Antonius Sidik Maryono
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Quo Vadis Esensi Lembaga PKPU Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 Antonius Sidik Maryono; Ulil Afwa; Sindy Riani Putri Nurhasanah
Jurnal Hukum Lex Generalis Vol 3 No 4 (2022): Tema Hukum Perdata
Publisher : CV Rewang Rencang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Recognition of the authority of creditors in filing applications for Suspension of Payment (PKPU) at the implementation level is often misused by creditors with bad intentions as a shortcut to bankrupt debtors. Therefore, the Constitutional Court through Ruling Number 23/PUU-XIX/2021 decided to open space for an appeal against PKPU whose reconciliation proposal was rejected by creditors. But on the other hand, the existence of decisions that are final, binding, and erga omnes a quo arises skepticism of the essence and principles contained in the payment suspension institution itself. Moving on from these problems, this study aimed to analyze the juridical implications of Ruling Number 23/PUU-XIX/2021 on the existence and essence of the PKPU institution in Indonesia. This type of research is doctrinal research that relies on secondary data. The findings in this study indicated that the opening of an appeal in PKPU due to the rejection of the peace proposal by creditors has the potential to cause uncertainty, and injustice to parties with good intentions, and distort the essence of the payment suspension institution itself. The basic problem that allowed distortion of the payment suspension institution is that the filing requirements were too simplistic, thus creating a high possibility for the bankruptcy of solvent debtors.
Ontological Study of The Classification of People in The Transfer of Land Rights in Realizing Legal Certainty Rahadi Wasi Bintoro; Noor Dzuhaidah Dzuhaidah; Antonius Sidik Maryono; Sanyoto Sanyoto; Weda Kupita
Pandecta Research Law Journal Vol 17, No 1 (2022): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v17i1.34806

Abstract

Regulation of the Minister of State for Agrarian Affairs/ Head of the National Land Agency No. 3 of 1997 concerning Provisions for the Implementation of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration contains regulations regarding the classification of the population in the preparation of a certificate of inheritance. At present, such arrangements are considered irrelevant, especially since there are already regulations concerning citizenship and population administration in a law. Therefore, this article discusses the ontological basis for regulating population classification in Indonesia. In order to answer these problems, three normative research approaches are used, in the form of a statutory approach, a historical approach and a conceptual approach. This study uses primary and secondary sources of legal material, which after an inventory has been processed and analyzed using a qualitative approach. The classification of the Indonesian population, when viewed from an ontological study, was a policy of the Dutch East Indies government to divide the Indonesian nation and reduce the power of customary law and Islamic law that developed in society. However, if judging from the existence of the Regulation of the State Minister of Agrarian Affairs/Head of the National Land Agency Number 3 of 1997, the classification of the population which has implications for the institution authorized to make certificates of inheritance is not due to the politics of dividing the Indonesian nation. This rule exists because it is still possible for people to submit to the law of inheritance of Burgelik Wetboek. This regulation in the statutory system is hierarchically positioned lower than the law. Even though this regulation is inferior and contradicts the Citizenship Law and the Population Administration Law, and therefore contradicts the principle of lex superior derogate legi inferiori, but to prevent a legal vacuum this Ministerial regulation is still in effect.
RATIO DECIDENDI MAJELIS HAKIM KASASI TERHADAP EKSEPSI PERMOHONAN PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PERKARA KEPAILITAN (Studi Terhadap Putusan Nomor 817 K/Pdt. Sus-Pailit/2015) Oji Jefri Saputra; Antonius Sidik Maryono; Sanyoto Sanyoto
Soedirman Law Review Vol 3, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2021.3.3.161

Abstract

Permohonan pembatalan perjanjian perdamaian dalam perkara kepailitan haruslah memenuhi syarat-syarat formil. Apabila syarat-syarat formil itu tidak terpenuhi maka akan memperbesar kemungkinan pihak termohon untuk mengajukan eksepsi. Eksepsi yang diterima dan dikabulkan oleh majelis hakim pada Pengadilan Niaga menyebabkan permohonan pemohon menjadi kandas sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara. Atas putusan Pengadilan Niaga tersebut, Para Pemohon mengajukan Kasasi yang tercatat dalam register perkara Nomor 817 K/Pdt. Sus-Pailit/2015. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Data penelitian bersumber dari data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif-kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat dideskripsikan bahwa Majelis Hakim Kasasi dalam amar putusanya menolak permohonan kasasi dan memperbaiki amar putusan Pengadilan Niaga. Majelis Hakim Kasasi menilai putusan judex facti sudah tepat dalam menerapkan hukumnya karena Para Pemohon Kasasi tidak memiliki kapasitas hukum (legal standing) sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 3 ayat (2) butir a Perjanjian Perwaliamanatan juncto Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada pokoknya menegaskan bahwa, Para Pemohon sebagai pemegang obligasi diwakili oleh wali amanat baik di dalam maupun di luar persidangan. Akibat hukum diterima dan dikabulkannya eksepsi oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga yaitu hubungan hukum antara Para Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi kembali pada keadaan semula seperti sebelum adanya permohonan pembatalan perdamaian.Kata Kunci : Eksepsi, Kapasitas Hukum, Kepailitan 
PENERAPAN AMICUS CURIAE DALAM PEMERIKSAAN PERKARA DI PENGADILAN NEGERI TANGGERANG Rizal Hussein Abdul Malik; Antonius Sidik Maryono; Pramono Suko Legowo
Soedirman Law Review Vol 4, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2022.4.2.189

Abstract

Amicus Curiae merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan dimana hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan. Konsep ini dalam penerapannya di Indonesia pernah dilakukan dalam 2 bentuk yaitu secara lisan dan tertulis. Mahkamah Agung memang tidak memiliki aturan tentang Amicus Curiae, namun konsep Amicus Curiae ini dapat diterima sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. kedudukan hukum Amicus curiae dalam peradilan di Indonesia dan penerapan Amicus curiae dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Tanggerang. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan metode kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian yang tersistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan hukum Amicus Curiae dalam peradilan di Indonesia tidak memiliki aturan perundang-undangan khusus yang mengaturnya namun konsep Amicus Curiae ini dapat diterima sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan dalam penerapan Amicus Curiae dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Tanggerang pernah dilakukan pada tahun 2009 dalam (Putusan Nomor1269/PID.B/2009/PN.TNG) sebanyak 5 LSM mengajukan Amicus Curiae guna membela hak terdakwa, dalam kasus Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia.Kata kunci: Penerapan; Amicus Curiae; Kedudukan
PELAKSANAAN PENYIDIKAN TERHADAP KASUS PENYEBARAN BERITA BOHONG DENGAN MODUS CASHBACK GOJEK (Studi Kasus Di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta) Geraldine Delataya; Budiyono Budiyono; Antonius Sidik Maryono
Soedirman Law Review Vol 3, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2021.3.2.148

Abstract

Perkembangan zaman selalu diikuti dengan perkembangan teknologi yangselalu memunculkan inovasi baru. Perkembangan teknologi selain memilikidampak positif juga memiliki dampak negatif yang disalahgunakan oleh pihakyang tidak bertanggungjawab salah satunya dalam tindak pidana penyebaranberita bohong yang dilakukan oleh Tersangka Nander. enelitian ini bertujuanuntuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penyidikan terhadap kasuspenyebaran berita bohong dengan modus cashback gojek dan hambatan apasaja yang dialami oleh penyidik saat melakukan penyidikan. Penelitian inimenggunakan metode penelitian yuridis sosiologis dan spesifikasi penelitiandeskriptif analitis. Penelitian ini dilaksanakan di Kepolisian Daerah IstimewaYogyakarta. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder.Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ditemukan perbedaandalam penyidikan terhadap kasus penyebaran berita bohong yaitu denganmenggunakan bantuan ahli digital forensik dalam pemeriksaan barang bukti.Hambatan dalam melaksanakan penyidikan diantaranya adalah faktorpenegak hukumnya, faktor sarana dan fasilitas, serta faktor masyarakat.Kata Kunci: Penyidikan, Penyebaran Berita Bohong, Kepolisian DaerahIstimewa Yogyakarta
INDIKATOR UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA (Studi Putusan Nomor 198/G/2015/PTUN-JKT) Farizadi Ilham Wirachmanto; Antonius Sidik Maryono; Weda Kupita
Soedirman Law Review Vol 3, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2021.3.3.155

Abstract

Penelitian ini bersumber pada putusan PTUN Jakarta nomor 198/G/2015/PTUN-JKT yang akan berbicara mengenai unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Penyalahgunaan wewenang adalah penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya dengan karakter atau ciri : menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan; menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas; menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa Peraturan Perundang-Undangan yang relevan dan buku-buku literatur. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini yaitu Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengkualifikasikan keputusan objek sengketa sebagai suatu bentuk tindakan melampaui kewenangan dengan alasan keputusan objek sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan ini didasari oleh UU AP Pasal 18 Ayat 1 huruf c.Kata Kunci : Penyalahgunaan Wewenang, Dasar Pembatalan , Keputusan Tata Usaha Negara
IMPLEMENTASI HAK-HAK TERSANGKA SEBAGAI BENTUK ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Kepolisian Resor Banyumas dan Kantor Advokat Hak & Partners) Ardan Yuwafi; Antonius Sidik Maryono; Rani Hendriana
Soedirman Law Review Vol 3, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2021.3.2.150

Abstract

Tersangka wajib dianggap tidak bersalah sampai dinyatakan kesalahannya dipengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh sebab itupenegak hukum harus tetap menghormati hak-hak tersangka khususnyatersangka tindak pidana narkotika. Tujuan penelitian ini untuk mengetahuiimplementasi hak-hak tersangka sebagai bentuk asas praduga tak bersalah padapenyidikan tindak pidana narkotika di Kepolisian Resor Banyumas. Penelitian inimenggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empirisdan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Penelitian dilakukan di KepolisianResos Banyumas dan Kantor Advokat Hak & Partners. Data yang digunakanmeliputi data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data melaluiwawancara dan studi pustaka. Data yang diperoleh diolah dengan reduksi data,display data, katagorisasi data. Penyajian data dalam bentuk uraian teks naratif,dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwaimplementasi hak-hak tersangka tindak pidana narkotika sebagai asas pradugatak bersalah pada penyidikan Kepolisain Resor Banyumas sebagian besar telahsesuai dengan peraturan. Adapun hak-hak yang memerlukan perhatian lebihlanjut yakni mengenai hak bebas menyampaikan keterangan tanpa adanyatekanan hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dan pasifnyaperan penasehat hukum pada tahap penyidikan. Adapun faktor-faktorpenghambat implementasi hak-hak tersangka sebagai asas praduga takbersalah pada tahap penyidikan antara lain dari substansi hukum yaitu sistemhukum yang masih bersifat Crime Control Model yang berimplikasi pada pasifnyaperan penasehat hukum pada penyidikan. Struktur hukum yaitu kurangnyaprofesionalitas Penyidik khususnya dalam mengontrol emosi dan tidak adanyalaboratorium forensik di wilayah Polresta Banyumas. Kultur hukum dalam hal inijustru menjadi faktor pendorong yakni kesadaran masyarakat untuk tidak mainhakim sendiri serta respon sosial terhadap tindakan Penyidik dapat mendorongPenyidik untuk bertindak sesuai dengan aturan hukum.Kata Kunci : Implementasi, asas praduga tak bersalah, tindak pidana narkotika.
Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Dalam Tindak Pidana Penipuan Yang Dilakukan Secara Berlanjut Dengan Modus Program Haji (Tinjauan Yuridis Putusan Perkara Nomor 49/Pid.B/2019/PN.Pwr) Afif Ma’ruf Zainurohman; Antonius Sidik Maryono; Dwi Hapsari Retnaningrum
Soedirman Law Review Vol 2, No 4 (2020)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2020.2.4.107

Abstract

Dalam persidangan pembuktian penuntut umum wajib mengajukan alat bukti yang sah salah satunya yaitu keterangan saksi sebagai upaya untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan oleh hakim dalam mengambil keputusan sehingga mendapatkan kebenaran materiil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam tindak pidana penipuan yang dilakukan secara berlanjut dengan modus program haji serta untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa dalam Putusan Perkara Nomor 49/Pid.B/2019/PN.Pwr. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder. Sumber data yang digunakan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder. Metode pendekatan berdasarkan putusan dan perundang-undangan. Analisis bahan hukum secara normatif kualitatif. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa keterangan saksi dalam tindak pidana penipuan yang dilakukan secara berlanjut dengan modus program haji mempunyai kekuatan pembuktian karena keterangan saksi tersebut merupakan salah satu alat bukti yang  sah  menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Nomor 49/Pid.B/2019/PN.Pwr didasarkan atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, alat bukti yang sah, barang bukti yang diajukan dipersidangan, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, serta tidak adanya alasan pemaaf dan pembenar sehingga hakim telah memperoleh keyakinan dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Saran dari peneliti bahwa penuntut umum dalam mengajukan alat bukti harus diajukan di persidangan terutama alat bukti keterangan saksi karena apabila saksi tidak dapat dihadirkan di persidangan keterangannya itu dapat mengurangi bahkan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dan hakim harus lebih teliti dalam melihat fakta yang terungkap di persidangan sehingga menimbulkan keyakinan hakim dan tepat dalam menjatuhkan pidana terhadap bersalah atau tidaknya terdakwa.Kata Kunci : Kekuatan Pembuktian, Keterangan Saksi, Tindak Pidana Penipuan
Pelaksanaan Pemberian Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Indramayu) Gesty Permatasari; Handri Wirastuti Sawitri; Antonius Sidik Maryono
Soedirman Law Review Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2019.1.1.31

Abstract

Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran  harkat  dan  martabat  manusia.  Tindak  pidana  perdagangan  orang dapat mengakibatkan posisi korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya serta yang paling dirugikan. Restitusi adalah bentuk perlindungan hukum bagi korban untuk mendapatkan pembayaran ganti kerugian materiil  atau  immateriil  yang  dibebankan kepada pelaku  akibat  tindak  pidana perdagangan orang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pemberian restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dan hambatan Jaksa Penuntut Umum dalam pelaksanaan pemberian restitusi tersebut di Kejaksaan Negeri Indramayu.Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis dengan  spesifikasi penelitian deskriptif.Data  yang  digunakan dalam penelitian  ini adalah  data  primer  dan  sekunder.Data primer  diperoleh  melalui wawancara dengan informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.Data yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan metode kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian yang tersistematis.Hasil penelitian menunjukkan bahwapelaksanaan pemberian restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Kejaksaan Negeri Indramayu sudah mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, namun masih belum terlaksana untuk pemberian restitusinya, karena pelaku lebih memilih untuk menerima hukuman pengganti pidana penjara/kurungan paling lama 1 (satu) tahun dibanding membayar sejumlah uang kepada korban. Terdapat beberapa hambatan yang dialami oleh Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan pemberian restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang diantaranya belum adanya petunjuk yuridis lebih lanjut mengenai pembayaran secara cicil, belum diterapkan secara  efektif  petunjuk  teknis  mengenai  penentuan  besarnya  nilai  kerugian restitusi, sarana dan fasilitas masih kurang memadai, dan banyaknya modus baru dari para pelaku.Kata kunci: Restitusi, Korban, Tindak Pidana Perdagangan Orang.