form of local chronicles. Sheikh Jambu Karang and Prince Mahdum Husen were the oldest Islamic religious leaders who lived in the pre-Demak period or Sundanese kingdom, while PrinceWali Prakosa, Prince Mahdum Cahyana, Prince Mahdum Wali, Prince Senapati Mangkubumi I, and Wirakencana played their roles in Islamizing people in Demak era. Meanwhile, Ki Ageng Gumelem was the Islamic religious leader in the Mataram era. Local legitimacy stated that Sheikh Jambu Karang embraced Islam by a friend of the Prophet Muhammad (peace be upon him), named Prince Attasangin. Prince Wali Prakosa was legitimized as a local Islamic religious leader who participated in building the Great Mosque of Demak, even he was the maker of the Saka tatal. Prince Senapati Mangkubumi, according to the text of Babad Pasir, also helped in building the Great Mosque of Demak and Islamized residents in the inland of East Java and West Java.Keywords: Islamic history, oral tradition, folklore, local Islamic religious leaders, legitimacy  Dalam penulisan sejarah lokal bertema sejarah Islam, khususnya bagi misionaris Islam, hanya ada sejumlah kecil yang ditemukan, termasuk di Banyumas. Tradisi lisan dan sumber sejarah dalam bentuk cerita rakyat banyak ditemukan di Kediaman Banyumas dalam bentuk kronik lokal. Sheikh Jambu Karang dan Pangeran Mahdum Husen adalah pemimpin agama Islam tertua yang hidup di masa pra-Demak atau kerajaan Sunda, sementara Pangeran Wali Prakosa, Pangeran Mahdum Cahyana, Pangeran Mahdum Wali, Pangeran Senapati Mangkubumi I, dan Wirakencana memainkan peran mereka dalam mengislamkan orang-orang di era Demak. Sementara itu, Ki Ageng Gumelem adalah pemimpin agama Islam di era Mataram. Legitimasi lokal menyatakan bahwa Syekh Jambu Karang memeluk Islam oleh seorang teman Nabi Muhammad SAW, bernama Pangeran Attasangin. Pangeran Wali Prakosa dilegitimasi sebagai pemimpin agama Islam setempat yang berpartisipasi dalam membangun Masjid Agung Demak, bahkan ia adalah pembuat Saka tatal. Pangeran Senapati Mangkubumi, menurut teks Babad Pasir, juga membantu membangun Masjid Agung Demak dan penduduk yang terislamisasi di pedalaman Jawa Timur dan Jawa Barat.Kata kunci: Sejarah Islam, tradisi lisan, cerita rakyat, tokoh agama Islam setempat, legitimasi 
UNSUR-UNSUR KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR CILACAP Dini Siswani Mulia, Sugeng Priyadi &
Paramita: Historical Studies Journal Vol 23, No 2 (2013): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v23i2.2666

Abstract

Local wisdom explains the phenomenon of Watugunung Complex, Sangkuriang Complex, Jaka Sona Complex, and Kamandaka Complex. This phenomenon can be compared to the Oedipus complex phenomena in classical Greek civilization. The similarity phenomenon of Jaka Sona Complex and Oedipus complex is in killing the father. However, Jaka Sona did not marry his mother, even he did not have the desire to his mother while Sangkuriang also killed his father but he failed to marry his mother. Both Watugunung and Oedipus married their mother though Watugunung did not kill his father. Among the five phenomena, only Kamandaka complex is different because he did not kill his father and he did not marry his mother either.  He just wanted to marry a woman who looked like his mother’s face. The local wisdoms happened when healing the disease epidemic by using the three-color oil. Keywords: local wisdom, Oedipus Complex, classical Greek civilization, father’s killing, Tigawarna. Kearifan lokal menjelaskan adanya fenomena Watugunung Complex, Sangkuriang Complex, Jaka Sona Complex, dan Kamandaka Complex. Fenomena tersebut dapat dibandingkan dengan fenomena Oedipus Complex dalam peradaban Yunani klasik. Kesamaan fenomena Jaka Sona Complex dengan Oedipus Complex adalah pembunuhan ayah. Namun, Jaka Sona tidak menyunting ibunya, bahkan ia tidak memiliki hasrat. Sangkuriang juga membunuh ayahnya, tetapi gagal mengawini ibunya. Oedipus dan Watugunung sama-sama mengawini ibunya, tetapi Watugunung tidak membunuh ayahnya. Di antara kelima fenomena tersebut, hanya Kamandaka yang paling ringan karena ia tidak membunuh ayahnya dan tidak mengawini ibunya, melainkan ia mempunyai hasrat terhadap wanita yang mirip dengan wajah ibunya. Muncul kearifan dalam bentuk penyembuhan terhadap wabah penyakit dengan minyak tigawarna. Kata kunci: kearifan lokal, Oedipus Complex, peradaban Yunani klasik, pembunuhan ayah, dan Tigawarna.    
The Symbolic Meaning of Marriage Taboo in Purbalingga and Banyumas Villages Sugeng Priyadi
Proceedings Series on Social Sciences & Humanities Vol. 8 (2023): Proceeding International Seminar 2022 E-Learning Implementation in Malaysia and Indon
Publisher : UM Purwokerto Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30595/pssh.v8i.601

Abstract

The marriage taboo in the rural community of Purbalingga and Banyumas illustrates the phenomenon of socio-cultural plurality which is based on socio-political legitimacy. The emergence of marriage taboos is caused by social conflicts as the manifestation of incest marriage, social rivalry, and legitimacy battle. In those conflicts, the communities of Onje, Banjaranyar, and Raden Kaligenteng are the troublemakers. In addition, the communities of Sambeng Kulon, Sambeng Wetan, Jompo Kulon, and Jompo Wetan can also be categorized as the troublemakers since they are involved in the internal conflict which made them separated into parts. Those marriage taboos indicate something that can be understood as the shift of cosmos into chaos. The chaotic situation, however, is more dominant because the shift has not resulted in a new cosmos so that it is always in the liminal or threshold position. The position can be explained clearly in terms of relative binary opposition featuring a third party which takes the liminal position.
Nilai-Nilai Akulturasi pada Roemah Martha Tilaar dan Pemanfaatannya sebagai Museum Rumah Budaya di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen (2014-2022) Meida Nia Widianingrum; Sugeng Priyadi; Sumiyatun Septianingsih
Proceedings Series on Social Sciences & Humanities Vol. 13 (2023): Proceedings of International Student Conference on Education (ISCE) 2023
Publisher : UM Purwokerto Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30595/pssh.v13i.878

Abstract

Nilai-nilai akulturasi pada museum Roemah Martha Tilaar merupakan wujud perpaduan tiga kebudayaan, yaitu kebudayaan Belanda (Indische), Tionghoa dan Jawa, yang eksistensinya masih ada hingga saat ini. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis: (1) awal mula berdirinya museum dan rumah budaya Roemah Martha Tilaar (2014-2022), (2) nilai-nilai akulturasi yang terdapat dalam museum dan rumah budaya Roemah Martha Tilaar, (3) koleksi dan pemanfaatan di museum dan rumah budaya Roemah Martha Tilaar. Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang digunakan meliputi heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan berupa data informan, dokumen, dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini yaitu: (1) museum dan rumah budaya Roemah Martha Tilaar, didirikan pada tahun 1920, oleh kakek Ibu Martha yang bernama Liem Siaw Lam atau yang dikenal dengan babah Siaw Lam. (2) nilai akulturasi yang terdapat di museum dan rumah budaya Roemah Martha Tilaar ini terdiri dari kebudayaan Belanda (Indische), kebudayaan Tionghoa (China), dan kebudayaan Jawa, (3) koleksi dan pemanfaatan yang terdapat di museum dan rumah budaya Roemah Martha Tilaar dengan tujuan untuk menyukseskan program kegiatan yang telah ditetapkan.