Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

UNCONTROLLED TYPE 1 DIABETES MELLITUS WITH TUBERCULOMA IN INFERIOR LOBE LEFT LUNG AND BILATERAL HYDRONEPHROSIS IN CHILD Wardhana, Anggia Rarasati; Sukartini, Sukartini; Muhyi, Annisa
Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Vol 3 No 2 (2019): AUGUST
Publisher : UNUSA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33086/mhsj.v3i2.1155

Abstract

Diabetes Mellitus (DM) is an important risk factor for the development of active tuberculosis (TB). It is chronic and will weaken the immune system causing the patient have increased risk of tuberculosis by three-fold.We present a case of 13-year-old girl with chest pain and cough. She has a previous history of type 1 DM. Laboratory findings showed hyperglycemic state. Thoracic CT showed tuberculoma of inferoposterior lobe left lung, while abdominal CT showed bilateral hydronephrosis. He was then administered TB treatment of 2HRZE/10RH, corticosteroid, and insulin regiments with strict monitoring of blood glucoses. Clinical symptoms and blood glucose level were significantly improved after treatment.
GAMBARAN MORTALITAS PASIEN DI RUANG PICU RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA PERIODE 2016-2017 Hajari, Siti; Sawitri, Endang; Muhyi, Annisa; Nugroho, Hary
Jurnal Kebidanan Mutiara Mahakam Vol 7 No 1 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mutiara Mahakam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (668.513 KB) | DOI: 10.36998/jkmm.v7i1.40

Abstract

Pediatric Intensive Care Unit (PICU) is a spscial functional caring unit thatprovides intensive treatments for infants and children. Human resources in PICU will doanything they can to save patients. This research try to describe the mortality patients inthe PICU room of RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda in the 2016-2017 period.We plan to use observational descriptive study using cross sectional data from medicalrecords of 2016-2017 PICU patients who had fulfilled the inclusion criteria of 143samples. The results showed that patients died at the age of <60 months (49.3%) and ≥60months (18.1%), male sex died as much (34.4%) and (32.9%) in women , the diagnosiswas pneumonia (27.3%), GIT abnormalities (19.6%) and encephalitis (8.4%). Durationof treatment for <48 hours (25.2%), 48-120 hours (26.6%) and> 120 hours (48.3%), thenled to death caused were respiratory failure (48.2%), septic shock ( 21.7%) and multiorganfailure (10.5%). The majority of patients who died in PICU within <60 months,men, diagnosis of pneumonia, length of treatment> 120 hours with the most commoncause was respiratory failure.
Efek Pemberian Imunoterapi, Probiotik, Nigella sativa terhadap Th17, Neutrofil, dan Skoring Asma Muhyi, Annisa; Barlianto, Wisnu; Kusuma, HMS Chandra
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 28, No 4 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (713.816 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2015.028.04.14

Abstract

Peran Th17 dalam patogenesis asma dan imunoterapi menjadi konsep dan paradigma terbaru. Imunoterapi merupakan salah satu manajemen di dalam asma dan memerlukan waktu yang lama sehingga sering mengakibatkan kegagalan terapi. Terapi adjuvant antara lain probiotik dan Nigella sativa diduga dapat meningkatkan efektifitas imunoterapi. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi efek pemberian imunoterapi, probiotik dan/atau Nigella sativa terhadap jumlah sel Th17, neutrofil dan skoring asma pada anak asma selama imunoterapi fase rumatan. Penelitian dilakukan pada  31 anak yang dikelompokkan secara acak yaitu imunoterapi plus plasebo atau imunoterapi plus Nigella sativa atau imunoterapi plus probiotik atau imunoterapi plus Nigella sativa plus probiotik selama 56 minggu. Pengukuran jumlah sel Th17 dan neutrofil dilakukan menggunakan flowsitometri setelah perlakuan. Asthma Control Test dilakukan untuk mengevaluasi gejala klinis. Data dianalisis menggunakan uji komparasi Anova One Way dan  uji korelasi Pearson. Hasil menunjukkan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna jumlah sel Th17 dan neutrophil antara kelompok perlakuan (p-value 0,199 dan 0,326). Asthma control test secara bermakna didapatkan perbedaan antara perlakuan imunoterapi plus probiotik dibandingkan imunoterapi saja. Skoring asma pada kelompok perlakuan imunoterapi plus probiotik adalah yang tertinggi (22,6). Jumlah sel Th17, neutrofil dan ACT menunjukkan hubungan yang lemah dan tidak bermakna secara statistik (r=-0,2) (p= 0,156). Jumlah sel Th17 dan neutrofil tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Skoring asma pada kelompok imunoterapi plus probiotik adalah yang tertinggi. Dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara Th17, neutrofil dan skoring asma.Kata Kunci: Imunoterapi, neutrofil, Nigella sativa, probiotik, sel Th17, skoring asma
Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Kejang Demam pada Anak yang Disebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut: Studi Kasus Kontrol Amalia Aswin; Annisa Muhyi; Nurul Hasanah
Sari Pediatri Vol 20, No 5 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (131.108 KB) | DOI: 10.14238/sp20.5.2019.270-5

Abstract

Latar belakang. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun tanpa disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang demam merupakan kelainan neurologi tersering yang dijumpai pada anak.Tujuan. Untuk mengetahui hubungan kadar hemoglobin dengan kejang demam pada anak yang disebabkan ISPA.Metode. Penelitian analitik observasional dengan desain kasus kontrol. Data diambil dari rekam medik di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda tahun 2016-2017 menggunakan teknik purposive sampling. Variabel bebas adalah kadar hemoglobin, sedangkan variabel tergantung adalah kejang demam yang disebabkan ISPA. Analisis statistik menggunakan uji t tidak berpasangan dan chi-square (x2), kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p<0,05. Hasil. Didapatkan sebanyak 62 pasien dengan rincian 31 kejang demam dan 31 demam tanpa kejang. Prevalensi kejang demam pada anak laki-laki 71%, sedangkan perempuan 29%. Angka kejadian terbanyak kejang demam adalah usia 0-12 bulan dan gizi baik. Berdasarkan analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan rata-rata kadar hemoglobin pada kejang demam adalah 11,04 g/dL dan demam tanpa kejang 11,6 g/dL (p=0,023). Pada uji chi-square (x2), menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin dengan kejang demam yang disebabkan ISPA (p=0,032, OR=3,906)Kesimpulan. Terdapat hubungan kadar hemoglobin dengan kejang demam pada anak yang disebabkan ISPA.
Correlation between leukocyte count and hemoglobin with the incidence of febrile seizures at RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Muhammad Harbiyan Acikdin; Annisa Muhyi; Vera Madonna Lumban Toruan
Pediatric Sciences Journal Vol. 3 No. 1 (2022): (Available online 1 June 2022)
Publisher : Medical Faculty of Brawijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/pedscij.v3i1.31

Abstract

Background: Febrile seizures occur at the age of 6 months to 5 years, ranging from 2-5% of cases in children. The sign when the body is fighting infection is the process that occurs, the presence of infection in the body causes a change in the leukocyte count, and high fever can trigger a decrease in hemoglobin. This study aims to determine the relationship between leukocytes and hemoglobin with the incidence of febrile seizures in children. Methods: This research is analytic observational with a cross-sectional design. The research data was taken from medical records at Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda with a purposive sampling method. The study sample was children aged 6 months to 5 years who had febrile seizures and fever without seizures and met the inclusion and exclusion criteria. Statistical analysis of this study used the chi-square test. Results: The chi-square test results were obtained on hemoglobin and leukocyte count with the incidence of febrile seizures with a p-value on the number of leukocytes (p=0.032) and hemoglobin (p=0.019). Conclusion: There is a significant relationship between the number of leukocytes and hemoglobin with the incidence of febrile seizures in children.
Sphingomonas paucimobilis an unusual cause of subdural empyema in pediatric: a case report Annisa Muhyi; Amalia Aswin
Pediatric Sciences Journal Vol. 2 No. 1 (2021): (Available online 1 June 2021)
Publisher : Medical Faculty of Brawijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (425.737 KB) | DOI: 10.51559/pedscij.v2i1.19

Abstract

Introduction: Acute bacterial meningitis continues to be a neurological emergency with high mortality and morbidity Case: We report the case of a pediatric patient with subdural empyema due to Sphingomonas paucimobilis. A 2-month-old infant developed fever, generalized seizures, and worsening general status. He had a cough for two weeks, and a chest X-ray showed pneumonia. Laboratory tests reveal marked leukocytosis, a white blood cell count of 28.500/mL, and an elevated platelet level of 654.000 mg/dL. A computerized brain tomography revealed an empyema subdural. A cerebrospinal fluid analysis showed unclear fluid, revealed cell count 3560 cells, 90% mononuclear and 10% polymorphonuclear, red blood cell count of 0/mm3, protein of 370 mg/dL, and glucose of 35 mg/dL. His cerebrospinal fluid culture showed Sphingomonas paucimobilis sensitive to cephalosporin, levofloxacin, meropenem, imipenem, gentamycin, tobramycin and amikacin. He was treated empirically with meropenem. The patient had a rapid recovery from the seventh day of treatment and was discharged on hospital day 14. Conclusion: We highly recommend raising awareness about subdural empyema as a complication for acute bacterial meningitis caused by S. paucimobilis in community-acquired infection.
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LAMA RAWAT INAP PADA BALITA DENGAN DIARE AKUT DI RSUD ABDOEL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA Aegirine Rafilah Dahlan; Meiliati Aminyoto; Annisa Muhyi
Majalah Kesehatan Vol. 9 No. 4 (2022): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/majalahkesehatan.2022.009.04.3

Abstract

Diare akut merupakan masalah kesehatan masyarakat global maupun lokal karena angka mortalitasnya yang tinggi khususnya pada anak di bawah lima tahun (balita). Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi proses penyembuhan balita dengan diare akut dan jika tidak ditangani dengan tepat dapat memperpanjang lama rawat inap pasien. Hal ini dapat menurunkan efisiensi pelayanan rawat inap serta menambah beban biaya perawatan yang harus ditanggung pasien dan rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan lama rawat inap pada balita dengan diare akut di RSUD Abdoel Wahab Sjahranie, Samarinda. Desain penelitian adalah analitik observasional dengan pendekatan studi potong-lintang. Pengumpulan data dari rekam medis pasien RSUD Abdoel Wahab Sjahranie Samarinda periode 2019-2021 secara purposive sampling. Sampel penelitian sebanyak 64 pasien berusia 6-59 bulan dengan diagnosis diare akut dan dirawat inap <14 hari serta memiliki catatan rekam medis yang lengkap sesuai variabel penelitian. Mayoritas sampel pada kelompok usia 6-23 bulan, status gizi normal, dengan derajat dehidrasi ringan-sedang, tidak anemia, feses tanpa lendir/darah, leukosit feses dalam ambang normal, mendapatkan terapi zink saja, serta mengalami pemanjangan lama rawat inap. Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status gizi (p = 0,041), kadar hemoglobin (p = 0,011), lendir/darah pada feses (p = 0,002) dan leukosit pada feses (p = 0,004) dengan lama rawat inap pada balita dengan diare akut. Kesimpulannya, status gizi, kadar hemoglobin, lendir/darah pada feses, serta leukosit pada feses berhubungan dengan lama rawat inap pada balita dengan diare akut.    
Differences in Risk Factors between Simple Febrile Seizures and Complex Febrile Seizures Annisa Muhyi; Muhammad Harbiyan Acikdin; Iskandar Muda
Jurnal Kesehatan Pasak Bumi Kalimantan Vol 6, No 1 (2023): JKPBK Juni 2023
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/j.kes.pasmi.kal.v6i1.9882

Abstract

Introduction: Febrile seizures are seizures caused by an increase in body temperature above 38oC and not due to an intracranial infection. The incidence of febrile seizures is frequently reported in boys and 2-5% occur at the age of 6-60 months. Simple febrile seizures (SFS) are generalized tonic and/or clonic seizures without focal movement lasting less than 15 minutes and can stop on their own. Complex febrile seizures (CFS) are characterized by focal or focal seizures becoming generalized, recurring within 24 hours and lasting more than 15 minutes. Several risk factors can cause seizures in children such as the child's age, gender, comorbidities, body temperature, family history of seizures, nutritional status, leukocyte count and hemoglobin level. Methods: Analytical observational study with analysis test using Mann-Whitney U to see the difference of two independent samples between simple febrile seizures and complex febrile seizures. Samples were taken by purposive sampling with inclusion and exclusion criteria. Results: In this study, the results showed that there was no difference in risk factors between simple febrile seizures and complex febrile seizures with a p-value > 0.05. In this study, the results showed that there was no difference in risk factors between simple febrile seizures and complex febrile seizures with a p-value > 0.05. Conclusion: There is no difference in risk factors between simple febrile seizures and complex febrile seizures, but there are risk factors that have a synergistic effect on the occurrence of seizures in children aged 0-60 months.
Karakteristik Analisis LCS Meningoensefalitis Anak di RSUD Abdoel Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2019-2022 Yunita Yunita; Yudanti Riastiti; Annisa Muhyi
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 12, No 2 (2023): Online July 2023
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v12i2.2287

Abstract

Meningoencephalitis is a pathological state characterized by concurrent inflammation of the meninges and the brain parenchyma. Liquor Cerebrospinal analysis (LCS) can help establish a diagnosis of diseases affecting the central nervous system, including meningoencephalitis. Objective: To identified the attributes of meningoencephalitis LCS analysis in pediatric patients at RSUD Abdoel Wahab Sjahranie Samarinda from 2019 until 2022. Methods: This study employs a descriptive research design to delineate the features of the LCS analysis. The data utilized in this study was acquired from the medical records of individuals who had experienced meningoencephalitis during their childhood and obtained as many as 39 patient data samples. Results: The findings revealed that most cases were observed in children aged 0-1 years (38.5%), with a higher incidence in males (59.0%). The LCS analysis parameters indicated that lymphocytic pleocytosis was the most common (76.9%), while clear  LCS was observed in 82.1%. The leukocyte count was within the normal range of 56.4%, and the polymorphonuclear ratio was negative (79.5%). The protein levels increased by 56.4%, while the glucose levels were within the normal range (59.0%). Conclusion: There is an increase in LCS  protein levels, which indicates inflammation.Keywords: LCS  analysis, LCS parameters, meningoencephalitis
Hubungan Riwayat Kejang Demam Dengan Kejadian Epilepsi Pada Anak Di Poli Anak RSUD Inche Abdoel Moeis Samarinda Yunus, M. Paturungi Parewansa; Muhyi, Annisa; Nusartha, Putu Yudhi
Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Vol 11, No 8 (2024): Volume 11 Nomor 8
Publisher : Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/jikk.v11i8.14639

Abstract

Epilepsi adalah salah satu penyakit otak kronik yang ditandai dengan bangkitan yang berulang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik yang abnormal pada neuro-neuron otak. Epilepsi menjadi salah satu penyakit yang berkontribusi signifikan terhadap disabilitas global terutama di kalangan anak-anak, dimana sekitar setengah dari penderita merupakan anak-anak. Hampir semua jenis epilepsi dapat didahului dengan kejang demam. Faktor risiko kejang demam terhadap terjadinya epilepsi adalah terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi pada orang tua atau suadara kandung, kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.  Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya penelitian mengenai faktor risiko epilepsi. Di samarinda sendiri masih belum banyak dilakukan penelitian mengenai faktor risiko epilepsi, oleh karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kejang demam dengan kejadian epilepsi pada anak di poli anak RSUD Inche Abdoel Moeis Samarinda Tahun 2023. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi pada anak di poli anak RSUD Inche Abdoel Moeis Samarinda dengan desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain Case Control Study dan pendekatan retrospektif. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasikan paparan atau penyakit tertentu (pada kelompok kasus) dan mengidentifikasi kelompok tanpa paparan atau penyakit (kelompok kontrol) dengan teknik matching berdasarkan usia dan jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik sampel penelitian berdasarkan usia pasien kasus dan pasien kontrol terbanyak pada rentang usia 1-5 tahun. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan jenis kelamin laki-laki terbanyak sebanyak 11 anak (55%). Pasien epilepsi (kasus) pada anak yang memiliki riwayat kejang demam terdapat 2 anak (10%) dan pasien bukan epilepsi (kontrol) pada anak yang tidak memiliki riwayat kejang demam sebanyak 18 anak (90%). Hasil analisis data menggunakan metode Chi-Square test didapatkan hubungan riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi pada anak memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan p-value < 0,05 (OR = 6.00 ; CL 95% 1,082 s.d 33,274 ; p = 0,028).