Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search
Journal : Suloh : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGAWASAN BANTUAN SOSIAL SELAMA PANDEMI COVID-19 Yusrizal Yusrizal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 8, No 2 (2020): Edisi Khusus - Oktober 2020
Publisher : Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v8i2.3065

Abstract

Kondisi pandemi Covid-19 mengharuskan negara untuk lebih fokus dalam perlindungan warga negara terutama perihal pengeloaan bantuan sosial.Kerawanan itu muncul karena biaya yang dianggarkan untuk bansos sangat besar. Sementara pengawasan penyaluran dana bansos tidak ketat.Tujuan penulisan ini untuk mengetahui secara konseptual pengawasan bantuan sosial dalam perspektif hukum beserta peran masyarakat dalam pengawasan. Hasil kajian ini menjelaskan bahwa perlunya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh lembaga pemerintah yang bertugas mencegah tindakan korupsi dan memeriksa keuangan negara terutama untuk memantau realokasi anggaran dan implementasinya dalam penanganan Pandemi Covid-19. Lembaga yang dimaksud adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).Kata Kunci: Pemerintah, bantuan sosial, pengawasan, korupsi
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TERHADAP PEMBEBANAN NAFKAH ANAK AKIBAT PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Khairil Fadri; Mukhlis Mukhlis; Yusrizal Yusrizal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 8, No 1 (2020): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, April 2020
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v8i1.2488

Abstract

Pengadilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang kewenangannya menerima, memeriksa dan mengadili perkara perceraian. Salah satu akibat hukum dari perkara perceraian adalah pembebanan nafkah untuk anak dari hasil perkawinan. Penelitian ini berdasarkan pada Yurisprudensi Nomor 11K/AG/2001 tanggal 10 Juli 2003 yang menyatakan bahwa pemberian ½ bagian dari gaji Tergugat kepada Penggugat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukan merupakan hukum acara Peradilan Agama, melainkan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara. Rumusan masalah yang timbul adalah 1) kekuatan hukum pengadilan agama terhadap pembebanan nafkah anak dari orangtua PNS yang bercerai dan 2) pelaksanaan kewenangan pengadilan tata usaha negara dalam memutus perkara pembebanan nafkah anak akibat perceraian seorang PNS. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data yang didapat dari penelitian kepustakaan. Kata Kunci: Putusan pengadilan, perceraian, pembebanan nafkah anak, pegawai negeri sipil
KEBERADAAN NASKAH AKADEMIK DALAM PEMBENTUKAN QANUN ACEH Bakillani Bakillani; Mukhlis Mukhlis; Yusrizal Yusrizal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 10, No 1 (2022): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, April 2022
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v10i1.7932

Abstract

Salah satu proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah penyusunan Naskah Akademik. Melalui kajian dan penyusunan Naskah Akademik diharapkan merespon kebutuhan peraturan perundang-undangan  yang harus dibentuk dan dapat memperjelas tujuan suatu Qanun tersebut dibentuk dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun, dalam kenyataannya keberadaan Naskah Akademik sering diabaikan dalam penyusunan Rancangan Qanun. Padahal salah satu upaya untuk mengantisipasi pembentukan Qanun yang asal jadi maka harusnya Naskah Akademik sangatlah diperlukan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 telah memberikan pengaturan yuridis terhadap kedudukan Naskah Akademik dalam Pembentukan Qanun Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan dan pentingnya Naskah Akademik dalam pembentukan Qanun Aceh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Analisis data dilakukan secara preskriptif (Prescriptive analysis). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kedudukan Naskah Akademik dalam pembentukan Qanun Aceh merupakan bukan suatu kewajiban mutlak yang harus disertai dalam setiap Rancangan Qanun Aceh. Walaupun fungsi Naskah Akademik dalam pembentukan Qanun Aceh sangat besar karena Naskah Akademik adalah Naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tertentu dalam suatu Rancangan Qanun Aceh. Disarankan agar kedudukan Naskah Akademik dalam pembentukan Qanun diperkuat melalui Qanun Aceh, Pemerintah Aceh dan DPRA agar memperhatikan Naskah Akademik yang dibuat sesuai dengan semestinya.
ANALISIS PERBANDINGAN HUKUMAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM Sirya Iqbal; Hamdani Hamdani; Yusrizal Yusrizal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 10, No 1 (2022): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, April 2022
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v10i1.7938

Abstract

Kajian ini membahas tentang Analisis Perbandingan Hukuman Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Hukum Islam. Perlindungan hukum yang diperuntukkan bagi nyawa manusia secara khusus diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), danhukum Islam. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum Normatif. Artikel ini menyimpulkan bahwa perbandingan dari KUHP dan Hukum Islam, dimana hukum pidana yang diatur dalam KUHP, tidak dikenai adanya pemaafan secara cuma-cuma dari keluarga korban, pada hukum Islam, pemaafan cuma-cuma ini dapat memungkinkan pelaku terbebas dari hukuman qishas dan diyat, namun dalam hukum pidana Indonesia pemaaf dari keluarga korban terhadap pelaku pembunuhan tidak dapat mempengaruhi ancaman pidananya karena keputusan sepenuhnya ditangan Hakim yang memeriksa dan mengadili berdasarkan bukti- bukti yang telah ada. Hukuman terhadap tindak pidana pembunuhan sengaja (dolus) dan berencana berdasarkan Pasal 340 KUHP dan Hukum Islam yang hukumannya adalah qisas atau diyat. Hukuman terhadap tindak pidana pembunuhan tidak sengaja (culpa) berdasarkan Pasal 359 KUHP dan hukuman terhadap pelaku pembunuhan tidak sengaja dalam hukum pidana Islam yaitu hukuman pokok adalah diyat dan kafarat.
PENERAPAN HUKUM RESPONSIF DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Dian Rizki; Elidar Sari; Yusrizal Yusrizal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 10, No 1 (2022): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, April 2022
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v10i1.7934

Abstract

Kepastian hukum diperlukan strategi dalam upaya membangun hukum yang dikehendaki masyarakat dan hukum yang berpihak pada masyarakat, hukum yang demikian adalah hukum yang berkarakter esponsive. Namun, persoalan tentang kualitas dan kuantitas regulasi di Indonesia sudah seringkali menjadi sorotan dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum esponsive dalam pembentukan undang-undang di Indonesia, serta untuk mengetahui banyak undang-undang yang diajukan Konstitusional Review ke Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis esponsiv, dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, penerapan hukum responsif dalam pembentukan undang-undang di Indonesia merupakan perkembangan pemikiran konsep-konsep hukum dari pakar-pakar hukum, untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukannya, dengan sistem hukumnya yang  karakter khas. Terkait banyaknya undang-undang di Indonesia yang diajukan Konstitusional Review, dalam hal ini penulis mengambil salah satu contoh Undang-Undang di Indonesia yang tidak esponsive. Dijadikannya UU KPK sebagai salah satu contoh Undang-Undang yang tidak esponsive, karena pembahasan perubahan kedua UU KPK tidak dilakukan secara partisipatif. Disarankan kepada pemerintah Indonesia untuk beralih kepada konsep hukum responsif.
ANALISIS KETERANGAN ANAK SEBAGAI SAKSI KORBAN TIDAK DISUMPAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK Dini Nabillah; Yusrizal Yusrizal; Mukhlis Mukhlis
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 10, No 1 (2022): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, April 2022
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v10i1.7944

Abstract

Berdasarkan Pasal 182 Ayat (9) Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, disingkat Qanun Jinayah, keterangan yang diberikan anak tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah. Keterangan mereka apabila sesuai dengan saksi yang disumpah dapat dipakai sebagai petunjuk saja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan pembuktian saksi anak korban yang tidak disumpah dalam kasus pemerkosaan terhadap anak dan mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Lhokseumawe (MS Kota Lhokseumawe) dalam memberikan Putusan Nomor 05/JN/2019/MS.LSM.  Metode dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif melalui pendekatan kepustakaan berupa buku, peraturan perundang-undangan, dan putusan MS Kota Lhokseumawe. Dari hasil penelitian diperoleh: 1) kekuatan pembuktian saksi anak korban tidak disumpah dalam kasus pemerkosaan terhadap anak tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah, tetapi keterangan mereka apabila sesuai dengan saksi dewasa yang disumpah dapat dipakai sebagai petunjuk saja; 2) Hakim MS menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum persidangan yakni tuntutan Jaksa Penuntut Umum, beberapa perbuatan yang termuat dalam ketentuan Pasal a quo, dan keterangan yang telah dikumpulkan dikuatkan dengan bukti surat berupa Visum et Repertum atas nama para anak korban, sehingga bukti petunjuk dan bukti surat sudah memenuhi batas minimal pembuktian.
PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DESA OLEH BUPATI/WALIKOTA DITINJAU DARI KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN Muhammad Ali; Elidar Sari; Yusrizal Yusrizal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 11, No 1 (2023): Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, April 2023
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v11i1.9146

Abstract

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala desa.Namun, undang-undang tersebut tidak mengatur secara rinci dan jelas mengenai mekanisme penyelesaian sengketa hasil pilkades.Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis mekanisme penyelesaian sengketa hasil pilkades berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia dan konsep pembagian kekuasaan.Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis-normatif dan berbentuk preskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapatnya satu konsep penyelesaian sengketa hasil pilkades.Hal tersebut dikarenakan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pilkades melalui UU Desa, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tidak diatur secara rinci.Hasil penelitian juga menunjukkan keberagaman mekanisme penyelesaian sengketa hasil pilkades antar kabupaten/kota. Kata Kunci: Sengketa Pilkades, Pembagian Kekuasaan, Bupati/Walikota 
EFEKTIFITAS PELAKSAAN KOORDINASI APARATUR PENGAWASAN INTERNAL PEMERINTAH DENGAN PENEGAK HUKUM DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG PEJABAT PEMERINTAH Abrari Rizki Falka; Elidar Sari; Yusrizal Yusrizal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 10, No 2 (2022): Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh - Oktober 2022
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v10i2.6635

Abstract

Berdasarkan ketentuan Pasal 385 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, aparat penegak hukum harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebelum melakukan penindakan terhadap pejabat Aparatur Sipil Negara yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang. Namun fakta yang terjadi sebaliknya adanya penegak hukum yang tidak melakukan koordinasi yang berakibat diajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka sebagaimana yang diputuskan oleh hakim praperadilan melalui putusan Nomor 01/Pid.Prap/2016/PN BMN. Rumusan masalah dalam kajian ini adalah untuk mengetahui mengapa koordinasi antara Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah dengan penegak hukum tidak berlaku secara efektif dan apa kendala dan hambatan terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan di lingkungan penyidik kejaksaan. Tujuan penelitian untuk menganalisis penyebab, tantangan dan hamabtan yang menjadi penyebab tidak efektifnya koordinasi antara APIP dan penegak hukum.Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum primer yang digunakan adalah UU Administrasi Pemerintaha, bahan hukum sekunder berupa jurnal dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak efektifnya koordinasi disebabkan karena belum adanya aturan teknis terkait koordinasi antara penegak hukum dengan APIP sebagai menjadi sulit terjadinya koordinasi. Selain itu, orientasi pemidaan yang sering ditonjolkan oleh penegak hukum padahal penegakan dengan pola demikian tidak mengembalikan kerugian keuangan negara.  Konsekuensi yang timbul bila tidak dilakukannya koordinasi antara penegak hukum dan APIP adalah dapat diajukan permohonan prarperadilan oleh tersangka yang telah ditetapkan statusnya oleh penyidik. Disarankan supaya adanya kerjasama, SOP bagi penegak hukum agar lebih mudah berkoordinasi dan memberikan sanksi apabila tidak melaksanakan koordinasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Administrasi Pemerintahan.