cover
Contact Name
abdul wahid
Contact Email
riopascaunisma@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
riodyka@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
JURNAL HUKUM dan KENOTARIATAN
ISSN : 25493361     EISSN : 26557789     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 251 Documents
DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT PENGUJIAN PASAL 43 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1/1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS DAN PPAT Habib Adjie
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 4 (2021): November
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.966 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v5i4.13864

Abstract

 Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3019) menegaskan bahwa anak yang dilahirkan diluar Perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal tersebut berdasarkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI/MK) tanggal 17 Pebruari 2012, dengan Putusan nomor : 46/PUU-VIII/2010 bertentangan dengan UUD 1945, dan harus dimaknai tidak menghilangkan hubungan keperdataannya dengan laki-laki yang dianggap sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Putusan tersebut membawa implikasi atau dampak terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dalam kaitannya ketika pembuatan keterangan sebagai ahli waris dan pembagian hak waris.Kata Kunci: Hubungan Keperdataan, Notaris/PPAT, Keterangan Ahli Waris Article 43 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage (State Gazette of the Republic of Indonesia of 1974 Number 1, State Supplement of the Republic of Indonesia Number 3019) confirms that a child born outside of marriage only has a civil relationship with his mother and his mother's family. The article is based on the Constitutional Court of the Republic of Indonesia (MKRI/MK) dated February 17, 2012, with Decision number: 46/PUU-VIII/2010 contrary to the 1945 Constitution, and must be interpreted as not eliminating his civil relationship with a man who is considered his father who can proven based on science and technology and/or other evidence according to the law turns out to have blood relations as his father. The decision has implications or impacts on the implementation of the duties of the Notary's position in relation to the making of statements as heirs and the distribution of inheritance rights.Keywords: Civil Relations, Notary/PPAT, Statement of Heirs
DAMPAK EKSAMINASI PERILAKU RADIKALISTIK TERHADAP KONSTRUKSI KONSTITUSIONALITAS NEGARA HUKUM Hairus Hairus; Dwi Ari Kurniawati
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 4 (2021): November
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.061 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v5i4.11398

Abstract

 Penelitian ini  bertujuan untuk mengungkap tentang fenomena makin sering terjadi praktik dan perilaku kekerasan atau radikalitas seperti penyerangan atau main hakim sendiri di tengah masyarakat. Seseorang atau sekelompok orang yang belum tentu bersalah melakukan suatu kejahatan, menjadi korban radikalitas yang mengerikan. Kondisi ini secara tidak langsung menggungat dunia peradilan di Indonesia, yang dinilai sebagai salah satu faktor penyebabnya.  Dunia peradilan yang masih belum memberikan keadilan pada pencari keadilan telah dianggap gagal menjaga perintah konstititusi oleh masyarakat atau sekelompok orang, sehingga mereka ini  melakukan tindakan berlawanan dengan hukum untuk melampiaskan kekecewaanya.Kata kunci: kekerasan, norrma hukum, keadilan, konstitusi This study aims to reveal the phenomenon of the increasingly frequent occurrence of violent or radical practices and behaviors such as attacks or taking the law into their own hands in society. A person or group of people who are not necessarily guilty of a crime, become a victim of terrible radicalism. This condition indirectly sues the judiciary in Indonesia, which is considered as one of the contributing factors. The judiciary, which still does not provide justice to justice seekers, has been deemed to have failed to keep the constitutional order by the community or a group of people, so they are taking actions against the law to vent their disappointment.Keywords: violence, legal norms, justice, constitution
RATIO LEGIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA NOTARIS DENGAN DEVELOPER PENGUSAHA PROPERTI DITINJAU BERDASARKAN PASAL 16 AYAT (1) HURUF A UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS M Rizky Aditya Zuhdi; Imam Koeswahyono; Dyah Aju Wisnuwardhani
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 4 (2021): November
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.221 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v5i4.13867

Abstract

 Penulis akan membahas mengenai Perjanjian kerjasama antara Notaris dengan pengembang (developer) property. Perjanjian tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum antara kedua belah pihak yakni pihak Notaris dengan pihak pengembang (developer) properti yang didalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Secara mutatis mutandis notaris menjadi pihak dalam suatu perjanjian, hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa notaris dalam melaksanakan tugasnya sebgaai pejabat umum maupun sebagai profesi harus melaksanannya secara mandiri tanpa keberpihakan kepada salah satu pihak. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis ratio legis perjanjian kerjasama antara notaris dengan pengembang yang bergerak di bidang properti yang dikualifikasi bermasalah terkait keberlakuan prinsip kemandirian notaris dan Akibat hukum apa yang timbul apabila terdapat perjanjian kerjasama antara notaris dengan pengembang yang bergerak di bidang properti yang dikualifikasikan bermasalah sebagaimana Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian Yuridis Normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil dari Penelitian ini yaitu Ratio Legis dalam Perjanjian kerjasama antara notaris dan Pengembang (developer) Properti melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris tentang kemandirian serta ketidakberpihakan notaris menjalankan jabatannya, Sehingga berakibat terdegradasinya Akta Otentik yang dibuat Notaris menjadi Akta dibawah tangan sebagai konsekuensi atas dilanggarnya asas Proporsionalitas yang melekat pada jabatan Notaris. Bahwa Perjanjian Notaris dengan Developer Pengembang Properti hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi dan manfaat bagi pihak ketiga dengan tetap memperhatikan ketentuan 1365 KUHPerdata. Kesimpulan dari penelitian ini, Adanya perjanjian Kerjasama ini melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran yang bersifat procedural yang berakibat terdegradasinya Akta Otentik menjadi Akta dibawah tangan.Kata Kunci: Ratio Legis, Perjanjian Kerjasama, Notaris, Pengembang Properti. The author discussed the cooperation agreement between a notary and a property developer (developer). The agreement creates a legal relationship between the two parties, namely the notary party and the property developer in which there are rights and obligations of each parties. Mutatis mutandis, a notary is a party to an agreement, of course, contrary to Article 16 paragraph (1) letter an of the Notary Position Law, that in carrying out his duties as a public official and as a profession, he must carry out his duties independently without taking sides with either party. The purpose of this study is to analyze the ratio legis for cooperation agreements between notaries and developers engaged in the qualifying property sector with problems related to the enforceability of the principle of notary independence and what legal consequences arise if there is a cooperation agreement between a notary and a developer engaged in the problematic qualifying property as Article 16 paragraph (1) letter a Law of Notary Position. The type of research used is juridical normative research with a statutory approach and a case approach. The results of this study are the Legis Ratio in the cooperation agreement between a notary and a property developer in violation of Article 16 paragraph (1) letter a of the Notary Position Law concerning the independence and impartiality of notaries in carrying out their positions, resulting in degradation of the Authentic Deed made by the Notary into the Deed. under the hands as a consequence of violating the principle of proportionality attached to the position of a notary public. That the Notary Agreement with Property Developer Developer is only valid between the parties who make it. An agreement cannot bring losses and benefits to a third party while still paying attention to the provisions of the 1365 Civil Code. This research concludes that the existence of this cooperation agreement violates Article 16 paragraph (1) letter a UUJN, this violation is a procedural violation that results in the degradation of the Authentic Deed into an Underhanded Deed.Keywords: Ratio Legis, Cooperation Agreement, Notary, Property Developer. 
KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN ELEKTRONIK TERHADAP JAMINAN KREDIT PERBANKAN Astrid Puspitasari
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 4 (2021): November
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.744 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v5i4.13878

Abstract

 Permasalahan dalam penelitian ini yaitu adalah adanya kekosongan norma hukum terhadap kekuatan eksekutorial dari sertipikat hak tanggungan elektronik terhadap jaminan kredit perbankanterkait dengan tidak adanya peraturan hukum yang mengatur tentang kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan elektronik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan elektronik ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Untuk kegunaan pembahasan, jenis penelitian hukum normatif ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dianalisa dengan menggunakan metode analisis preskriptif. Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa sertipikat hak tanggungan elektronik memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan sertipikat hak tanggungan manualkarena adanya Permen ATR/BPN Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi secara Elektronik yang menjadi dasar lahirnyaSistem Elektronik Hak Tanggungan Terintegrasimerujuk kepada UUHT, danjika ditinjau dari Pasal 5 ayat (1) UU ITE, sertipikat hak tanggungan elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah yang merupakan dokumen yang terpisah sebagai produk hukum akhir dari akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE.Kata Kunci: Kekuatan Eksekutorial, Jaminan Kredit, Sertipikat Hak Tanggungan Elektronik The problem in this research is the absence of legal norms on the executorial power of electronic mortgage certificates on bank credit guarantees related to the absence of legal regulations governing the executorial power of mortgage certificates. This study aims to analyze the executorial power of the mortgage certificate in terms of Law Number 4 of 1996 concerning Land Mortgage Rights and Land-related Objects (UUHT) and Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (UU ITE). For the purpose of this discussion, this type of normative legal research uses a statute approach and a conceptual approach. Primary legal materials and secondary legal materials were analyzed using prescriptive analysis methods. Based on the results of the discussion, it is concluded that the electronic mortgage certificate has the same executorial power as the manual certificate of mortgage rights with the existence of Permen ATR / BPN Number 5 of 2020 concerning Electronic Integrated Mortgage Services which is the basis for the birth of the Integrated Electronic Security Rights System referring to the UUHT, and If viewed from Article 5 paragraph (1) of the ITE Law, the certificate of electronic mortgage is a valid legal evidence which is a separate document as the final legal product of the deed made by the deed maker as regulated in Article 5 paragraph (4) of the ITE Law.Keywords: Execution Power, Credit Guarantee, Electronic Mortgage Certificate 
PENERAPAN UU ITE DALAM MENILAI KEDUDUKAN DAN KEABSAHAN PEMBUKTIAN ELEKTRONIK PADA PERKARA PERDATA Petty Febrian; M. Saleh
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 4 (2021): November
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (258.586 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v5i4.11058

Abstract

 Kedudukan pembuktian sangat penting, karena pembuktian merupakan inti persidangan. Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan dengan menggunakan alat bukti yang memuat fakta hukum untuk mendapatkan kepastian. Akan tetapi, dalam kenyataannya perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami permasalahan-permasalahan dalam penerapannya pada perkara perdata di persidangan.Kata Kunci: Kedudukan, Pembuktian, Perkara perdata. The position of proof is very important, because proof is the core of the trial. Proof is an act of proving by using evidence that contains legal facts to obtain certainty. However, in reality the implementation journey of the ITE Law has experienced problems in its application to civil cases at court.Keywords: Position, Evidence, Civil Case.
PELAKSANAAN VERZET TERHADAP EKSEKUSI DALAM PERKARA PERDATA Nynda Fatmawati Octarina; Irma Yustiana
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.143 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v6i1.12784

Abstract

 Suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dapat dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak yang kalah. Pelaksanaan secara sukarela tersebut tidak menimbulkan masalah. Namun apabila seseorang enggan memenuhi isi putusan tersebut maka eksekusi dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum (execution force). Jika sebelumnya tidak dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dimulai dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, dan apabila diperkirakan belum cukup, juga dilakukan terhadap barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk memenuhi pembayaran sejumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksana putusan tersebut. Putusan hakim yang juga dapat dieksekusi adalah salinan atau grosse akta hipotik dan akta notariil, yang berisi kewajiban membayar sejumlah uang dan memakai irah-irah ”Demi Keadilan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka eksekusi dapat diartikan sebagai upaya paksa untuk merealisasikan hak, Pada prinsispnya eksekusi merupakan tindakan paksa yang dilakukan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebelum putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa, terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau menaati dan memenuhi putusan secara sukarela. perubahan putusan ini dilakukan atas kebijaksanaan ketua. pengadilan negeri yang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak dalam sidang terbuka. Diatas juga telah disinggung adanya pengertian ”uang paksa”, yang dalam bahasa Belanda disebut dwangsom atau astreinte. Dalam petitum dimohonkan agar tergugat dihukum untuk melakukan perbuatan, biasanya juga diminta agar tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang tertentu. Uang paksa ini merupakan suatu akal agar yang dihukum bersedia untuk melakukan suatu perbuatan, takut karena adanya uang paksa yang tinggi, lalu ia tidak berani melakukan kewajibannya.Kata-Kunci: Verzet, Eksekusi Dalam Perkara Perdata. A judge's decision which has definite legal force can be carried out voluntarily by the losing party. Such voluntary implementation does not pose a problem. However, if someone is reluctant to comply with the contents of the decision, then the execution can be enforced with the help of general power (execution force). If previously there was no confiscation of collateral, then the execution begins by confiscation of a large number of movable property, and if it is estimated that this is not sufficient, it is also carried out on the immovable property of the defeated party so that it is sufficient to fulfill the payment of the amount of money that must be paid according to the decision along with costs incurred in connection with implementing the decision. The judge's decision that can also be executed is a copy or grosse of the mortgage deed and notarial deed, which contains the obligation to pay a certain amount of money and use rah-irah "For the sake of the Justice of the Almighty God" then execution can be interpreted as a forced effort to realize rights. forced action taken by the court with the help of public power, in order to implement a court decision that has obtained permanent legal force. Before the decision has not yet obtained permanent legal force, execution efforts and actions have not yet functioned. The new execution functions as a legal and coercive legal action, starting from the date the decision has permanent legal force, and the defendant (the losing party) does not want to obey and fulfill the decision voluntarily. Changes to this decision are made at the discretion of the chairman. the district court that presided over the execution, so it was not in an open trial. The above also mentioned the meaning of "forced money", which in Dutch is called dwangsom or astreinte. In the petition it is requested that the defendant be punished for committing an act, usually it is also requested that the defendant be punished to pay a certain amount of money. This forced money is a reason so that the convicted person is willing to do an act, afraid because of the high forced money, then he does not dare to carry out his obligations.Keywords: Verzet, Execution in Civil Cases.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAHAM INDEPENDEN AKIBAT PENGHENTIAN SEMENTARA (SUSPENSI) PERDAGANGAN SAHAM PERSEROAN TERBUKA (Analisa Yuridis Sanksi Suspensi Saham PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk) Winnya Astrid Desiyantie
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.917 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v6i1.14139

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan penerapan sanksi penghentian sementara (suspensi) perdagangan saham perseroan terbuka sebagai perusahaan tercatat (listed company) yang berkaitan dengan pengaturan persyaratan atau kriteria tindakan pelanggaran perusahaan tercatat yang dapat dikenai sanksi suspensi saham dan jangka waktu (durasi) pengenaan sanksi suspensi saham. Penelitian ini juga menganalisis perlindungan hukum bagi pemegang saham independen yang pada umumnya merupakan investor publik (masyarakat umum) dan merupakan pemegang saham yang tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham utama, pemegang saham pengendali, serta direksi dan komisaris perusahaan tercatat yang terimbas sanksi suspensi perdagangan saham. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.Hasil Penelitian menunjukan bahwa pengaturan sanksi suspensi saham pada Peraturan Bursa Efek Indonesia Nomor I-H yang tercantum dalam dalam Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-307/BEJ/07-2004 tidak mengatur secara lengkap atau jelas (uncomplete norm): 1) kriteria atau prasyarat bagi perusahaan tercatat untuk dapat dikenai sanksi suspensi saham; 2) jangka waktu (durasi) penerapan sanksi suspensi saham.Akibat hukum dari pengaturan yang tidak jelas atau tidak lengkap mengenai sanksi suspensi saham tersebut adalah adanya ketidakpastian hukum bagi pemegang saham independen yang harus menanggung kerugian materiil/kerugian investasi sehingga perlu mendapat perlindungan hukum dalam berinvestasi di sektor pasar modal.
PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN DAN PERBURUAN SATWA YANG DILINDUNGI Fadhel Halilintar; Slamet Tri Wahyudi
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (358.233 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v6i1.14378

Abstract

 Perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi merupakan suatu tindak pidana yang serius karena selain mengancam lingkungan akibat dari tindak pidana ini juga menimbulkan kerugian bagi Negara, Selain karena factor ekonomi factor lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi ini juga menjadi pemicu maraknya perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi, Dalam sistem pemidanaan modern dikenal dengan adanya double track system yaitu penjatuhan sanksi pidana melalui dua jalur yaitu sanksi pidana sebagai penjatuhan nestapa terhadap pelaku tindak pidana dan juga sanksi tindakan sebagai pemberian pendidikan terhadap pelaku tindak pidana yang mana hal ini sudah menjadi kecenderungan internasional akibat dari dianutnya aliran neo klasik. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana formulasi sanksi yang ideal terhadap tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi. Jenis Penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian normative dengan pendekatan konseptual dan juga pendekatan perundang undangan, Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dengan tidak adanya batas minimal vonis terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi dalam UU No. 5 Tahun 1990 mengakibatkan ringannya vonis yang dijatuhkan sehingga hal ini tidak menimbulkan efek jera kemudian penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi masih belum efektif karena tidak adanya pemulihan dari akibat tindak pidana yang ditimbulkan.Kata-Kunci: Double Track System, Perburuan satwa, Perdagangan satwa, Ekosistem Hunts and wildlife trafficking that are protected are serious crimes because beyond threatening the environment the result of these crimes also causes harm to the state, it is not only because its economic factor In modern targeting systems, it is known as the double track system, which measures measures of criminal sanctions across two lines, and criminal penalties for assessing the convictions of convicted felons, which is already an international trend as a result of their inherent inaction. The purpose of this writing is to review how the ideal formulation for sanctions against the protected criminal hunts and animal trade. The kind of research in this study is normative research with a conceptual approach as well as a constitutional approach, In the study, it was found that with the absence of a minimum sentence against the convicted felons and wildlife trafficking protected in act no. 5 in 1990 resulted in a lightening of the sentence that was rendered so as not to have a lasting deterrent to those convicted of hunts and protected animal trafficking as ineffective.Keywords: Double Track System, Animal Hunt, Animal Trade, Ecosystem
KEABSAHAN TINDAKAN NOTARIS MENAHAN SERTIPIKAT MILIK KLIEN DALAM HAL TERJADI KURANG BAYAR KOMISI JASA PENGURUSAN SERTIPIKAT Muhammad Azmi Khoirurrijal; Djumikasih Djumikasih; Herlindah Herlindah
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (312.444 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v6i1.14064

Abstract

 Jurnal ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan tindakan Notaris menahan suatu sertipikat milik Penghadap dalam hal terjadi kekurangan pembayaran Komisi Jasa Pengurusan Sertipikat milik Penghadap. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, dan juga pendekatan konseptual yang dalam penyelesaiaannya dideskripsikan, serta dianalisis menggunakan teori Keabsahan Hukum. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa perbuatan Notaris yang memberikan jasa pengurusan sertipikat tersebut seperti perbuatan yang dilakukan oleh seorang Komisioner (Pasal 76 KUHDagang) yang bertindak atas permintaan orang lain dan mendapatkan komisi/provisi. Namun dalam hal ini karena ia bertindak atas nama Pemberi Kuasa, sesuai ketentuan Pasal 79 KUHDagang maka ia tunduk pada ketentuan Pemberian Kuasa yakni pada Bab XVI KUHPerdata. Seorang Notaris berhak menahan sertipikat milik kliennya dalam terjadi kekurangan pembayaran komisi jasa pengurusan sertipikat, dengan didasarkan pengaturan pada Pasal 1729 dan Pasal 1812 KUHPerdata. Berdasarkan kedua pasal tersebut orang yang menerima titipan/kuasa pekerjaan dapat menahan kepunyaan milik pemberi titipan/kuasa apabila biaya jasa dan juga biaya-biaya yang timbul selama penitipan dan kuasa tersebut harus dibayar lunas oleh Pemberi titipan/kuasa, sehingga sah apabila Notaris menahan sertipikat milik penghadapnya dalam hal terjadi kurang bayar Komisi Jasa Pengurusannya.Kata-Kunci: Hak Retensi, Notaris, Jasa Pengurusan, KomisiThe journal was written with the aim of finding out and analyzing the legality of Notary’s action in withholding a certificate belonging to an Appearer on a shortage of payment Certificate Management Service Commission belonging to the Appearer. The research was a normative juridical research using laws and regulations approach, as well as a conceptual approach in which the solution was described and analyzed using Legal Validity theory. The result of the research was the act of a notary who provided certificate management service was like an act of commissioner (Article 76 of Commercial Code) who acted at the other request and got a commission/provision. However, he acted on behalf of the authorizer in accordance with Article 79 of Commercial Code, so he obeyed to the terms of Power of Attorney, namely in Chapter XVI of Civil Code. Based on the two articles, the person who received the power may retain the property of the authorizer if the service fee and other costs during the safekeeping and the power must be paid in full by the authorizer. It is legal if the notary retains the deed of the Appearer in the event of a shortage of payment Management Service Commission. Keywords: Retention Rights, Notary, Management Service, Commission.
PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP METODE KONSINYASI DALAM PENGADAAN HAK ATAS TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM Rena Dwi Fitriani
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (250.084 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v6i1.15267

Abstract

 Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dapat merugikan kepentingan pemegang hak atas tanah dan menimbulkan konflik pengadaan tanah di masa yang akan datang. Dari uarian  latar belakang masalah dirumuskan permasalahan yaitu Bagaimana metode konsinyasi dalam pengadaan hak atas tanah  bagi pembangunan untuk kepentingan umum? dan Bagaimana penyelesaian sengketa terhadap metode konsinyasi dalam pengadaan  hak atas tanah  bagi pembangunan untuk kepentingan umum? Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.Dari hasil penelitian diketahui bahwa penitipan ganti kerugian (konsinyasi) dalam pengadaan tanah berbeda atau tidak sesuai dengan penitipan sebagaimana disebutkan dalam KUHPerdata, karena konsinyasi dalam pengadaan tanah secara umum timbul karena adanya keberatan mengenai besarnya jumlah ganti kerugian antara pemerintah dengan masyarakat, sedangkan dalam KUHPerdata dikarenakan untuk melunasi hutang perjanjiannya dalam suatu hubungan perikatan. Secara yuridis, konsinyasi dalam pengadaan dibenarkan berdasarkan Undang-UndangNomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dengan peraturan pelaksana Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 beserta perubahannya tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Konsinyasi dalam pengadaan tanah tidak sesuai dengan asas kesepakatan, namun dikarenakan adanya konsekuensi atas fungsi sosial atas tanah yaitu masyarakat harus merelakan hak atas tanah dicabut demi kepentingan umum, maka konsinyasi dibenarkan dalam pengadaan tanah disebabkan esensi hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai seseorang itu mempunyai fungsi sosial yang dapat dipergunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adapun penyelesain sengketa tentang konsinyasi ini atau maslah ganti rugi bisa dilakukan dengan musyawarah mufakat akan tetapi jika tidak bisa maka dapat dilakukan dengan penitipan di Pengadilan Negeri.Kata-Kunci: Konsinyasi, Pengadaan Tanah, Pembangunan  Land Procurement for Development in the Public Interest can harm the interests of land rights holders and lead to land acquisition conflicts in the future. From the background of the problem, the problem is formulated, namely How is the consignment method in the procurement of land rights for development in the public interest? and How is the dispute resolution on the consignment method in the procurement of land rights for development in the public interest? This study uses a normative juridical method, namely legal research carried out by examining library materials or secondary data as the basis for research by conducting a search on regulations and legal materials related to the problem under study. (consignment) in land acquisition is different or not in accordance with the safekeeping as stated in the Civil Code, because consignment in land acquisition generally arises because of objections regarding the amount of compensation between the government and the community, while in the Civil Code it is due to pay off the debt agreement in an engagement relationship. . Juridically, consignment in procurement is justified based on Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest, with the implementing regulation of Presidential Regulation Number 71 of 2012 along with its amendments concerning the Implementation of Land Procurement for Development in the Public Interest. Consignment in land acquisition is not in accordance with the principle of agreement, but due to the consequences of the social function of land, namely the community must give up land rights being revoked in the public interest, consignment is justified in land acquisition because the essence of land rights owned or controlled by someone has a function. Social services that can be used by the government to carry out development aimed at improving the welfare of the community as for the resolution of disputes regarding this consignment or compensation problems can be done by deliberation and consensus, but if it is not possible then it can be done by depositing in the District Court.Keywords: Notary, Code of Ethics, Notary's Ingar Rights