cover
Contact Name
Tri Imam Munandar
Contact Email
imamtri@unja.ac.id
Phone
+6285266101878
Journal Mail Official
pjc@unja.ac.id
Editorial Address
Jl. Lintas Jambi - Ma. Bulian KM. 15, Mendalo Darat, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi, Indonesia 36122
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
PAMPAS: Journal of Criminal Law
Published by Universitas Jambi
ISSN : 27217205     EISSN : 27218325     DOI : https://doi.org/10.22437/pampas.v3i1
Core Subject : Social,
PAMPAS: Journal of Criminal Law (ISSN Print 2721-7205 ISSN Online 2721-8325) is a periodical scientific publication in the field of Criminal Law. The word Pampas comes from the Malay language which means Compensation, Pampas is a traditional Jambi sanction as a law to injure people. This journal is published by the Faculty of Law, Jambi University as a medium for discussing Criminal Law. First published in February 2020, PAMPAS: Journal of Criminal Law is published three times a year, namely in February, June and October. In each of its publications, PAMPAS: Journal of Criminal Law publishes 8-10 articles on the results of research or research on criminal law. PAMPAS: Journal of Criminal Law publishes articles on the results of research or studies of criminal law, including: (1) criminal law (2) criminal procedural law (3) criminology (4) victimology (5) special crimes (6) criminal law enforcement (7) criminal law reform (8) penal policy (9) comparative criminal law (10) criminal law and punishment (11) international criminal law (12) criminal customary law (13) criminal justice system (14) Islamic Criminal Law (15) military crime and the study of Indonesian criminal law which is global in nature in accordance with the latest developments in the dynamics of criminal law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 173 Documents
Pengaturan Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Prayoga, Dimas; usman, Usman; Arfa, Nys
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 5 No. 3 (2024)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v5i3.37252

Abstract

This article aims to find out and analyze the legal provisions for the criminal act of insulting the President and Vice President and to find out and analyze the urgency for the government to re-establish the article on insulting the President and Vice President. This article discusses the legal provisions governing the criminal act of insulting the President and Vice President and whether it is urgent for the government to re-establish this article. The type of research used is normative juridical. The results of the research show that the legal provisions for the insult article are contained in Article 310-321 of the Criminal Code, Article 27 Paragraph (3) of the ITE Law, Article 134, Article 136 bis, and Article 137 of the Criminal Code. Currently it is regulated in Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code which consists of Article 218 Paragraphs (1) and (2), Article 219 and Article 220 Paragraphs (1) and (2). The government's urgency regarding the insult article is that the president is a symbol of the state, insult is a disgraceful act, it is felt odd if insulting the president is not regulated. Therefore the suggestion put forward is to remove the article on insulting the President and Vice President in accordance with the decision of the Constitutional Court, because the decision of the Constitutional Court is final and binding ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan hukum tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden serta untuk mengetahui dan menganalisis urgensi pemerintah menetapkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Dalam tulisan ini membahas 1). Bagaimana ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden? serta 2). Apakah urgensi pemerintah menetapkan kembali pasal tersebut?. Tipe penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif. Hasil penelitian diketahui bahwa: 1). Ketentuan hukum pasal penghinaan terdapat pada Pasal 310-321 KUHP,Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Saat ini diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang terdiri dari Pasal 218 Ayat (1), dan (2), Pasal 219, dan Pasal 220 Ayat (1) dan 2). Urgensi pemerintah tentang pasal penghinaan yaitu presiden merupakan simbol negara, penghinaan merupakan perbuatan tercela, dirasakan janggal kalau penghinaan presiden tidak diatur. Maka dari itu saran yang diajukan yaitu untuk menghapus pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, dikarenakan putusan Mahkamah Konsitusi bersifat final dan mengikat.
Penanganan Korban Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi Zarkasi, A; Siregar, Elizabeth
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 5 No. 3 (2024)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v5i3.37274

Abstract

This study is aimed at understanding forms of sexual violence in higher education, both verbal, non-verbal, physical and non-physical, both direct and indirect, which are not yet understood by the academic community. Apart from that, to analyze how victims of sexual violence are handled in higher education environments based on Minister of Education and Culture Regulation Number 30 of 2021 concerning Prevention and Handling of Sexual Violence in Higher Education Environments. Based on the provisions of the Minister of Education and Culture, there are 21 types or forms of sexual violence regulated in this regulation, some of the acts in the Minister of Education and Culture and Technology have never previously been regulated in criminal law regulations. Handling sexual violence in the tertiary environment is carried out by providing assistance, protection, imposing administrative sanctions and recovering victims. Administrative sanctions will be imposed if the perpetrator is proven guilty. In the event that the perpetrator has carried out sanctions, whether mild or moderate, the obligation that the perpetrator must carry out is to carry out counseling, in accordance with Article 14 Number 5 and Number 7. However, this article is not clear regarding the criteria for a credible institution to carry out counseling and there are no assessment indicators that contain that the perpetrator has no potential to repeat the act and can carry out activities again on campus. Because this is important, because only on the basis of this counseling report can the university leadership issue a certificate stating that the perpetrator has carried out sanctions and can carry out activities on campus. Suggestions from the discussion, regarding the forms of sexual violence regulated in the Minister of Education and Culture Regulation, require explanations and concrete forms of abstract types of sexual violence. Furthermore, it is necessary to include in the Permendikbudristek guidelines regarding the criteria for counseling institutions for perpetrators, as well as indicators to be able to state that the perpetrator has no potential to repeat the act. ABSTRAK Kajian ini ditujukan untuk memahami bentuk kekerasan seksual di perguruan tinggi, baik yang bersifat verbal, non verbal, fisik dan non fisik, baik secara langsung maupun tidak langsung yang belum dipahami civitas akademika. Selain itu, untuk menganalisis bagaimana penanganan korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi berdasarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Berdasarkan ketentuan Permendikbudristek ada 21 jenis atau bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan tersebut, yang beberapa perbuatan dalam Permendikbudristek tersebut tidak pernah diatur sebelumnya dalam aturan hukum pidana. Penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dilakukan dengan memberikan pendampingan, pelindungan, pengenaan sanksi administrasi dan pemulihan korban. Pengenaan sanksi administrasi dilakukan jika pelaku terbukti bersalah. Dalam hal pelaku telah melaksanakan sanksi baik ringan maupun sedang, kewajiban yang harus dilakukan pelaku menjalankan konseling, sesuai Pasal 14 Angka 5 dan Angka 7. Namun pasal ini, belum jelas, terkait kriteria lembaga yang kredibel untuk melaksanakan konseling dan tidak ada indikator penilaian yang memuat bahwa pelaku tidak berpotensi mengulang perbuatan dan dapat melaksanakan aktivitas kembali di kampus. Sebab hal ini menjadi penting, karena hanya atas dasar laporan konseling inilah pimpinan perguruan tinggi dapat mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa pelaku telah melaksanakan sanksi dan dapat berkegiatan di kampus. Saran dari pembahasan, terkait bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam Permendikbudristek perlu penjelasan dan bentuk konkrit jenis kekerasan seksual yang bersifat abstrak. Selanjutnya perlu dimuatkan dalam pedoman Permendikbudristek terkait kriteria lembaga konseling pelaku, serta inidkator untuk dapat dinyatakan bahwa pelaku tidak berpotensi mengulangi perbuatan.
Depenalisasi Penyalahgunaan Narkotika Studi Komparatif Indonesia dan Portugal Muhaimin Ishaq, Fadhli
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 5 No. 3 (2024)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v5i3.37448

Abstract

This article aims to analyze the legal policies regarding narcotics abusers in Indonesia and then compare them with the legal policies for narcotics abusers in Portugal. The study provides insights into whether Indonesia can learn from and adopt Portugal's policies, and if so, how this adoption might take place. This research employs normative legal research using secondary data, with a conceptual and comparative approach.The article finds that a feasible adoption model for Indonesia is depenalization. Depenalization in Indonesia can be achieved by reformulating the narcotics law. This reformulation includes categorizing narcotics users as addicts, self-users, and victims of narcotics abuse as victims of narcotics crimes. These individuals should be subjected to medical and social rehabilitation measures rather than criminal penalties.The depenalization concept is applied in Articles 54, 103, and 127 of the Narcotics Law, removing criminal sanctions for addicts, self-users, and victims of narcotics abuse. The article concludes that by adopting a depenalization policy, Indonesia can significantly reduce narcotics problems, as evidenced by Portugal's success. However, this requires substantial changes in the legal framework and societal attitudes towards addicts and narcotics abusers.Implementing a depenalization policy requires strong commitment from all relevant parties, including policymakers, law enforcement, and the general public. ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana kebijakan hukum penyalahguna Nakotika di Indonesia kemudian melihat dan membandingkan kebijakan hukum penyalahguna Narkotika di Portugal. Tulisan ini akan memberikan Gambaran apakah Indonesia dapat belajar dan mengadopsi kebijakan di Portugal kemudian pengadopsian yang bagaimana. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan perbandingan. Tulisan ini menemukan bahwa pengadopsian yang memungkinkan kita gunakan adalah dengan model depenalisasi. Depenalisasi di Indonesia dapat dilakukan dengan mereformulasikan ulang undang-undang narkotika. Reformulasi ini mencakup penggolongan pemakai narkotika sebagai pecandu, penyalahguna untuk diri sendiri, dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai korban dari kejahatan narkotika itu sendiri. Mereka diwajibkan untuk diberikan sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan sosial, bukan hukuman pidana. Konsep depenalisasi ini diterapkan dalam Pasal 54, 103, dan 127 Undang-Undang Narkotika dengan menghilangkan sanksi pidana bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahguna. Artikel ini menemukan bahwa dengan mengadopsi kebijakan depenalisasi, Indonesia dapat mengurangi permasalahan narkotika secara signifikan, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Portugal. Namun, hal ini memerlukan perubahan signifikan dalam kerangka hukum dan pandangan masyarakat terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika. Implementasi kebijakan depenalisasi membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak terkait, termasuk pembuat kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat umum.
Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemaksaan Melakukan Persetubuhan Terhadap Anak Anggraini, Widia; Sudarti, Elly; Rakhmawati, Dessy
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 5 No. 3 (2024)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v5i3.38200

Abstract

The purpose of this research is to identify, analyze and criticize the application of criminal penalties for the crime of forcing sexual intercourse with a child in Decision No. 141/Pid.Sus/2023/PN Mrt. This research uses a normative juridical research method, meaning that this research starts from a legal issue by analyzing a legal problem through statutory regulations, literature and other reference materials. And this research uses several approaches, including a statutory approach, a case law approach, a historical approach, a comparative approach and a conceptual approach. The results of this research show that in the judge's opinion that punishment is imposed on perpetrators who come from ethnic groups, children are of the opinion that punishment is not merely pursuing the objectives of the law itself. The panel of judges, in considering the sentence imposed, pays attention to the condition of the community, especially the tribal community, that in tribal communities where they have different customs from society in general, so that in this case the judge in taking a stance on the sentence imposed deviates from the special minimum rules. as specified in the law. ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu guna mengidentifikasi, menganalisis, serta mengkritisi mengenai penerapan penjatuhan pidana pada Tindak Pidana Pemaksaan Melakukan Persetubuhan Terhadap Anak pada Putusan No. 141/Pid.Sus/2023/PN Mrt. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative, artinya penelitian ini berangkat dari adanya isu hukum dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan perundang-undangan, literatur dan bahan referensi lainnya. Dan penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan antara lain pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case law approach), pendekatan historis (historis approach), pendekatan perbanddingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Hasil dari penelitian ini melihat bahwa penjatuhan pidana terhadap pelaku yang berasal dari kalangan suku anak dalam hakim berpendapat bahwa hukuman bukanlah semata-mata mengejar tujuan hukum itu sendiri. Majelis hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan pidananya, memperhatikan pada kondisi masyarakat khususnya masyarakat suku anak dalam bahwa didalam masyarakat suku anak dalam dimana mereka mempunyai adat istiadat yang lain dari masyarakat pada umumnya sehingga dalam hal ini hakim dalam mengambil sikap terhadap pidana yang dijatuhkan menyimpang dari aturan minimal khusus sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.
Problematika Hukum Pelanggaran Pidana Dan Adat Oleh Wisatawan Asing Lega, Dianawati; Hartanto, Hartanto
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 6 No. 1 (2025)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v6i1.34873

Abstract

There are many things that encourage the acceptance of foreign nationals in Indonesia, for example it can be influenced by the development of business cooperation, marital relations, natural and non-natural disasters so that they look for a safe place, and continue their education. The presence of foreign nationals can also give rise to new crimes due to cultural deviations both in positive law and customary law. This research aims to examine the emergence of massive new crimes and how positive law and customary law view them in dealing with the resolution process. Positive law is often called ius constitutum, which means positive law currently in force in Indonesia, while customary law is law that is owned by members of the community and is based on custom and does not have written rules. The gap in the presence of new crimes is a form of cultural (custom) damage that has the potential to develop into damage to positive law and local society. The research method uses a normative juridical approach to examine the law based on Article 26 paragraph (2) of the 1945 Constitution, Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights, Law no. 6 of 2011 concerning Immigration, based on local customary law which originates from community habits and is linked to the theory of cultural deviation. The research results show that cultural deviations give rise to new crimes, and there is no positive law provided to regulate crimes that arise as a result of cultural differences, so that most crimes no matter how big are committed by foreign nationals (WNA) only receive customary sanctions. ABSTRAK Banyak hal yang mendorong adanya penerimaan warga negara asing di Indonesia, sebagai contoh dapat dipengaruhi adanya Pembangunan kerja sama  bisnis, hubungan perkawinan, adanya bencana alam maupun non alam sehingga mencari tempat yang aman, dan melanjutkan Pendidikan. Kehadiran warga negara asing  tidak luput dapat melahirkan kejahatan baru karena adanya penyimpangan budaya baik secara hukum Positif maupun secara hukum adat. Penelitian ini guna mengkaji lahirnya kejahatan baru yang masif dan bagaimana tanggung jawab pidana dalam hukum Positif dan Hukum adat dalam menghadapi proses penyelesaiannya. Hukum positif yang sering disebut ius constitutum yang berarti hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia sedangkan Hukum adat hukum yang dimiliki warga masyarakat dan bersumber pada kebiasaan dan tidak memiliki aturan yang tertulis. Celah hadirnya kejahatan baru adalah suatu bentuk kerusakan budaya (adat) yang berpotensi berkembang menjadi kerusakan hukum posistif dan masyarakat setempat. Metode penelitian dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif menelaah secara hukum berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUD 1945, UU. No. 39  Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU. No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, berdasarkan Hukum adat Setempat yang bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan dikaitkan dengan teori penyimpangan budaya, dan didasari pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hasil penelitian menujukan bahwa penyimpangan budaya melahirkan kejahatan baru, dan belum ada hukum positif yang disediakan untuk mengatur kejahatan yang timbul akibat perbedaan budaya, sehingga kebanyakan kejahatan sebesar apapun yang dilakukan oleh Warga Negara Asing sebatas mendapat sanksi secara adat. Maka kedepannya harus dipertimbangkan bahwa hukum pidana tidak hanya mengatur pengaturan dalam hukum positif, namun juga adat dan kebiasaan yang hidup di masyarakar, sesuai dengan semangat dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Pemidanaan Atas Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Publik di Indonesia (Sebuah Tinjauan Kriminologi) Dwiantari, Rinni; Ridwan, Ridwan
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 6 No. 1 (2025)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v6i1.35176

Abstract

Corruption has long been a problem that is very difficult to eradicate and has now developed into something more complex because of the increasing modus operandi used by corrupt actors. In overcoming this, the government's commitment is needed to make formulations that can deter corruptors. This article discusses the factors that influence public officials to commit corruption and how the influence of social control in controlling this phenomenon. This research method uses the Normative Juridical Research Method, with the Research Specification used is the Legislative Approach. The data source used is secondary data which consists of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data Collection Techniques are Literature Study, Documents Study, and Interview Result. The results showed that the punishment carried out against public officials has not been able to provide a deterrent effect to the perpetrators due to the relatively low penalty and the absence of commitment of law enforcers to provide maximum punishment. Other findings also show a correlation of how community social control has a big influence in influencing law enforcement against corruption even though it has not been done optimally. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui Pemidanaan Terhadap Pejabat Publik Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Perspektif Kriminologi serta Pengaruh Kontrol Sosial Terhadap Penegakan Hukum Terkait Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Publik. Metode Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Yuridis Normatif, dengan Spesifikasi Penelitian yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan. Sumber Data yang digunakan adalah Data Sekunder yang di dalamnya terdiri dari Bahan Hukum Primer, Sekunder, dan Tersier. Teknik Pengumpulan Data adalah Studi Pustaka dan Studi Dokumen. Hasil Penelitian yang diperoleh yaitu pemidanaan terhadap Pejabat Publik yang melakukan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia belum dilakukan secara maksimal karena belum pernah ada pidana mati yang dijatuhkan walaupun opsi mengenai penjatuhan pidana mati telah diatur secara jelas dalam Undang Undang, serta pembayaran denda dan uang pengganti akibat dari korupsi yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah kerugian yang ditanggung oleh negara. Selain itu juga Kontrol Sosial Masyarakat terhadap Tindak Pidana Korupsi dan Koruptor masih tergolong sangat rendah.
Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Bisnis Dengan Sistem Ponzi di Indonesia Wulandari, Ni Gusti Agung Ayu Mas Tri; Antari, Putu Eva Ditayani
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 6 No. 1 (2025)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v6i1.36199

Abstract

Technological advances in the financial sector have encouraged the emergence of various digital economic facilities, one of which is investment facilities. However, in practice there are still many companies that use this sophisticated technology for illegal business, one of which is the Ponzi Scheme. The Ponzi scheme itself is an activity of collecting public funds with the promise of paying high profits that far exceed normal investment profits in a short time. This Ponzi scheme is run by recruiting new members so that money continues to flow in and be turned into certain businesses or investments, but rather becomes capital to pay members who have registered first. So the lowest members will find it difficult to get benefits. The author conducted research on law enforcement against Ponzi perpetrators, the aim of this research was to analyze the legal consequences for Ponzi perpetrators and legal protection for Ponzi victims. The research method used is: Normative legal research method examines legal problems using legal materials consisting of legislation, books, legal journals and others. The results of this research are as follows: Ponzi perpetrators in Indonesia can be charged under Article 378 of the Criminal Code concerning Fraud and because they do not have permits related to Ponzi scheme victims because they use electronic media, they can be charged under Article 28 paragraph 1 of Law Number 19 of 2016 concerning Amendments regarding Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions against victims of the Ponzi scheme. Abstrak Kemajuan teknologi di bidang finansial mendorong munculnya berbagai macam sarana perekonomian digital, salah satunya sarana investasi. Namun pada prakteknya masih banyak perusahaan yang memanfaatkan kecanggihan teknologi ini untuk bisnis illegal salah satunya adalah Skema Ponzi. Skema ponzi sendiri adalah kegiatan mengumpulkan dana masyarakat dengan janji bayaran keuntungan yang tinggi dan jauh melebihi keuntungan investasi normal dalam tempo waktu yang singkat. Skema Ponzi ini dijalankan dengan merekrut member-member baru sehingga ada uang yang tetap mengalir masuk dan di putar dalam bisnis atau investasi tertentu, melainkan menjadi modal untuk membayar member yang telah mendaftar lebih dahulu. Sehingga member yang paling bawah akan susah mendapatkan keuntungan. Penulis melakukan penelitian tentang penegakan hukum terhadap pelaku Ponzi, tujuan penelitian ini  untuk  menganalisis  akibat  hukum  bagi pelaku Ponzi serta perlindungan hukum bagi korban Ponzi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan meneliti aturan hukum mengenai sanksi pidana bagi pelaku kejahatan bisnis dengan sistem Ponzi di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa salah satu penegakan hukum dipengaruhi oleh hukum itu sendiri, saat ini, penegakan hukum terhadap pelaku Ponzi di Indonesia menggunakan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, oleh karena tidak memiliki izin berkaitan dengan skema ponzi melalui media elektronik maka dapat dikenakan Pasal 28 ayat 1 UU ITE, dan mengenai perlindungan hukum bagi korban kejahatan bisnis dengan skema Ponzi ini adalah dalam bentuk preventif dan reprsif. Kesimpulan yang diperoleh bahwa penegakan hukum terhadap skema Ponzi masih kurang efektif dan efesien, hal ini disebabkan karena tidak adanya undang-undang yang mengatur skema Ponzi secara khusus, untuk itu seyogyanya para investor agar lebih teliti dan berhati-hati sebelum memulai investasi bisnis.
Uji Model Pengukuran Radikalisme Studi Implementasi Terhadap Kemahasiswaan usman, usman; Sudarti, Elly; Arfa, Nys; Hernando, Riski
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 6 No. 1 (2025)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v6i1.37903

Abstract

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Ujaran Kebencian Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Najemi, Andi; Monita, Yulia; Erwin, Erwin
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 6 No. 1 (2025)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v6i1.38041

Abstract

This research departs from a heroic that the number of cases of hate speech through social media carried out by the community. This is inseparable from the ease of the community to express their opinions, ideas and ideas without knowing the consequences caused by their actions. Freedom of opinion is interpreted by the community may be carried out as freely as possible, the community cannot distinguish between criticism and expressions of hatred. This certainly raises a problem related to the high cases of hate speech by the community. The ITE Law in formulating the acts of hate speech raises multi-interpretations, so that in determining its application raises legal issues. Therefore, the purpose of this study is to analyze the formulation of criminal liability elements in determining the acts of hate speech in statutory regulations, determining the limits of hate speech in relation to criminal accountability to actors based on statutory regulations, so it is very necessary to renew Criminal law so that it can be formulated concretely in the ITE Law so as not to cause multiple interpretations and can provide legal certainty to the perpetrators or the victims. The research method used is normative research, which concerns the study of legal materials, including primary, secondary, and tertiary legal materials. The methods used are: the legal approach, also known as the law approach, and the case approach, which involves the review of cases related to legal issues discussed. ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari suatu kenyatakaan bahwa banyaknya kasus ujaran kebencian melalui media sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas mudahnya masyarakat mengekpresikan pendapatnya, ide maupun gagasannya tanpa mengetahui akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut. Kebebasan berpendapat ditafsirkan oleh masyarakat boleh dilakukan sebebas-bebasnya, masyarakat tidak bisa membedakan antara kritik dan ujaran kebencian. Hal tersebut tentunya menimbulkan suatu persoalan berkaitan dengan tingginya kasus ujaran kebencian yang dilakukan masyarakat. Undang-Undang ITE dalam merumuskan perbuatan ujaran kebencian menimbulkan multi tafsir, sehingga dalam menentukan penerapannya menimbulkan persoalan hukum. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah Untuk menganalisis rumusan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dalam menentukan perbuatan ujaran kebencian dalam peraturan Perundang-undangan, menentukan batasan perbuatan ujaran kebencian dalam kaitannya dengan pertanggungngjawaban pidana terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga sangat perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana agar dapat dirumuskan secara konkrit dalam UU ITE tersebut agar tidak menimbulkan multi tafsir dan dapat memberikan kepastian hukum terhadap pelaku maupun terhadap korban. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu menyangkut kajian bahan hukum, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode yang digunakan adalah: Pendekatan hukum, juga dikenal sebagai pendekatan undang-undang, dan pendekatan kasus, yang melibatkan peninjauan kembali kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah hukum yang dibahas.
Pemidanaan Terhadap Pelaku Pemungutan Suara Lebih Dari Satu Kali dalam Pemilihan Umum Matondang, Cristien; Hafrida, Hafrida; Rahayu, Sri
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 6 No. 1 (2025)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v6i1.38672

Abstract

The purpose of this research: To analyze the basis of the judge's considerations in decision number 106/Pid.Sus/2024/PN Mbn and number 104/Pid.Sus/2024/PN Jap as well as analyze the substantial differences in the legal facts considered between decision number 106/ Pid.Sus/2024/Pn Mbn and number 104/Pid.Sus/2024/PN Jap. This research method: uses normative juridical legal research. The results of the analysis show that the judge's basic considerations in both decisions include the elements of the indictment, the perpetrator's intentions, and the severity of the offense. However, there are differences in the context and motivation for the actions carried out by the defendant. In the first judgment, the act of double voting was situational and without clear malicious intent, while the second judgment involved collaboration that increased the seriousness of the offense. These differences have direct implications for election integrity. In rendering a verdict, it may be beneficial to continue to consider factors such as the elements of the charge, the intent of the perpetrator, and the background of the defendant. This approach can strengthen judges' judgment in assessing the severity of violations and their impact on election integrity. Given the substantial differences between the two cases, a contextual assessment of the defendant's actions can be important. Considering the context and motivation behind each action can help in producing decisions that are fairer and reflect the principles of justice Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan pemberian sanksi pidana dalam dua perkara yang berkaitan dengan pelanggaran Pemilu, yaitu Putusan Nomor 106/PID.SUS/2024/Pn Mbn dan Putusan Nomor 104/Pid.Sus/2024/PN Jap. Kedua perkara tersebut menguji pelanggaran yang sama, yaitu pemberian suara lebih dari satu kali pada satu atau lebih TPS, yang diatur dalam Pasal 516 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif dengan pendekatan perbandingan, yang membandingkan pemberian sanksi pidana terhadap terdakwa dalam kedua putusan. Berdasarkan hasil analisis, penelitian ini menemukan ketidakseimbangan dalam pemberian sanksi, di mana terdakwa dalam Putusan Nomor 106/PID.SUS/2024/Pn Mbn dijatuhi hukuman yang lebih ringan (15 hari penjara), meskipun perbuatannya dilakukan dengan kesengajaan, sementara terdakwa dalam Putusan Nomor 104/Pid.Sus/2024/PN Jap menerima hukuman lebih berat (4 bulan penjara) yang tentunya sesuai karena terdakwa merupakan saksi partai politik yang menjadi alasan pemberat. Kesimpulannya, terdapat ketidakseimbangan dalam penerapan hukuman yang dapat merugikan prinsip keadilan dan konsistensi dalam sistem peradilan. Oleh karena itu, saran yang diberikan adalah agar sistem peradilan dapat memberikan hukuman yang lebih proporsional dan konsisten, dengan memperhatikan bobot pelanggaran dan faktor-faktor yang relevan, seperti kesengajaan dan dampak dari pelanggaran tersebut, guna tercapainya keadilan yang setara.