Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

PROBLEMATIKA DI BALIK PROSES RELOKASI KORBAN BENCANA DI SITI AMBIA Juhaina Juhaina; T. Kemal Fasya; Ade Ikhsan Kamil
Aceh Anthropological Journal Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v3i1.2788

Abstract

Bencana alam selalu memunculkan dampak pembangunan baru di wilayah tertentu. Pembangunan dikonsepsikan sebagai usaha untuk kemajuan ekonomi yang berarti keluar dari zona kemiskinan. Masyarakat harus saling mendukung dalam hal pembangunan, karena masyarakat menentukan keadaan sosial dan pembangunan suatu negara. Dari dampak bencana gempa yang ditimbulkan maka muncullah pembangunan daerah pascabencana untuk memulihkan kembali luka mayarakat. Namun, masyarakat terlihat gagap terhadap pembangunan tersebut, hal ini dapat dilihat dari tingkah laku masyarakat yang lebih memilih kembali ke lokasi awal bencana daripada menempati relokasi bantuan. Penelitian ini mengambil tema pembangunan pasca bencana, dengan pendekatan Antropologi Pembangunan. Studi Antropologi Pembangunan yang digunakan mengangkat judul “Rekonstruksi Kampung Siti Ambia Pascabencana” (Studi Antropologi Pembangunan di Kampung Siti Ambia, Kecamatan Singkil, Kabuaten Aceh Singkil). Metode yang dilakukan dalam penelitian ini ialah jenis sosial kualitatif. Kampung Siti Ambia adalah salah satu Kampung di Kecamatan Singkil yang terkena bencana gempa pada 28 Maret 2005. Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yakni, data primer dan data sekunder. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa masyarakat lebih memillih kembali ke tempat semula daripada menempati lokasi bantuan. Padahal lokasi bantuan jauh lebih baik daripada lokasi semula yang mereka tinggali. Dengan penelitian ini penulis berharap akan menambah wawasan mengenai pembangunan pasca gempa dalam studi Antropologi Pembangunan, serta memberi pandangan mengenai pembangunan terhadap masyarakat.
TRADISI MANOE PUCOK DALAM UPACARA PERKAWINAN DI GAMPONG GUNONG CUT KECAMATAN TANGAN-TANGAN ACEH BARAT DAYA: KAJIAN ANTROPOLOGI BUDAYA Linda Wati Nur; Teuku Kemal Fasya
Aceh Anthropological Journal Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v4i2.3124

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana tradisi Manoe Pucok pada masyarakat Gampong Gunong Cut Kecamatan Tangan-Tangan Aceh Barat Daya dan untuk mengetahui seperti apa makna dari tradisi Manoe Puco kmasyarakat Gampong Gunong Cut Kecamatan Tangan-Tangan Aceh Barat Daya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggambarkan kajian tentang antropolog ibudaya.Sumber data dalam penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman tradisi Manoe Pucok pada masyarakat Gampong Gunong Cut merupakan bagian yang senantiasa dilakukan dalam upacara perkawinan maupun acara sunat Rasul. Melalui tradisi Manoe Pucok manusia diajarkan sopan santun, tatapergaulan dan tatakarma dengan rekan sebaya maupun dengan masyarakat sekitar sertamampu mengenang dan mengingat jasa kasih sayang kedua orang tua yang telah mendidik dan membesarkan sang anak hingga orang tersebut beranjak dewasa. Pengertian makna tradisi Manoe Pucok dalam masyarakat Gampong Gunong Cut merupakan ungkapan yang di simbolkan dalam pembersihan diri sebelum seseorang menempuh kehidupan yang baru serta mengandung unsur nasihat dalam membangun suatu akhlak mulia terhadap orang tua, kerabat sendiri, pasangan hidup maupun dengan masyarakat. Selain itu di dalam upacara Manoe Pucok juga terkandung simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri dan media atau alat komunikasi bagi masyarakat untuk memahami dan mengetahui nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Upacara Manoe Pucok dalam masyarakat berperan sebagai sarana pengendalian sosial, kontak sosial, interaksi dan komunikasi antar warga masyarakatnya, sehingga dapat mewujudkan kegotong-royongan, persatuan dan solidaritas diantara sesama warga masyarakat.
GENTRIFIKASI DAN PERGOLAKAN LAHAN DI KELURAHAN TANJUNG TONGAH KECAMATAN SIANTAR MARTOBA KOTA PEMATANGSIANTAR Dwi Anggraeni; Teuku Kemal Fasya; Abdullah Akhyar Nasution
Aceh Anthropological Journal Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v3i2.2778

Abstract

This article has the theme of land conversion or gentrification that occurred in Tanjung Tongah Village, Martoba District, Pematangsiantar City. In depth, this study will observe and analyze the background of the gentrification process at the research location. This research uses qualitative social methods that are descriptive in nature with observation techniques, in-depth interviews, documentation study and literature study. The results showed that there are several factors behind the occurrence of gentrification in Tanjung Tongah Village, including unclear land ownership status by the community, factors of urban development and urbanization as well as factors of economic turmoil experienced by land owners. Abstrak:  Artikel ini bertema alih fungsi lahan atau gentrifikasi yang terjadi di kelurahan Tanjung Tongah, Kecamatan Martoba, Kota Pematangsiantar. Secara mendalam penelitian ini akan mengamati dan menganalisis latarbelakang terjadinya proses gentrifikasi di lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan metode sosial kualitatif yang bersifat deskriftif dengan teknik observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya gentrifikasi di Kelurahan Tanjung Tongah, di antaranya status kepemilikan lahan yang tidak jelas oleh masyarakat, faktor pembangunan kota dan urbanisasi serta faktor gejolak ekonomi yang dialami oleh masyarakat pemilik lahan.
WISATA ZIARAH SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL: STUDI ANTROPOLOGI BUDAYA DI MAKAM SULTAN MALIKUSSALEH KECAMATAN SAMUDERA, KABUPATEN ACEH UTARA Muliadi Muliadi; Teuku Kemal Fasya; Iromi Ilham
Aceh Anthropological Journal Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v4i1.3152

Abstract

Ziarah awalnya merupakan kegiatan ritual keagamaan, kemudian berkembang menjadi wisata ziarah (pilgrimage tourism). Wisata ziarah adalah perjalanan wisata yang tujuaanya berkaitan dengan agama, sejarah, adat istiadat dan kepercayaan dari peserta tur atau kelompok dari masyarakat. Praktik ziarah memunculkan perilaku yang bervariasi diantara satu daerah dengan yang lainnya. Penelitian ini mengkaji tentang “Wisata Ziarah Sebagai  Identitas Sosial (Studi Antropologi Budaya di Makam Sultan Malikussaleh Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara)”. Penelitian ini menggunakan metode sosial kualitatif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, studi dokumen, dan studi literatur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif serta perilaku peziarah yang bisa diidentifikasi sebagai identitas sosial masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ada beberapa motif peziarah mengunjungi makam Sultan Malikussaleh, diantaranya; (1) karena tradisi agama, (2) sebagai wasilah atau perantara berdoa, dan (3) cok beurkat (mengambil keberkahan). Kemudian berdasarkan tujuan pelaksanaan ziarah, ada beberapa perilaku yang sering terjadi di Makam Sultan Malikussaleh, diantaranya berdoa, peuphon kitab, bernazar, dan belajar sejarah. Perilaku tersebut cenderung menampilkan karakter identitas masyarakat Aceh dalam berziarah
IDENTIFIKASI STAKEHOLDER DAN ANALISIS AKTOR SERTA KELEMBAGAAN TERKAIT ISU PUBLIK PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN KERBAU BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI GAYO LUES Abdullah Akhyar Nasution; Iromi Ilham; Teuku Kemal Fasya
Aceh Anthropological Journal Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v4i2.3120

Abstract

Tradisi beternak kerbau saat ini masih dapat dijumpai di banyak daerah di nusantara, namun secara kualitas dan kuantitas sudah jauh berkurang, termasuk tradisi uwer (beternak) kerbau yang dipraktekkan oleh masyarakat Gayo Lues. Salah satu penyebab adalah kurangnya perhatian stakeholder setempat terhadap permasalahan ini. Padahal, praktek uwer tidak hanya berpotensi mengembangkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, namun juga sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Jika tidak dilakukan proteksi, tidak menutup kemungkinan kerbau akan hilang dalam budaya kehidupan Gayo. Kondisi ini menjadi dasar bagi peneliti untuk mengkaji tentang identifikasi stakeholder dan analisis aktor serta kelembagaan terkait pengembangan kawasan peternakan yang berbasis keraifan lokal di Gayo Lues. Lebih lanjut, penelitian ini juga membahas tentang bagaimana para aktor dan lembaga terkait dengan pengelolaan dan isu pengembangan peternakan di kawasan tersebut. Penelitian ini menggunakan studi etnografi dan metode analisis jaringan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan Focuss Group Discussion (FGD). Penelitian ini menghasilkan beberapa diskusi, yaitu: Pertama, banyak aktor dan lembaga yang terlibat dalam usaha pengembangan peternakan kerbau di Gayo Lues, namun kurangnya sinergitas dan kerjasama antar aktor berimplikasi pada degradasi kebudayaan peternakan kerbau yang berbasis kearifan lokal; kedua, kurangnya stategi yang dimiliki oleh pemangku kebijakan berimplikasi pada kurang minatnya masyarakat untuk melanjutkan tradisi uwer saban hari. Seharusnya banyak potensi yang bisa dilihat, dikembangkan dan dimanfaatkan terkait praktek peternakan kerbau di Gayo Lues; dan ketiga, sistem sosial yang diperankan oleh pemerintah, peternak kerbau, tokoh adat, juga toke kerbau harus dimaksimalkan sehingga bisa mencegah terjadinya economic inequality dan cultural insecurity.
Egalitarianisme Gayo Sebuah Inisiatif Antropologi Sosial dan Etnografi Politik Teuku Kemal Fasya
Aceh Anthropological Journal Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v2i2.1155

Abstract

Gayo is the second largest ethnic groups in Aceh, which is most misunderstood. Actually, Aceh has consisted nine ethnics, including one smallest ethnic that has been founded several years ago, named “Haloban” in Pulau Banyak, Singkil Regency. This arcticle shows the distinctive characters and culture of Gayo people. They were not only inhabiting in area “Gayo continent” such as Central Aceh, Bener Meriah, Gayo Lues Regency, but also Southeast Aceh (Alas), East Aceh (Lokop) Aceh Tamiang (Kalul), and Southwest Aceh Regency (Lhok Gayo). This article uses an ethnographic approach on the condition of culture, art, and history in Gayo landschape. In the long history of the Gayo people, Islam has become a value that has penetrated the joints of the socio-cultural life of its people. This situation is quitely different with Aceh east and west coastal. That happened because the Gayo people had faced challenges to live diverse, so that it influenced the appreciation of their Islamic life. in the religious practice, the Gayo people pay more attention for the esoteric values perspective rather than the exoteric perspective. This is the rich account of a muslim society in highland Gayo, that has been a long debate among themselves ideas of what Islam is and should be as it pertains to all areas of their lives, from work, arts performance, and worship. Many previous anthropological studies, like Snouck Hurgronje works have concentrated on the purely local aspects of culture and the tension between the local and universal in everyday life of Gayo people.
Rokok Elektrik (Vape) sebagai Gaya Hidup Perokok Masa Kini di Kota Lhokseumawe Doli Satria Maulana Hutapea; Teuku Kemal Fasya
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Vol 2, No 1 (2021): Tantangan Pengembangan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan
Publisher : FISIP Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jspm.v2i1.3696

Abstract

In all parts of the world, every human being has various kinds of habits. One of the human habits is smoking. Today, smoking itself is not something that is considered taboo by society. Cigarettes have become objects that are familiar to humans in general. This smoking habit is difficult to break. On this occasion, researchers will try to raise a theme of smoking habits that have become more modern among teenagers, namely vape as a lifestyle for today's smokers. The background of this research is the author's curiosity about why active smokers, especially teenagers, consume vapes as a substitute for tobacco cigarettes. As for the problem formulation in this study, namely why has vape become a trend in Lhokseumawe City? What effect does vape have on the lifestyle of today's smokers? This research took place in Lhokseumawe City. The method used in this research is qualitative research with data collection techniques, namely observation, interviews, documentation, and literature studies using the perspective of consumerism culture and lifestyle studies. AbstrakSetiap manusia di seluruh belahan dunia memiliki berbagai macam kebiasaan. Salah satu kebiasaan itu adalah merokok. Dewasa ini, merokok bukanlah hal yang dianggap tabu oleh masyarakat. Rokok sudah menjadi benda yang sudah tidak asing lagi bagi manusia pada umumnya. Pada kenyataannya kebiasaan merokok ini sulit dihilangkan. Pada kesempatan ini, peneliti akan coba mengangkat sebuah tema kebiasaan merokok yang kini telah menjadi lebih modern di kalangan remaja, yaitu rokok elektrik (vape) sebagai gaya hidup perokok masa kini. Yang melatarbelakangi penelitian ini adalah keingintahuan penulis mengapa kini perokok aktif khususnya para remaja mengonsumsi vape sebagai pengganti rokok tembakau. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu mengapa rokok elektrik menjadi tren di Kota Lhokseumawe? Apa pengaruh rokok elektrik bagi gaya hidup perokok masa kini? Penelitian ini bertempat di Kota Lhokseumawe. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan data yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi literatur dengan menggunakan perspektif kajian budaya konsumerisme dan gaya hidup.
Keberagaman Semu dan Dilema Minoritas di Kota Banda Aceh Teuku Kemal Fasya
ISLAM NUSANTARA:Journal for the Study of Islamic History and Culture Vol 2 No 1 (2021): Islam Nusantara Journal for the Study of Islamic History and Culture
Publisher : Faculty of Islam Nusantara University of Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/islamnusantara.v2i1.105

Abstract

This study examines the understanding of the concept of diversity (pluralism and multiculturalism) in the city of Banda Aceh; the capital city of Aceh Province which is now more than 800 years old. Can the city be classified as a diversity-friendly city as it is embedded for Pematang Siantar, Manado, Kupang, or Bali, which are among the most diversity friendly regions and are tolerant to other religions and beliefs? This study adopts socio-qualitative with an ethnographic approach to present arguments about the diversity in the city of Banda Aceh. The analytical instrument seeks to empathize with Banda Aceh's value of inductivity, as well as its "particularistic" dimension so that it can be understood emphatically. This article seeks to test the hypothesis of whether or not Banda Aceh City government has sufficiently promoted the culture of minority groups, not only protecting them from violence and granting the right to live and do business. By using observation and in-depth interview techniques, this paper also shows the enigmatic side of minority groups, including the exclusion of “subaltern” groups: the weakest minority and can be called the minority of the minorities. The most apparant of this minority group is the Chinese gets a wider portion of the discussion, compared to other minorities. This is because of the complexity that this community enjoys which shapes their lives with other minority groups and builds the concept of encounters with local communities in Banda Aceh. The diversity values of this city experienced a dynamic change. In the last fifteen years, the diversity was best promoted in the city of Banda Aceh during the governance period of Mawardy Nurdin who served as mayor of Banda Aceh from 2007-2014.
Beban Berat Demokrasi Partisipatoris (Studi Kasus Aceh Besar) Teuku Kemal Fasya
Jurnal Transformasi Administrasi Vol 3 No 2 (2013)
Publisher : Puslatbang KHAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.351 KB)

Abstract

This paper derives from qualitative research on the construction of local democracy in Aceh Besar, Aceh. The research describes the experience of special autonomy governance in one the districts in Aceh after the Helsinki peace accord prior to social-economy-cultural damage due to conflict and tsunami. It captures the role of social and political actors in terms of synergizing a balance and good representative and participatory democracy. The focus issue is on the elite and society level. In elite level, there is a lack of leadership skill that hinders the performance of local administrative, while on the society level there is yet an ability to participate and utilize the public sphere including responding toward public policies. The bad governance is reflected through the ongoing conflict surrounding 2012 local election. This experience of conflict during local election seems to relive the trauma of violent conflict and civil rights repression, resulted in political apathy and fatalism among the people. This is surely contradicts the spirit of new model on local democracy that is expected differently with the way it has been practiced in the central government.
Aneuk Meudagang dan Transformasi Pelembagaan Dayah: Studi Etnografi di Kabupaten Bireuen, Aceh Teuku Kemal Fasya
Jurnal Transformasi Administrasi Vol 9 No 2 (2019)
Publisher : Puslatbang KHAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (382.173 KB)

Abstract

Since the enactment of The Bill of Republic of Indonesia No. 11 of 2006 on the Governing of Aceh, especially article 16 paragraph (2), article 125, and article 218 relating to the government's authority to manage education that supports the development of Islamic Sharia and Islamic education including dayah education, the institutionalization of dayah education is central in community development projects. The concept of dayah education has actually been contained in Qanun No. 5 of 2008 concerning Implementation of Education which was later amended to Qanun No. 11 of 2014 on the Implementation of Education in Aceh. The regulation became more autonomous when Qanun No. 9 of 2018 on the Implementation of Dayah Education was passed. Although various regulations have been established to strengthen the organization of dayah education in the post-conflict and tsunami era, some cultural concepts about dayah education do not necessarily get better. One that is missing and fragile in the anthropolinguistic concept of modern dayah education is the mention of aneuk dagang or aneuk meudagang for dayah students. This local generic terminology is no longer used in dayahs, including in salafiyah or traditional dayah. Using ethnographic approach, this paper attempts to provide a conceptual exploration of the term aneuk meudagang in Bireuen District, including investigating the concept of dayah as a typical Islamic educational institution in Aceh in the current era.