M. Rizki Yudha Prawira
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Published : 18 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

PENUNDAAN BERLARUT (UNDUE DELAY) PENANGANAN PERKARA DUGAAN TINDAK PIDANA PENGHALANG-HALANGAN DAN KEKERASAN KEPADA KERJA PERS: SEBUAH TINJAUAN KRITIS M. Rizki Yudha Prawira, M. Rizki Yudha Prawira
Jurnal Media Justitia Nusantara Vol 14 No 2 (2024): September 2024
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Guaranteeing rights to press freedom does not only lie in the existence of laws and regulations to protect it and institutions that specifically implement it, but also in certainty in law enforcement. One of the components of press protection is legal certainty in the investigation and/or inquiry process by the Indonesian National Police (Polri). One of the problems in the law enforcement process is protracted delays, also known as undue delays. According to the Ombudsman Regulation No. 26 of 2017, Article 11 regulates that one form of maladministration is protracted delays where services are provided beyond the time quality standards of the service promise. Based on a report by the Legal Aid Center for the Press, from 2020 to 2022, there were nine cases of suspected criminal acts against the Press that were suspected of undue delay or protracted processes. Based on the report and the pattern of these cases, five were physical attacks where the perpetrators were suspected to have come from law enforcement officers themselves, and the other four were cyber attacks. The research aims to find the cause of this problem, which lies in the provisions of the relevant laws and regulations and at the practical implementation level.
Unheard Voices: Analyzing Non-Compliance with the FPIC Principle in Protecting Indigenous Peoples’ Rights in Indonesia Remal Agungta Ketaren, Saher; Prawira, M. Rizki Yudha
Law Development Journal Vol 6, No 4 (2024): December 2024
Publisher : Universitas Islam Sultan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30659/ldj.6.4.478-502

Abstract

This study aims to investigate the implementation of the Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC) principle as a measure to protect the rights of indigenous communities in Indonesia, by analyzing Decision No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. In Indonesia, indigenous communities still seem to be overlooked, as their right to make decisions about projects within their traditional territories remains unacknowledged. This situation calls for urgent discussion, as violations of indigenous rights continue to occur, despite such rights are protected by the Constitution of the Republic of Indonesia. This research employs a normative legal approach. The findings, derived from Decision No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR, indicate that the Defendant proceeded to issue the disputed object without facilitating any discussion among the government, company, and the indigenous community. Furthermore, the Second Intervening Defendant failed to include the Plaintiff in the Environmental Impact Assessment (Amdal) process. Additionally, the panel of judges issued a decision that did not adhere to the Guidelines for Adjudicating Environmental Cases. These actions collectively contravene the principle of Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), which is mandated by both international and national legal frameworks, underscoring the importance of obtaining consent and ensuring participation from indigenous communities.
POTENSI OVERKRIMINALISASI PADA PENGATURAN TINDAK PIDANA KOHABITASI DALAM KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PIDANA: PERSPEKTIF FAIR TRIAL Prawira, M. Rizki Yudha
Jurnal Hukum Statuta Vol 4 No 1 (2024): Volume 4, Nomor 1, Desember 2024
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/jhs.v4i1.9530

Abstract

Tindak pidana kohabitasi diatur dalam Pasal 412 KUHP yang melarang setiap individu untuk hidup bersama sebagaimana suami istri, kendatipun hubungan tersebut dilakukan di luar perkawinan. Adapun ancaman bagi setiap orang yang terbukti melanggar ketentuan ini adalah sanksi pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (sepuluh juta rupiah). Pengaturan mengenai tindak pidana kohabitasi telah menimbulkan berbagai kekhawatiran, khususnya mengenai potensi kriminalisasi yang berlebihan atau dikenal dengan istilah overkriminalisasi. Menggunakan hukum pidana untuk mengatasi sebuah permasalahan haruslah menjadi upaya terakhir, sebagaimana diartikulasikan dalam prinsip ultima ratio. Douglas Husak telah memperingatkan bahaya overkriminalisasi, dimana negara diberikan wewenang yang terlalu luas untuk mengontrol individu di wilayah yurisdiksinya dengan menggunakan hukum pidana. Kriminalisasi suatu perbuatan harus mempertimbangkan pembatasan internal dan eksternal. Pembatasan internal berfokus pada tingkat kerusakan, kerugian dan niat jahat yang diakibatkan oleh sebuah tindakan, yang menjamin klasifikasinya sebagai tindak pidana. Selanjutnya, pembatasan eksternal juga menjadi faktor lainnya yaitu fokusnya pada kepentingan negara dan bagaimana kriminalisasi suatu tindakan dapat berkontribusi terhadap tujuan tersebut. Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai potensi terjadinya overkriminalisasi akibat dimasukkannya kohabitasi ke dalam KUHP, yang dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil. Di balik tujuan kriminalisasi tindakan kohabitasi dimana pendekatannya merujuk pada moral dan norma umum, diperlukan sebuah penelitian untuk mengkritisi pandangan tersebut sebagai bentuk sumbangan pemikiran baru khususnya kepada perkembangan hukum pidana di Indonesia.
Anti-Bullying Education, Discipline Education, and Responsibilities at SDN Rawa Barat 05 AM: Edukasi Anti-Bullying, Pendidikan Disiplin, dan Tanggung Jawab Pada SDN Rawa Barat 05 Pagi Aji Lukman Ibrahim*; Handar Subhandi Bachtiar; M. Rizki Yudha Prawira; Hilda Novyana; Anni Alvionita Simanjuntak; Al Fath; Nada Syifa Nurulhuda; Virna Amalia Nur Permata; Aisyah Nurhalizah; Rafif Sani; Riyanto Riyanto
Dinamisia : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 8 No. 4 (2024): Dinamisia: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Lancang Kuning

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31849/dinamisia.v8i4.20062

Abstract

Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pencegahan perundungan, sikap disiplin, dan tanggung jawab diperlukan adanya pemberian edukasi yang tepat dan terarah kepada peserta didik. Edukasi dengan cara edukasi menjadi salah satu langkah untuk mencegah adanya kasus perundungan khususnya di SDN Rawa Barat 05 Pagi, edukasi ini melibatkan 30 peserta didik. Pengabdian ini menggunakan metode ceramah, edukasi, dan diskusi yang berjudul Edukasi Sadar Hukum Terhadap Bullying Serta Pendidikan Disiplin dan Tanggung Jawab. Target dari pengabdian ini adalah siswa Sekolah Dasar yang duduk di kelas 4 dan kelas 5. Adapun tujuan dari pengabdian ini adalah untuk membentuk sikap disiplin serta tanggung jawab agar tindakan perundungan di sekolah diminimalisasi. Peningkatan pemahaman peserta didik dapat dilihat dari hasil posttest yang memperlihatkan peserta didik dapat memahami materi yang dibawakan.
Regulation Act of Torture in Criminal Code: Opportunity and Challenge to Improve Human Rights Situation in Indonesia M. Rizki Yudha Prawira
JUSTISI Vol. 11 No. 1 (2025): JUSTISI
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33506/js.v11i1.3653

Abstract

This research aims to analyze the opportunities and challenges with regulating the criminal act of torture in Law No. 1 of 2023 concerning the Criminal Code (KUHP). The provisions regarding the criminal act of torture in the Criminal Code certainly open up opportunities in efforts to eliminate the practice of torture in Indonesia. The provisions of Article 530 of the current Criminal Code and the explanatory section stipulate that this article directly derives from the provisions in the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. On the other hand, all efforts and mechanisms to eliminate the practice of torture in Indonesia still require many steps to be taken. This research was conducted using a normative juridical method with a statutory approach. This research also provides an explanation of several gaps from previous similar studies by explaining several novel analyses, such as: (1) the application of sanctions to perpetrators must be adjusted to the provisions of international instruments, (2) revision of various articles in the Criminal Procedure Code which has the potential to perpetuate the practice of torture, and (3) the urgency to ratify the Optional Protocol to the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (OPCAT). The conclusion of this research is an explanation that the regulation of criminal acts of torture in the provisions of the new Criminal Code needs to be appreciated, but of course it is not enough. The state must have high commitment and political will to revise the Criminal Procedure Code openly and involve the community, ratify OPCAT, implement national legal provisions, and ensure law enforcement against perpetrators.
Gerakan Pro Demokrasi Mengkritisi Rezim Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha Dalam Kerangka Hak Asasi Manusia Wibowo, Hanifah Fairuz; Prawira, M. Rizki Yudha
Equality Before The Law Vol 4 No 2 (2024): EQUALITY BEFORE THE LAW
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36232/equalitybeforethelaw.v4i2.450

Abstract

Masa pemerintahan pada Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dirasa banyak pihak membuat kekuatan militer mendominasi Thailand. Publik merasa kebebasan sipil semakin tergerus dengan adanya ketentuan Lese Majeste yang mengatur mengenai tindak pidana untuk melindungi raja, ratu, pewaris dan orang yang diberikan kekuasaan terkait berpotensi disalahgunakan dan dapat mengkriminalisasi suara kritis. Ketidakjelasan batasan mengenai pencemaran nama baik dan penghinaan yang ditujukan kepada pihak kerajaan dan penguasa dianggap kerap kali disalahgunakan. Selain itu juga situasi tergerusnya ruang sipil juga terlihat dengan pembubaran partai politik Future Forward Party sebagai partai oposisi yang banyak dicurigai terjadi kesewenang – wenangan dalam prosesnya. Situasi tersebut memunculkan gerakan resistensi dari kelompok pro demokrasi yang banyak datang dari kalangan muda. Gerakan resistensi tersebut merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam berbagai instrumen HAM internasional serta konstitusi hingga ketentuan hukum nasional Thailand. Oleh karena itu negara harus mengupayakan hal terbaik untuk memastikan dijaminnya HAM dan harus menegakan hukum bagi para pelaku walaupun datang dari pemerintahan berkuasa.
Penundaan Berlarut (Undue Delay) Penanganan Perkara Dugaan Tindak Pidana Penghalang-Halangan Dan Kekerasan Kepada Kerja Pers: Sebuah Tinjauan Kritis: Penundaan Berlarut (Undue Delay) Penanganan Perkara Dugaan Tindak Pidana Penghalang-Halangan Dan Kekerasan Kepada Kerja Pers: Sebuah Tinjauan Kritis M. Rizki Yudha Prawira
Jurnal Media Justitia Nusantara Vol 15 No 2 (2025): September 2025
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/mjn.v15i2.3263

Abstract

Jaminan kebebasan pers tidak hanya terletak pada eksistensi dari peraturan perundang – undangan untuk melindunginya dan adanya lembaga secara spesifik mengimplementasikannya, namun juga kepastian pada penegakan hukumnya. Komponen perlindungan pers sendiri salah satunya berada pada kepastian hukum pada proses penyelidikan dan/atau penyidikan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Salah satu permasalahan pada proses penegakan hukum adalah penundaan berlarut atau dikenal dengan istilah undue delay. Menurut Peraturan Ombudsman RI No. 26 Tahun 2017 Pasal 11 mengatur salah satu bentuk dari maladministrasi adalah penundaan berlarut dimana layanan diberikan melebihi baku mutu waktu dari janji layanan. Berdasarkan laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dalam kurun waktu 2020 hingga 2022 terdapat sembilan kasus dugaan tindak pidana kepada pers yang diduga undue delay atau berlarut proses penyelesaiannya. Jika dibaca dari polanya pada kasus – kasus tersebut, 5 kasus bentuknya serangan fisik dimana pelakunya diduga datang dari oknum aparat penegak hukum sendiri dan 4 kasus lainnya adalah serangan siber/digital. Penelitian ini bertujuan untuk mencari penyebab dari permasalahan ini yang mana terletak pada ketentuan peraturan perundang – undangan terkait dan juga pada tataran praktik pelaksanaannya
Diskriminasi Perempuan Korban Konflik Etnis Di Manipur India Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Hannafiah, Mumtaz; Prawira, M. Rizki Yudha
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 7 No. 2 (2024): AUGUST
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v7i2.9170

Abstract

This study aims to analyze the forms of discrimination experienced by Kuki women during the ethnic conflict in Manipur, India, in 2023, and to consider the state's accountability in addressing these issues. The conflict created an environment rife with violence and human rights violations, particularly against Kuki women. There is an urgent need for a deep understanding of the impact of this conflict to demand a swift and effective response to these issues. The research employs a normative legal methodology with a legislative approach and case studies, using international legal instruments as primary sources. The main findings highlight various forms of discrimination and human rights violations, emphasizing the importance of law enforcement and the protection of individual rights. The study also encourages concrete steps to safeguard individual rights and prevent future violations. In conclusion, this research underscores the necessity for a more effective and responsive government response from India in addressing discrimination and human rights violations, particularly against Kuki women in Manipur.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan etnis Kuki selama konflik etnis di Manipur, India, pada tahun 2023, serta mempertimbangkan pertanggungjawaban negara dalam menangani permasalahan ini. Konflik tersebut menciptakan lingkungan penuh kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan etnis Kuki. Dengan urgensi perlunya pemahaman mendalam tentang dampak konflik tersebut untuk menuntut respon yang cepat dan efektif dalam menangani masalah. Metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus digunakan, dengan instrumen hukum internasional sebagai sumber primer. Temuan utama menunjukan berbagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, dengan pentingnya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak-hak individu, serta mendorong langkah-langkah konkret untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah terjadinya pelanggaran di masa depan. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menekankan perlu adanya respon yang lebih efektif dan responsif dari pemerintah India dalam menanggapi diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan etnis Kuki di Manipur.