cover
Contact Name
Syahreza Fachran
Contact Email
padjadjaranlawreview@gmail.com
Phone
+6282113093118
Journal Mail Official
padjadjaranlawreview@gmail.com
Editorial Address
Jl. Dipati Ukur No.35, Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Padjadjaran Law Research and Debate Society
ISSN : 24076546     EISSN : 26852357     DOI : doi.org/10.56895/plr
Core Subject : Social,
Padjadjaran Law Review (PLR) merupakan Jurnal Hukum sejak tahun 2013 dan secara konsisten dikelola oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. PLR Bernaung dibawah Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS). PLR memiliki dua tujuan utama yakni untuk mengumpulkan karya-karya pemikir hukum terbaik sekaligus memberikan wadah penulis kritis untuk mempublikasikan karya mereka. PLR menerbitkan karya ilmiah orisinil yang membahas isu-isu hukum yang berkembang dari hasil penelitian dan kajian analitis dari para mahasiswa, dosen, profesor, hingga para praktisi hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 132 Documents
Implementasi Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Dalam Hal Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Infrastruktur Migas Ida Nurlinda
Padjadjaran Law Review Vol. 1 (2013): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 1 NOMOR 1 DESEMBER 2013
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masuknya kegiatan pembangunan infrastruktur migas ke dalam kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus dipandang sebagai upaya serius pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya. Untuk itu, implementasinya perlu didukung oleh semua pihak yang terlibat dalam industri migas. Namun demikian, sifat kekhususan dari industri migas yang bersifat segera dan situasional bukan menjadi dasar untuk mengabadikan suatu rencana tata ruang dan rencana pembangunan, sehingga UU Pengadaan Tanah bertentangan dengan UU Penataan Ruang. Mekanisme peninjauan kembali rencana tata ruang dapat menjadi solusinya. Kata kunci : Pengadaan Tanah, Industri Migas, Kepentingan Umum, Sistem Hukum
Pengadopsian Mekanisme Constitutional Question dalam Lingkup Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai Sarana Pengoptimalisasian Fungsi Mahkamah Konstitusi Menjaga Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Abdurrachman Satrio
Padjadjaran Law Review Vol. 2 (2014): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 2 NOMOR 1 DESEMBER 2014
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan masih sangat terbatas terutama yang berkaitan dengan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk menjaga hak-hak konstitusional warga negara, karena dalam praktiknya dapat saja terjadi terlanggarnya hak-hak konstitusional warga negara melalui penerapan suatu undang-undang dalam suatu perkara di pengadilan, maka dari itu pengadopsian mekanisme constitutional question merupakan suatu kebutuhan untuk mengoptimalisasi fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hak-hak konstitusional warga negara. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Hak-Hak Konstitusional, Constitutional Question
Implementasi Hak Gugat Warga Negara Dalam Upaya Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Kebakaran Hutan Riau Dalam Perkara Nomor : 54/Pdt.G/Lh/2016/Pn.Pbr) Dinie Nadyatul Haya Koeswandi; Imamulhadi; Yulinda Adharani
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 1 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 1 JUNI 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Kasus kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 di Provinsi Riau telah menyebabkan pencemaran udara yang melebihi ambang batas kesehatan. Hal ini bertentangan jaminan untuk mendapatkan lingkungan baik dan sehat sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945 karena menyebabkan kerusakan ekosistem dan melanggar hak-hak alam dan hak asasi manusia. Dalam menyelesaikan sengketa, pemerintah sering kali tidak dapat bergerak cepat. Hak gugat warga negara dianggap mampu berperan sebagai sebuah mekanisme penyelesaian sengketa pada bidang lingkungan khususnya kasus kebakaran hutan Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas pengimplementasian Hak gugat warga negara di dalam penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu suatu metode yang menitikberatkan penulisan pada data kepustakaan atau disebut dengan data sekunder, yaitu berupa asas hukum yang dan norma-norma hukum yang berlaku. Tulisan ini menunjukan bahwa meskipun keberadaan Hak gugat warga negara telah diakui berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 namun hal tersebut tidak sertamerta dapat mempermudah penerapan gugatan melalui mekanisme Hak gugat warga negara di dalam persidangan. Sedikit banyak hal ini dikarenakan pengimplementasian gugatan Hak gugat warga negara tidak mendapat ruang yang cukup dalam sistem hukum Indonesia sehingga dalam pengeksekusiannya pun terkadang tidak memberikan hasil yang efektif. Kata Kunci : Citizen Lawsuit, Hak Asasi Manusia, Lingkungam, Penyelesaian Sengketa Abstract Riau forest fires case that occurred in 2015 has caused air pollution that exceeds the healths threshold. This contradicts to Indonesian Constitution which guarantee the right to get a good and healthy environment as mandated by the 1945 Constitution because this case has causes damage to ecosystems and violates natural rights and human rights. In disputes settlement, the government cannot resolved the problem as quick as it needs. Therefore, Citizen Suits is considered as the best mechanism in enviromental disputes settlement, especially in Riau forest fires case. This study aims to find out how effective the implementation of Citizen Suits in solving environmental disputes in Indonesia. The method used in this study is a normative juridical method, which is a method that emphasizes writing on library data or referred to as secondary data, namely in the form of legal principles and applicable legal norms. This paper shows that although the existence of Citizen Suits has been recognized based on the Decree of the Chair of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number: 36 / KMA / SK / II / 2013, it cannot facilitate the application of the lawsuit through the Citizen Lawsuit mechanism in the trial. In a way, this is because the implementation of the lawsuit of Citizen Lawsuits does not get enough space in the Indonesian legal system so that even when executing it, it does not provide effective results. Keywords: Citizen Lawsuit, Human Rights, Enviroment, Dispute Settlemen
Dekriminalisasi Penggunaan Ganja: Pendekatan Komparatif California’s Adult Use of Marijuana Act Maria Isabel Tarigan; Josua Satria Collins
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 1 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 1 JUNI 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Beberapa tahun terakhir, pengaturan ganja mengalami pergeseran secara global. Ganja semakin populer untuk disahkan, baik secara dekriminalisasi ataupun legalisasi. Namun, di Indonesia ganja dianggap memiliki efek buruk yang pada akhirnya menyebabkan kriminalisasi ganja. Adapun salah satu negara yang melegalkan ganja adalah California, yakni dengan disahkannya The California’s Control, Regulate, and Tax Adult Use of Marijuana Act (AUMA 2016). Dalam tulisan ini, akan ditelisik lebih jauh materi muatan AUMA 2016 dalam melegalisasi ganja di California dan relevansi muatan-muatannya dengan kondisi Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif menggunakan data sekunder berupa bahan kepustakaan dan sumber hukum tertulis. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa aturan AUMA 2016 melegalkan ganja rekreasi. Aturan ini menyasar kepada dekriminalisasi pengguna ganja, optimalisasi potensi ekonomi dari ganja, dan menghapuskan stigma atas penggunaan ganja. Pertimbangan-pertimbangan tersebut relevan dengan kondisi Indonesia. Dari segi hukum, pengadilan di Indonesia banyak mengalami penumpukan perkara narkotika yang didominasi oleh ganja. Peredaran ganja di pasar gelap pun marak terjadi dan merugikan perekonomian Indonesia. Terdapat pula persamaan mispersepsi akan ganja di Indonesia dan California. Akhirnya, dengan menilai relevansi pertimbangan dekriminalisasi ganja di California dengan kondisi Indonesia, diharapkan para pemangku kebijakan dapat mengambil langkah strategis untuk dekriminalisasi dan menyusun regulasi terkait konsumsi dan produksi ganja. Kata Kunci: AUMA, California, Dekriminalisasi, Ganja, Relevansi. Decriminalization of Marijuana Use: A Comparative Approach to California's Adult Use of Marijuana Act Abstract In recent years, marijuana regulation has undergone a global shift. Cannabis is increasingly popular to be ratified, either by decriminalization or legalization. However, in Indonesia marijuana is considered to have a bad effect which ultimately causes the criminalization of marijuana. One of the countries that legalized marijuana is California, with the approval of The California's Control, Regulate, and the Tax Adult Use of Marijuana Act (AUMA 2016). In this paper, the AUMA 2016 content material will be examined further in legalizing marijuana in California and the relevance of its contents to the condition of Indonesia. This research is a normative study using secondary data in the form of literature and written legal sources. The results of the study found that AUMA 2016 rules legalize recreational marijuana. This rule targets decriminalization of cannabis users, optimizes the economic potential of marijuana, and eliminates the stigma of using marijuana. These considerations are relevant to the condition of Indonesia. In terms of law, many courts in Indonesia experience a buildup of narcotics cases dominated by marijuana. Circulation of marijuana on the black market is rampant and is detrimental to the Indonesian economy. There are also misperceptions about marijuana in Indonesia and California. Finally, by assessing the relevance of the consideration of decriminalization of cannabis in California to the condition of Indonesia, it is hoped that stakeholders can take strategic steps to decriminalize and develop regulations related to the consumption and production of marijuana. Keywords: AUMA, California, Decriminalization, Marijuana, Relevance
Security Council and General Assembly Reformation: Responding Human Rights Issues Iradhati Zahra
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 1 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 1 JUNI 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract The United Nations nowadays has many problems. By looking some case, especially human rights issues, the resolutions that the United Nations establish or about to establish is barely done. All of these matters started from the authority that the Security Council and the General Assembly as the State-Representative Organs have. Especially, the authority of the P5 members (China, United States, Russia, United Kingdom, and France), which is the veto power. This implementation of veto power has been implemented in the case of Rohingya. Even though this crisis of human rights in Rohingya is important, the political importance of some states are still prevailing the crisis of human rights in Rohingya. For example, it happened when China had vetoed this issue, which almost submitted to the ICC. Refered to those statements, this article propose two solutions to responding human rights issues. First, the United Nations has an urgency to reform the organization by modification the authority of the General Assembly and the Security Council, mainly in the system of establishing the resolutions. Second, the solution is to make a short-term period program in refining the human rights issues, and to improve the commitment of the United Nations for maintaining international peace and security as it written in the purposes of the UN Charter. Keywords: Security Council, General Assembly, reformation, human rights, authority Abstrak Perserikatan Bangsa – Bangsa pada dewasa kini memiliki banyak permasalahan. Dengan melihat beberapa kasus yang terjadi, terutama yang berkaitan dengan isu hak asasi manusia, resolusi – resolusi yang dikeluarkan atau hendak dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa jarang terselesaikan dengan baik. Seluruh permasalahan ini diawali dari kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB sebagai organ perwakilan negara – negara. Terutama, keewenangan yang dimiliki oleh anggota P5 atau anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Cina, Amerika Serikat, Russia, Inggris, dan Perancis), yaitu hak veto. Implementasi dari hak veto ini telah dilaksanakan pada kasus rohingya. Walapun, kasus krisis hak asasi manusia di Rohingnya ini sangat penting, kepentingan politik dari beberapa negara masih dapat mengungguli urgensi dari krisis hak asasi manusia yang terjadi di Rohingya. Sebagai contoh,hal ini terjadi ketika Cina menggunakan hak vetonya pada isu Rohingya ketika isu ini hampir dibawa ke ICC. Berdasarkan pernyataan tersebut, artikel ini menggagas dua solusi dalam merespon isu hak asasi manusia. Pertama, PBB memiliki urgensi untuk mereformasi organisasi ini dengan memodifikasi kewenangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, terutama dalam sistem penerbitan resolusi. Kedua, yaitu dengan membuat program jangka pendek dalam melakukan pemulihan hak asasi manusia, dan untuk memperbaiki komitmen PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional sebagaimana yang tercantum sebagai tujuan di Piagam PBB. Kata Kunci: Dewan Keamanan, Majelis Umum, reformasi, Hak Asasi Manusia, Kewenangan
Tinjauan Terhadap Asas Presumption of Guilt dalam Keadaan Tertangkap Tangan Tindak Pidana “Kepemilikan” Narkotika Sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Tersangka Iradhati Zahra; Yehezkiel Genta
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 1 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 1 JUNI 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Penerapan asas praduga bersalah dalam tindak pidana narkotika berlaku sejak keadaan tertangkap tangan hingga dalam proses peradilan. Hal ini dinilai mencederai hak asasi tersangka, dikarenakan tidak sesuai dengan asas persamaan di mata hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam ICCPR dan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945. Penerapan asas praduga bersalah ini terjadi dalam kasus yang dialami oleh Devi Syahputra. Devi diduga “memiliki” narkotika jenis shabu-shabu, hingga kemudian dalam putusan pengadilan jaksa tidak berhasil membuktikan bahwa Devi terbukti “memiliki” shabu-shabu tersebut. Hal ini membuktikan bahwa asas praduga bersalah dalam beberapa kasus diterapkan dalam penanganan tindak pidana narkotika patut dikritisi mengingat konsepnya yang sangat berbeda dengan asas praduga tak bersalah. Dan juga rentan mencederai hak tersangka untuk mendapatkan persamaan di mata hukum. Kata Kunci: Presumption of guilt, asas hukum pidana, tertangkap tangan, tindak pidana narkotika, hak asasi manusia Abstract Implementation on the principle of presumption of guilt in narcotics criminal offense applied since the suspect is caught-handed until judicial procedure. This phenomena might be considered as an infringement for the suspect’s rights, since it is not reciprocal with the principle of equality before the law as its written in ICCPR and Article 28 I (5) UUD 1945. The implementation of the principle of presumption of guilt is happened in Devi Syahputra’s case. Devi was suspected to “have” narcotics, in specifically is shabu-shabu, until the prosecutor failed to prove that Devi indeed “have” those shabu-shabu. This proved that the principle of presumption of guilt which implemented in the narcotics criminal offense must be criticized, since the concept itself has a distinction with the principle of presumption of innocence. Also, it susceptive to violate the suspect’s rights to have equality before the law. Keywords: caught-handed, human rights, narcotics crime, presumption of guilt, principle of criminal law.
Reinterpretasi Makna Asas Legalitas sebagai Bentuk Pengakuan Hukum Pidana Adat dalam Upaya Menjamin Hak Asasi Masyarakat Adat Yehezkiel Genta
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 1 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 1 JUNI 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Hukum adat sebagai manifestasi dari hukum tidak tertulis, adalah hukum yang sejak lama telah hidup dan diakui dalam masyarakat. Kedudukan hukum adat dalam tatanan hukum Indonesia yang bersifat pluralistik memiliki peran yang sangat signifikan, terutama hukum pidana adat yang diakui keberadaannya baik secara filosofis, yuridis, ataupun sosiologis. Praktik pengakuan hukum pidana adat dapat dijadikan sarana pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak asasi masyarakat adat, sekaligus untuk menciptakan pembaharuan hukum nasional. Namun, penting untuk melihat hubungan hukum pidana adat yang “seolah” bertentangan dengan pemaknaan asas legalitas dalam hukum pidana umum. Oleh karena itu penting untuk mereinterpretasi makna asas legalitas, sebagai upaya untuk menjamin pengakuan hukum pidana adat dalam sistem hukum nasional. Kata Kunci : Hukum Adat, Hukum Pidana, Hak Asasi Masyarakat Adat, Reinterpretasi Hukum, Asas Legalitas. Abstract Customary law as a manifestation of unwritten law is a law that has long been lived and recognized in society. The position of customary law in the pluralistic Indonesian legal structure has a very significant role, especially customary criminal law whose existence is recognized both philosophically, juridically, or sociologically. The practice of recognizing customary criminal law can be used as a means of government to protect and guarantee the rights of indigenous peoples, as well as to create national law reforms. However, it is important to see the relationship of customary criminal law that "seems" to conflict with the interpretation of the principle of legality in general criminal law. It is therefore important to reinterpret the meaning of the principle of legality, as an effort to guarantee the recognition of customary criminal law in the national legal system. Keywords : Customary Law, Criminal Law, Indigenous Rights, Reinterpretation of Law, Principle of Legality
Aktualisasi Kebebasan Berpendapat di Negara Demokrasi yang Lemah: Perbandingan Indonesia dan Singapura Yassar Aulia
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 2 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 2 DESEMBER 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Setiap tahunnya, The Economist Intelligence Unit mengeluarkan laporan yang berisi indeks demokrasi di berbagai negara. Pada 2019, Indonesia dan Singapura diberikan predikat ‘negara dengan demokrasi yang lemah’ (flawed democracy). Keduanya mendapatkan agregat skor yang hampir sama secara keseluruhan (Indonesia: 6,39 dan Singapura: 6,38), dan untuk sub-kategori civil liberties Singapura meraih poin yang lebih tinggi (Singapura: 7,35 dan Indonesia: 5,59). Makna dari flawed democracy itu sendiri menurut The Economist Intelligence Unit adalah kondisi di suatu negara demokratis (penyelenggara pemilu bebas dan adil) dimana pada aspek demokrasi lainnya terdapat kelemahan yang signifikan. Poin yang hampir serupa secara keseluruhan dan status flawed democracy yang disematkan kepada kedua negara inilah yang menjadi salah satu dasar ditulisnya artikel ini. Melalui metode penelitian yang menggunakan pendekatan perbandingan hukum, dan dengan sifat pengolahan data deskriptif—analitis, akan ditelaah mengenai penjaminan kebebasan berpendapat di kedua negara, dengan menyoroti penjaminannya di tingkat Konstitusi, peraturan perundang-undangan serta standard operational procedure kepolisian, hingga pada praktik nyata di lapangan dengan menunjau beberapa kasus terkait. Kata Kunci: Kebebasan Berpendapat, Demokrasi Lemah, Indonesia, Singapura. Abstract Each year, The Economist Intelligence Unit issues a report that contains indices of democracy in various countries. In 2019, Indonesia and Singapore was given the status ‘country with a flawed democracy’. Both received almost the same aggregate scores (Indonesia: 6.39 and Singapore: 6.38), and on the sub-category of civil liberties, Singapore received higher points than Indonesia (Singapore: 7.35 and Indonesia: 5.59). The meaning of ‘flawed democracy’ itself according to The Economist Intelligence Unit is a condition in a democratic country (organizers of free and fair elections) where in other aspects of democracy there are significant weaknesses. The almost similar points overall and the status of ‘flawed democracy’ given to the two countries is one of the bases of writing this article. Through a method of comparative legal research approach, and with the data processing nature of analytical-descriptive, this article will examines the freedom of speech guarantee in both countries, highlighting their guarantees at the Constitution level, legislation and police operational standard procedures, to the actual practice on the ground by reviewing some related cases. Keywords: Freedom of Speech, Flawed Democracy, Indonesia, Singapore.
Kewenangan KPK Untuk Melakukan Penyitaan Terhadap Barang Bukti Yang Diduga Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Tindak Pidana Asalnya Bukan Berasal Dari Tindak Pidana Korupsi. Nella Sumika Putri; I Tajudin
Padjadjaran Law Review Vol. 2 (2014): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 2 NOMOR 1 DESEMBER 2014
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang memiliki kewenangan berdasarkan Undang Undang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntuntan tindak pidana korupsi. Dalam perkembangannya, terdapat perluasan kewenangan KPK yang tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi semata namun memasuki ranah tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini hanya akan membatasi mengenai perubahan dalam hukum acara pidana khususnya pada tindakan penyitaan yang dilakukan oleh KPK. Proses pembuktian dalam kasus-kasus tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal berupa korupsi banyak menimbulkan polemik khususnya mengenai penyitaan yang dilakukan oleh KPK. Yang menimbulkan permasalahan adalah mengenai keabsahan kewenangan KPK untuk melakukan penyitaan terhadap barang bukti terdakwa yang diduga bukan dari tindak pidana korupsi akan tetapi termasuk dalam tindak pidana pencucian uang, dan bagaimana akibat hukumnya jika melibatkan pihak ketiga yang beritikad baik. Kata Kunci: Barang Bukti, KPK, Korupsi, Penyitaan, TPPU
Hak Atas Kesehatan Deteni: Antara Asa Dan Realita Neneng Widasari
Padjadjaran Law Review Vol. 2 (2014): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 2 NOMOR 1 DESEMBER 2014
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-undang nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian (selanjutnya disebut UU Keimigrasian) beserta ketentuan pelaksananya telah menempatkan Detensi Imigrasi sebagai salah satu pranata dalam hukum keimigrasian Indonesia. Pengaturan detensi imigrasi dalam UU Keimigrasian dimaksudkan untuk menjalankan fungsi keimigrasian, khususnya menjalankan fungsi pelayanan publik. Fungsi pelayanan publik tersebut haruslah dilaksanakan berdasarkan asas persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif. Tanpa membeda-bedakan kewarganegaraan, orang asing yang didetensi (Deteni) berhak mendapatkan pelayanan yang adil termasuk pada pemenuhan hak atas kesehatan. Saat ini kesehatan diakui sebagai salah satu hak asasi manusia. Sebagaimana rumusan UUD 1945 Pasal 28H “bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini menunjukan bahwa pemenuhan kesehatan merupakan hak bagi setiap orang, tidak hanya warga negara Indonesia termasuk didalamnya orang asing yang berada di Indonesia. Namun demikian pelaksanaan hak atas kesehatan di rumah detensi imigrasi tidak terlepas dari persoalan praktik. Rumah detensi yang over kapasitas, lingkungannya menjadi tidak layak huni dan tidak memadai sebagai lingkungan bersih dan sehat sebagai prakondisi penunjang kesehatan. Keyword: Hak atas Kesehatan, Tanggung Jawab, Deteni, Detensi Imigrasi.

Page 4 of 14 | Total Record : 132