Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

KHALWAT DALAM KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN PENYELESAIANNYA MENURUT QANUN JINAYAT ACEH Muksalmina Muksalmina; Muhammad Rudi Syahputra; Sari Yulis; Joelman Subaidi
SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 2 No. 4 (2023): SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, Agustus 2023
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/seikat.v2i4.806

Abstract

Khalwat merupakan salah satu perbuatan amoral yang dilarang oleh syara’ (jarimah) dan bertentangan dengan tabiat manusia yang menghendaki keteraturan dan ketenteraman. Pelarangan terhadap perilaku khalwat merupakan salah satu upaya menutup jalan menuju kepada perbuatan zina. Perbuatan zina akan menghancurkan kemurnian nasab manusia yang menjadi salah satu tujuan pokok dari syari’at. Islam sebagai sebuah agama turut memelihara kemaslahatan dalam menjunjung tinggi nasab dengan konsep Maqashid Asy-Syar'iyyah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam tentang khalwat dalam hukum pidana Islam dan penyelesaiannya menurut Qanun Jinayat Aceh, sehingga tergambar secara konkrit bentuk-bentuk penyelesaian di lapangan, khususnya di Kabupaten Aceh Utara. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dalam hukum pidana Islam, khalwat dianggap sebagai suatu perbuatan tercela dan maksiat. Pelarangan khalwat secara formal di Aceh sejalan dengan norma-norma agama dan norma adat yang dianut oleh masyarakat Aceh dimana antara keduanya berjalan seiring, tanpa dapat dipisahkan. Penyelesaian perkara khalwat dapat dikelompokkan menjadi dua macam dengan melihat dari sisi pelakunya. Pertama, Penyelesaian khalwat melalui Mahkamah Syar’iyyah dilakukan terhadap pelaku khalwat yang berbeda tempat tinggalnya berdasarkan bukti dan saksi di tempat kejadian perkara yang melihat atau mendengar secara langsung. Kedua, Penyelesaian khalwat juga dapat diselesaikan secara adat sebagaimana Pasal 24 Qanun No. 6 Tahun 2014 dan Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008.
Tindakan Main Hakim Sendiri Terhadap Pelanggar Syariat Islam Perspektif Hukum Adat Dan Hukum Islam Muhammad Rudi Syahputra; Muksalmina; Sari Yulis
Jurnal Al-Nadhair Vol 2 No 02 (2023): Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v2i2.42

Abstract

Main hakim sendiri merupakan tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukum seperti pemukulan terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan oleh suatu masyarakat. Main hakim sendiri selain merupakan perbuatan yang melawan hukum juga bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam rangka pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan mewujudkan kehidupan masyarakat adat yang bersendikan syariat Islam, perlu dilakukan telaah dan kajian yang mendalam tentang tindakan main hakim sendiri dalam kedudukan hukum adat dan hukum Islam. Dalam perspektif hukum adat, tindakan main hakim sendiri terhadap pelanggar syari’at Islam merupan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan asas-asas hukum adat dan hukum Islam. Tindakan main hakim sendiri termasuk dalam bentuk sanksi adat yang bertentangan dengan syari’at Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam perspektif hukum pidana Islam, tindakan main hakim sendiri termasuk perbuatan zalim yang bisa merugikan orang lain, dimana orang yang melakukan tindakan main hakim sendiri bisa digolongkan dalam tindak pidana pembunuhan (‘amdu, syibhul ‘amd, atau khata’) atau tindak pidana penganiayaan dengan melihat pada jenis perbuatan yang dilakukannya terhadap pelanggar syari’at Islam.
KEBIJAKAN HUKUMAN QISHAS BAGI PELAKU PEMBUNUHAN DALAM QANUN JINAYAT ACEH Yulis, Sari; Muksalmina, Muksalmina; Syahputra, Muhammad Rudi
Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol. 11 No. 2 (2023): Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Oktober 2023
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v11i2.5129

Abstract

Pemerintah Aceh telah diberi wewenang untuk menerapkan syariat Islam, termasuk dalam hal hukum jinayat, melalui undang-undang No. 18 Tahun 2001, No. 44 Tahun 1999, dan No. 11 Tahun 2006. Meskipun demikian, penerapan hukuman qishas dan diyat, yang merupakan bagian dari hukum jinayat, masih belum direalisasikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut konsep hukuman qishas dan diyat dalam Islam, serta kebijakan hukum pidana terkait dalam qanun jinayat Aceh di masa mendatang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan sifat penelitian  deskriptif  analisis  terkait  tentang  kebijakan  hukuman qishas dan diyat dalam qanun jinayat Aceh. Berdasarkan hasil penelitian, konsep hukuman pidana bagi pelaku pembunuhan dalam Islam dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja akan mendapatkan hukuman balasan (qishas), yang dapat diganti dengan diyat jika pelaku dimaafkan. Pembunuhan yang serupa dengan sengaja akan dikenakan hukuman diyat, sedangkan pembunuhan yang tidak disengaja akan mendapat hukuman diyat, kafarat, dan tazir sebagai pengganti. Penerapan hukuman qishas dan diyat dalam qanun jinayat Aceh dianggap sebagai suatu keharusan, didukung oleh payung hukum yang kuat, yaitu Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penerapan qanun jinayat terkait hukuman qishas dan diyat bagi pelaku pembunuhan di Aceh sesuai dengan teori kebijakan hukum pidana dan mendapatkan dukungan dari kondisi sosial masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.
Asas-Asas Penyelesaian Perkara melalui Peradilan Adat Aceh Muhammad Rudi Syahputra; Muksalmina; Sari Yulis
JUSTITIA JURNAL HUKUM Vol 8 No 2 (2024): Justitia Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/justitia.v8i2.23750

Abstract

Aceh customary courts have principles for resolving cases in reducing customary civil and criminal cases that occur in society, especially disputes that are not included in the formal justice system. This research aims to examine the principles underlying the resolution of cases through customary courts in Aceh, as well as how these principles are applied in the practice of resolving customary cases. By using a normative legal method, the resolution of customary cases in Aceh has its own principles that reflect the characteristics of customary law lives in Acehnese community (ureung Aceh). The principles of resolving cases through Aceh customary justice are principle of peace, justice, musyawarah and mufakat (mediation and negotiation), sincerity and willingness, fast, easy and cheap, openness, kinship, equality before the law, and guidance. The application of the principles of case resolution in the Acehnese customary justice process is a necessity. Acehnese community want cases to be resolved peacefully because this method has been a tradition passed down from generation to generation. The term for peaceful resolution of cases called suloh. Customary law does not distinguish between acts that are violations of civil law and violations of criminal law so that civil cases and criminal cases are decided simultaneously in a trial that is not separate. The use of the principle of musyawarah and mufakat in the implementation of customary justice has a very important role and determine whether or not the trial can be held.
Legal Policy Model for Handling Violence Among Youth Motorcycle Gangs in Lhokseumawe City Sari Yulis; Muhammad Rudi Syahputra; Muksalmina; Thoriq Dwiansah
Journal of Law, Politic and Humanities Vol. 5 No. 2 (2024): (JLPH) Journal of Law, Politic and Humanities
Publisher : Dinasti Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jlph.v5i2.1103

Abstract

Criminal acts committed by youth motorcycle gangs have become a serious concern in many cities across Indonesia, including Lhokseumawe. Over recent years, Lhokseumawe has faced numerous criminal cases linked to these gangs, such as brawls, slashings, and muggings that disrupt public safety and road users. Despite various measures implemented by the Lhokseumawe City Government and Forkompimda, including curfews and night raids by Satpol PP, WH, and the Police, these efforts have yielded limited results. Many apprehended gang members repeatedly return to criminal activities, highlighting the ineffectiveness of current strategies. A new policy model is urgently needed to address this issue and ensure community safety. This research aims to propose a new preventive policy for the Lhokseumawe City Government. Using an empirical juridical method with a qualitative approach, the study examines field data and existing regulations. Laws governing juvenile involvement in motorcycle gangs include the 1945 Constitution, the Criminal Code, and laws on child protection and juvenile justice. Key factors driving gang involvement include lack of parental guidance, negative social environments, and restricted educational opportunities. Effective handling requires a dual approach: prevention through education, patrols, and social outreach, alongside repressive and rehabilitative measures to help reintegrate affected youth into society.
Metodologi Penelitian Hukum dalam Menyelesaikan Problematika Hukum Kontemporer Muhammad Rudi Syahputra
Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 2 (2024): Reformasi Hukum dalam Penegakan Keadilan
Publisher : LP3M Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Al-Banna

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70193/jurisprudensi.v1i02.08

Abstract

Penelitian hukum di era globalisasi dan kemajuan teknologi menghadapi tantangan yang semakin kompleks, seperti kejahatan siber, perlindungan data pribadi, perubahan iklim, dan kesenjangan sosial. Masalah-masalah ini memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan multidisipliner dalam penelitian hukum. Metodologi penelitian hukum yang tepat, baik normatif, empiris, kualitatif, kuantitatif, filsafat hukum, perbandingan hukum, atau interdisipliner, menjadi kunci untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan masalah hukum kontemporer yang melibatkan banyak disiplin ilmu. Artikel ini mengulas berbagai metodologi yang dapat diterapkan dalam penelitian hukum kontemporer dan bagaimana metodologi tersebut dapat berkontribusi terhadap pengembangan hukum yang lebih responsif terhadap tuntutan zaman.
Asas-Asas Penyelesaian Perkara melalui Peradilan Adat Aceh Muhammad Rudi Syahputra; Muksalmina; Sari Yulis
JUSTITIA JURNAL HUKUM Vol 8 No 2 (2024): Justitia Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/justitia.v8i2.23750

Abstract

Aceh customary courts have principles for resolving cases in reducing customary civil and criminal cases that occur in society, especially disputes that are not included in the formal justice system. This research aims to examine the principles underlying the resolution of cases through customary courts in Aceh, as well as how these principles are applied in the practice of resolving customary cases. By using a normative legal method, the resolution of customary cases in Aceh has its own principles that reflect the characteristics of customary law lives in Acehnese community (ureung Aceh). The principles of resolving cases through Aceh customary justice are principle of peace, justice, musyawarah and mufakat (mediation and negotiation), sincerity and willingness, fast, easy and cheap, openness, kinship, equality before the law, and guidance. The application of the principles of case resolution in the Acehnese customary justice process is a necessity. Acehnese community want cases to be resolved peacefully because this method has been a tradition passed down from generation to generation. The term for peaceful resolution of cases called suloh. Customary law does not distinguish between acts that are violations of civil law and violations of criminal law so that civil cases and criminal cases are decided simultaneously in a trial that is not separate. The use of the principle of musyawarah and mufakat in the implementation of customary justice has a very important role and determine whether or not the trial can be held.
Konsep Kafā'ah dalam Hukum Islam: (Analisis Kafā'ah Ampon dan Pocut di Kecamatan Ulim Kabupaten Pidie Jaya) Nidaul Fitri; Muhammad Rudi Syahputra
Al-Qawānīn: Jurnal Ilmu Hukum, Syariah, dan Pengkajian Islam Vol. 1 No. 1 (2024): Pernikahan, Muamalah, dan Akhlak
Publisher : Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) YPI Shafal 'Ulum Al-Aziziyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70193/alqawanin.v1i1.01

Abstract

Dalam memilih pasangan hidup, ada sebagian dari masyarakat Aceh yang masih mempertahankan tradisi dalam memilih calon istri, salah satunya adalah orang yang bergelar Ampon/Teuku akan menikahi perempuan yang bergelar Pocut/Cut. Gelar ini menunjukkan bahwa seseorang itu memiliki garis keturunan yang erat kaitannya dengan kerajaan Aceh dulu. Karena demikian, penulis ingin meneliti lebih mendalam konsep kafā'ah dalam hukum Islam dan bagaimana pemberlakuan kafā'ah dalam perkawinan Ampon dan Pocut di Kec. Ulim Kab. Pidie Jaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metode yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia, landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Hasil penelitain menunjukkan bahwa kafā'ah merupakan masalah yang penting yang harus diperhatikan sebelum perkawinan dilaksanakan. Keberadaan kafā'ah dalam hukum Islam diyakini sebagai faktor yang dapat menghilangkan dan menghindarkan munculnya aib dalam keluarga. Sekufu adalah salah satu upaya untuk mencari keserasian antara suami dan istri baik kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama (al-din), keturunan (nasab), merdeka (hurriyyah), pekerjaan (hirfah) dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami. Adapun konsep sekufu dalam perkawinan Ampon dan Pocut Kecamatan Ulim dipandang sebagai suatu suatu kemaslahatan untuk melestarikan keturunan. Juga untuk menghindari dan mengantisipasi perselisihan dan pertikaian, sehingga narasumber menetapkan konsep sekufu dalam perkawinan Ampon dan Pocut yang sebetulnya tidak pernah ditetapkan oleh imam manapun. Akan tetapi, yang terlebih penting adalah dari segi agamanya, dimana Pernikahan Ampon dan Pocut harus dilandasi dengan baik budi, taat dan pengamalan yang bagus serta menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan. 
Hak dan Kewajiban Istri dalam Rumah Tangga Menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Qurthubi Cut Dinatul Hayati; Tajussubki; Muhammad Rudi Syahputra
Al-Qawānīn: Jurnal Ilmu Hukum, Syariah, dan Pengkajian Islam Vol. 1 No. 1 (2024): Pernikahan, Muamalah, dan Akhlak
Publisher : Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) YPI Shafal 'Ulum Al-Aziziyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70193/alqawanin.v1i1.02

Abstract

Menurut Al-Qur`an pernikahan bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang harmonis (sakinah) yang dilandasi oleh rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Di sisi lain, Al-Qur`an juga menjelaskan berbagai persoalan perempuan khususnya terhadap hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ibarat dua sisi satu mata uang. Luas dan fungsinya juga sama dan berimbang. Bila terjadi ketimpangan di mana hak lebih ditekankan atau lebih luas dari kewajiban, atau sebaliknya, niscaya akan tercipta ketidakadilan. Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research), jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Adapun hak istri dalam rumah tangga yang terdapat dalam Al-Qur`an diantaranya adalah mendapatkan mahar. Tentang hak mendapatkan mahar ini dipahami dari Surat An-Nisa ayat 4. Selanjutnya hak istri adalah mendapatkan nafkah, nafkah ini terdiri dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Hak mendapatkan nafkah ini dipahami dari surat Al-Baqarah ayat 233. Kemudian hak yang harus didapatkan istri adalah mendapat perlakuan yang baik dari suami agar rumah tangga selalu harmonis dan jauh dari perceraian. Tentang ini tertulis dalam Surat An-Nisa ayat 19. Hak lainnya adalah mendapatkan perlindungan dari suami terhadap perbuatan-perbuatan dosa yang mengakibatkan jauh dari rahmat Allah dan kasih sayang-Nya sebagaimana terpahami dari Surat At-Tahrim ayat 6. Yang terakhir adalah mendapatkan cinta dan kasih sayang dari suami sebagaimana tertulis dalam Surat Ar-Rum ayat 21. Sedangkan yang menjadi kewajiban istri kepada suami diantaranya adalah taat kepada suami sebagaimana tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 34. Menjaga diri saat suami tidak ada juga merupakan kewajiban istri kepada suami yang tertulis dalam Surat An-Nisa ayat 34.
Analisis Konsep Mashlahah Penggunaan Obat Kuat Dalam Berhubungan Suami Istri Asri Hanafi; Tajussubki; Muhammad Rudi Syahputra
Al-Qawānīn: Jurnal Ilmu Hukum, Syariah, dan Pengkajian Islam Vol. 1 No. 2 (2024): Pernikahan, Sejarah Islam, dan Ketertiban Sosial
Publisher : Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) YPI Shafal 'Ulum Al-Aziziyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70193/alqawanin.v1i2.10

Abstract

Penggunaan obat kuat sudah menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat. Mereka menggunakan obat kuat untuk meningkatkan stamina dan memuaskan pasangan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah analisis mashlahah terhadap penggunaan obat kuat dalam hubungan intim suami istri. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu suatu jenis penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Penggunaan obat kuat dalam pemenuhan hubungan seksual suami istri termasuk dalam mashlahah hajiyat karena penggunaan obat kuat ini dibutuhkan dalam rangka menyempurnakan kemashlahatan yang mendasar dengan bentuk keringanan dan kemudahan dalam pemenuhan hak dan kewajiban suami istri untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya serta menghindari adanya kemudharatan yang akan berdampak buruk bagi rumah tangganya. Dari segi eksistensinya penggunaan obat kuat ini termasuk dalam mashlahah mursalah karena tidak ada nash yang membatalkan ataupun mendukungnya dan hal ini dibenarkan menurut akal sehat dengan harapan mendatangkan kemanfaatan dan menghindari kemudharatan.