Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Unheard Voices: Analyzing Non-Compliance with the FPIC Principle in Protecting Indigenous Peoples’ Rights in Indonesia Remal Agungta Ketaren, Saher; Prawira, M. Rizki Yudha
Law Development Journal Vol 6, No 4 (2024): December 2024
Publisher : Universitas Islam Sultan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30659/ldj.6.4.478-502

Abstract

This study aims to investigate the implementation of the Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC) principle as a measure to protect the rights of indigenous communities in Indonesia, by analyzing Decision No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. In Indonesia, indigenous communities still seem to be overlooked, as their right to make decisions about projects within their traditional territories remains unacknowledged. This situation calls for urgent discussion, as violations of indigenous rights continue to occur, despite such rights are protected by the Constitution of the Republic of Indonesia. This research employs a normative legal approach. The findings, derived from Decision No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR, indicate that the Defendant proceeded to issue the disputed object without facilitating any discussion among the government, company, and the indigenous community. Furthermore, the Second Intervening Defendant failed to include the Plaintiff in the Environmental Impact Assessment (Amdal) process. Additionally, the panel of judges issued a decision that did not adhere to the Guidelines for Adjudicating Environmental Cases. These actions collectively contravene the principle of Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), which is mandated by both international and national legal frameworks, underscoring the importance of obtaining consent and ensuring participation from indigenous communities.
POTENSI OVERKRIMINALISASI PADA PENGATURAN TINDAK PIDANA KOHABITASI DALAM KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PIDANA: PERSPEKTIF FAIR TRIAL Prawira, M. Rizki Yudha
Jurnal Hukum Statuta Vol 4 No 1 (2024): Volume 4, Nomor 1, Desember 2024
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/jhs.v4i1.9530

Abstract

Tindak pidana kohabitasi diatur dalam Pasal 412 KUHP yang melarang setiap individu untuk hidup bersama sebagaimana suami istri, kendatipun hubungan tersebut dilakukan di luar perkawinan. Adapun ancaman bagi setiap orang yang terbukti melanggar ketentuan ini adalah sanksi pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (sepuluh juta rupiah). Pengaturan mengenai tindak pidana kohabitasi telah menimbulkan berbagai kekhawatiran, khususnya mengenai potensi kriminalisasi yang berlebihan atau dikenal dengan istilah overkriminalisasi. Menggunakan hukum pidana untuk mengatasi sebuah permasalahan haruslah menjadi upaya terakhir, sebagaimana diartikulasikan dalam prinsip ultima ratio. Douglas Husak telah memperingatkan bahaya overkriminalisasi, dimana negara diberikan wewenang yang terlalu luas untuk mengontrol individu di wilayah yurisdiksinya dengan menggunakan hukum pidana. Kriminalisasi suatu perbuatan harus mempertimbangkan pembatasan internal dan eksternal. Pembatasan internal berfokus pada tingkat kerusakan, kerugian dan niat jahat yang diakibatkan oleh sebuah tindakan, yang menjamin klasifikasinya sebagai tindak pidana. Selanjutnya, pembatasan eksternal juga menjadi faktor lainnya yaitu fokusnya pada kepentingan negara dan bagaimana kriminalisasi suatu tindakan dapat berkontribusi terhadap tujuan tersebut. Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai potensi terjadinya overkriminalisasi akibat dimasukkannya kohabitasi ke dalam KUHP, yang dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil. Di balik tujuan kriminalisasi tindakan kohabitasi dimana pendekatannya merujuk pada moral dan norma umum, diperlukan sebuah penelitian untuk mengkritisi pandangan tersebut sebagai bentuk sumbangan pemikiran baru khususnya kepada perkembangan hukum pidana di Indonesia.
Gerakan Pro Demokrasi Mengkritisi Rezim Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha Dalam Kerangka Hak Asasi Manusia Wibowo, Hanifah Fairuz; Prawira, M. Rizki Yudha
Equality Before The Law Vol 4 No 2 (2024): EQUALITY BEFORE THE LAW
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36232/equalitybeforethelaw.v4i2.450

Abstract

Masa pemerintahan pada Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dirasa banyak pihak membuat kekuatan militer mendominasi Thailand. Publik merasa kebebasan sipil semakin tergerus dengan adanya ketentuan Lese Majeste yang mengatur mengenai tindak pidana untuk melindungi raja, ratu, pewaris dan orang yang diberikan kekuasaan terkait berpotensi disalahgunakan dan dapat mengkriminalisasi suara kritis. Ketidakjelasan batasan mengenai pencemaran nama baik dan penghinaan yang ditujukan kepada pihak kerajaan dan penguasa dianggap kerap kali disalahgunakan. Selain itu juga situasi tergerusnya ruang sipil juga terlihat dengan pembubaran partai politik Future Forward Party sebagai partai oposisi yang banyak dicurigai terjadi kesewenang – wenangan dalam prosesnya. Situasi tersebut memunculkan gerakan resistensi dari kelompok pro demokrasi yang banyak datang dari kalangan muda. Gerakan resistensi tersebut merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam berbagai instrumen HAM internasional serta konstitusi hingga ketentuan hukum nasional Thailand. Oleh karena itu negara harus mengupayakan hal terbaik untuk memastikan dijaminnya HAM dan harus menegakan hukum bagi para pelaku walaupun datang dari pemerintahan berkuasa.
Penundaan Berlarut (Undue Delay) Penanganan Perkara Dugaan Tindak Pidana Penghalang-Halangan Dan Kekerasan Kepada Kerja Pers: Sebuah Tinjauan Kritis: Penundaan Berlarut (Undue Delay) Penanganan Perkara Dugaan Tindak Pidana Penghalang-Halangan Dan Kekerasan Kepada Kerja Pers: Sebuah Tinjauan Kritis M. Rizki Yudha Prawira
Jurnal Media Justitia Nusantara Vol 15 No 2 (2025): September 2025
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/mjn.v15i2.3263

Abstract

Jaminan kebebasan pers tidak hanya terletak pada eksistensi dari peraturan perundang – undangan untuk melindunginya dan adanya lembaga secara spesifik mengimplementasikannya, namun juga kepastian pada penegakan hukumnya. Komponen perlindungan pers sendiri salah satunya berada pada kepastian hukum pada proses penyelidikan dan/atau penyidikan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Salah satu permasalahan pada proses penegakan hukum adalah penundaan berlarut atau dikenal dengan istilah undue delay. Menurut Peraturan Ombudsman RI No. 26 Tahun 2017 Pasal 11 mengatur salah satu bentuk dari maladministrasi adalah penundaan berlarut dimana layanan diberikan melebihi baku mutu waktu dari janji layanan. Berdasarkan laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dalam kurun waktu 2020 hingga 2022 terdapat sembilan kasus dugaan tindak pidana kepada pers yang diduga undue delay atau berlarut proses penyelesaiannya. Jika dibaca dari polanya pada kasus – kasus tersebut, 5 kasus bentuknya serangan fisik dimana pelakunya diduga datang dari oknum aparat penegak hukum sendiri dan 4 kasus lainnya adalah serangan siber/digital. Penelitian ini bertujuan untuk mencari penyebab dari permasalahan ini yang mana terletak pada ketentuan peraturan perundang – undangan terkait dan juga pada tataran praktik pelaksanaannya
Diskriminasi Perempuan Korban Konflik Etnis Di Manipur India Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Hannafiah, Mumtaz; Prawira, M. Rizki Yudha
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 7 No. 2 (2024): AUGUST
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v7i2.9170

Abstract

This study aims to analyze the forms of discrimination experienced by Kuki women during the ethnic conflict in Manipur, India, in 2023, and to consider the state's accountability in addressing these issues. The conflict created an environment rife with violence and human rights violations, particularly against Kuki women. There is an urgent need for a deep understanding of the impact of this conflict to demand a swift and effective response to these issues. The research employs a normative legal methodology with a legislative approach and case studies, using international legal instruments as primary sources. The main findings highlight various forms of discrimination and human rights violations, emphasizing the importance of law enforcement and the protection of individual rights. The study also encourages concrete steps to safeguard individual rights and prevent future violations. In conclusion, this research underscores the necessity for a more effective and responsive government response from India in addressing discrimination and human rights violations, particularly against Kuki women in Manipur.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan etnis Kuki selama konflik etnis di Manipur, India, pada tahun 2023, serta mempertimbangkan pertanggungjawaban negara dalam menangani permasalahan ini. Konflik tersebut menciptakan lingkungan penuh kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan etnis Kuki. Dengan urgensi perlunya pemahaman mendalam tentang dampak konflik tersebut untuk menuntut respon yang cepat dan efektif dalam menangani masalah. Metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus digunakan, dengan instrumen hukum internasional sebagai sumber primer. Temuan utama menunjukan berbagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, dengan pentingnya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak-hak individu, serta mendorong langkah-langkah konkret untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah terjadinya pelanggaran di masa depan. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menekankan perlu adanya respon yang lebih efektif dan responsif dari pemerintah India dalam menanggapi diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan etnis Kuki di Manipur.
Exploitation of Thai Women in Georgia In Vitro Fertilization Practices Hanifah, Nida Syahla; Prawira, Muhammad Rizki Yudha
Rechtsidee Vol. 13 No. 2 (2025): December
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21070/jihr.v13i2.1081

Abstract

General Background: The global rise in assisted reproductive technologies, particularly in vitro fertilization (IVF), has created a transnational market often intertwined with ethical and human rights concerns. Specific Background: In Georgia, weak regulatory frameworks have facilitated exploitative IVF practices involving Thai women, revealing patterns of reproductive trafficking masked as legitimate medical services. Knowledge Gap: While both Thailand and Georgia have ratified international conventions such as CEDAW and the Palermo Protocol, the practical enforcement of these instruments in cross-border IVF contexts remains underexplored. Aims: This study aims to analyze the exploitation of Thai egg donors in Georgia through a human rights lens, identifying legal shortcomings and proposing measures aligned with international norms. Results: Findings indicate that the exploitation constitutes human trafficking under the Palermo Protocol, highlighting a regulatory vacuum that prioritizes commercial profit over women’s bodily autonomy and informed consent. Novelty: The research bridges reproductive ethics, international human rights law, and feminist legal theory to expose how IVF commercialization enables structural gender-based exploitation. Implications: The study underscores the necessity for harmonized transnational regulation, implementation of Mutual Legal Assistance (MLA) frameworks, and adoption of global ethical standards to ensure reproductive justice and protect women from exploitation in assisted reproductive industries. Highlights: Highlights the exploitation of Thai women in Georgia’s IVF industry as a form of human trafficking. Reveals the regulatory vacuum and weak enforcement of international human rights standards. Proposes cross-border legal harmonization through Mutual Legal Assistance (MLA) to protect women’s rights. Keywords: In Vitro Fertilization, Human Trafficking, Egg Donation, Reproductive Rights, Legal Regulation
Prisoners of Conscience Cases in Indonesia: The Rights of Fair Trial Perspective Prawira, M. Rizki Yudha
UNISKA LAW REVIEW Vol 5 No 2 (2024): Uniska Law Review
Publisher : Faculty of Law, Kadiri Islamic University (UNISKA) Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/ulr.v5i2.6870

Abstract

This study examines cases of prisoners of conscience (PoC) in Indonesia through the lens of the right to a fair trial. The patterns observed in these PoC cases include arbitrary arrest, imprisonment, torture, exile, and even enforced disappearance. Various examples illustrate these issues. According to data gathered by Amnesty International Indonesia, there are numerous instances related to PoC. Between August 2019 and April 2024, there were 128 prisoners of conscience (PoC) related to 82 cases in Indonesia. The same source indicates that many of these prisoners were incarcerated solely for their peaceful expressions. They have been charged under various laws, including the Information and Electronic Transactions Law, as well as laws concerning criminal blasphemy, treason, and pornography. This research uses normative juridical methods, specifically focusing on library legal research to examine secondary data and relevant legal materials. The approach adopted in this study is a statutory approach, which entails referencing legal issues or problems specifically pertaining to cases involving prisoners of conscience. This study also examines cases of PoC in Indonesia from the perspective of the right to a fair trial. It highlights the numerous violations of fair trial rights evident in the patterns of arrests leading to imprisonment in these cases.
Balancing National Security And Open Investment: Comparative Study On America’s Foreign Investment Screening Regulation For Indonesia’s Potential Adaptation Prabangkara, Ali Arva; Yudha Prawira, M. Rizki
Jurnal Locus Penelitian dan Pengabdian Vol. 4 No. 7 (2025): JURNAL LOCUS: Penelitian dan Pengabdian
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/locus.v4i7.4460

Abstract

This study explores the delicate balance between national security and economic openness in the context of foreign direct investment (FDI), focusing on how Indonesia can potentially adopt a screening mechanism inspired by the United States’ regulatory framework. Using a comparative legal approach, this research analyzes the U.S. Foreign Investment Risk Review Modernization Act (FIRRMA) and the role of the Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) as a model for assessing foreign investment that may pose national security risks. The study investigates key elements of FIRRMA, such as the scope of covered transactions, strategic sectors, and the national security review process. These aspects are then examined against Indonesia’s current regulatory landscape, highlighting existing gaps in investment screening, especially in sectors critical to national sovereignty and data security. The findings suggest that while Indonesia promotes an open investment climate, the absence of a structured and centralized foreign investment review mechanism exposes the country to vulnerabilities in strategic industries. The paper argues for a context-sensitive adaptation of the U.S. model, proposing a more robust and preventive screening system that upholds national security without discouraging foreign capital inflows. This study contributes to the growing discourse on legal harmonization and institutional readiness in safeguarding national interests amid globalization.
Perlindungan Hukum Hak Atas Privasi Dan Perlindungan Data Pribadi Berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia Yusuf Argiansyah, Hikmal; Yudha Prawira, M Rizki
JURNAL HUKUM PELITA Vol. 5 No. 1 (2024): Jurnal Hukum Pelita Mei 2024
Publisher : Direktorat Penelitian dan Pengabdian (DPPM) Universitas Pelita Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37366/jh.v5i1.3946

Abstract

Pergeseran perilaku manusia yang banyak bertransformasi dari analog ke digital banyak mempengaruhi berbagai elemen kehidupan baik pada bidang bisnis, hiburan hingga berjalannya roda pemerintahan. Digitalisasi pada pemerintahan ini tentunya memiliki sebuah kesempatan khususnya untuk mengurangi berbagai maladministrasi, tindak pidana korupsi dan berbagai bentuk kesewenang – wenangan. Kendati demikian terdapat berbagai tantangan dan potensi permasalahan akibat dari digitalisasi ini yaitu terkait perlindungan atas privasi dan data pribadi. Terdapat beberapa kasus terjadi terkait pelanggaran hak atas privasi dan perlindungan data pribadi seperti pencurian data, jual beli data secara illegal, peretasan, serangan malware, hingga manipulasi psikologis melalui social engineering. Dalam sudut pandang hak asasi manusia, hak atas privasi dan perlindungan data pribadi adalah salah satu bentuk perwujudannya. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam berbagai pandangan ahli, instrumen HAM internasional, dan instrumen HAM nasional. Posisi negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) membuatnya harus melakukan berbagai upaya untuk memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak setiap orang sebagai pemegang hak (rights holder) atas privasi dan perlindungan data pribadi. Oleh karenanya negara bertanggung jawab ketika terdapat pelanggaran baik itu ketika negara sebagai pelaku langsung atau ketika melakukan pembiaran.
PENUNDAAN BERLARUT (UNDUE DELAY) PENANGANAN PERKARA DUGAAN TINDAK PIDANA PENGHALANG-HALANGAN DAN KEKERASAN KEPADA KERJA PERS: SEBUAH TINJAUAN KRITIS M. Rizki Yudha Prawira, M. Rizki Yudha Prawira
Jurnal Media Justitia Nusantara Vol 14 No 2 (2024): September 2024
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/mjn.v14i2.3351

Abstract

Guaranteeing rights to press freedom does not only lie in the existence of laws and regulations to protect it and institutions that specifically implement it, but also in certainty in law enforcement. One of the components of press protection is legal certainty in the investigation and/or inquiry process by the Indonesian National Police (Polri). One of the problems in the law enforcement process is protracted delays, also known as undue delays. According to the Ombudsman Regulation No. 26 of 2017, Article 11 regulates that one form of maladministration is protracted delays where services are provided beyond the time quality standards of the service promise. Based on a report by the Legal Aid Center for the Press, from 2020 to 2022, there were nine cases of suspected criminal acts against the Press that were suspected of undue delay or protracted processes. Based on the report and the pattern of these cases, five were physical attacks where the perpetrators were suspected to have come from law enforcement officers themselves, and the other four were cyber attacks. The research aims to find the cause of this problem, which lies in the provisions of the relevant laws and regulations and at the practical implementation level.