Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH BIDAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN Adiwinarto, Sulistio
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 8, No 1 (2012): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (501.951 KB) | DOI: 10.32528/.v8i16.616

Abstract

Bidan praktik mandiri tidak hanya memberikan bentuk pelayanan kesehatan yang sesuai  dengan Permenkes 1464/MENKES/PER/X/2010 saja. Bahkan untuk bidan desa hampir semua bentuk pelayanan memungkinkan untuk dilakukan olehnya, seperti tindakan medis, kebidanan, perawatan, apoteker, peracik obat bahkan cleaning service. Namun bidan yang praktik di daerah terpencil tidak bisa dengan mudah merujuk pasien ke fasilitas layanan kesehatan karena faktor jarak yang sulit untuk ditempuh. Sedangkan bidan yang praktik di perkotaan bisa saja dengan mudah untuk merujuk pasien, dimana tempat praktiknya dekat dengan fasilitas layanan kesehatan dan mudah dijangkau. Masyarakat datang kepada bidan sebagai pasien dengan berbagai macam keluhan untuk memenuhi kebutuhan kesehatannya, pasien datang ke bidan baik dalam maupun diluar jam kerja dan meminta bidan untuk memberikan upaya pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan pasien bukan sesuai kewenangan bidan. Apapun tuntutan pasien, selama bidan masih sanggup untuk memberikannya, maka bidan akan tetap melakukan pelayanannya.Bidan yang melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya diperbolehkan selama tidak terdapat dokter di suatu daerah tersebut, sebagaimana telah diatur dalam Permenkes 1464/MENKES/PER/X/2010 pada pasal 14 yang menyatakan bahwa ? Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya.?Namun ketentuan pasal tersebut tidak berlaku apabila di daerah tersebut telah terdapat dokter dan yang dimaksud daerah yang tidak memiliki dokter adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.Kata kunci: bidan, wewenang bidan,tanggung jawab bidan
Strategy to Arrange Gender Responsive Budget in ex Besuki Residency Sulistio Adiwinarto; Baktiawan Nusanto
Rechtsidee Vol 2 No 1 (2015): June
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21070/jihr.v2i1.5

Abstract

This study aims to determine the participation of women in development planning meeting, knowing the form of gender responsive policies, identifying the cause of the gender responsive policy problem, and strategy formulation of the budget in ex Besuki Residency such as Jember, Bondowoso, Situbondo, and Banyuwangi which still not responsive to the needs of women. In the first year, this study intends to identify the process of formulation, implementation, and evaluation of the local budget in Ex Besuki residency conducted by the respective local governments. Based on the research in the first year, researchers will formulate development strategies in the formulation of gender-responsive policies. The method of research is quantitative descriptive study, study documentation, primary and secondary data analysis, interviews and focus group discussions. In the second year of the study are expected to form a strategy and policy formulation concept of gender responsive budgeting through a combination previously existing concepts, adapted to the results of the first year of study at the study site. How To Cite: Adiwinarto, S., & Nusanto, B. (2015). Strategy to Arrange Gender Responsive Budget in ex Besuki Residency. Rechtsidee, 2(1), 65-78. doi:http://dx.doi.org/10.21070/jihr.v2i1.5
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH BIDAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN Sulistio Adiwinarto
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 8, No 1 (2012): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32528/.v8i16.616

Abstract

Bidan praktik mandiri tidak hanya memberikan bentuk pelayanan kesehatan yang sesuai  dengan Permenkes 1464/MENKES/PER/X/2010 saja. Bahkan untuk bidan desa hampir semua bentuk pelayanan memungkinkan untuk dilakukan olehnya, seperti tindakan medis, kebidanan, perawatan, apoteker, peracik obat bahkan cleaning service. Namun bidan yang praktik di daerah terpencil tidak bisa dengan mudah merujuk pasien ke fasilitas layanan kesehatan karena faktor jarak yang sulit untuk ditempuh. Sedangkan bidan yang praktik di perkotaan bisa saja dengan mudah untuk merujuk pasien, dimana tempat praktiknya dekat dengan fasilitas layanan kesehatan dan mudah dijangkau. Masyarakat datang kepada bidan sebagai pasien dengan berbagai macam keluhan untuk memenuhi kebutuhan kesehatannya, pasien datang ke bidan baik dalam maupun diluar jam kerja dan meminta bidan untuk memberikan upaya pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan pasien bukan sesuai kewenangan bidan. Apapun tuntutan pasien, selama bidan masih sanggup untuk memberikannya, maka bidan akan tetap melakukan pelayanannya.Bidan yang melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya diperbolehkan selama tidak terdapat dokter di suatu daerah tersebut, sebagaimana telah diatur dalam Permenkes 1464/MENKES/PER/X/2010 pada pasal 14 yang menyatakan bahwa “ Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya.”Namun ketentuan pasal tersebut tidak berlaku apabila di daerah tersebut telah terdapat dokter dan yang dimaksud daerah yang tidak memiliki dokter adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.Kata kunci: bidan, wewenang bidan,tanggung jawab bidan
PERTANGGUNG JAWABAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN OBLIGASI DAERAH Sulistio Adiwinarto; Amara Diva Abigail; Milang Akbar Winasis
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 19, No 1 (2021): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32528/faj.v19i1.6504

Abstract

Obligasi daerah sesuai Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah, yang telah dirubah oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 180/PMK.07/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah, adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal.Sejak berlakunya Undang-undang UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menganut azas Otonomi daerah, penataan pemerintahan dan keuangan daerah semakin menempatiperan yang penting. Kekurangan danadalam APBD dapat dilakukan melalui pinjaman dari masyarakat atau obligasi daerah yangdituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah.Obligasi ini tidak dijamin oleh Pemerintah Pusat (Pemerintah) sehingga segala resiko yang timbul sebagai akibat dari penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.Tujuan dari penerbitan Obligasi Daerah adalah untuk membiayai kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Hasil penerbitan obligasi daerah harus dialokasikan dalam APBD. Apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan obligasi daerah, berarti harus dipertanggung jawabkan pemerintah daerah melalui pertanggung jawaban penggunaan APBD. Jika pengelolaan obligasi daerah ini diserahkan kepada BUMD, bagaimana pertanggungjawabannya manakala terjadi penyimpangan ataupun fraud ? Sehingga mekanisme pengelolaan hasil penerbitan obligasi daerah tersebut mencerminkan kepastian hukum.
Kepastian Hukum Tentang Kesejahteraan Tenaga Kerja Dalam Perspektif Undang-Undang Cipta Kerja Sulistio Adiwinarto; Tegar Pamungkas Putra Mahardika; Titan Leeavi
National Multidisciplinary Sciences Vol. 2 No. 4 (2023): Proceeding MILENIUM 1
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32528/nms.v2i4.315

Abstract

Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 30 Maret 2023 merupakan Undang-Undang Omnibus Law yang menggabungkan sejumlah aturan dengan adanya beberapa perubahan substansi. Beberapa perubahan tersebut mengundang pro dan kontra, terutama terkait ketidakpastian status ketenagakerjaan pekerja kontrak dan penentuan upah minimum yang cenderung tidak memberikan perlindungan kepada pekerja dan lebih menguntungkan para pengusaha. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis pengaturan tentang hak-hak pekerja setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan kontrak kerja waktu tertentu (PKWT) dalam undang-undang ini yang cenderung merugikan pekerja dan tidak memberikan kepastian status ketenagakerjaan karena adanya batas waktu perpanjangan PKWT yang berbeda dari regulasi sebelumnya sehingga memicu adanya kesenjangan di tempat kerja. Dan juga dimungkinkannya Gubernur untuk tidak menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota yang nantinya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang semakin menekan kesejahteraan pekerja. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat yang dimaksud oleh UUD NRI Tahun 1945 tidak tercipta dengan pengaturan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan PKWT dan penentuan Upah Minimum.
PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DENGAN CARA PLAFONDERING PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) Setiawan, Riko Adi Setiawan; Sulistio Adiwinarto
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 5 No. 10 (2024): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v5i10.4920

Abstract

Penelitian ini mengkaji praktik plafondering sebagai metode penyelesaian kredit bermasalah pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia. Plafondering, yang melibatkan penggabungan bunga dan denda lama ke dalam kredit baru, sering digunakan oleh BPR namun belum diatur secara eksplisit dalam regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Studi ini bertujuan untuk menganalisis keabsahan hukum praktik plafondering dan implikasi hukumnya, terutama terkait eksekusi lelang barang milik debitur sebagai tindak lanjut. studi ini mengevaluasi praktik plafondering dalam konteks peraturan perbankan yang ada, khususnya Undang-Undang Perbankan dan regulasi OJK. Analisis difokuskan pada dua pertanyaan utama: (1) keabsahan praktik penyelesaian kredit bermasalah dengan plafondering pada BPR, dan (2) legalitas eksekusi lelang barang milik debitur sebagai akibat tindak lanjut plafondering.
Sosialisasi dan Pendampingan Sertifikasi Halal Produk Kopi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Jubung Jember Adiwinarto, Sulistio; Pawestri, Aris Yuni; Chamdani, Muh Fanny
Jurnal Terapan Ekonomi dan Bisnis Vol 2, No 2 (2022): September
Publisher : Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24269/jteb.v2i2.5708

Abstract

Sosialisasi dan pendampingan sertifikasi halal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan wawasan pelaku usaha khususnya BUMDes Jubung Jember tentang urgensi jaminan produk halal di Indonesia yang notabene masyarakatnya beragama Islam. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. Pemenuhan kepastian hukum terkait halalnya suatu produk dapat pula meningkatkan daya tarik dan kepercayaan calon konsumen akan halalnya produk yang ditawarkan. Keterbatasan akses informasi dan minimnya sosialisasi terkait dengan urgensi sertifikasi halal menjadi faktor terhambatnya pengurusan sertifikasi halal oleh pihak BUMDes Jubung maupun para pelaku usaha lainnya. Sosialisasi dan pendampingan sertifikasi halal ditujukan untuk pemenuhan kewajiban yang telah diberikan oleh undang-undang dan sertifikasi halal merupakan suatu keharusan bagi pelaku usaha guna memperluas usahanya. Sehingga dapat disimpulkan dengan diadakannya sosialisasi dan pendampingan sertifikasi halal dapat menambah pengetahuan terkait dengan syarat maupun alur permohonan sertifikasi halal bagi pelaku usaha khususnya BUMDes Jubung dan juga mendapatkan label halal.
Akibat Hukum Akta Notaris Yang Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Izazi, Nadhilah; Adiwinarto, Sulistio
Indonesian Journal of Law and Justice Vol. 1 No. 4 (2024): June
Publisher : Indonesian Journal Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47134/ijlj.v1i4.2894

Abstract

Berbagai undang-undang dan peraturan mengatur tugas notaris dalam kasus pencucian uang. Notaris harus mematuhi peraturan mengenali pengguna jasa dan melaporkan transaksi mencurigakan agar mereka tidak terlibat dalam tindak pidana. Notaris yang melakukan pencucian uang dapat didakwa dan menghadapi hukuman pidana dan administratif. Metode penelitian normatif digunakan, yang melihat konsep hukum dan undang-undang. Menurut penelitian ini, notaris yang terlibat akan dihukum, dan notaris yang tidak terlibat tidak akan dihukum. Tujuan pertama untuk mengetahui apa yang terjadi jika notaris terlibat dalam pencucian uang. Tujuan kedua adalah untuk mengetahui apa yang terjadi jika notaris terlibat dalam tindak pidana ini. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa jika notaris terlibat dalam pencucian uang, izin mereka akan dicabut, mereka dapat diadili secara pidana, diberi sanksi administratif, dan mungkin juga dihukum. Kata Kunci: Notaris, Tindak Pidana, Pencucian Uang Abstract: Various laws and regulations govern the duties of notaries in cases of money laundering. Notaries must comply with regulations to identify clients and report suspicious transactions to avoid involvement in criminal activities. Notaries who engage in money laundering can be prosecuted and face criminal and administrative penalties. Normative research methods, which examine legal concepts and laws, are used. According to this research, notaries who are involved will be punished, while those who are not involved will not be punished. The first objective is to determine what happens if a notary is involved in money laundering. The second objective is to determine what happens if a notary is involved in this criminal act. The research concludes that if a notary is involved in money laundering, their license will be revoked, they can be criminally prosecuted, given administrative sanctions, and possibly punished.
Reorientasi Hukum Mahar Perkawinan (Analisis Terhadap Praktik Pemberian Mahar Perkawinan Di Dusun Gumuk Kerang Ajung Jember) Adiwinarto, Sulistio; Maimun, Akhmad
Jurnal Penelitian IPTEKS Vol 8, No 2 (2023): JURNAL PENELITIAN IPTEKS
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32528/ipteks.v8i2.17652

Abstract

Praktik pemberian mahar sebagai konsekuensi akad perkawinan adalah bentuk pemberian seorang suami kepada istri. Namun, penentuan kadar dan jenis mahar tidak ada batasan spesifik  dalam hukum Islam. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis orientasi praktik pemberian mahar dalam perkawinan di Dusun Gumuk Kerang Ajung Jember. Metode penelitian menggunakan studi kualitatif dengan teknik wawancara mendalam kepada narasumber sebanyak 5 orang diambil dengan teknik purposive sampling berdasarkan pengalaman dalam praktik perkawinan dan tingkat pendidikan. Wawancara dilakukan kepada masyarakat, kepala desa, pemuka agama dan pemuda. Analisis data hasil wawancara menggunakan maqashid syari’ah Ibnu Asyur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahar memiliki peran strategis dalam mewujudkan rumah tangga harmonis. Orientasi praktik pemberian mahar dalam perkawinan masyarakat hanya bertujuan untuk memenuhi kewajiban akad perkawinan tanpa mempertimbangkan kemaslahatan perempuan yang menjadi tujuan disyariatkannya mahar dalam kaidah hukum Islam. Masyarakat hendaknya memperhatikan aspek maqashid syariah mahar yang berorientasi untuk membangun rumah tangga harmonis dan kemaslahatan perempuan. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap orientasi mahar sesuai maqashid syariah mahar
Penerapan Business Judgment Rule dan Akibat Hukum Terhadap Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi Adiwinarto, Sulistio
National Multidisciplinary Sciences Vol. 4 No. 3 (2025): Proceeding MILENIUM 2
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32528/nms.v4i3.751

Abstract

Penelitian ini membahas penerapan prinsip Business Judgment Rule (BJR) sebagai perlindungan hukum terhadap direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mengambil keputusan bisnis yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan. Bahkan dalam rezim Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BadanUsaha Milik Negara, perlindungan hukum atas penerapan prinsip Business Judgment Rule tersebut diperluas kepada Menteri, Organ, dan pegawai Badan. Sehingga penerapan prinsip Business Judgment Rule dalam konteks pengelolaan suatu BUMN harus dikualifikasikan sebagai perbuatan hukum perdata, bukan suatu perbuatan pidana meskipun berpotensi menimbulkan kerugian keuangan BUMN tersebut. Hal ini penting dikemukakan agar Aparat Penegak Hukum tidak selalu mengkualifikasikan kerugian keuangan pada BUMN sebagai perbuatan korupsi. Direksi atau pejabat berwenang dalam pengelolaan suatu perseroan dituntut untuk menghasilkan keuntungan bagi perseroan, keputusan yang mengakibatkan kerugian sering kali dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Padahal, apabila keputusan direksi tersebut diambil berdasarkan itikad baik, kehati-hatian, tanpa konflik kepentingan, dan berdasarkan informasi yang memadai, maka semestinya hal itu berada dalam ranah perdata, bukan pidana. Melalui pendekatan normatif dengan studi kasus pada kasus Dirut PT. Bank Mandiri, Dirut PT. KAI, dan Dirut PT. Pertamina, penelitian ini menunjukkan bahwa kerugian akibat risiko bisnis tidak dapat serta-merta dikategorikan sebagai kerugian negara dalam konteks tindak pidana korupsi. Selain itu, hakim seharusnya memutus perkara tersebut dengan putusan ontslag van alle rechtsvervolging (lepas dari segala tuntutan hukum), bukan vonis bebas (vrijspraak), apalagi menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi, kecuali syarat ketentuan Business Judgment Rule ada yang tidak terpenuhi. Penelitian ini bertujuan menegaskan pentingnya penerapan BJR secara konsisten untuk menciptakan kepastian hukum dan mencegah kriminalisasi atas kebijakan bisnis yang sah.