Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Effects of Rotifer Feeding Frequency on Growth and Survival Rate of Early Larval Stages of Mud Crab, Scylla olivacea Chrisoetanto P. Pattirane; Bethsy J. Pattiasina; Frederik Dony Sangkia
Journal Omni-Akuatika Vol 17, No 2 (2021): Omni-Akuatika November
Publisher : Fisheries and Marine Science Faculty - Jenderal Soedirman University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.oa.2021.17.2.915

Abstract

Crustacean larvae have the characteristics of living as carnivorous organisms. This has an impact on the length of gut evacuation time which affects the feeding pattern of the larvae. The feeding strategy of mud crab larvae is modulated by the length of gut evacuation time. Another factor that can be subject to modulation is the frequency of feeding. This research aimed to evaluate rotifer frequency feeding of early larvae stages of mud crab, Scylla olivacea. This research was conducted at the Mariculture Fisheries Center, Ambon with an indoor system. This research began with carrying out parental maintenance to produce larvae. Larvae are fed with rotifers with different frequencies. The treatments were the frequency of feeding rotifers, namely: Treatment 1 (F1) was the frequency of 1x a day (9:00 am); Treatment 2 (F2) was a frequency of 2x a day (9:00 am & 13:00 pm) and Treatment 3 (F3) was a frequency of 3x a day (9:00am, 13:00pm & 17:00pm). Each treatment was given 3 replications. Based on the results of this study, it showed that feeding with a frequency of three times a day (F3 treatment) was able to have a positive effect on the survival rate of zoea larvae which on the third day was 58% and the fourth day was 22% higher than the F1 and F2 treatments. The growth of larvae showed that F3 treatment was higher than F1 and F2 on the sixth day with an increase in the absolute value of growth of 0.12044 mm compared to F1 of 0.05531 mm and F2 of 0.03253 mm. Keywords: frequency of feeding, growth, larvae, survival rate, mud crab
PERFORMA CAIRAN FERMENTASI DAUN MANGROVE Sonneratia alba DENGAN PENGENCERAN BERBEDA UNTUK PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii Samsu Adi Rahman; Frederik Dony Sangkia; Admi Athirah; Chrisoetanto P Pattirane
OCTOPUS : JURNAL ILMU PERIKANAN Vol 10, No 2 (2021): OCTOPUS
Publisher : Universitas Muhammadiyah Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26618/octopus.v10i2.7542

Abstract

Penelitian ini bertujuan membandingkan penggunaan pengenceran cairan fermentasi daun mangrove Sonneratia alba yang berbeda untuk pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii. Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Desa Bulagi II, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai. Organisme uji yang digunakan dalam penelitian adalah rumput laut dari jenis K. alvarezii. Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu kontrol, A (1 L cairan fermentasi /100 L air laut), B (1 L cairan fermentasi /50 L air laut), dan C (1 L cairan fermentasi /25 L air laut). Rumput laut direndam dalam cairan fermentasi daun mangrove selama satu jam dengan pengenceran berbeda. Parameter yang damati dalam penelitian ini meliputi pertumbuhan mutlak, pertumbuhan spesifik harian, dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengenceran cairan fermentasi daun mangrove yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan rumput laut. Berdasarkan nilai rata-rata pertumbuhan terbaik ditunjukkan perlakuan 1 L cairan fermentasi /100 L air laut dengan pertumbuhan mutlak (147.52g), dan pertumbuhan spesifik (4.32%). Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perendaman rumput laut selama 1 jam dengan 1 L cairan fermentasi S. alba yang diencerkan dalam 100 L air laut dapat digunakan untuk meningkatkan petumbuhan rumput laut K. alvarezii
Studi Alternatif Bangunan Pengaman Pantai di Pesisir Kabupaten Karawang Roberto Patar Pasaribu; Asep Irwan; Liliek Soeprijadi; Chrisoetanto Pattirane
PELAGICUS Volume 1 Nomor 2 Mei 2020
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Karawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (65.016 KB) | DOI: 10.15578/plgc.v1i2.8875

Abstract

Dinamika oseanografi pantai Karawang sangat dipengaruhi oleh gelombang dari Laut Jawa. Proses hidro-oseanografi ini menyebabkan kerusakan di beberapa tempat di Pantai Utara Karawang. Penyebab kerusakan yang paling utama adalah gelombang laut yang datang dari arah timur laut. Gelombang ini menyebabkan adanya arus sejajar pantai dan tegak lurus pantai yang menyebabkan terjadinya abrasi dan sedimentasi pantai. Kerusakan pantai dapat dicegah dengan mendirikan bangunan pengaman pantai. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis bangunan pengaman pantai sebagai salah satu cara mencegah kerusakan pantai di pesisir kabupaten Karawang dengan cara mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data batimetri, angin dan pasang surut.  Berdasarkan analisis data pasang surut dapat menentukan elevasi bangunan, dari pengolahan data angin diperoleh peramalan gelombang berupa tinggi, periode, dan arah gelombang. Hasil analisis gelombang, batimetri dan topografi, diperoleh bahwa jenis bangunan pantai yang sesuai untuk pengaman pantai di pesisir kabupaten Karawang adalah bangunan breakwater dan groin. Breakwater dan groin dipilih untuk pengaman pantai di pantai Karawang karena dapat mengurangi limpasan gelombang yang terjadi, sehingga dapat melindungi pantai dari gempuran gelombang supaya tidak terjadi abrasi.
Perencanaan Bangunan Pelindung Pantai untuk Pencegahan Abrasi di Pantai Utara Karawang Roberto Patar Pasaribu; Asep Irwan; Chrisoetanto Pattirane
Jurnal Kelautan Nasional Vol 16, No 3 (2021): DESEMBER
Publisher : Pusat Riset Kelautan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (896.54 KB) | DOI: 10.15578/jkn.v16i3.9831

Abstract

Pantai Karawang adalah pantai yang dipengaruhi aktifitas hidro-oseanografi yang terjadi disepanjang pantai seperti arus, gelombang dan pasang surut. Akibat dari himpasan gelombang laut dan transport sedimen mengakibatkan terjadinya abrasi dan sedimentasi yang menimbulkan kerusakan disepanjang pantai. Untuk  melindungi pantai dari kerusakan yang diakibatkan abrasi dilakukan dengan membuat bangunan pelindung pantai. Bangunan pelindung pantai adalah infrastruktur yang dibangun di garis pantai yang berfungsi sebagai pelindung pantai. Bangunan ini berfungsi untuk mengurangi besarnya gelombang yang sampai di pantai. Beberapa contoh bangunan pelindung pantai adalah Breakwater dan Groin. Penelitian ini bertujuan merencanakan bangunan pelindung pantai untuk mecegah abrasi yang terjadi di pantai utara kabupaten Karawang. Data yang digunakan adalah data hidro-oseanografi seperti gelombang, arus, pasang surut dan batimetri, sedangkan untuk pengolahan data digunakan program GENESIS. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisa data serta kondisi pantai, bangunan pelindung pantai yang direncanakan adalah Breakwater dengan letak dan dimensi bangunan adalah: jarak bangunan dari pantai 50 meter, tinggi bangunan 6 meter, panjang bangunan 100 meter, jarak antara bangunan 20 m.
Kajian Pengembangan Wisata Bahari Di Kabupaten Banggai Kepulauan Roberto Patar Pasaribu; Aris Kabul Pranoto; Chrisoetanto Pattirane
Jurnal Airaha Vol 11 No 01: June 2022
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.054 KB) | DOI: 10.15578/ja.v11i01.309

Abstract

The development of marine tourism is essentially an effort to develop and utilize marine tourism objects and attractions in coastal and ocean areas, in the form of beautiful natural wealth, diversity of flora and fauna. and beach recreation. Based on secondary data and direct observations, it shows that in the Banggai Islands there is a very large marine tourism potential, namely the attractiveness of beaches, coasts, islands and underwater biodiversity. The purpose of this study is to provide an overview of the potential conditions for marine tourism in the Banggai Islands and create a concept for developing marine tourism for the area. This study also seeks to make an inventory of the existing marine tourism potential by providing potential data, both biological-non-biological and social and cultural uniformity as a supporting attraction for the development of marine tourism. The analysis is carried out using a SWOT analysis to see the strengths, weaknesses, opportunities and threats in the development of marine tourism. From the SWOT analysis, it was found that the marine tourism area in the Banggai Islands can be developed because it has internal strengths, namely it has a lot of potential for marine tourism and there are opportunities, namely the existence of routine sea transportation routes and marine tourism routes that pass through the area.
Morphology Characteristic, Growth And Survival Rate Of The Early Larval Stages Of Mud Crab, Scylla serrata (Forsskal, 1775) For The Rearing Process Chrisoetanto P. Pattirane; Bethzy J. Pattiasina
Jurnal Ilmiah PLATAX Vol. 8 No. 1 (2020): ISSUE JANUARY-JUNE 2020
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jip.8.1.2020.28597

Abstract

The availability of female adult mature will continuously support mud crab hatchery to produce the best quality of larvae. Bray et al., (1990b) proposed that zoea length can be used as an index of larval quality. Larval quality is dependent on the physiology condition related to the growth and survival rate of several larval development stages (Racotta et al., 2003). The mortality in all development stages was due to the high sensitivity of larvae for the environment changes. Two aquariums and sterilized water were used in all rearing process and larvae of Scylla serrata fed once a day. It was fed by rotifer (Branchionus plicatilis) and Artemia sp on the third and fifth days. The results showed that the eye was a distinguishing characteristic between zoea I and zoea II. Development of zoea I range about 0 (zero) to fourth days and zoea II about fifth to seventh days. Observation of growth for six days indicate an increasing significantly on the fourth to sixth days. The survival rate of Scylla serrata larvae without food holds three days out. Otherwise, larvae that were fed on everyday hold seven days out. ABSTRAKKetersediaan induk yang matang telur secara berkesinambungan akan sangat mendukung usaha pembenihan kepiting bakau dalam menghasilkan larva dengan kualitas yang baik. Bray et al., (1990b) bahwa panjang zoea dapat digunakan sebagai suatu indeks kualitas larva. Selain itu, kualitas larva juga bergantung kepada kondisi fisiologis larva dan berkaitan dengan rata-rata pertumbuhan dan sintasan selama beberapa tahapan larva (Racotta et al., 2003). Seluruh proses pemeliharaan digunakan air steril dengan menggunakan wadah berupa akuarium sebanyak dua buah. Larva kepiting bakau, S. serrata selama pemeliharaan diberi pakan satu kali sehari. Pakan yang diberikan berupa rotifer (Branchionus plicatilis) dan artemia pada hari kelima dan ketiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ciri morfologi pembeda antara tahap zoea I dan zoea II adalah mata. Perkembangan zoea I berkisar antara hari 0 sampai dengan hari 4 selanjutnya zoea II antara hari kelima sampai hari ketujuh. Pertumbuhan yang diamati selama masa pemeliharaan hari pertama sampai hari keenam, menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada hari keempat sampai hari keenam. Tingkat kelangsungan hidup larva S. serrata yang tidak diberi pakan dapat bertahan mencapai tiga hari. Sebaliknya untuk larva yang diberi pakan selama masa pemeliharaan mampu bertahan hingga mencapai tujuh hari.Kata kunci: Larva zoea, Scylla serrata, pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup
Utilization Different Macroalgae to Enhance Growth and Survival Rate of Juvenile Abalone, Haliotis squamata: Chrisoetanto P Pattirane; Aripudin; Asep Suryana; Herlin Kawati
Jurnal Moluska Indonesia Vol. 7 No. 2 (2023): Oktober 2023
Publisher : Masyarakat Moluska Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54115/jmi.v7i2.92

Abstract

As a herbivorous organism, abalone is highly dependent on the availability of macroalgae as its main feed. The types of macroalgae commonly used as abalone feed are Ulva sp (green algae) and Gracilaria sp (red algae). The use of brown algae is still very rare so further research needs to be done. This research was conducted at the Superior Shrimp and fishery production center (BPIU2K) in Bali. The rearing tank used is a fiber tub measuring 200x100x60 cm3. The rearing container used is a plastic basket measuring 40x30x10 cm3. The baskets used were nine pieces, including three baskets each for Gracilaria sp. (pink color), Ulva sp. (blue color), and Padina sp. (green color). The stocking was carried out in the morning by as many as 216 individuals with a stocking density of 2 ind/L/basket. The average size of the shell length is 3.1 cm and the average weight is 6.04 g. Feeding is done once every two days ad-libitum, among other types of Gracilaria sp., Ulva sp., and Padina sp. Observation of water quality is carried out every day including temperature, DO, salinity, and pH. The siphoning of the bottom of the container is carried out every two days. Juvenile abalone maintenance is done by using a completely randomized design (RAL) consisting of three feed treatments namely Gracilaria sp. (A1), Ulva sp. (A2), and Padina sp. (A3), and repeated three times. The ANOVA results of abalone juvenile growth showed no statistically different values (P>0.05) but visually visible differences. The length and width of the shell of juvenile abalone fed Gracillaria sp., Ulva sp., and Padina sp. respectively, 4.1 cm and 2.6 cm; 4.0 cm and 2.4 cm; 3.8 cm and 2.3 cm. Weight of abalone juveniles respectively 12.50 g (Gracillaria sp.), 10.83 g (Ulva sp.), and 9.20 g (Padina sp.). Juveniles fed Gracilaria sp. and Ulva sp. showed 100% survival while juveniles fed Padina sp., it has a survival rate of 98.61%.
Study Feeding Different Food Types to The Growth and Survival Rate of Nile Fingerlings, Oreochromis niloticus Pattirane, Chrisoetanto P.; Wahyudi, Dzikri; Sangkia, Frederik Dony; Hapsari, Larasati Putri
Jurnal Ilmiah Platax Vol. 10 No. 2 (2022): ISSUE JULY-DECEMBER 2022
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jip.v10i2.43127

Abstract

All operations of aquaculture production rely upon the 60% of feed role as an energy source and nutrition for the growth and survival rate of aquatic organisms, especially tilapia fish. This research aims to study feeding different food types to the growth and survival rate of tilapia fingerlings. A sample of fingerlings was derived from the Centre for Aquaculture Production Business Service (BLUPPB) Karawang and reared in Aquaculture Teaching Factory. The fingerlings were stocked with as many as 5 ind/L with three treatments i.e Azolla (P1), artificial feed (P2), and a combination of Azolla and artificial feed (P3). The growth-based length of fingerlings fed by Azolla (P1) is 6 – 7.76 cm, commercial pellet feed (P2) 6 – 11.81 cm, and combination Azolla and commercial pellet feed 6-9.36 cm. The growth-based weight of fingerlings fed by Azolla (P1) is 4 – 5.87 g, commercial pellet feed 4 – 25.11 g, and a combination of Azolla and commercial pellet feed 4 – 11.27 g. The survival rate of fingerlings fed by Azolla is 23%, commercial pellet feed 88%, and combination Azolla and commercial pellet feed 91%.Keywords: Azolla, commercial pellet feed, fingerlings, growth, survival rateAbstrakSeluruh operasional produksi akuakultur sangat bergantung dari 60% peran pakan sebagai sumber nutrisi dan energi bagi pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup organisme akuatik dalam hal ini ikan nila. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi terkait pemberian jenis pakan berbeda terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila. Sampel benih ikan nila berasal dari Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang dan dipelihara di Teachign Factory Budidaya Ikan. Ikan yang dipelihara adalah sebanyak 5 ind/L dengan tiga perlakuan meliputi pakan azolla (P1), pakan pellet komersil (P2) dan kombinasi palat azolla dan pellet komersil (P3). Pertumbuhan panjang ikan yang diberikan perlakuan pakan azolla (P1) adalah 6 - 7.76 cm, pakan pellet komersial (P2) 6 - 11.81 cm dan perlakuan kombinasi pakan pellet komersil dan azolla (P3) 6 - 9.36 cm. Pertumbuhan berat ikan dari perlakuan pakan azolla (P1) 4 – 5.87 g, perlakuan pellet komersial (P2) 4 – 25.11 g dan perlakuan kombinasi pakan pellet komersil dan azolla (P3) 4 – 11.27 g. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila yang diberikan perlakuan pakan azolla adalah sebesar 23%, pakan pellet komersil 88% dan kombinasi pakan azolla dan pellet komersil adalah 91%.Kata Kunci: azolla, benih, pakan pellet komersil, pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup.
Application Of Pes Fertilizer To The Growth Of Kappaphycus alvarezii Plantlets Wahyudi, Dzikri; Pattirane, Chrisoetanto P.; Marwah, Ayu Riyani; Sangkia, Dony Frederik
Jurnal Ilmiah Platax Vol. 11 No. 2 (2023): ISSUE JULY-DECEMBER 2023
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jip.v11i2.50619

Abstract

This study aims to determine the growth of Kappaphycus alvarezii plantlets applied with different PES fertilizers. This research was conducted at Blitok Installation, brackish water aquaculture center, Situbondo. This study began with the preparation of water as a maintenance medium, acclimatization of plantlets in the greenhouse, maintenance of plantlets in the greenhouse (plantlet cleaning, fertilization), and checking water quality. The application dose of PES fertilizer given as treatment was 15 ml, 20 ml, and 25 ml which was repeated 3 times. The rearing design used a completely randomized design (CRD) model. The results obtained showed that the average absolute weight gain of planlets from the 15 ml treatment was 0.249 g - 0.271 g, the 20 ml treatment was 0.35 g - 0.432 g, and the 25 ml treatment ranged from 0.306 g - 0.372 g. For the specific growth rate from the first to the fifth week of rearing, the 15 ml treatment ranged from 3.162-1.693, the 20 ml treatment ranged from 3.922-4.21 and the 25 ml treatment ranged from 2.899-3.904. From the results of the study, it can be concluded that the application of a PES fertilizer dosage of 20 ml gave better growth than the 15 ml and 25 ml doses. Keywords: growth, Kappaphycus alvarezii, plantlets, PES fertilizer, dosage
Carrageenan Concentration And Growth Of Kappaphycus alvarezii Seaweed In Liang Village, Banggai Regency, Central Sulawesi Province Sangkia, Frederik Dony; Pattirane, Chrisoetanto P.; Ramli, Taufik Hadi
Jurnal Ilmiah Platax Vol. 12 No. 1 (2024): ISSUE JANUARY-JUNE 2024
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jip.v12i2.56984

Abstract

This study aimed to assess the quality of seaweed by analyzing its carrageenan content, water content, and growth rate. The research was conducted in the waters of Liang Village and Jayabakti Village for 45 days, with observation periods every 15 days. Carrageenan examination was carried out at the Pharmacy Laboratory of Sam Ratulangi University, while the water content was determined at the THP Laboratory of the same university. Growth measurements were conducted at 0, 15, 30, and 45 days in both locations. The results showed that the concentration of carrageenan in seaweed from Jayabakti Village was 39.81%, while in Liang Village it was 35.88%. The percentage of seaweed water in Liang Village was 9.3%, while in Jayabakti it was 27.0%. In addition, there was no significant difference in seaweed growth between the two water sites (P>0.05). The average difference in seaweed growth between Jayabakti Village and Liang Village on days 15, 30, and 45 was 1.5, 0.5, and 16.3, respectively. The daily weight gain rate of seaweed on day 15 was 5.55% in Jayabakti Village Waters and 5.50% in Liang Village Waters. On the 30th day, the daily weight gain of seaweed in Jayabakti Village Waters and Liang Village was 4.88% and 4.89%, respectively. On the 45th day of the rearing period, seaweed in Jayabakti Village Waters experienced a weight gain of 4.16%, while seaweed in Liang Village experienced a weight gain of 4.22%. The findings showed that the carrageenan test, conducted by assessing water content, indicated that the quality of seaweed in the waters of Liang Village was superior to that of Jayabakti Village. Keywords: carrageenan, growth, Jayabakti village, Liang village, water content