Claim Missing Document
Check
Articles

Perbandingan Tiva Kontinyu Antara Propofol 1,5 mg/kgbb IV-Ketamin 1 mg/kgbb IV dengan Propofol 1,5 mg/kgbb IV-Fentanyl 2 μg/kgbb IV dalam Mencapai Bispectral 40-60 pada MOW Silalahi, Antonius; FRW, Calcarina; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 1 (2014): Volume 2 Number 1 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i1.7189

Abstract

Latar Belakang: tujuan anestesi modern adalah memastikan cukup kedalaman anestesi. Untuk mengetahui kedalam anesteri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu klinis dan penunjang. Secara klinis kedalaman anestesi dengan melihat perubahan frekuensi nafas, bergeraknya anggota badan, laju nadi, dan tekanan darah, sedangkan dengan penunjang menggunakan Bispectral Index Score (BIS).Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kebutuhan dosis propofol pada kombinasi propofol1,5 mg/kgbb iv dan ketamin 1 mg/kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan propofol 4 mg/kgbb/jam iv dan ketamin 1 mg/kgbb/jam iv dibandingkan propofol 1,5 mg/kgbb iv dan fentanil 2 μg/kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan propofol 4 mg/kgbb/jam iv dan fentanil 2 μg/kgbb/jam iv selama TIVA kontinyu pada MOW dengan menggunakan BIS 40-60 sebagai monitoring kedalaman anestesiMetode penelitian: menggunakan uji klinis secara acak pembutaan ganda. Jumlah subyek 48 pasien, terbagi dalam dua kelompok masing–masing 24 pasien. Kelompok A menerimainduksi propofol 1,5 mg/kgbb iv + ketamin 1 mg/kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan dengan propofol 4 mg/kgbb/jam + ketamin 1 mg/kgbb/jam iv dan kelompok B menerima induksi propofol 1,5 mg/kgbb + fentanyl 2μg/kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan dengan propofol 4 mg/kgbb/jam iv + fentanyl 2μg/kgbb/jam iv. Pengukuran dilakukan pada tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, denyut jantung, bispectral, dan pasien dipertahankan dalam BIS 40-60, bila BIS >60 pasien diberikan bolus propofol untuk mempertahankan BIS.Jumlah total propofol bolus dan pemeliharaan diukur dan dicatat, serta efek samping yang ditimbulkan dari kedua kelompok penelitian. Analisis data menggunakan uji paired sample t-testdanindependent t-test dengan derajat kemaknaan p <0,05.Hasil penelitian: TIVA kontinyu kombinasi propofol – ketamin lebih berdayaguna dibandingkan TIVA kontinyu kombinasi propofol – fentanyl. Propofol boluspada group propofol-ketamin (78,75± 23,831),sedangkan pada group propofol-fentanyl (105,00±27,663), secara statistik ada perbedaan bermakna (p <0,05). Propofol kontinyuspada group propofol-ketamin (106,75± 15,422), sedangkan pada group propofolfentanyl (108,50 ± 13,465), secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05).Total propofol yang digunakan pada group propofol-ketamin (264,88± 30,035), sedangkan pada group propofol-fentanyl (295,79 ± 41,359), secara statistik ada perbedaan bermakna (p < 0,05). Pasien yang tidak bergerak pada saat irisan pertama lebih baik pada group propofol-ketamin 25% dibandingkan pada group propofolfentanil 62,5%(p < 0,05). Penurunan kardiovaskulerlebih stabil pada group propofol-ketamin dibandingkan pada group propofol-fentanyl, walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05)Kesimpulan: Kombinasi propofol 1,5 mg/kgbb iv + ketamin 1 mg/kgbb iv lebih berdayaguna dibandingkan propofol 1,5 mg/kgbb + fentanyl 2μg/kgbb iv pada TIVA untuk tindakan MOW.
Acute Kidney Injury (AKI) sebagai Faktor Prediktor Kematian Pasien di ICU RSUP Dr Sardjito Baskoro, Ronggo; RW, Calcarina Fitriani; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 2 (2015): Volume 2 Number 2 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i2.7206

Abstract

Latar Belakang: AKI masih mempunyai angka kematian yang tinggi dan seringkali tidak terdiagnosis. Prediksi dan diagnosis kejadian AKI dapat dilakukan dengan kriteria RIFLE. Angka kematian AKI di ICU dapat ditekan bila dilakukan deteksi dini. Hingga saat ini belum ada data mengenai angka kejadian pasien AKI di ICU RS Dr. Sardjito, sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui kejadian AKI tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui AKI sebagai faktor prediktor kematian pasien yang dirawat di ICURS Dr. Sardjito.Metode: Rancangan penelitian ini adalah kohort retrospektif. Subyek penelitian berjumlah 112 pasien dan semua adalah pasien yang menjalani rawat inap di ICU RSUP DR Sardjito Yogyakarta dimulai bulan Juni 2013 – Oktober 2013. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien lebih dari 18 tahun dan mempunyai data medis lengkap, sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien yang sudah tegak didiagnosis Chronic Kidney Disease (CKD) baik yang sudah menjalani hemodialisis rutin maupun yang masih menjalani terapi konservatif. Untuk melihat perjalanan kondisi pasien di ICU digunakan diagram fl ow Chart analisis data menggunakan regresi logistik untuk melihat odd ratio dari dampak nilai data karakteristik yang bermakna (p < 0,05) dari kelompok AKI dan Non-AKI. Model multivariabel yang digunakan adalah modelenter.. Nilai p < 0.05 dianggap bermakna secara statistik.Hasil: AKI merupakan faktor prediktor kematian pasien yang dirawat di ICU, dimana ditemukan nilai RR (risiko relatif) sebesar 8,0 yang artinya bahwa pasien pada kelompok AKI mempunyai kemungkinan 8,0 kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan pasien pada kelompok Non-AKI. Selain itu juga didapatkanbahwa angka kematian pasien yang menderita AKI dengan kriteria Risk (R) adalah 31,7%, kriteria Injury (I) 75%, dan Failure (F) 71,4%. Kesimpulan: AKI dapat dijadikan prediktor kematian pasien yang dirawat di ICU.
Manajemen Akhir Hayat pada Pasien Kritis dI ICU Nur, Rifdhani Fakhrudin; Suryono, Bambang; Sarosa, Pandit
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 2 (2015): Volume 2 Number 2 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i2.7209

Abstract

Telah dilakukan manajemen akhir hayat pada pada seorang perempuan usia 63 tahun, dengan diagnosis ROSC pascahenti jantung, edema serebri difus, asidosis metabolik, anemia, dan hipoalbumin yang dirawat di ICU. Keadaan akhir hayat ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda kematian batang otak dan kegagalan fungsional berupa kegagalan usaha nafas yang menetap pada pasien yang dapat menyebabkan kematian pada hari ke-3 perawatan. Dokter menjelaskan tentang kondisi akhir hayat pasien berupa tanda-tanda kematian batang otak, prognosis dan kemungkinan yang akan terjadi dan keputusan yang harus diambilkeluarga mengenai keadaan akhir hayat pada pasien. Keluarga memutuskan menerima kondisi pasien, meminta untuk meneruskan bantuan yang sekarang diberikan namun tidak melakukan pertolongan lanjut jika kondisi memburuk. Rohaniwan melakukan pendampingan berupa bimbingan rohani, konselingspiritual akhir hayat, bimbingan ibadah dan doa untuk pasien. Belum ada komunikasi yang intensif antara tim medis tentang kondisi akhir hayat pada pasien. Pendampingan dilakukan sampai saat kematian dengan mengundang keluarga, tidak melakukan resusitasi jantung paru sesuai permintaan keluarga dan menyatakan kematian pasien di hadapan keluarga.
Perbandingan antara Sniffing Position dan Simple Head Extension untuk Kemudahan Laringoskopi Pangroso, Agung Pangroso; Hadisajoga, Pandit Sarosa; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 1 (2015): Volume 3 Number 1 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i1.7225

Abstract

Latar belakang. Kesuksesan pada saat melakukan laringoskopi banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor, diantaranya adalah posisi. Posisi dari leher dan kepala merupakan bagian yang penting untuk visualisasi laring selama laringoskopi. Dengan pendekatan posisi yang benar, maka visualisasi glotis akan lebih baik sehingga mudah untuk dilakukan laringoskopi dan intubasi. Namun terkadang posisi tidak begitu diindahkan pada saat melakukan laringoskopi maupun intubasi sehingga visualisasi glotis yang dinilai dengan Cormack - Lehane tidak begitu baik. Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa sniffingposition dan simple head extension berkaitan dengan kesuksesan pada saat melakukan laringoskopi.Tujuan. Untuk mengevaluasi kemudahan visualisasi laring dengan direk laringoskopi antara posisi sniffing dan posisi simple head extension pada pasien operasi elektif yang dilakukan general anestesi. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian uji klinis acak terkontrol menyilang tersamar ganda. Ruang lingkup penelitian adalah pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di Gedung Bedah Sentral Terpadu RSUP Dr. Sardjito.Metode. Setelah mendapatkan persetujuan komite etik dan persetujuan tindakan medis penderita, 42 pasien (18-65 tahun, ASA I–II) yang menjalani pembedahan elektif dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok dengan sniffing position dan simple head extension dimana kemudian dilakukan silang perlakuan pada kedua kelompok tersebut (desain uji klinis menyilang). Keluaran primer adalah kemudahan laringoskopi berdasarkan derajat Cormack-Lehanne.Hasil. Dengan menggunakan skala derajat Cormack-Lehanne pada posisi sniffi ng, didapatkan 52 (94,5%) subyek dengan derajat I dan 3 (5,5%) subyek dengan derajat II, sedangkan pada posisi simple head extension, didapatkan derajat II menunjukkan 43 (78,2%) subyek, derajat III berjumlah 11 (20,0%) subyek dan derajat IV hanya 1 (1,8%) subyek. Hasil tersebut di atas dipertegas oleh hasil uji bivariat dengan Wilcoxon Signed Ranks Test yang menghasilkan nilai Z hitung sebesar –6,834 dengan p = 0,000. Ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifi kan dalam hal skoring Cormack-Lehanne antara teknik Sniffi ng Position dan Simple Head Extension.Kesimpulan. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa visualisasi laring dengan direk laringoskopi lebih mudah dilakukan pada posisi sniffi ng dibandingkan dengan posisi simple head extension pada pasien operasi elektif yang dilakukan general anestesi.
Kadar Albumin Darah sebagai Prediktor Risiko Kematian di ICU RSUP Dr Sardjito Tahun 2014 Perbatasari, Inggita Dyah; Suryono, Bambang; Uyun, Yusmein
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 2 (2016): Volume 3 Number 2 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i2.7238

Abstract

Latar Belakang: hipoalbuminemia sangat berhubungan dengan mortalitas. Hipoalbuminemia dapat disebabkan karena kondisi yang bervariasi dan sebagian besar kasus terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit baik karena penyakit akut maupun kronis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh kadar albumin darah terhadap mortalitas pasien di ICU RSUP Dr. Sardjito.Metode : sebanyak 420 pasien dewasa yang dirawat di ICU RSUP Dr Sardjito dan memenuhi kriteria inklusi dari Januari sampai Desember 2014 dilibatkan dalam penelitian retrospektif ini. Seluruh pasien dianalisis resiko kematiannya berdasarkan pemeriksaan albumin dan pemeriksaan penunjang yang lain dengan ujibivariat dan multivariat.Hasil: mortalitas di ICU adalah sebesar 26,2%. Karakteristik pasien yang hidup dan meninggal tidak berbeda bermakna pada jenis kelamin, tingkat pendidikan dan indeks massa tubuh, tetapi berbeda bermakna pada umur dan lama rawat di ICU. Dari pemeriksaan kadar albumin darah, pasien dengan albumin kurang dari 2,5 g/dl mengalami mortalitas 36% dengan uji chi-square p=0,008 dibandingkan albumin >3,5 g/dl, dengan nilai risk ratio 1,87. Dengan uji multivariat didapatkan bahwa albumin merupakan salah satu prediktor risiko kematian pasien di ICU dengan Odds Ratio 2,36 (1,06-5,26) (Indeks Kepercayaan/IK 95%). Selain itu, prediktor risiko yang lain adalah natrium, BUN, dan pH.Kesimpulan: kadar albumin darah <2,5 g/dl merupakan salah satu prediktor risiko kematian pasien sakit kritis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Sardjito dengan Odds Ratio 2,36 (1,06-5,26) (Indeks Kepercayaan/IK 95%).
Perbandingan Kadar Sevoflurane dan Nitrous Oxide (N2 O) selama Anestesi di Ruang-Ruang Operasi dengan Filter Hepa (High Efficiency Particulate Air) dan Tanpa Filter Hepa Husein, Akhmad Syaiful Fatah; Pratomo, Bhirowo Yudo; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 2 (2016): Volume 3 Number 2 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i2.7239

Abstract

Latar belakang. Semakin luasnya penggunaan sevofl urane sebagai zat anestesi inhalasi dan nitrous oksida (N2O) masih menjadi zat inhalasi umum karena memiliki efek anxiolitik, analgesi dan euforia. Sevofl urane dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan ginjal akibat akumulasi metabolit dalam urin, sementara N2O berpotensi menyebabkan defisiensi neurologis, anemia megaloblastik hingga pemanasan global, tetapi keduanya tidak diukur secara rutin. Kadar keduanya sangat dipengaruhi oleh adanya instalasi HEPA, sistem penghisapan (exhausted) di ruang operasi dan sirkuit napas mesin anestesi.Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Sevofl urane dan N2O di ruang-ruang operasi yang memiliki filter HEPA dibandingkan dengan ruang- ruang operasi tanpa filter HEPA yang berada di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Kadarnya dinilai keseuaiannya dengan standard National Institute of Occupational Safety and Health 1977 (NIOSH 1977).Metode. Dengan metode potong lintang, hasil penelitian diambil dari populasi seluruh ruang operasi yang digunakan operasi dengan anestesi umum lebih dari 2 jam dan menggunakan anestesi sevofl urane dan N2O selama operasi. Dari 18 ruang operasi didapatkan sampel sebanyak 7 ruang operasi dan diukur pada zona 4 dan zona 5 pada 30 menit sebelum anestesi dimulai, jam ke-2 anestesi, jam ke-4 anestesi dan30 menit setelah anestesi.Hasil. Hasilnya didapatkan rata-rata kenaikan kadar sevofl urane dan N2O di ruang-ruang operasi dengan sistem HEPA adalah 12,69 ppm (2,27 %) dan 17,53 ppm (2,70%). Kenaikan kadar sevofl urane dan N2O di ruang-ruang operasi tanpa fi lter HEPA adalah 168,46 ppm (3,45 %) dan 8,61 ppm (1,86 %).Kesimpulan. Ruang operasi yang menggunakan sistem fi lter HEPA kadarnya lebih rendah 65,5 % dibanding ruang operasi tanpa fi lter HEPA dan masih memenuhi standard NIOSH 1977.
Perbandingan Onset dan Kejadian Hipotensi antara Propofol LCT dengan Propofol MCT/LCT Ramayani, Julita; Suryono, Bambang; Sari, Djayanti
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 3 (2016): Volume 3 Number 3 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i3.7257

Abstract

Latar belakang: Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan saat ini. Propofol digunakan untuk induksi, rumatan anestesi dan sedasi baik di dalam maupun di luar kamar operasi. Induksi anestesi dengan propofol dikaitkan dengan beberapa efek samping yaitu hipotensi dan nyeri injeksi. Formula propofol awalnya digunakan dengan konsentrasi 10 mg/ml dalam emulsi lemak long-chain triglyceride (LCT). Sejak tahun 1995 telah muncul propofol dalam emulsi 50% MCT dan 50% LCT (propofol MCT/LCT) yang telah digunakan secara klinis dapat diterima dengan baik oleh pasien karena mengurangi nyeri injeksi sedang sampai berat akibat propofol. Hal ini disebabkan karena konsentrasi free propofol dalam propofol MCT/LCTlebih rendah dibandingkan propofol LCT. Jumlah fraksi obat bebas dalam plasma dapat menentukan potensi serta onset obat, semakin banyak fraksi obat bebas dalam plasma maka potensi suatu obat akan lebih besar dan onsetnya akan lebih cepat.Tujuan penelitian: Untuk mengetahui onset dan kejadian hipotensi antara propofol LCT dengan propofol MCT/LCT.Metode penelitian: Rancangan penelitian yang digunakan adalah acak buta berganda (double blind randomized controlled trial/RCT). Subyek penelitian berjumlah 66 orang yang terbagi menjadi dua kelompokyaitu kelompok A (kelompok yang mendapatkan propofol LCT 2 mg/kgbb) dan kelompok B (kelompok yang mendapatkan Propofol MCT/LCT 2 mg/kgbb) dengan masing-masing subyek sebanyak 33 orang. Kriteria inklusi antara lain pria dan wanita usia 18-60 tahun, ASA I dan II, prosedur operasi elektif selain bedah saraf, bedah jantung dan seksio sesaria, dan BMI >20 dan < 30 kg/m2, sedangkan kriteria eksklusi yaitu pasien dengan gangguan kardiovaskuler seperti penyakit jantung, hipertensi, pasien dengan gangguan endokrin seperti DM, hipertiroid, hipotiroid, gangguan fungsi ginjal, pasien yang menggunakan obat-obatan antiaritmia, vasopresor atau vasodilator dan riwayat alergi propofol. Onset dicatat sejak mulai propofol diinjeksikan sampai refleks bulu mata hilang dan genggaman tangan terbuka. Tekanan darah diukur pada saat pasien masuk kamar operasi dan 1 menit setelah induksi.Hasil penelitian: Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada onset propofol antara kelompok A dan kelompok B dengan penilaian refleks bulu mata hilang (p = 0,339) maupun genggaman tangan terbuka (p = 0,783). Hasil pemeriksaan tekanan darah sistolik dan diastolik pada saat pasien masuk ke kamar operasi dan 1 menit setelah induksi pada kedua kelompok penelitian tidak didapatkan perbedaan yang signifikan (p > 0,05).Simpulan: Propofol LCT dengan jumlah free drug yang lebih banyak, tidak mempunyai onset yang lebih cepat dan tidak mempunyai efek hipotensi lebih besar dibandingkan dengan propofol MCT/LCT.
Prediksi Kematian Berdasarkan Saps II di ICU RS Dr. Sardjito Mustikawati, Siti Rakhmah; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 4 No 1 (2016): Volume 4 Number 1 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v4i1.7274

Abstract

Latar belakang : Penggunaan sistem skor penting memprediksi risiko mortalitas pada pasien sakit kritis dalam pengobatan modern. ICU RS Sardjito menggunakan APACHE II. Sistem skor APACHE II mengandung sejumlah kelemahan karena adanya bias seleksi, lead time bias dan sulitnya memilih diagnosis utama yang menyebabkan pasien masuk ICU. Simplified Acute Physiology Score (SAPS) didesain untuk mengatasi problem (menyederhanakan) Acute Physiology Score (APS) pada sistem APACHE. Performa SAPS disimpulkan sama baiknya dengan APS dari sistem APACHE tapi SAPS lebih berguna karena sifatnya yang lebih mudah diterapkan. SAPS juga dapat diaplikasikan pada suatu rentang patologi yang lebar. Pemilihan variabel fisiologik ini dilakukan dengan uji statistik, bukan dari konsensus klinisi sehingga meniadakan bias subyektif.Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin meneliti berapakah prediksi kematian berdasarkan SAPS II pada pasien yang dirawat di ICU RS Sardjito.Tujuan : Mengetahui nilai PMR (Predicted Mortality Rate) menurut SAPS II pada pasien yang dirawat di ICU RS Sardjito.Metode : Studi kohort observasional retrospektif. Subyek : 115 pasien yang menjalani rawat inap di ICU RS Sardjito hingga Maret 2012. Pasien yang dirawat di ICU RS Sardjito dengan data lengkap.Hasil : Mortalitas aktual dalam penelitian ini adalah 44 (38,3%). Sedangkan 71 (61,7%) pasien dengan keluaran hidup. Pasien yang hidup memiliki rerata dari skor SAPS sebesar 33,14 (14,363) dan pasien meninggal memiliki rerata lebih besar 51,27 (17,124). Dilihat dari nilai PMR dari sistem skor SAPS II pada pasien yang hidup memiliki rerata 28,34 (27,256) dan rerata pada pasien meninggal 33,52 (26,754). Ada perbedaan yang bermakna antara penggunaan terapi vasoaktif sebelum masuk ICU dengan keluaran ICU (p = 0,024) . Diskriminasi skor SAPS lebih baik daripada PMR (PMR : ROC = 0,574. Skor SAPS : ROC = 0,795). Uji kappa hasilnya buruk (PMR : κ = 0,013. Skor SAPS : κ = 0,447). Nilai SMR pada penelitan ini 1,45.Kesimpulan : Nilai PMR dari sistem skor SAPS II pada pasien yang hidup memiliki rerata 28,34 (27,256) dan rerata pada meninggal 33,52 (26,754).
Epidural Labour Anagesia (ELA) Mahisa, Orizanov; Uyun, Yusmein; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 4 No 1 (2016): Volume 4 Number 1 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v4i1.7278

Abstract

Sebagian besar wanita yang melahirkan akan merasakan nyeri yang sangat hebat, hampir sama dengan derajat nyeri regional yang kompleks. Meskipun nyeri hebat tidak mengancam nyawa wanita-sehat yang melahirkan, nyeri dapat memberikan dampak neurofisiologis. Meningkatnya penggunaan neuraxial analgesia untuk mengurangi rasa nyeri selama persalinan diikuti oleh perkembangan teknik aman dalam neuraxial analgesia. Epidural Labour Analgesia merupakan teknik analgesia yang didasarkan pada epidural anestesi. Analgesi yang optimal untuk persalinan dibutuhkan blok neural setinggi T10-L1 untuk kala I dan T10-S4 untuk kala II. Kala I persalinan tidak diperpanjang oleh epidural analgesia yang dapat menghindarkan kompresi aortocaval.
Perbandingan Skor Apfel dan Skor Sinclair sebagai Prediktor PONV (Post Operative Nausea and Vomiting) pada Pasien Dewasa dengan Anestesi Umum di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Bagir, Muhamad; Sari, Djayanti; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 4 No 2 (2017): Volume 4 Number 2 (2017)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v4i2.7280

Abstract

Latar belakang : Mual dan muntah pascaoperatif (Post Operative Nausea and Vomiting/ PONV) adalah salah satu efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi umum, terjadi pada 24 jam pertama pascaoperatif dan terjadi sebanyak 30-70% pada pasien rawat inap. PONV sangat dihindari oleh sebagian besar pasien dan anestesiologis. Belakangan ini skor risiko untuk prediksi PONV telah digunakan sebagai cara mengklasifikasi pasien sesuai dengan prediksi risiko dan memberikan profilaksis sesuai dengan klasifikasi ini. Untuk tujuan klinis sehari-hari diperlukan skor risiko sederhana, mudah dilakukan dan menunjukkan korelasi antara prediksi dengan kejadian PONV. Dalam praktek klinik dikenal berbagai skor risiko untuk prediksi PONV seperti : skor Apfel, skor Koivuranta, skor Sinclair, skor Palazzo, skor Gan, dan skor Scholzyang bervariasi akurasinya.Tujuan penelitian : Untuk melakukan perbandingan antara skor Apfel dan skor Sinclair dalam memprediksi kejadian PONV pada pasien dewasa dengan anestesi umum di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sehingga didapatkan skoring yang lebih akurat dan dapat diaplikasikan sebagai prediktor PONV.Metode penelitian : Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kohort dengan fokus padakemampuan diskriminasi dan kalibrasi terhadap 93 pasien yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pasien terdiri dari laki-laki atau perempuan, usia 18-60 tahun, status fisik ASA I dan II, prosedur operasi : THT, mata, laparoskopi ,abdomen, ginekologi, mastektomi dan urologi.Hasil penelitian : Skor Apfel mempunyai sensitifitas 67,9%, spesifisitas 53,3% serta memiliki kualitasmdiskriminasi yang lemah dengan nilai AUC 0,636 (IK 95%: 0,488-0,784). Skor Sinclair mempunyai sensitifitas 96,1%, spesifisitas 46,6% serta memiliki kualitas diskriminasi yang sedang dengan nilai AUC 0,726 (IK 95%: 0,562-0,890). Kaliberasi dengan uji Hosmer and Lemeshow test pada skor Apfel dan skor Sinclair didapatkan nilai P<0,05.Kesimpulan : Skor Sinclair lebih akurat dibandingkan skor Apfel dalam memprediksi terjadinya PONV pada pasien dewasa dengan anestesi umum di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Co-Authors Ade Ayu Sukmawati, Ade Ayu Afrianto, Kus Afrisa Adhita Putri, Afrisa Adhita Agus Wahyudi Akhmad Riduwan Akhsaniati, Novi Dwi Anang Didik Waluyo, Anang Didik Apriliani Issana Putri, Apriliani Issana Ardi Pramono Arifin, Sugeng Moh Ayu Putri Mustika Sari, Ayu Putri Mustika Azka Yahdiyani, Azka Bagir, Muhamad Baskoro, Ronggo Basuki, Wahyu Sunaryo Bhirowo Yudo Pratomo Binti Amaliyah Mufida, Binti Amaliyah Calcarina Fitriani Retno Wisudarti Christantie Effendy Christanto, Sandhi Dibrata, Himendra Warga Difa, Rivenski Atwinda Djayanti Sari Djoko Adi Prasetio, Djoko Adi DWI RAHMAWATI Elita Rachmawati, Elita Endro Basuki FAHMI RIZALDI, FAHMI Fajarani, Septanti Faridah Faridah Fildzah Syahmina, Fildzah Firdaus, Riyadh Fithrah, Bona Akhmad FRW, Calcarina Hermanto, Suwardi B. Heryanti, Chrisna Dwi Hidayat, Nopian Husein, Akhmad Syaiful Fatah Ichrom, Mochamad Ika Miftahul Jannah, Ika Miftahul Iskandar, Bintang Kusnardani Itla, Itla Lalenoh, Diana Christine Lestari, Nurdika Dewi Luluk Atika Rahmawati, Luluk Atika Mahisa, Orizanov Mardiyah Anugraini, Mardiyah Mildawati, Titik Mulyono Mustikawati, Siti Rakhmah Nadiyah, Farah Nofa Prima Amalia, Nofa Prima Novanianto Rendra K.P., Novanianto Nur, Rifdhani Fakhrudin Nurdiansyah, Elba Nurul Isvatul Muvidha, Nurul Isvatul Nuryawan, Iwan Osman Sianipar Pangroso, Agung Pangroso Perbatasari, Inggita Dyah Pradipta, Dedik Norman Pratiwi, Argitania Diah Putri, Rahmita Ariami R. Rendra Okta Pratama Putra, R. Rendra Okta Pratama Rahmatisa, Dimas Rahmatisa, Dimas Rahmawati, Selvia Eka Ramayani, Julita Ratih Kumala Fajar Apsari Ratna Lutfiani Putri, Ratna Lutfiani Rudita, Muhammad RW, Calcarina Fitriani Saleh, Siti Chasnak Sansoethan, Dithya Kusuma Sarosa, Pandit SATRIYAS ILYAS Septica, Rafidya Indah Silalahi, Antonius Sri Rahardjo Sudadi Sudadi Sudjito, M. H Sulistyowati Sulistyowati Sutjipto Ngumar, Sutjipto Suyasa, Agus Baratha Tatang Bisri Titin Rahayu, Titin Wahidahwati Wahidahwati Wariyanti, Wariyanti Widowati, Sari Ayu Widyaningrum, Chintya Wulandari, Novi Eka Yunita Kurniawati, Yunita Yusmein Uyun Zata Isma Rizki Amalina, Zata Isma Rizki