Konstruksi kesalehan pada perempuan dalam wacana agama Islam kerap dikaitkan dengan simbol keagamaan serupa memakai jilbab untuk menutupi aurat. Dalam posisinya, perempuan juga dilekatkan dengan peran-peran domestik, seperti mengurus rumah dan anak, dan taat pada suami sebagai wujud ketaatan pada Allah Swt. Konstruksi ini kemudian diyakini oleh perempuan bahwa pembagian peran tersebut adalah kodratnya, yang kemudian menciptakan hegemoni tentang kesalehan. Sementara itu, Saba Mahmood (2005) dalam analisisnya tentang agensi kesalehan di Mesir menemukan, kesalehan bisa dimaknai sebagai sebuah kapasitas untuk menginterpretasi ajaran agama sebagai petunjuk bagi kehidupan sehari-hari, dengan tetap menegakkan ketaatan pada Allah Swt. Namun dalam konteks Indonesia, saat ini kita dihadapkan dengan kelompok-kelompok konservatif dan tekstualis, yang meskipun cenderung minoritas, memiliki jaringan yang kuat dalam menyebarluaskan doktrinasi ajaran yang mengukuhkan konstruksi kesalehan yang hegemonik. Oleh karena itu, kontra narasi dan gerakan serupa yang Mahmood temukan di Mesir, yang mampu memberikan analisis kritis pada perempuan terhadap ajaran agama, penting untuk dibangun di Indonesia.   Abstract Women’s piety in Islamic discourse is often associated with religious symbols such as the use of the hijab to cover aurat. Women are also associated with domestic roles such as taking care of the house and children, and obeying their husbands as a form of obedience to Allah Swt. Women then believe that the division of labour is in their nature, which then creates a hegemonic construction of piety. Meanwhile, Saba Mahmood (2005) from her research in Egypt found that piety can be interpreted as the ability to interpret religious teachings as instructions for daily life, while maintaining obedience to Allah Swt. However, in the Indonesian context, we are currently facing conservative and textualist groups that, although they are usually in the minority, have strong networks in the dissemination of doctrinal teachings that reinforce the hegemonic construction of piety. Therefore, it is important to develop the counter-narratives and similar movements that Mahmood found in Egypt in Indonesia, which can provide women with a critical analysis of religious teachings.