Purwonugroho, Daniel Pesah
Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Baptis Semarang

Published : 50 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Merangkul Kelemahan dan Kekuatan dalam Kuasa Allah: Refleksi Teologis 2 Korintus 12:9 Purwonugroho, Daniel Pesah
KHAMISYIM: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 3, No 1 (2025): OKTOBER
Publisher : Sekolah Tinggi Alkitab Batu, Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71415/jkmy.v3i1.45

Abstract

This paper aims to provide a theological reflection on 2 Corinthians 12:9 regarding weakness and strength in the power of God. Weakness and strength is a common paradox in the Christian perspective. Paul uses this paradox in 2 Corinthians 12:9 to embody the paradoxical concept of weakness and strength. Paul explained that he was experiencing weakness in his ministry. However, through his weakness, Paul experienced the power of God. Through a descriptive qualitative approach, the author will conduct a theological reflection on the verse 2 Corinthians 12:9. This theological reflection provides a deep understanding of weakness and strength in the life of a believer. The author states that the concept of weakness and strength of God that is raised in the theological reflection of 2 Corinthians 12:9 brings every believer to experience significant spiritual growth. This paper provides a reflective academic contribution on weakness and strength and their relationship with God's grace and its dynamics in the lives of believers. AbstrakTulisan ini bertujuan untuk memberikan sebuah refleksi teologis dari 2 Korintus 12:9 mengenai kelemahan dan kekuatan dalam kuasa Allah. Kelemahan dan kekuatan adalah sebuah paradoks yang umum dijumpai di dalam perspektif Kristen seperti di dalam perjalanan kehidupan rohani orang percaya.  Paulus menggunakan paradoks ini di dalam 2 Korintus 12:9 untuk mengejawantahkan konsep paradoks mengenai kelemahan dan kekuatan. Paulus menjelaskan bahwa dirinya tengah mengalami kelemahan di dalam pelayanannya. Namun, melalui kelemahan yang Paulus alami membuat Paulus mengalami kuasa Allah. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif, penulis akan melakukan refleksi teologis ayat 2 Korintus 12:9. Refleksi teologis ini memberikan pemahaman yang mendalam mengenai kelemahan dan kekuatan di dalam kehidupan orang percaya. Penulis menyatakan bahwa konsep kelemahan dan kekuatan Allah yang dimunculkan dalam refleksi teologis 2 Korintus 12:9 ini membawa setiap orang percaya mengalami pertumbuhan rohani yang signifikan. Tulisan ini memberikan kontribusi akademik yaitu refleksi teologis mengenai kelemahan dan kekuatan di dalam kehidupan orang percaya. Tulisan ini juga memberikan bentangan pemahaman tentang kelemahan dan kekuatan serta relasinya dengan anugerah Allah dan dinamikanya dalam kehidupan orang percaya.Kata kunci: Kekuatan, Kuasa Allah, Refleksi Teologis, 2 Korintus 12:9
Sanggahan The Hiddenness of God melalui Inkarnasi: Kajian Historisitas dan Interpretasi Teologis Yohanes 1:14 Purwonugroho, Daniel Pesah
Ritornera - Jurnal Teologi Pentakosta Indonesia Vol 5, No 2 (2025): Ritornera: Jurnal Teologi Pentakosta Indonesia - Agustus 2025
Publisher : Pusat Studi Pentakosta Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54403/rjtpi.v5i2.139

Abstract

Divine Hiddenness is an argument that asserts the hiddenness of God. God is hidden in His mysterious place so that He cannot be found by those who seek Him. This hiddenness of God logically implies that God does not exist. However, Christian faith provides a comprehensive answer regarding God's existence. The incarnation stated in John 1:14 provides a historical and theological answer about God. God incarnated in Jesus Christ to build a relationship with His people and be involved in the history of human life. This paper aims to refute the argument of divine hiddenness through incarnation in a historical study and interpretation of John 1:14. Using a descriptive qualitative approach, the author argues that God revealed Himself through the incarnation of Jesus Christ as stated in John 1:14. Thus, John 1:14 provides a final refutation of the hiddenness of God. This paper offers a new integrative approach to responding to the claim of divine hiddenness through a historical theological exploration of John 1:14. In addition, this paper affirms that the incarnation is the definitive answer to the accusation of God's absence in history and human existence.AbstrakDivine Hiddenness merupakan argumentasi yang menyatakan ketersembunyian Allah. Allah bersembunyi di tempatNya yang misterius sehingga tidak dapat ditemukan oleh para pencariNya. Ketersembunyian Allah tersebut memberikan implikasi logis bahwa Allah itu tidak ada. Namun, iman Kristen memberikan jawaban komprehensif mengenai keberadaan Allah tersebut. Inkarnasi yang dinyatakan di dalam Yohanes 1:14 memberikan jawaban historis dan teologis tentang Allah. Allah berinkarnasi di dalam Yesus Kristus untuk membangun relasi dengan umatNya dan terlibat di dalam sejarah kehidupan manusia. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sanggahan argumentasi divine hiddenness melalui inkarnasi dalam kajian historisitas dan intepretasi Yohanes 1:14. Menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, penulis menyatakan bahwa Allah menyatakan diriNya melalui inkarnas Yesus Kristus sebagaimana yang dinyatakan di dalam Yohanes 1:14. Dengan demikian, Yohanes 1:14 memberikan sanggahan final mengenai ketersembunyian Allah. Tulisan ini memberikan kebaruan yaitu adanya pendekatan integratif untuk merespon klaim divine hiddenness melalui eksplorasi teologis historis Yohanes 1:14. Selain itu, tulisan ini memberikan penegasan bahwa inkarnasi merupakan jawaban definitif atas tuduhan ketidakhadiran Allah dalam sejarah dan eksistensi manusia.
Efesus 1:13 dalam Terang Teologi Kovenan: Roh Kudus sebagai Materai Janji Allah Purwonugroho, Daniel Pesah
KARDIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol. 3 No. 2 (2025): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Parakletos Tomohon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69932/kardia.v3i2.55

Abstract

Abstract: This paper aims to expose Ephesians 1:13 regarding the Holy Spirit as the seal of God's promise through the light of covenant theology. The sealing of the Holy Spirit is a metaphor that has deep theological and spiritual meaning. The sealing of the Holy Spirit signifies God's ownership of His people. It enables God's people to receive the divine inheritance. The sealing also guarantees a covenant between God and His people, where the sealing of the Holy Spirit is a guarantee of the divine inheritance that God promises. Through a descriptive qualitative approach, the author tries to unravel Ephesians 1:13 in the light of covenant theology regarding the sealing of the Holy Spirit in God's promise. The author states that the sealing of the Holy Spirit in Ephesians 1:13 can be understood through the perspective of covenant theology. This understanding has a significant impact on the lives of believers. This paper provides a theological contribution that states Ephesians 1:13 in a covenantal perspective and highlights the role of the Holy Spirit in the dynamics of God's covenant. Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengekspos Efesus 1:13 mengenai Roh Kudus sebagai meterai janji Allah melalui terang teologi kovenan. Pemeteraian Roh Kudus merupakan metafora yang memiliki makna teologis dan spiritual yang mendalam. Pemeteraian Roh Kudus menandakan kepemilikan Allah dengan umatNya. Hal tersebut membawa umat Allah dapat menerima warisan ilahi. Pemeteraian tersebut juga menjamin sebuah kovenan antara Allah dengan umatNya dimana meteriao Roh Kudus merupakan jaminan atas warisan ilahi yang Allah janjikan. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif, penulis mencoba mengurai Efesus 1:13 melalui terang teologi kovenan mengenai pemeteraian Roh Kudus dalam janji Allah. Penulis menyatakan bahwa pemeteraian Roh Kudus dalam Efesus 1:13 dapat dipahami melalui perspektif teologi kovenan. Pemahaman tersebut berdampak signifikan bagi kehidupan orang percaya. Tulisan ini memberikan sebuah sumbangsih teologis yang menyatakan Efesus 1:13 dalam pespektif kovenantal dan menyoroti peran Roh Kudus dalam dinamika Kovenan Allah.
Meningkatkan Nilai IQ melalui Penerapan Story-telling dalam Pengajaran Kristen: Kajian Berbasis Daniel 1:8-20 Leiwakabessy, Tabita; Purwonugroho, Daniel Pesah; Suseno, Aji
Jurnal Lentera Nusantara Vol 3, No 2 (2024): Teologi dan Pendidikan Kristen (Juni 2024)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Kanaan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59177/jls.v3i2.277

Abstract

Intellectual intelligence is essential for the development of learners. Success in problem-solving, analysis, reasoning, and application demonstrates the competence of learners in enhancing aspects of IQ intelligence. IQ is highly dependent on the learning materials. The interaction in communicating learning materials varies greatly depending on the teacher's ability to choose appropriate teaching methods to achieve optimal learning outcomes. Storytelling is chosen as a teaching method to stimulate the IQ values of learners. The teaching materials in storytelling are also designed to bring benefits to learners. From a Christian perspective, the story of Daniel can lead learners to experience intellectual intelligence. Daniel's obedience to God gives him high intelligence because of God's grace. Through storytelling based on the story of Daniel, learners can emulate Daniel's obedience to God. With a descriptive qualitative approach, it can be concluded that storytelling of the Daniel 1:8-20 story can enhance the IQ scores of learners.AbstrakKecerdasan intelektual dibutuhkan untuk mengembangkan diri peserta didik. Keberhasilan memecahkan masalah, menganalisa, menalar dan mengaplikasikan membuktikan kompetensi peserta didik mampu meningkatkan aspek kecerdasan IQ. IQ sangat bergantung dengan mater pembelajaran. Interaksi dalam mengkomunikasikan materi pembelajaran sangat bervariasi tergantung kemampuan guru dalam memilih metode mengajar yang sesuai agar dapat meraih hasil belajar yang maksimal. Story-telling dipilih sebagai metode mengajar untuk merangsang nilai IQ peserta didik. Bahan ajar dalam story-telling juga di desain agar dapat membawa manfaat kepada peserta didik. Dalam perspektif Kristen, kisah tentang Daniel dapat membawa peserta didik mengalami kecerdasan intelektual. Ketaatan Daniel kepada Allah membuat Daniel memiliki kemampuan intelegensi yang tinggi karena anugerah Allah. Dengan story-telling berbasis kisah Daniel, maka peserta didik dapat meneladani ketaatan Daniel kepada Allah. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, dapat disimpulkan bahwa story-telling kisah Daniel 1:8-20 dapat meningkatkan nilai IQ peserta didik.
Kombinasi Model Pembelajaran Joyce – Weil & Model Pembelajaran Alkitabiah Yesus dalam Kehidupan Rohani Jemaat Purwonugroho, Daniel Pesah; Budiyana, Hardi
Jurnal Lentera Nusantara Vol 3, No 1 (2023): Pendidikan Kristen dan Teologi - Desember 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Kanaan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59177/jls.v3i1.250

Abstract

Penelitian ini dibuat untuk mengkombinasikan model pembelajaran Joyce-Weil model pembelajaran Alkitbiah Yesus dalam kehidupan rohani jemaat. Model pembelajaran adalah seluruh spektrum penyajian materi pendidikan. Model pembelajaran mencakup semua elemen sebelum pembelajaran, selama proses pembelajaran, dan sesudah pembelajaran serta semua fasilitas yang terkait yang digunakan oleh guru secara langsung atau tidak langsung selama proses belajar. Joyce-Weil mendeskripsikan 4 rumpun model pembelajaran. Yesus sebagai guru agung memiliki model pembelajaran yang tercatat di dalam 4 Injil. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, kombinasi antara model pembelajaran Joyce-Weil dan model pembelajaran Alkitabiah Yesus sangat berguna bagi kehidupan rohani jemaat. Kombinasi ini membawa kebaharuan bagi pengkotbah demi tercapainya pertumbuhan rohani jemaat
PENERAPAN PRINSIP TOTAL QUALITY MANAGEMENT DI REHABILITASI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN INISIATIF PERBAIKAN BERKELANJUTAN : TINJAUAN ETIKA KRISTEN Leiwakabessy, Tabita; Purwonugroho, Daniel Pesah
Metanoia Vol 6 No 2 (2024): Metanoia Juni 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Duta Panisal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55962/metanoia.v6i2.152

Abstract

Prinsip TQM dapat membawa sebuah sistem manajemen yang menghasilkan kualitas dan kepuasan pelanggan. Prinsip TQM tidak hanya dilakukan di dalam sebuah Perusahaan besar namun juga dapat dikerjakan di dalam panti rehabilitasi. Prinsip TQM juga berkaitan erat dengan inisiatif perbaikan berkelanjutan. Inisiatif perbaikan berkelanjutan adalah puncak dari pelaksanaan prinsip TQM. Panti rehabilitasi dapat menerapkan prinsip TQM yang dikolaborasikan dengan inisiatif perbaikan berkelanjutan. Proses implementasi TQM serta inisiatif perbaikan berkelanjutan pada panti rehabilitasi akan mendatangkan manfaat yang holistik baik mutu dan kualitas layanan panti rehabilitasi, progresifitas pemulihan penghuni panti rehabilitasi dan kontinuitas layanan panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi perlu memetakan berbagai macam faktor pendukung serta faktor penghambat pelaksanaan prinsip TQM serta inisiatif perbaikan berkelanjutan. Prinsip TQM juga dapat dikombinasikan dengan nilai etika Kristen untuk mencapai hasil yang holistic dan komprehensfi. Melalui penelitian kualitatif deskriptif, penulis menegaskan bahwa prinsip TQM yang dikombinasikan dengan etika Kristen serta inisiatif perbaikan berkelanjutan dapat dikerjakan dalam panti rehabilitasi. Tujuan penerapan prinsip TQM dan inisiatif perbaikan berkelanjutan dalam panti rehabilitasi adalah agar proses pelayanan panti rehabilitasi mengalami peningkatan mutu dan kualitas agar ppenghuni rehabilitasi mengalami progresifitas pemulihan yang holistik.
Peran Majelis Gereja dalam Pertumbuhan Rohani Jemaat: Analisis 1 Timotius 3:8-13 Halawa, Iman Kristina; Sesatonis, Yos Adoni; Purwonugroho, Daniel Pesah
Immanuel: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol 5, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46305/im.v5i2.322

Abstract

This paper aims to explore the role of church elders in the spiritual growth of the congregation. The role of church elders is examined through the lens of 1 Timothy 3:8-13. Church elders are believers entrusted with significant responsibilities within a local church. It is essential that church elders exhibit good character and integrity, as their attitudes directly influence the spiritual life of the local church they serve. Church elders must align their lives with the truth of God’s Word. 1 Timothy 3:8-13 outlines the proper attitudes in the context of church ministry. These attitudes, as described in 1 Timothy 3:8-13, should be adopted and lived out by church elders. When elders embody these attitudes, their ministry will have a positive impact on the spiritual growth of the congregation. Through a qualitative descriptive method, it can be concluded that the attitudes in 1 Timothy 3:8-13 must be possessed and expressed in the lives of church elders. When these attitudes are cultivated and become integral to their character, the congregation will experience significant spiritual growth. AbstrakTulisan ini dibuat untuk menjelajahi peran majelis gereja dalam pertumbuhan rohani jemaat. Peran majelis gereja tersebut akan diperhatikan dalam perspektif 1 Timotius 3:8-13. Majelis gereja adalah orang percaya yang memegang pelayanan penting di dalam sebuah gereja lokal. Majelis gereja perlu memiliki sikap yang baik dan berintegritas. Kualitas sikap akan mempengaruhi kehidupan rohani dalam sebuah gereja lokal tempat majelis gereja melayani. Majelis gereja perlu membangun hidupnya sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. 1 Timotius 3:8-13 menunjukkan sikap-sikap yang tepat sesuai dengan konteks ayat tersebut dalam membangun sebuah pelayanan gereja. Sikap-sikap dalam 1 Timotius 3:8-13 perlu dimiliki dan dihidup oleh para majelis gereja. Saat para majelis gereja memiliki sikap seperti yang dinyatakan dalam 1 Timotius 3:8-13, maka pelayanan majelis gereja akan memberi dampak kepada pertumbuhan rohani jemaat. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, dapat disimpulkan bahwa sikap-sikap dalam 1 Timotus 3:8-13 harus dimiliki dan diekspresikan dalam kehidupan majelis gereja. Saat sikap tersebut terbangun dan menjadi karakter majelis gereja, maka jemaat akan mengalami pertumbuhan rohani yang signifikan.
Lima Pilar Kelompok Sel Alkitabiah menurut Kisah Para Rasul 2:42 Purwonugroho, Daniel Pesah
KARDIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol. 2 No. 1 (2024): Februari 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Parakletos Tomohon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69932/kardia.v2i1.19

Abstract

Abstract:  Cell groups designed in the church have a clear purpose which is to shape the life of the congregation. Cell groups need to imitate what the early church did as recorded in Acts 2:42 and make it a pillar in forming a cell group. Acts 2:42 tells the story of how the life of the early church was formed. The habits of the early church led to spiritual growth. Without basing the cell group on a biblical foundation, the cell group will not have a significant impact on the growth of the church. There are five things that can be observed from the habits of the early church in Acts 2:42. These five things can then be applied in the cell group pattern to bring the congregation to experience significant spiritual growth. Using a descriptive qualitative method, it can be concluded that the five pillars of biblical cell groups according to Acts 2:42 need to be applied to improve the spiritual life of the congregation. This is because Acts 2:42 is the right foundation for building cell groups in a local church today. Acts 2:42 tells about the habits of the early church in the days of the apostles where the early church persevered in teaching, fellowship, breaking bread and praying. The early church did these things and the early church experienced significant growth in both quality and quantity. Abstrak: Kelompok sel yang di desain di dalam gereja memiliki tujuan yang jelas yaitu untuk membentuk kehidupan jemaat. Kelompok sel perlu meniru apa yang jemaat mula-mula lakukan yang tercatat dalam Kisah Para Rasul 2:42 dan menjadikannya pilar pilar dalam membentuk sebuah kelompok sel. Kisah Para Rasul 2:42 menceritakan tentang bagaimana kehidupan jemaat mula-mula terbentuk. Kebiasaan jemaat mula-mula membawa kepada sebuah pertumbuhan rohani. Tanpa mendasari kelompok sel dengan dasar Alkitabiah, maka kelompok sel yang dibangun tidak akan membawa dampak yang signifikan bagi pertumbuhan jemaat. Ada lima hal yang dapat diteliti dari kebiasaan jemaat mula-mula di dalam Kisah Para Rasul 2:42. Lima hal tersebut kemudian dapat diterapkan di dalam pola kelompok sel untuk membawa jemaat mengalami pertumbuhan rohani yang signifikan. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, dapat disimpulkan bahwa lima pilar kelompok sel Alkitabiah menurut Kisah Para Rasul 2:42 perlu diterapkan demi meningkatkan kehidupan rohani jemaat. Sebab dalam Kisah Para Rasul 2:42 adalah fondasi yang tepat untuk membangun kelompok sel dalam sebuah gereja lokal masa kini. Kisah Para Rasul 2:42 menceritakan tentang kebiasaan jemaat mula-mula di zaman para rasul yang mana jemaat mula-mula bertekun dalam pengajaran, bersekutu, memecahkan roti dan berdoa. Hal tersebut jemaat mula-mula lakukan dan jemaat mula-mula mengalami pertumbuhan signifikan dalam kualitas maupun kuantitas.
Keberadaan Manusia dari Perspektif Roma 7:14: Sebuah Studi Antropologis-Teologis Purwonugroho, Daniel Pesah
TELEIOS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol 4, No 1 (2024): Teologi dan Pendidikan Kristiani
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Transformasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53674/teleios.v4i1.99

Abstract

Abstract: Anthropology is a study of how humans understand and evaluate various aspects of life. From a Christian perspective, anthropology needs to be seen from the standpoint of the Bible. The intersection between the science of anthropology and theology is evident in the writings of Paul. Paul elucidates the anthropological aspect in his letter to the Romans. Romans 7:14 is a rather challenging verse, and it explicates about humans. Humans experience tension between their old human life and their new life resulting from Christ's sacrifice in response to the Law of Moses. Although the Law of Moses is spiritual, humans are entrenched in the existence of sin, causing them to fail to obey the Law of Moses perfectly. Jesus is the divine human who can perfectly obey all the demands of the Law of Moses. Through a descriptive qualitative approach, it can be concluded that human anthropology from the perspective of Romans 7:14 leads humans to place their faith in Jesus Christ.Abstrak: Antropologi adalah sebuah studi tentang bagaimana manusia memahami dan menilai berbagai aspek kehidupan. Dalam perspektif Kristianitas, antropologi perlu dilihat dari sisi Alkitab. Persinggungan antara ilmu antropologi dan juga ilmu teologi terlihat jelas dalam tulisan Paulus. Paulus menjelaskan sisi antropologi dalam tulisannya kepada jemaat di Roma. Roma 7:14 adalah ayat yang cukup sukar dan ayat tersebut menjelaskan tentang manusia. Manusia memiliki ketegangan antara kehidupan lama manusia dan juga kehidupan manusia yang baru akibat dari pengorbanan Kristus dalam merespon Hukum Taurat. Meskipun Hukum Taurat bersifat rohani, namun manusia ada di dalam keberadaan dosa yang membuat manusia gagal mentaati Hukum Taurat secara sempurna. Yesus adalah manusia illahi yang dapat mentaati segala tuntutan Hukum Taurat secara sempurna. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif, dapat disimpulkan bahwa antropologi manusia dalam perspektif Roma 7:14 membawa manusia untuk menaruh iman di dalam Yesus Kristus.
Eksplorasi Efesus 1:3-14 melalui Redemptive historical Approach : Sebuah Refleksi Teologis Karya Penebusan Kristus: Sebuah Refleksi Teologis Karya Penebusan Kristus Purwonugroho, Daniel Pesah
Ambassadors: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 4 No 1 (2025): Juni
Publisher : STT INDONESIA MANADO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54369/ajtpk.v4i1.62

Abstract

Abstract: This paper aims to explore Ephesians 1:3-14 through the lens of redemptive historical approach and reflect theologically on the redemptive work of Christ. Ephesians 1:3-14 is a soteriological elaboration by Paul. Ephesians 1:3-14 affirms the spiritual blessings, election, redemption and sealing that believers receive. On the one hand, the redemptive historical approach is a hermeneutical lens to view the Bible from the history of redemption. This redemptive history in the Bible culminates in the work of Christ on the cross. The hermeneutical approach integrates three important things: textual, epochal and canonical. Through a descriptive qualitative approach, the author will explore Ephesians 1:3-14 through a redemptive historical approach and then reflect theologically on the redemptive work of Christ. The author states that the exploration of Ephesians 1:3-14 through a redemptive historical approach provides a significant reflection on the redemptive work of Christ. This paper contributes a new reading of Ephesians 1:3-14 through a redemptive historical perspective and provides a more integrative and historical theological framework in understanding the redemption of Christ.   Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi Efesus 1:3-14 melalui lensa redemptive historical approach dan merefleksikannya secara teologis pada karya penebusan Kristus. Efesus 1:3-14 merupakan elaborasi soteriologis yang diulas oleh Paulus. Efesus 1:3-14 menegaskan tentang berkat rohani, pemilihan, penebusan dan pemeteraian yang didapatkan oleh orang percaya. Di satu sisi, redemptive historical approach merupakan lensa hermeneutis untuk melihat Alkitab dari sejarah penebusan. Sejarah penebusan di dalam Alkitab ini berpuncak kepada karya Kristus di atas kayu salib. Pendekatan hermeneutis tersebut mengintegrasikan tiga hal penting yaitu tekstual, epokal dan kanonikal. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif, Peneliti akan melakukan eksplorasi Efesus 1:3-14 melalui redemptive historical approach kemudian merefleksikannya secara teologis pada karya penebusan Kristus. Peneliti menyatakan bahwa eksplorasi Efesus 1:3-14 melalui redemptive historical approach memberikan refleksi teologis yang signifikan bagi karya penebusan Kristus. Artikel ini memberikan kontribusi pembacaan baru atas Efesus 1:3-14 melalui perspektif redemptive historical dan memberikan kerangka teologis yang lebih integratif dan historis dalam memahami penebusan Kristus