cover
Contact Name
Tri Imam Munandar
Contact Email
imamtri@unja.ac.id
Phone
+6285266101878
Journal Mail Official
pjc@unja.ac.id
Editorial Address
Jl. Lintas Jambi - Ma. Bulian KM. 15, Mendalo Darat, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi, Indonesia 36122
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
PAMPAS: Journal of Criminal Law
Published by Universitas Jambi
ISSN : 27217205     EISSN : 27218325     DOI : https://doi.org/10.22437/pampas.v3i1
Core Subject : Social,
PAMPAS: Journal of Criminal Law (ISSN Print 2721-7205 ISSN Online 2721-8325) is a periodical scientific publication in the field of Criminal Law. The word Pampas comes from the Malay language which means Compensation, Pampas is a traditional Jambi sanction as a law to injure people. This journal is published by the Faculty of Law, Jambi University as a medium for discussing Criminal Law. First published in February 2020, PAMPAS: Journal of Criminal Law is published three times a year, namely in February, June and October. In each of its publications, PAMPAS: Journal of Criminal Law publishes 8-10 articles on the results of research or research on criminal law. PAMPAS: Journal of Criminal Law publishes articles on the results of research or studies of criminal law, including: (1) criminal law (2) criminal procedural law (3) criminology (4) victimology (5) special crimes (6) criminal law enforcement (7) criminal law reform (8) penal policy (9) comparative criminal law (10) criminal law and punishment (11) international criminal law (12) criminal customary law (13) criminal justice system (14) Islamic Criminal Law (15) military crime and the study of Indonesian criminal law which is global in nature in accordance with the latest developments in the dynamics of criminal law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 162 Documents
Pemidanaan terhadap Pelaku yang Bersama-sama Melakukan Tindak Pidana Narkotika dengan Permufakatan Jahat Ratna Hidayati; Herry Liyus; Nys Arfa; Aga Anum Prayudi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.20036

Abstract

This study aims to analyze the Prosecution of Perpetrators Who Jointly Commit Narcotics Crimes with Malicious Settlement based on The Analysis of Court Decision No. 156 / Pid.Sus / 2018 / PN. TLC. The results of this study show that criminal charges against the defendants in Court Decision No. 156 / Pid.Sus / 2018 / PN. KLT based on the role carried out by each defendant with the proven actions of the defendants in accordance with Article 18 of Law No. 35 of 2009 on Narcotics with the imposition of criminal penalties under Article 114 Paragraph (2) Jo. Article 132 Paragraph (1) of Law No. 35 of 2009 on Narcotics that is that the defendants act as people participate in (medeplegen), and the person who is persuaded to commit a criminal act (uitlokken) and as a basis for the judge's consideration in the giving of the weight or lightness of the sentence of the accused judge must pay attention to several considerations. In criminal proceedings against the accused shall be proportionate to the weight of the guilt made by the accused and the prosecution shall not reflect the arbitrariness of the sentence itself. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pemidanaan Terhadap Pelaku Yang Bersama-sama Melakukan Tindak Pidana Narkotika Dengan Permufakatan Jahat berdasarkan Analisis Putusan Pengadilan Nomor 156/Pid.Sus/2018/PN. KLT. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penjatuhan pidana terhadap para terdakwa dalam Putusan Pengadilan Nomor 156/Pid.Sus/2018/PN. KLT berdasarkan dengan peran yang dilakukan oleh masing-masing terdakwa dengan terbuktinya tindakan para terdakwa yang sesuai dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan penjatuhan hukuman pidana berdasarkan Pasal 114 Ayat (2) Jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu bahwa para terdakwa berperan sebagai orang turut serta melakukan (medeplegen), orang yang membantu melakukan (medeplichtige) dan orang yang dibujuk melakukan tindak pidana (uitlokken) serta sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam pemberian berat atau ringannya hukuman terdakwa hakim harus memerhatikan beberapa pertimbangan. Dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa harus sebanding dengan bobot kesalahan yang dibuat oleh terdakwa dan pemidanaan tidak boleh mencerminkan kesewenang-wenangan dari hukuman itu sendiri.
Penegakan Hukum Pidana terhadap Polisi yang Melakukan Kekerasan terhadap Para Pengunjuk Rasa Susi Sasmita; Sahuri Lasmadi; Erwin Erwin
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i3.20748

Abstract

The purpose of the article is to: write about the regulation of criminal law enforcement and the legal consequences for the police who commit violence against protesters. With this aim, in this article, we will discuss: The regulation of criminal law enforcement and legal consequences for the Police who commit violence against Protesters. With this discussion, the research method used is normative juridical research. This article concludes that: 1) In providing security during rallies, law enforcement officers, in this case the police, still carry out many acts of violence to deal with anarchic protesters. 2) The police as law enforcement officers in dealing with anarchic protesters should prioritize preventive measures and other actions that are permitted and allowed by law to be carried out. 3) Violent actions in dealing with anarchic protesters must be avoided, however, because they can provoke anarchy and even greater chaos. In addition, to Article 18 of Law Number 2 of 2002 concerning the Police, amendments also need to be made because it is still unclear and firm on the use of the article, as well as regarding the limits on actions that are allowed to be carried out based on that article. Abstrak Tujuan artikel untuk: menulis tentang pengaturan penegakan hukum pidana dan akibat hukumnya bagi Polisi yang melakukan kekerasan terhadap Pengunjuk Rasa.  Dengan tujuan tersebut maka dalam artikel ini akan dibahas tentang: Pengaturan penegakan hukum pidana dan akibat hukum bagi Polisi yang melakukan kekerasan terhadap Pengunjuk Rasa. Dengan pembahasan tersebut maka metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normative. Artikel ini disimpulkan bahwa: 1)Dalam melakukan pengamanan dalam aksi unjuk rasa, aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi masih banyak yang melakukan tindakan kekerasan untuk menangani pengunjuk rasa yang anarkis. 2)Polisi sebagai aparat penegak hukum dalam menangani pengunjuk rasa yang anarkis seharusnya mengedepankan tindakan pencegahan dan tindakan-tindakan lainnya yang dalam aturan hukum diperbolehkan dan memungkinkan untuk dilakukan. 3)Tindakan kekerasan dalam menangani pengunjuk rasa yang anarkis bagaimanapun harus dihindarkan untuk dilakukan karena bisa memancing terjadinya anarkis dan kericuhan yang lebih besar lagi. Selain itu, terhadap Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian juga perlu dilakukan perubahan dikarenakan masih kurang jelas dan tegas terhadap penggunaan pasal tersebut, serta mengenai batasan atas tindakan yang diperbolehkan untuk dilakukan berdasarkan pada pasal tersebut.
Penggunaan Sidik Jari dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Pencurian Andrean Dwi Yulianto; Yulia Monita; Dessy Rakhmawati
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.20021

Abstract

The purpose of this study is to find out and aware of the process of using fingerprints in uncovering criminal acts of theft which are carried out for investigations in the jurisdiction of Polresta Jambi and to find out and realize the effectiveness of fingerprints as a supporter of the investigation process which is used as evidence in cases of criminal acts of theft in the jurisdiction Polresta Jambi. With many cases of theft with violence and weighting, the use of fingerprints in Polresta Jambi to revealing a crime of theft is because fingerprints are very accurate. With the use of fingerprints, the investigation process can be easier compared to other evidence, if fingerprints are found as initial evidence, the investigators just need to process the fingerprints and the identity of the owner of the fingerprint will be seen immediately, then the investigators just need to look for the person whose identity and known as suspected of being the perpetrator of the crime of theft.  The effectiveness of Polresta Jambi has been very effective, it can be seen from the 27 cases that occurred from 2017-2020, It will be revealed using fingerprints as initial instructions because they were supported by sophisticated tools in which the tools were directly sent from the central INAFIS in Indonesia. Jakarta, so it does not take long time to process the fingerprints. Abstrak Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan menyadari proses penggunaan sidik jari dalam mengungkap tindak pidana pencurian yang dilakukan untuk penyidikan di wilayah hukum polresta jambi serta untuk mengetahui dan menyadari efektivitas sidik jari sebagai pendukung proses penyidikan yang dijadikan alat bukti dalam perkara tindak pidana pencurian di wilayah hukum polresta jambi. Dengan banyak kasus pencurian dengan kekerasan dan pemberatan, penggunaan sidik jari ini yang dilakukan oleh Polresta Jambi dalam mengungkapkan suatu tindak pidana pencurian karena sidik jari sifatnya sangat akurat. Dengan penggunaan sidik jari ini, maka proses penyidikan bisa lebih mudah dibanding dengan alat bukti lain, apabila sudah ditemukan sidik jari sebagai barang bukti awal, maka penyidik tinggal mengolah sidik jari tersebut dan akan terlihat langsung identitas pemilik sidik jari tersebut, lalu penyidik tinggal mencari orang yang sudah diketahui identitasnya itu yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian. Dan Efektivitasnya sendiri, untuk Polresta Jambi sudah sangat efektif terlihat dari 27 kasus yang terjadi dari tahun 2017-2020 semuanya terungkap dengan menggunakan sidik jari sebagai petunjuk awal karena didukung alat-alat yang canggih yang mana alat-alat tersebut langsung di kirim dari INAFIS pusat di Jakarta, sehingga untuk mengolah sidik jari tersebut tidak memakan waktu yang lama.
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Kepemilikan Serbuk Ampo sebagai Bahan Peledak (Studi Putusan Nomor: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk) M. Fadel Robby Syahputra; Zulfi Diane Zaini; Angga Alfiyan
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.20037

Abstract

One of the cases regarding possession of explosives is in Decision Number: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk which states that the defendant Kurniawan Azhar Amran Bin M. Rosyid is guilty of having been legally and convincingly proven to have committed the crime of possessing, carrying, and possessing supplies to him. or has in his possession, keeps, transports, hides, uses explosives. The research method uses a normative and empirical juridical approach. The results showed that the factors causing the perpetrators to commit the crime of possessing ampo powder as explosives based on Decision Number: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk were factors for self-defense or self-defense. In addition, ampo powder as an explosive resulting from this crime is very popular because ampo powder as an explosive is not registered so it is difficult to track it, moreover it is easy to use by various parties in the territory of Indonesia, including there are people who misuse ampo powder as an explosive. for crimes such asillegal fishing. The judge's basic considerations in imposing a criminal offense against the perpetrators of the crime of possession of ampo powder as explosives based on Decision Number: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk are aggravating matters, namely the actions of the defendant can endanger the safety of the people and themselves, while mitigating things is the first time the defendant has faced the law, admitted his actions and promised not to do it again, the defendant was polite and cooperative during the trial so that the trial ran smoothly. Criminal liability for the perpetrators of the crime of possessing ampo powder as explosives based on Decision Number: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk is by imprisonment for 1 (one) year and 6 (six) months and stipulates that the period of arrest and detention served by the Defendant is deducted entirely from the sentence imposed and stipulates that the Defendant remains detained. Abstrak Salah satu perkara mengenai kepemilikan bahan peledak adalah pada Putusan Nomor: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk yang menyatakan terdakwa Kurniawan Azhar Amran Bin M. Rosyid bersalah melakukan telah terbukti secara syah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan bahan peledak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana kepemilikan serbuk ampo sebagai bahan peledak berdasarkan Putusan Nomor: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk adalah faktor untuk menjaga diri atau membela diri. Selain itu serbuk ampo sebagai bahan peledak yang dihasilkan dari tindak pidana ini sangat digemari karena serbuk ampo sebagai bahan peledak ini tidak terdaftar sehingga sulit terlacak, terlebih lagi mudah digunakan oleh berbagi pihak di wilayah Indonesia, diantaranya terdapat orang yang menyalahgunakan serbuk ampo sebagai bahan peledak tersebut untuk kejahatan seperti mencari ikan secara ilegal (illegal fishing). Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan serbuk ampo sebagai bahan peledak berdasarkan Putusan Nomor: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk adalah hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa dapat membahayakan keselamatan orang banyak dan diri sendiri, sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa baru pertama kali berhadapan dengan hukum, mengakui perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya kembali, terdakwa sopan dan kooperatif selama persidangan sehingga persidangan lancar. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan serbuk ampo sebagai bahan peledak berdasarkan Putusan Nomor: 488/Pid.Sus/2021/PN Tjk adalah dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan menetapkan masa penangkapan serta penahanan yang dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan menetapkan Terdakwa tetap ditahan.
Pencegahan Kejahatan Terhadap Cybercrime Andreas Agung; Hafrida Hafrida; Erwin Erwin
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.23367

Abstract

This article aims to find out and understand about cybercrime prevention and analyze the constraints of the implementation of cybercrime prevention in the Jambi Regional Police Jurisdiction. The results of this study show that: 1. Prevention of cybercrime by jambi police there are various forms of prevention consisting of cyber patrols, online education, through instagram accounts, twitter @ccicjambi and also actions in the form of education carried out offline through leaflets and tron videos, direct reprimands through social media, take down, legal action. 2. As for cybercrime prevention has not run optimally than the prevention and enforcement carried out by the Jambi Regional Police, this is due to the lack of personnel than the Jambi Subdit Cyber Police Ditreskrimsus itself. Author's advice to law enforcement officials 1. Polda Jambi is expected to recruit many experts in the field of Information Technology or IT and increase cyber patrols, cyber education, direct reprimands, take downs, and legal actions consistently and must be better in conducting offline and online education. 2. Jambi Police must pay attention to repressive measures to cybercrime perpetrators in order to provide a deterrent effect and ensure legal certainty to victims. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami mengenai Pencegahan cybercrime dan menganalisis mengenai kendala pelaksanaan Pencegahan cybercrime di Wilayah Hukum Polda Jambi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa: 1. Pencegahan cybercrime oleh Polda Jambi terdapat berbagai bentuk pencegahan terdiri dari patroli siber, edukasi online, melalui akun instagram, twitter @ccicjambi dan juga tindakan berupa edukasi yang dilakukan secara offline melalui selebaran maupun video tron, teguran langsung melalui sosial media, take down, tindakan hukum. 2. Adapun pencegahan cybercrime belum berjalan dengan maksimal dari pada pencegahan serta penegakan hukum yang dilakukan oleh Polda Jambi hal ini disebabkan oleh kurangnya personil daripada Ditreskrimsus Polda Jambi Subdit siber sendiri. saran penulis kepada aparat penegak hukum 1. Polda Jambi diharapkan dapat merekrut banyak tenaga ahli dibidang Information Technology atau IT serta meningkatkan lagi patroli siber, edukasi siber, teguran langsung, take down, dan tindakan hukum secara konsisten serta harus lebih baik lagi dalam melakukan edukasi offline maupun online. 2. Polda Jambi harus memperhatikan tindakan represif kepada pelaku cybercrime guna untuk memberikan efek jera serta menjamin kepastian hukum pada korban.
Pelaksanaan Penanganan Anak Melalui Proses Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia Sausan Afifah Denadin
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.19297

Abstract

This article aims to determine the implementation of handling children through the diversion process in the renewal of the juvenile criminal justice system in Indonesia. The formulation of the problem is how to approach restorative justice in the law on the juvenile criminal justice system in Indonesia? and how is the implementation of handling children through the diversion process in the renewal of the juvenile criminal justice system in Indonesia? This study uses a normative juridical method. The result of the research is that the restorative justice approach in the Juvenile Criminal Justice System emphasizes that criminal acts committed by children cannot be fully charged to them, but are also the responsibility of the adults around them, especially the community as an element of restorative justice. Restorative Justice is the settlement of cases of child criminal offenders by involving related parties in order to seek a settlement outside the court with the principle of restoring the situation and not with the aim of avenging the perpetrator's actions with imprisonment. This restorative justice approach in the Juvenile Criminal Justice System must be carried out first to resolve any child cases in conflict with the law. The concepts of restorative justice and diversion are contained in Article 5 Paragraph (1), Paragraph (2), and Paragraph (3) of Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. The implementation of diversion by law enforcement officials is based on the authority of law enforcement officials which is called discretion. Diversion is a policy that is carried out to avoid perpetrators from the formal criminal justice system. The affirmation of diversion is explicitly stated in UN resolution 45/113 which came into force on December 14, 1990. In this resolution it is expressly stated that the rights and safety of children are enforced and protected in the implementation of juvenile justice, in order to realize the physical and mental well-being of children. Based on Law Number 11 of 2012 concerning the Criminal Justice System for Children, Diversion must be pursued at every stage starting from the investigation stage, prosecution, to the stage of examining children's cases in the District Court. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penanganan anak melalui proses diversi dalam pembaharuan sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pendekatan keadilan restoratif dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak di indonesia ? danbagaimana pelaksanaan penanganan anak melalui proses diversi dalam pembaharuan sistem peradilan pidana anak di indonesia ?. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian adalah Pendekatan keadilan restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menekankan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada mereka, namun juga merupakan tanggung jawab orang dewasa di sekitarnya, terutama masyarakat sebagai salah satu elemen dari keadilan restoratif. Keadilan Restoratif merupakan penyelesaian perkara pelaku pidana anak dengan melibatkan pihak-pihak terkait demi mencari penyelesaian diluar pengadilan dengan prinsip pemulihan keadaan dan bukan pada tujuan membalaskan perbuatan pelaku dengan pidana penjara. Pendekatan Keadilan Restoratif (restorative justice) ini di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib dilakukan terlebih dahulu untuk menyelesaikan setiap perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Konsep Keadilan Restoratif (restorative justice) dan diversi terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pelaksanaan diversi oleh Aparat Penegak Hukum didasari oleh kewenangan Aparat Penegak Hukum yang disebut discretion atau diskresi. Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal. Penegasan Diversi secara eksplisit tertuang dalam resolusi PBB 45/113 yang mulai berlaku pada tanggal 14 Desember 1990. Dalam resolusi ini secara tegas dikemukakan perlunya ditegakkan dan dilindungi hak-hak dan keselamatan anak didalam penyelenggaraan peradilan anak, guna terwujudnya kesejahteraan fisik dan mental anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Diversi wajib diupayakan dalam setiap tahap mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai pada tahap pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri.
Keadilan Restoratif sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Ringan Tita Nia; Haryadi Haryadi; Andi Najemi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.19993

Abstract

The purpose of this study was to determine the process of restorative justice in the settlement of criminal acts of Article 352 of the Criminal Code in terms of the Regulation of the Indonesian National Police Number 8 of 2021 concerning the Handling of Crimes Based on Restorative Justice. Empirical juridical research methods. The conclusion of the implementation of restorative justice at the Sarolangun Police Station has been carried out and refers to the Regulation of the Indonesian National Police Number 8 of 2021 concerning the Handling of Crimes Based on Restorative Justice, but not all minor crimes are carried out with restorative justice because this can be realized when an agreement is reached by both parties. if it cannot be resolved in a restorative manner, the case is transferred to the prosecutor's office. Suggestions with the regulation of the head of the police force are expected to be able to carry out restorative justice to avoid short-term criminal penalties and in the future a law can be passed which specifically regulates the limits of compensation that can be submitted by victims to perpetrators because this is to maintain legal certainty and investigators further optimizing socialization to the public that restorative justice can be an effort in resolving minor crimes Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dari keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana Pasal 352 KUHP ditinjau dari Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Metode penelitian yuridis empiris. Kesimpulan pelaksanaan keadilan restoratif di polres sarolangun sudah dilaksanakan dan mengacu pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, tetapi tidak semua tindak pidana ringan dilakukan secara keadilan restoratif karena hal tersebut dapat terwujud ketika tercapai kesepakatan kedua belah pihak jika tidak bisa diselesaikan secara keadilan restoratif maka perkara tersebut dilimpahkan ke kejaksaan. Saran dengan adanya peraturan kepala kepolisian ini diharapkan untuk bisa melakukan keadilan restoratif untuk menghindari penjatuhan pidana jangka pendek serta kedepannya dapat disahkan undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai batasan ganti rugi yang dapat diajukan oleh korban terhadap pelaku karena hal ini untuk mempertahankan kepastian hukum dan penyidik lebih mengoptimalkan sosialisasi kepada masyarakat bahwa keadilan restoratif dapat menjadi upaya dala penyelesain tindak pidana ringan.  
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Wahyu Noviacahyani; Elly Sudarti
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i3.23585

Abstract

The development of corruption in Indonesia today has caused enormous state losses. Corruption crimes committed by Civil Servants must be prosecuted according to law. Corruption is categorized as an extraordinary crime. The crime committed by a prosecutor named Pinangki Sirna Malasari attracted the wider community because the criminal verdict handed down was too low and the act reflected justice. Based on the problems above, the authors draw the formulation of the problem as follows; First, what is the form of punishment imposed on perpetrators of corruption in Decision Number: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? Second, what is the basis for the judge's consideration in imposing a sentence on Decision Number: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? This writing uses a normative juridical research method due to the injustice of Decision Number: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI. The results of the study show that: 1) The form of punishment imposed on the defendant is imprisonment for 4 years and a fine of Rp. 600,000,000.00 and dismissal from his position as a Prosecutor. 2) The reasons that became the basis for the judge's consideration in Decision Number: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI, namely: 1) That the defendant pleaded guilty and regretted his actions and had been dismissed from his profession as a prosecutor; 2) Whereas the defendant is a mother who has a child under the age of 4 years so that she deserves the opportunity to give love to her child; 3) Whereas the defendant as a woman must receive protection and be treated fairly; 4) That the defendant's actions were not carried out alone but involved other parties who were also responsible. Therefore, the author is of the opinion that there is injustice in Decision Number: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI. namely the low number of criminal decisions handed down in the corruption case Abstrak Perkembangan korupsi di Indonesia sekarang ini menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, mesti dilakukan penindakan sesuai hukum. Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa. Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang Jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari menarik masyarakat luas karena putusan pidana yang dijatuhkan terlalu rendah dan tindak mencerminkan suatu keadilan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut; Pertama, Bagaimana bentuk pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? Kedua, Apa dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Putusan Nomor: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan adanya ketidakadilan terhadap Putusan Nomor: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI. Hasil penelitian menunujukkan bahwa: 1) Bentuk pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa yaitu, pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp600.000.000,00 dan pemecatan jabatan sebagai Jaksa. 2) Alasan yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yaitu: 1) Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbutannya serta telah dipecat dari profesinya sebagai Jaksa; 2) Bahwa terdakwa adalah seorang ibu yang mempunyai anak balita berusia 4 tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk memberi kasih sayang kepada anaknya; 3) Bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perlindungan dan diperlakukan secara adil; 4) Bahwa perbuatan terdakwa tidak diilakukan seorang diri melainkan melibatkan pihak lain yang turut bertanggungjawab. Maka dari itu, Penulis berpendapat bahwa ada ketidakadilan dalam Putusan Nomor: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI. yaitu dengan rendahnya putusan pidana yang dijatuhkan dalam kasus korupsi tersebut
Penyadapan Pada Tindak Pidana Korupsi Perspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia Vivi Octaviani; Usman Usman; Tri Imam Munandar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i3.23370

Abstract

The purposes of this study are 1) To find and analyze wiretapping arrangements in the criminal act of corruption from human rights’ perspective. 2) To find and analyze the urgency of wiretapping regulation on corruption in human rights’ perspective. The method used in this study is a normative-juridical research. The results of this study can be stated that wiretapping is an act carried out to obtain private information or confidential which aim of revealing the truth existence of a criminal act of corruption. Regulations regarding wiretapping in corruption crimes regulated in Law Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption and Law Number 30 of 2002 concerning the Commission for the Eradication of Criminal Acts of Corruption. Regarding the authority of the KPK in conducting wiretapping. However, the regulations that have regulated the wiretapping have not regulated the wiretapping in detail in its entirety, so in its implementation it often contradicts human rights. In the last three years one of the corruption laws has undergone a renewal, namely Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission as amended to become Law Number 19 of 2019 concerning the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission. The reforms contained in the law include the renewal of rules regarding wiretapping, but unfortunately the renewal has caused controversy in the public realm. So it is necessary to establish a special law regarding wiretapping. Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah 1)Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan penyadapan pada tindak pidana korupsi perspektif perlindungan hak asasi manusia. 2)Untuk mengetahui dan menganalisis urgensi pengaturan penyadapan pada tindak pidana korupsi perspektif perlindungan hak asasi manusia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini dapat dikemukakan bahwa penyadapan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang bersifat privasi ataupun rahasia yang mempunyai tujuan untuk mengungkapkan kebenaran adanya suatu tindak pidana korupsi. Pengaturan tentang penyadapan dalam tindak pidana korupsi telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didalamnya telah mengatur tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan. Akan tetapi pengaturan yang telah mengatur tentang penyadapan belum mengatur secara keseluruhan tentang penyadapan secara rinci sehingga pada pelaksanaannya sering kali bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam tiga tahun terakhir salah satu Undang-Undang tindak pidana korupsi telah mengalami pembaharuan yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembaharuan yang terdapat didalam Undang-Undang tersebut termasuk pembaharuan aturan mengenai penyadapan, namun sayangnya pembaharuan itu menimbulkan kontroversi diranah publik. Sehingga perlunya dibentuk Undang-Undang secara khusus tentang penyadapan.
Forensik Digital dalam Pembuktian Tindak Pidana Ujaran Kebencian di Media Sosial Farol Medeline; Elis Rusmiati; Rully Herdita Ramadhani
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i3.19691

Abstract

The development of technology is inevitable. Technology exists in people's lives and brings changes that make everyday life easier. Communication is an aspect of life that changes with the development of technology in our lives, and Social media is one of the most important means by which people communicate and receive information. The presence of social media in people's lives not only facilitates the exchange of information, but also brings new problems that lead to criminal activity. One's freedom on social media often results in hate speech being uploaded. As a crime that takes place on social media, hate speech requires digital forensics mechanisms to examine the digital and electronic evidence found. Detecting hate speech using digital forensics is important to find out if a name listed on a social media account is the person who made the hate speech. Detecting hate speech using digital forensics is important to find out if a name listed on a social media account is the person who made the hate speech. The use of digital forensics in evidence aims to achieve material truth that is. Abstrak Perkembangan teknologi saat ini menjadi suatu hal mutlak yang tidak bisa dihindari. Teknologi hadir dalam kehidupan masyarakat dan membawa perubahan yang merubah dan membuat kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah. Komunikasi merupakan aspek kehidupan yang ikut mengalami dampak perubahan seiring dengan perkembangan teknologi dalam kehidupan, dan media sosial merupakan salah satu media utama bagi masyarakat untuk berkomunikasi dan mendapat informasi. Kehadiran media sosial dalam kehidupan masyarakat tidak hanya memfasilitasi pertukaran informasi, tetapi juga membawa masalah baru yang mengarah pada tindakan kriminal. Kebebasan yang dimiliki seseorang di media sosial untuk mengekspresikan dirinya sering kali menghasilkan ujaran kebencian yang diunggah sebagai konten media sosial tersebut. Sebagai kejahatan yang terjadi di media sosial, ujaran kebencian membutuhkan mekanisme forensik digital untuk memeriksa bukti digital dan elektronik yang ditemukan. Memeriksa bukti dalam tindak pidana ujaran kebencian menggunakan forensik digital penting merupakan hal yang penting untuk mengetahui apakah nama yang tercantum di akun media sosial adalah orang yang melakukan ujaran kebencian tersebut. Digunakannya forensik digital dalam proses pembuktian bertujuan untuk mencapai kebenaran materil sebagai tujuan hukum acara pidana. Faktanya, penggunaan forensik digital untuk mengambil bukti di pengadilan pada tahap peninjauan seringkali tidak digunakan.

Page 8 of 17 | Total Record : 162