Claim Missing Document
Check
Articles

Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan Senjata Api Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana Evan Munandar; Suhaimi Suhaimi; Muhammad Adli
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 3: Desember 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (511.82 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i3.11763

Abstract

Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, menyatakan bahwa “Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Namun pada kenyataannya di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jantho masih terjadi tindak pidana penggunaan senjata api tanpa izin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab terjadinya tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api tanpa izin, upaya penanggulangan dan hambatan dalam penanggulangan tindak pidana tersebut. Jenis penelitian hukum dan pendekatan yuridis empiris, dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer. Analisis data dengan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api tanpa izin di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jantho karena tujuan membela diri, alat untuk mencari nafkah, melaksanakan tugas sebagai anggota GAM. Upaya penanggulangan dilakukan secara preventif dan represif. Hambatan yang dihadapi kurangnya pengawasan oleh kepolisian maksimal.On the paragraph 1 article 1 and 2 of the emergency legislation no 12 of 1951, it was mentioned that “whoever, without permission producing, accepting, trying to attain, giving, trying to give, controlling, carrying, having, keeping, taking, hiding, using, or taking out the firearm, ammunition, or dynamite in Indonesia will be punished capital punishment, life imprisonment, or twenty years imprisoned punishment”. However, in the reality, in Jantho Jurisdiction region, there are still many of criminal act related to the unauthorized use of firearms. It was caused of the security factor in the living area and the lack of knowledge factor on unauthorized ownership of the firearms. This research aims to describe and analyze the causal factor of the criminal act on the unauthorized firearms in the jurisdiction region of Jantho and the effort made to overcome the criminal act of unauthorized ownership and use of firearm. This research is a type of law research, empirical juridical research, or sociology law research, with the technique of data collection conducted through library research to attain the secondary research and field research to attain the primary data. The technique of data analysis used in this research is qualitative. This method is used to easily to understand the causes observed and to connect the problem discussed. Based on the research result, it was revealed that the causal factor of the criminal act on the unauthorized gun ownership in the law area of Jantho court  are: self-defense factor, earning money, the responsibility as an Aceh Free Movement member, the preparation to did other criminal act. The effort made to overcome the criminal act of unauthorized gun use by regularly giving the law and police raid. The repressive efforts made are by investigating, sue the perpetrators   of criminal act on unauthorized gun use to the court based on the legislation, and deciding the criminal decision to the perpetrators by the judge.
Upaya Terpadu Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkotika di Lapas Klas II A Banda Aceh dan Rutan Klas II B Sigli Risa Andika Sari; Suhaimi Suhaimi; Muazzin Muazzin
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.489 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10593

Abstract

Pasal 46 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan Kepala Lapas bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban di Lapas yang dipimpinnya. Pasal 4 Angka 7 Permenkumham No 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan menyatakan setiap Narapidana/Tahanan dilarang menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika. Terdapat MoU antara Kemenkumham dan BNN serta Kemenkumham dan Kepolisian tentang pencegahan dan pemberantasan narkotika di Lapas. Namun kenyataannya, peredaran gelap narkotika masih terjadi sebagaimana di Lapas Klas IIA Banda Aceh dan Rutan Klas IIB Sigli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan upaya terpadu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika di Lapas dan Rutan serta hambatan dalam pelaksanaan upaya terpadu tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Pelaksanaan upaya terpadu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika belum berjalan maksimal dikarenakan tidak adanya hubungan yang sinergis antar instansi terkait. Hambatan yakni kebocoran informasi, keterlibatan oknum petugas Lapas, protap Lapas, keterbatasan anggaran dan sarana prasarana. Disarankan kepada Lapas, Kepolisian dan BNN untuk menindaklanjuti MoU yang ada dengan perjanjian yang memuat substansi dan sanksi yang tegas, sehingga aturan yang ada mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kepada Pemerintah, untuk mengalokasikan anggaran serta pengadaan sarana prasarana yang memadai dan merevisi aturan pasal 17 ayat (5) UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.Article 46 of the Act Number 12, 1995 concerning the Correctional Centre states that the Head of a correctional service center is responsible for security and order in the center, which he is in charge. Article 4 of Point 7 of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 6, 2013 on the Correctional Centre and Detention also states that every prisoner or detainee is prohibited from storing, making, carrying, distributing and/or consuming narcotics and/or narcotics precursors and other dangerous drugs. In addition, there is a MoU between the Ministry and BNN and MoU between the Ministry of Law and Human Rights and Police on the prevention and eradication of narcotics in prisons. However, illicit drug trafficking still occur in Class II A Correctional Centre of Banda Aceh and Class II B Sigli. This research aims to know and explain integrated prevention and suppression efforts of drug abuses at correction center and obstacles faced in integrated prevention and suppression efforts of drug abuses at correction center. The research shows that integrated prevention and suppression efforts of drug abuses at correction center have not been working maximal, as there is no synergic relationship between related institutions. The obstacles is, namely information leakage, the involvement of officers, criminal procedures, lack of budget and infrastructure. It is recommended that the Centre, the police and the BNN to follow up existing MoUs with agreements containing substance and strict sanctions, so that existing rules have binding legal force. The government should allocate sufficient budget and the provision of adequate infrastructure facilities and revise the Article 17 point  (5) of the Act Number 12, 1995 concerning the Correctional Centre.
Peranan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menata dan Membina Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh Mardiani Mardiani; Suhaimi Suhaimi; Teuku Muttaqin Mansur
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (271.838 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11631

Abstract

Salah satu wujud kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja adalah penegakan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang pengaturan dan pembinaan pedagang kaki lima. Pemerintah Kota berwenang untuk menata dan membina tempat usaha pedagang kaki lima sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peranan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banda Aceh dalam menata dan membina pedagang kaki lima dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pengaturan dan pembinaan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja terhadap pedagang kaki lima di Kota Banda Aceh. Metode Penelitian menggunakan pendekatan hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banda Aceh telah berusaha mengatasi permasalahan ketidakteraturan pedagang kaki lima dengan melakukan penataan, penertiban dan pembinaan serta pengawasan terhadap pedagang kaki lima yang masih berjualan di tempat yang sudah dilarang beraktifitas dan memindahkan para pedagang kaki lima ketempat relokasi yang telah ditetapkan. Namun kenyataannya pedagang kaki lima kembali berjualan di bahu jalan dan trotoar, karena pedagang kaki lima beranggapan akan lebih mudah dijangkau oleh pembeli dan mendapatkan keuntungan yang besar. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor internal berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana dan perangkat hukum belum tersedia. Sedangkan faktor eksternal meliputi tingkat kesadaran pedagang kaki lima masih kurang dan tingkat koordinasi antar lintas sektoral kurang mendapat dukungan. One of the existences of the Municipal Police authorities is enforcing Qanun Number 3, 2007 on the Regulation and Guiding for Street Vendors. The Government has power to regulate and manage street vendors based on the municipal spatial planning. This research aims to explore the roles of the Municipal Police in making public order and guiding the street vendors, to explain factors influencing the regulation and guidance done by the Municipal Police towards the street vendors in Banda Aceh. The research method used is the empirical legal research. The research shows that the municipal police of Banda Aceh has been striving to overcome the problems of troubles of the vendors by organized, guiding and supervising the vendors who are still trading at the forbidden places for it and moving them to the relocated spaces that has been made. Nevertheless, they are coming back to trade at the forbidden places namely, vendor places as they are assuming that by trading at the places and the vendors it will be easier to sale and to get buyers and get profit bigger. Some obstacles are influencing it, namely; internal factors that human resource capacity, infrastructures and the absence of laws. Meanwhile, the external factors are comprising the level of awareness/the obedience of the vendors themselves which is lack and the inter-sectors coordination that is lack of support.
Pelaksanaan Hak Saksi/Ahli Mendapatkan Penggantian Biaya Rizki Septimaulina; Suhaimi Suhaimi; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.533 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10589

Abstract

Ketentuan Pasal 229 ayat (1) KUHAP menjamin pemenuhan hak penggantian biaya bagi saksi/ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dan memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan. Namun pada praktiknya ketentuan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan, prosedur dan hambatan dalam memberikan penggantian biaya bagi saksi/ahli sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data dikumpulkan, diseleksi, diklasifikasi, dan disusun dalam bentuk naratif dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan penggantian biaya di Polresta Banda Aceh belum sebagaimana mestinya. Prosedur pelaksanaan tidak ada ketentuan khusus. Hambatan pelaksanaan disebabkan karena tidak tersedia anggaran yang memadai dan tidak adanya aturan lebih lanjut tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya terutama bagi saksi dikarenakan aturan tentang standar biaya masukan tentang honorarium bagi saksi sebagai penggantian biaya saat memberikan keterangan belum diatur dalam PMK Nomor 33/PMK.02/2016 tentang standar biaya masukan tahun anggaran 2017. Disarankan kepada pemerintah agar memberikan pemahaman lebih mendalam kepada aparatur penegak hukum agar tidak melakukan diskriminasi dalam konteks pemenuhan hak saksi dan ahli mendapatkan penggantian biaya. Diperlukan perubahan KUHAP dan peraturan lanjutan tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya.The provisions of Article 229 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code guarantee the fulfillment of the reimbursement rights of the witnesse/experts who have attended the call and provide information at all examination levels. But in practice the provisions are not executed properly. This study aims to examine the implementation, procedures and barriers in providing cost reimbursement for witnesses/experts in accordance with applicable regulations. This research was conducted using empirical juridical and analytical descriptive method. Sources of data used were obtained from literature research and field research. Data are collected, selected, classified, and arranged in narrative form and analyzed qualitatively. The results show that the implementation of reimbursement in The City Resort Police of Banda Aceh is not as it should be. Implementation procedure there is no special provisions. Implementation barriers are caused by insufficient budget and no further rules on where to place budget for reimbursement of costs for witness especially at PMK Number. 36/PMK.02/2016 about maximum cost standart.  It is advisable to the government to provide a deeper understanding to law enforcement apparatuses in order not to discriminate in the context of witness rights fulfillment and experts get reimbursement of costs. Required changes to the Criminal Procedure Code and further regulations on the location of budget items for reimbursement of costs.
PEMANFAATAN RUANG MILIK JALAN OLEH PEDAGANG KAKI LIMA DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG WILAYAH ACEH TIMUR (Suatu Penelitian di Kota Idi Rayeuk ) Rina Ridara; Suhaimi Suhaimi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 7, No 1: Februari 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak – Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana penataan PKL yang menggunakan ruang milik jalan di Kota Idi Rayeuk, menjelaskan solusi yang diberikan pemerintah kepada PKL dan penegakan hukum terhadap PKL yang memanfaatkan ruang milik jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan ruang milik jalan yang dilakukan oleh PKL dibeberapa ruas jalan yang terdapat di Kota Idi Rayeuk dalam menjalankan aktivitasnya telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagaimana  dituangkan dalam Surat Himbauan Bupati tentang lokasi bagi PKL. Regulasi tersebut menjadi salah satu solusi yang diberikan oleh pemerintah, yaitu berupa penetapan lokasi dan waktu yang diperbolehkan berjualan. Penegakan hukum yang telah dilakukan yaitu dengan memberikan sanksi administratif berupa teguran secara lisan dan tertulis, selain teguran sanksi lain yang diberikan yaitu berupa penertiban PKL seperti penyitaan barang dagangan. Disarankan Pemerintah dalam proses perancangan dan penyusunan tata ruang harus ikut mempertimbangkan lokasi yang strategis bagi PKL, baik yang dituangkan dalam RTRW maupun RDTR Kota Idi Rayeuk. Dan perlunya dukungan Pemerintah untuk aparat penegak hukum dengan memberikan fasilitas yang memadai agar kinerja aparat penegak hukum dapat berjalan dengan baik dan efektif.Kata Kunci: Pemanfaatan Ruang, Pedagang. Abstract  - This research aims to analyse the arrangement of street vendors which use road-owned space in Idi Rayeuk City, explicate the solutions provided by the government to the street vendors and the mechanism of law enforcement towards the street vendors which use road-owned space. The results showed that the use of road-owned space by street vendors on several roads in Idi Rayeuk City in conducting their activities was in accordance with the rules set by the government, as stated in the Regent's Appeal Letter regarding the location for street vendors.  The regulation is one of the solutions provided by the government, namely in the form of determining the location and time allowed to sell.  Law enforcement that has been carried out is by giving administrative sanctions in the form of verbal and written warnings, in addition to other sanctions given in the form of controlling street vendors such as confiscation of merchandise. It is recommended that the government in the process of designing and compiling spatial planning must take into account the strategic location for street vendors, both as outlined in the RTRW and RDTR of Idi Rayeuk City.  And the need for government support for law enforcement officers by providing adequate facilities so that the performance of law enforcement officers can be well conducted and become more effective.Keywords: Utilization, Vendors.
Pelaksanaan ‘Uqubat Restitusi terhadap Korban Perkosaan Elda Maisy Rahmi; Ali Abu Bakar; Suhaimi Suhaimi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 21, No 2 (2019): Vol. 21, No. 2 (Agustus 2019)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v21i2.11317

Abstract

Penelitian ini ingin menjawab faktor apa saja yang meleatarbelakangi tidak terlaksananya ‘uqubat restitusi, serta upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh hak restitusi terhadap korban perkosaan. Selama tahun 2018, wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Jantho yang menanggani kasus perkosaan tidak pernah menerapkan uqubat restitusi terhadap pelaku perkosaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, lokasi penelitian di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Jantho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Qanun Jinayat telah menjamin pemberian hak kepada korban perkosaan. Hak restitusi terhadap korban perkosaan belum terlaksana disebabkan upaya dari korban sendiri tidak membuat laporan, pengaduan, dan pengakuan untuk ditinjaklanjuti oleh penegak hukum. Pada dasarnya upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan restitusi bagi korban tindak pidana perkosaan adalah adanya pengakuan dari korban, yang menderita dan juga adanya dukungan dari pihak keluarga atau masyarakat yang partisipasi terhadap korban sehingga mengajukan permohonan kepada yang berwajib untuk menjalani proses selanjutnya dengan tujuan agar terpenuhi hak korban. The Implementation of ‘Uqubat Restitution to Rape Victim This research wants to answer what factors are the underlying that have not been implemented the ‘uqubat restitution’, and the efforts to obtain restitution rights for rape victims. During 2018, the Jantho jurisdiction of the Syar'iyah Court never applied the restitutionary sentence to rape perpetrators. This study uses an empirical juridical approach, the location of the study is in the Jantho Jurisdiction of the Syar'iyah Court. The results showed that Qanun Jinayat had guaranteed granting rights to rape victims. The right to restitution of rape victims has not been realized due to the efforts of the victims themselves not to make reports, complaints, and confessions to be followed up by law enforcement. Basically, efforts that can be made to obtain restitution for victims are recognition of the victim and also support from the family or community so that the victim submits an application to the authorities to undergo legal proceedings in order to fulfill the victims' rights.
Kewenangan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan dalam Mengisi Jabatan Struktural Iswandi Iswandi; Suhaimi Suhaimi; M. Gaussyah
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 2 (2017): Vol. 19, No. 2, (Agustus, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Artikel ini ingin menjawab hal yang menjadi pertimbangan yang diberikan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan kepada Bupati bagi Aparatur Sipil Negara yang akan diangkat dalam jabatan struktural. Selain itu, hal lain adalah keterlibatan badan ini dalam melakukan seleksi Aparatur Sipil Negara yang akan diangkat dalam jabatan struktural. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan dalam mengangkat atau memilih pegawai negeri yang akan diangkat dalam jabatan struktural adalah hanya sebatas wewenang urusan menyeleksi administrasi. Badan ini tidak terlibat dalam pengambil keputusan akhir, akan tetapi hanya melakukan tugas administrasi untuk diajukan kepada kepala daerah terkait pegawai negeri yang akan menduduki jabatan struktural. Artikel ini menyarankan agar kepala daerah mengikutsertakan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan dalam urusan pengambilan keputusan. Official Consideration Body Authority and Official Ranking in Fulfilling Structural Position ABSTRACT: This article is going to answer the consideration given by the Office of Official Rank Consideration and Duty to the Head of District for civil servants who will be appointed in the official ranks. In addition, it also explores the involvement of this body in the selection of the State Civil Apparatus to be appointed in structural positions. This is juridical-normative research. The findings show that   the role of the Office of Official Position Consideration and Duty in appointing or choosing a civil servant who will be appointed in a structural position is only limited to the authority of administrative process. This body doe not involve as the final decision-maker, it only performs the administrative duty to be submitted to the head of the region related to the civil servant who will occupy the structural positions. It is recommended that the head of the region should include the Office the decision making process.
Pengawasan terhadap Notaris yang Tidak Membuka Kantor Mariana Mariana; Darmawan Darmawan; Suhaimi Suhaimi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 21, No 3 (2019): Vol. 21, No. 3 (Desember 2019)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v21i3.11836

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengkaji akibat hukum terhadap notaris yang tidak membuka kantor, dikaitkan dengan pengawasannya. Setelah pengambilan sumpah dan pelantikan, notaris wajib menjalankan jabatannya secara nyata yaitu salah satunya wajib membuka kantor. Kenyataanya masih ditemukan notaris yang tidak membuka kantor. Metode penelitian ini adalah yuridis empiris, dengan mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum bagi notaris yang tidak membuka kantor, Majelis Pengawas Daerah bisa merekomendasikan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat untuk menjatuhkan sanksi terhadap notaris yang kantor tidak dibuka. Diharapkan Majelis Pengawas Daerah lebih tegas dalam melakukan pengawasan terhadap notaris yang tidak membuka kantor, melakukan pemeriksaan dan pembinaan secara rutin kepada notaris supaya tidak ada notaris yang tidak membuka kantor, dan notaris bisa melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Supervision of Notary That Does not Open an Office This study aims to examine the legal consequences of notaries who do not open offices, linked to their supervision. After taking an oath and inauguration, the notary is obliged to carry out his position significantly, one of which must open an office. The fact is still found notary who does not open an office. The research method is empirical juridical, by reviewing the applicable legal provisions and what is happening in the reality of society. The results showed that the legal consequences for notaries who did not open offices, the Regional Supervisory Council could recommend to the Regional Supervisory Council and the Central Supervisory Council will impose sanctions. It is hoped that the Regional Supervisory Council will be more assertive in supervising notaries, conduct regular checks and guidance so that there are no notaries who do not open offices, and notaries can carry out their duties and obligations in accordance with applicable laws.
Manipulation of Transaction Value to Reduce Fees for Acquisition of Land and Building Rights Suhaimi Suhaimi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 23, No 1 (2021): Vol. 23, No. 1, April 2021
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v23i1.19785

Abstract

The purpose of this study is to analyze the responsibility of taxpayers who manipulate transaction values in order to reduce Fees for Acquisition of Land and Building Rights (BPHTB). This research is inspired by the results of previous research that many BPHTB taxpayers manipulate transaction values to reduce BPHTB, but they are missed from legal responsibility, so that their actions seem normal in society and are not perceived as despicable and violating of the law. This research is a normative legal research using a statutory approach, so that it can be seen how the responsibility of taxpayers who are not honest in paying BPHTB. The results showed that in statutory regulations cannot be found administrative sanctions imposed on taxpayers who manipulated transaction values to reduce BPHTB. In fact taxpayer's actions are really detrimental regional finance, because their taxes are paid to the Regional Treasury as the original financial resources. Sanctions contained in statutory regulations are only criminal sanctions, as regulated in Article 174 of Law Number 28 of 2009 with the threat of imprisonment for a maximum of one year if due to negligence and a maximum of two years if done intentionally.
Pelibatan Perancang Peraturan Kanwil Kemenkumham Aceh dalam Pembentukan Qanun Kabupaten Muhammad Isa; Efendi Efendi; Suhaimi Suhaimi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 22, No 1 (2020): Vol. 22 No. 1, April 2020
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v22i1.11862

Abstract

Penelitian ini untuk mengetahui alasan pemerintah kabupaten tidak melibatkan perancang peraturan perundang-undangan dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam pembentukan qanun. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setiap tahapan pemben-tukan peraturan perundang-undangan melibatkan perancang peraturan perundangan-undangan. Hal ini berdampak pada beberapa qanun yang dibatalkan oleh pemerintah. Metode pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah yuridis empiris, yakni dengan memadukan data primer dan sekunder. Hasil penelitian menyatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak memiliki anggaran untuk melibatkan perancang peraturan perundang-undangan, selain subtansi pengaturan dalam qanun belum perlu melibatkan perancang serta belum adanya kententuan yang mewajibkan melibatkan perancang dalam setiap pembentukan qanun. Penelitian ini menyarankan kepada pemerintah kabupaten untuk melibatkan perancang peraturan perundang-undangan demi menghasilkan sebuah produk hukum yang berkualitas dan dapat berdaya laku dalam masyarakat. The Involvement of Legal Drafter from Kemenkumham Aceh In Formstion of District Qanun This study aims to find out the reason for the district government not involving the drafting of laws and regulations from the Regional Office of the Ministry of Law and Human Rights in the formation of qanun. As determined in the Laws Formation of Laws and Regulations, each stage in the formation of laws and regulations involves the drafters of laws and regulations. This resulted in several qanuns being canceled by the government. This research uses an empirical juridical approach, which is by combining primary and secondary data. The results showed that the district government did not have a budget to involve the drafter of laws and regulations, in addition to the substance of the regulation in the qanun, it was not necessary to involve the designer and the absence of provisions requiring the involvement of the designer in each formation of the qanun. This research recommends that the district government involve the drafting of legislation in order to produce a qualityof legal product that can be empowered in society.