cover
Contact Name
Miski
Contact Email
miski@uin-suka.ac.id
Phone
+6285292197146
Journal Mail Official
miski@uin-suka.ac.id
Editorial Address
Jln. Marsda Adisucipto No. 1, Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 55281, Indonesia
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
ISSN : 28095421     EISSN : 28096703     DOI : https://doi.org/10.14421/staatsrecht
The journal "Staatsrecht:Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" is a scientific journal published twice a year by the Constitutional Law Study Program, Faculty of Sharia and Law, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. The scientific journal "Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" invites all authors who have a concentration in the fields of state law and Islamic politics. Or those who have a focus on studies on constitutional law and siyasah.
Articles 62 Documents
Implikasi Yuridis Penyitaan Aset Lembaga Pengelola Investasi: Telaah atas Konflik Norma dalam UU Cipta Kerja dan UU Perbendaharaan Negara Dimas Cahya Kusuma
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 1 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/mvrw6q18

Abstract

The Government Investment Management Institution (hereinafter referred to as LPI) is a money institution born under the mandate of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation with the concept of Sovereign Wealth Fund (SWF) in Indonesia and is equipped with several special privileges that are only owned by LPI. However, the reality is that the existence of LPI raises problems that arise when the content of Article 160 paragraph (3) of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation which explains that LPI assets can become collateral in the context of withdrawing loans and can be confiscated by creditors, which of course with the content of these norms contradicts the norm of the prohibition of confiscation of state assets as described in Article 50 of Law Number 1 of 2004 concerning State Treasury, which contains rules prohibiting confiscation of state assets. The focus that will be described in this study is how the norm conflict occurs between Article 160 paragraph (3) Chapter X of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation and Article 50 of Law Number 1 of 2004 concerning State Treasury and its resolution mechanism, while the type of research used in the research is normative legal research through conceptual approaches and legislation and qualitative analysis of the legal materials that have been collected. The results of this study conclude that the description of the indicators that are the basis for causing norm conflicts are two, namely: first, the source of LPI assets is an inseparable part of state property and the laws and regulations governing it; second, there is no antecedent that limits state property as an asset that is exempt from confiscation.   Abstrak Lembaga Pengelola Investasi Pemerintah (selanjutnya disebut sebagai LPI) adalah suatu lembaga uang lahir atas amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan konsep Sovereign Wealth Fund (SWF) di Indonesia serta dibekali beberapa keistimewaan khusus yang hanya dimiliki oleh LPI. Namun, realitanya keberadaan LPI menimbulkan permasalahan yang timbul disaat muatan Pasal 160 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja yang menjelaskan bahwa aset LPI dapat menjadi jaminan dalam rangka penarikan pinjaman serta dapat disita oleh pihak kreditur yang tentunya dengan adanya muatan norma tersebut bertentangan dengan norma akan larangan penyitaan aset negara sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yang di dalamnya memuat aturan yang melarang penyitaan aset negara. Fokus yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah bagaimana konflik norma yang terjadi antara Pasal 160 ayat (3) Bab X Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan mekanisme penyelesaiannya, adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian hukum normatif melalui pendekatan konsep dan peraturan perundang-undangan serta analisis secara kualitatif terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa gambaran indikator-indikator yang menjadi dasar penyebab adanya konflik norma ada dua, yaitu: pertama, sumber aset LPI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari barang milik negara beserta peraturan perundang-undangan yang mengaturnya; kedua, tidak terdapatnya anteseden yang membatasi barang milik negara sebagai aset yang dikecualikan untuk dapat dilakukan penyitaan
Qanun Aceh dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia: Kedudukan, Fungsi dan Perbedaannya dengan Perda Syari’at Islam Hofifah; Saifuddin
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 1 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/0wse5233

Abstract

This article examines the position and function of the Aceh Qanun within Indonesia’s national legal system and compares it with Sharia-based Regional Regulations (Perda Syariah) in other provinces. The Aceh Qanun is a regional legal product arising from Aceh’s special status as a region granted special autonomy under Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh. This special status is the result of a long historical dynamic and a peace process between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM). Juridically, the Aceh Qanun is equivalent to regional regulations but possesses distinctive substantive characteristics grounded in Islamic Sharia. Employing a juridical-normative approach and comparative method, this study explores the legal basis, substance, and implementation of the Aceh Qanun relative to Sharia-based regional regulations elsewhere. The findings indicate that although both are structurally regional legislative products, the Aceh Qanun has a different legal foundation, judicial review mechanism, and a constitutionally stronger substantive scope. This study contributes to the development of constitutional and Islamic law and serves as a reference for formulating regional regulations that are constitutional, equitable, and responsive to local wisdom.   Abstrak: Artikel ini membahas kedudukan dan fungsi Qanun Aceh dalam sistem hukum nasional Indonesia serta membandingkannya dengan Peraturan Daerah (Perda) Syariah di provinsi lain. Qanun Aceh merupakan produk hukum daerah yang lahir dari kekhususan Aceh sebagai wilayah yang diberi otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kekhususan ini merupakan hasil dari dinamika sejarah panjang serta proses damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Secara yuridis, Qanun Aceh setara dengan perda, namun memiliki karakter substantif yang khas karena berlandaskan syariat Islam. Artikel ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan metode komparatif untuk menelusuri dasar hukum, substansi, dan implementasi Qanun Aceh dibandingkan dengan Perda Syariah di daerah lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara struktural keduanya merupakan produk legislasi daerah, Qanun Aceh memiliki dasar hukum, mekanisme pengujian, dan lingkup materi yang berbeda dan lebih kuat secara konstitusional. Kajian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap pengembangan hukum tata negara dan hukum Islam, serta menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan regulasi daerah yang konstitusional, adil, dan responsif terhadap kearifan lokal
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Aldi Amirullah
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/f55by168

Abstract

When we refer to the implementation of special autonomy in Papua based on law number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province, so there is one serious problem, namely the period for granting special autonomy funds based on law number 21 of 2001 ends in 2021. So that law number 2 of 2021 regarding the second amendment to law number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province, is the answer to this problem. However, changes to the substance of the Papua Special Autonomy Law are not only limited to increasing the period for granting Special Autonomy funds, but also related to the pattern of regional expansion in Papua. The change in the pattern of expansion was then considered non-participatory, in fact the hearings that were used as the sociological basis were only a formality from the Government to fulfill the requirements for forming a law.   Abstrak Ketika kita mengacu pada pelaksanaan otonomi khusus di Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka terdapat satu permasalahan yang begitu serius, yaitu jangka waktu pemberian dana otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 berakhir di tahun 2021. Sehingga Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, merupakan jawaban atas permasalahan ini. Namun demikian, perubahan substansi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak hanya terbatas pada penambahan jangka waktu pemberian dana otonomi khusus, tetapi juga terkait pola pemekaran daerah di Papua. Perubahan pola pemekaran ini kemudian dinilai tidak partisipatif, bahkan audiensi yang dijadikan landasan sosiologisnya hanya sebatas formalitas dari Pemerintah untuk memenuhi persyaratan pembentukan undang-undang
Dinamika Politik Ketatanegaraan Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) Fajri, Pujangga Candrawijayaning
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/w7v16763

Abstract

In the contestation of the nation’s journey, Indonesia has gone through a long and dynamic period in its state policy, from colonialism to post-independence. The Declaration of Independence of 18 August 1945 was the opening gateway for Indonesia to organize its affairs independently, freely and independently. Although Indonesia can already arrange its own affairs, it does not mean that it can eliminate potential conflicts. During the years from 1950 to 1959, a series of conflicts continued, while at that time it was known as a fairly democratic time when freedom of opinion was restricted and elections were held for the first time. Starting from what is meant, this study will throw a thorough and comprehensive look at the political dynamics of Indonesian statehood in the parliamentary democracy. The method used in this study is a method of normative legal research with a historical approach. As for the technique of collection of materials used is the library study technique, with relevant materials around the conditions of Indonesia in the parliamentary democracy. The results of this study show that the political dynamics of statehood that occurred during parliamentary democracy were caused by a variety of things, ranging from the internal conflict of the Islamic group due to the question of the division of posts in the cabinet, the bunt of the Constituante in formulating the state policy, to the political intrigue played by Soekarno and the Army caused because throughout that time they were unprofitable.   Abstrak: Dalam kontestasi perjalanan bangsa, Indonesia telah melewati masa yang panjang dan dinamis dalam ihwal politik ketatanegaraannya, mulai dari zaman kolonialisme hingga pasca-kemerdekaan. Dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus Tahun 1945 menjadi gerbang awal bagi Indonesia untuk mengatur urusan kenegaraannya secara mandiri, bebas, dan merdeka. Kendati Indonesia sudah bisa mengatur urusannya sendiri, namun bukan berarti hal tersebut bisa menghilangkan potensi-potensi konflik yang ada. Terbukti sepanjang tahun 1950 hingga tahun 1959 rentetan konflik terus terjadi, padahal pada masa tersebut dikenal sebagai masa yang cukup demokratis karena terjaminnya kebebasan berpendapat dan pemilu untuk pertama kalinya dapat dilaksanakan. Berangkat dari hal yang dimaksud, maka tujuan dalam penelitian ini menjelaskan secara runtut dan komprehensif mengenai penyebab dinamika politik ketatanegaraan Indonesia pada masa demokrasi parlementer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan sejarah. Adapun teknik pengumpulan bahan yang digunakan adalah teknik studi pustaka, dengan bahan yang relevan seputar kondisi Indonesia pada masa demokrasi parlementer. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dinamika politik ketatanegaraan yang terjadi pada masa demokrasi parlementer disebabkan oleh berbagai macam hal, mulai dari konflik internal dari golongan Islam karena persoalan pembagian jabatan di kabinet, buntunya Konstituante dalam merumuskan dasar negara, hingga intrik politik yang dimainkan oleh Soekarno dan Angkatan Darat yang disebabkan karena sepanjang masa tersebut mereka tidak diuntungkan
Implementasi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik Fitria Nur Afifatur Rohinun; Asyroh Mustajab Riyadly; Tony Gunawan; Nur Jannani
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 1 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/rp2psp35

Abstract

A democratic country is represented by the creation of laws and regulations based on its historical context. It is clear from the elucidation of Article 5 Letter g that the principle of openness means that all legal and regulatory processes must be open to all levels of society and transparent. However, the reality is that the current process of developing laws and regulations in Indonesia seems rushed and hinders public participation. Even though the community plays a key role in the process of forming laws and regulations, this is because it is the people who will obey and implement the provisions of these laws and regulations. This study uses a statutory approach to examine the types of juridical normative research on the types of legal material used, particularly legal elements that are primary, secondary and tertiary. Based on the results of the research and analysis of the openness problem, the basic regulation for the formation of laws in Indonesian positive law contains provisions that underlie the principle of transparency in the formulation of good laws and the availability of information on the application of the founding law for all levels of society, but not directly. thorough. as well as the widest opportunity for all levels of society to participate in the formation of laws in accordance with the general principles of good governance and the principles governing the formation of laws.   Abstrak: Sebuah negara demokratis diwakili oleh penciptaan peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada konteks sejarahnya. Jelas dari penjelasan Pasal 5 Huruf g bahwa asas keterbukaan berarti bahwa semua proses hukum dan peraturan harus terbuka untuk semua lapisan masyarakat dan transparan. Namun, kenyataannya proses pembangunan hukum dan peraturan di Indonesia saat ini terkesan tergesa-gesa dan menghambat partisipasi publik. Meskipun masyarakat memegang peranan kunci dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, hal ini dikarenakan masyarakatlah yang akan menaati dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan untuk mengkaji jenis penelitian normatif yuridis jenis bahan hukum yang digunakan, khususnya unsur hukum yang bersifat primer, sekunder, dan tersier. Berdasarkan Hasil Penelitian dan Analisis Masalah Keterbukaan Pengaturan Dasar Pembentukan Undang-undang dalam Hukum Positif Indonesia memuat ketentuan-ketentuan yang melandasi asas pengaturan asas keterbukaan dalam perumusan undang-undang yang baik dan tersedianya informasi penerapan Undang-Undang Pendirian bagi seluruh lapisan masyarakat, tetapi tidak secara menyeluruh. serta kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh lapisan masyarakat untuk ikut serta dalam pembentukan undang-undang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas yang mengatur pembentukan undang-undang
Praktik Patronase dalam Pemilu dan Implikasinya Terhadap Kredibilitas Demokrasi di Indonesia Rohmah, Elva Imeldatur
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 1 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/nn2y2916

Abstract

Patronage in Indonesian elections often occurred, especially among political elites and legislative candidates. It may be due to the need for candidates to gain votes and support from the public, and the practice of patronage is considered effective in achieving this goal. The study aims to identify voter patronage practices and measure the impact of patronage practices on the credibility of democracy in Indonesia. This research is qualitative, and data is obtained through document analysis and related literature. Election patronage practices can take many forms, ranging from money or goods to voters, unrealistic political promises, to employing positions or powers to influence voter decisions. The study found that patronage practices can significantly impact the credibility of democracies, thus disrupting democratic processes and affecting the quality of elections in Indonesia. The approach can undermine democratic principles that are supposed to be based on free and fair participation and competitive competition based on political ideas and visions. When elections were influenced by material benefits rather than political views, the public felt that elections no longer represented their aspirations and interests, resulting in dubious legitimacy over the elected government.   Abstrak: Praktik patronase dalam pemilu di Indonesia sering terjadi, terutama di kalangan elite politik dan para calon legislatif. Hal ini bisa terjadi karena adanya kebutuhan para kandidat untuk memperoleh suara dan dukungan dari masyarakat, dan praktik patronase menjadi salah satu cara yang dianggap efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktik patronase dalam pemilu serta mengukur dampak praktik patronase terhadap kredibilitas demokrasi di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif serta data diperoleh melalui analisis dokumen dan literatur terkait. Praktik patronase dalam pemilu bisa berbentuk berbagai macam bentuk, mulai dari pemberian uang atau barang kepada pemilih, janji-janji politik yang tidak realistis, hingga memanfaatkan jabatan atau kekuasaan untuk memengaruhi keputusan pemilih. Penelitian ini menemukan bahwa praktik patronase dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kredibilitas demokrasi, sehingga dapat mengganggu proses demokrasi dan mempengaruhi kualitas pemilu di Indonesia. Praktik ini dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya berdasarkan pada partisipasi yang bebas dan adil, serta kompetisi yang bersaing berdasarkan gagasan dan visi politik. Ketika pemilihan dipengaruhi oleh manfaat material daripada pandangan politik, masyarakat merasa bahwa pemilihan tidak lagi mewakili aspirasi dan kepentingan mereka, menghasilkan legitimasi yang meragukan terhadap pemerintahan yang terpilih
Women, Work, and Siyāsah Dustūriyyah: A Critical Review of Indonesia’s Job Creation Law Citra Widyasari S; Afifah Faiqah
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/00abdq61

Abstract

This article examines Law No. 6 of 2023 on Job Creation from the perspective of Islamic constitutional theory (siyāsah dustūriyyah) and the objectives of Islamic law (maqāṣid al-sharī‘ah), focusing on the protection of women workers’ rights. Although the law recognizes key protections—such as menstrual leave, maternity leave, and wage equality—its implementation is undermined by weak enforcement and structural gaps, particularly for women employed under short-term contracts, outsourcing schemes, or in the informal sector. Using a normative qualitative approach, this study evaluates the law’s normative substance against Islamic principles of social justice, protection of human dignity, and state responsibility toward vulnerable groups. The findings reveal a normative contradiction: while the law aligns with international standards such as CEDAW in form, it fails to offer substantive justice as required by Islamic constitutional ethics. The dominant emphasis on labor market flexibility and investment certainty diminishes state accountability and reinforces systemic discrimination against female workers. The study concludes that Law No. 6/2023 lacks a transformative vision for gender equity and fails to embody maqāṣid principles in legislative outcomes. It recommends policy reforms that integrate Islamic ethical frameworks into national labor law. Future research should adopt empirical methods to assess how current legal norms shape the lived experiences of women workers in Indonesia’s evolving labor landscape..   Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dari perspektif pemikiran ketatanegaraan Islam (siyāsah dustūriyyah) dan tujuan-tujuan hukum Islam (maqāṣid asy-syarī‘ah), dengan fokus pada perlindungan hak-hak buruh perempuan. Meskipun undang-undang ini secara normatif mengakui beberapa hak perempuan pekerja seperti cuti haid, cuti melahirkan, dan kesetaraan upah, implementasi dan pengawasan terhadap hak-hak tersebut masih lemah. Hal ini berdampak pada ketidakpastian perlindungan bagi perempuan yang bekerja dalam sistem kontrak jangka pendek, outsourcing, serta sektor informal. Secara teoritis, penelitian ini mengintegrasikan pendekatan normatif-kualitatif dengan kerangka siyāsah dustūriyyah dan maqāṣid asy-syarī‘ah untuk mengevaluasi sejauh mana UU No. 6/2023 mencerminkan prinsip keadilan substantif dalam Islam. Temuan utama menunjukkan bahwa undang-undang ini masih memprioritaskan efisiensi pasar daripada perlindungan kelompok rentan, sehingga bertentangan dengan mandat keadilan sosial dalam ajaran Islam. Negara dianggap gagal menjalankan tanggung jawab etisnya sebagai pelindung rakyat apabila membiarkan buruh perempuan berada dalam posisi subordinat. Penelitian ini merekomendasikan pembaruan kebijakan ketenagakerjaan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berbasis pada nilai-nilai maqasid dan etika konstitusional Islam. Kajian lanjutan perlu memperluas pendekatan dengan metode empiris untuk menilai dampak nyata regulasi terhadap kesejahteraan perempuan pekerja di Indonesia
Anomali Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditinjau dari Teori Separation of Power Montesquieu:  Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 Atmaja Wijaya; Didan Neofal Arsyandi
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/0tezm234

Abstract

The Constitutional Court, as one of the highest judicial institutions in the judicial sector, is given the authority to control the running of government, in the form of overseeing legal products made by other branches of power, namely, the Executive and the Legislative. However, as time goes by, after 20 years of post-reformation, the existence of the Constitutional Court now often attracts a lot of attention with dynamics that are increasingly occurring day by day. Through several of its decisions, there are indications that the Constitutional Court has exceeded its authority as a judicial institution. One of them is in the Constitutional Court decision No. 90/PUU-XXI/2023. This makes it interesting to examine whether there are anomalies in the authority of the Constitutional Court in handling cases, especially in case No.90/PUU-XXI/2023 in terms of Montesquieu's theory of separation of power. The results obtained are that the Constitutional Court has exceeded its authority in making decisions, has violated the limits of authority granted by law and is contrary to the principles of Montesquieu's theory Separation of power.   Abstrak: Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi di bidang Yudikatif, diberikan kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan, dengan upaya mengawal produk hukum yang dibuat oleh cabang kekuasaan lain yaitu, Eksekutif dan Legislatif. Namun seiring berjalannya waktu, setelah 20 tahunan pasca reformasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi kini kerap banyak menuai sorotan dengan dinamika bertambahnya putusan-putusan yang kontroversial. Melalui beberapa putusannya, terdapat indikasi bahwa Mahkmah Konstitusi telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga Yudisial. Salah satunya dalam putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Hal tersebut menjadi menarik untuk diteliti, apakah terdapat anomali kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara, khususnya pada perkara No.90/PUU-XXI/2023. Anomali dalam Putusan tersebut, menarik untuk ditinjau dengan teori pembagian kekuasaan (Separation of Power) Montesquieu. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya dalam memberikan keputusan, menabrak batas kewenangan yang telah diberikan Undang-undang dan bertentangan dengan prinsip teori pembatasan kekuasaan Montesquieu
Perbandingan Kewenangan Badan Legislatif di Indonesia dan Amerika Serikat (Perspektif Pembuatan Undang-Undang) Widya Utami
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 1 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/rawy8b84

Abstract

The legislative body, which has the right to formulate and make laws, in Indonesia is the House of Representatives (DPR). Whereas in the United States, the legislative body is the Congress, which consists of the Senate and the House of Representatives. This difference in structure shows that there are many major differences between the structures and functions of the two countries, especially in the area of lawmaking. This difference has an impact on the lawmaking process in each country. This article uses a qualitative method with library research techniques to compare the legislative systems of Indonesia and the United States, especially in the institutional structure and lawmaking process. Data was collected from various literatures such as books, scientific journals, laws and regulations, as well as official documents from the legislative institutions of both countries. This article concludes that the Indonesian Parliament and the United States Congress both have the task of making laws.  In Indonesia, bills can be proposed by the government, members of the DPR, or the public. After being discussed and approved by the DPR, the bill is sent to the president for approval. In the United States, the process is more complicated because it involves two institutions: The Senate and the House of Representatives. Both must approve bills before they are submitted to the president. Members of the Indonesian House of Representatives are elected every five years, while members of the US Congress have different terms: senators are elected every six years and members of the House of Representatives every two years. The legislative process in Indonesia is conducted through discussions in committees before being decided in a plenary meeting.   Abstrak: Lembaga legislatif, yang berhak merumuskan dan membuat undang-undang, di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan di Amerika Serikat, lembaga legislatifnya adalah Kongres, yang terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Perbedaan struktur ini menunjukkan ada banyak perbedaan besar antara struktur dan fungsi dari kedua negara, khususnya pada bidang pembuat undang-undang. Perbedaan ini berdampak pada proses pembuatan undang-undang di setiap negara. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik studi kepustakaan (library research) untuk membandingkan sistem legislatif Indonesia dan Amerika Serikat, terutama dalam struktur kelembagaan dan proses pembentukan undang-undang. Data dikumpulkan dari berbagai literatur seperti buku, jurnal ilmiah, peraturan perundang-undangan, serta dokumen resmi dari lembaga legislatif kedua negara. Artikel ini menyimpulkan bahwa DPR Indonesia dan Kongres Amerika Serikat sama-sama memiliki tugas membuat undang-undang. Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang (RUU) bisa diajukan oleh pemerintah, anggota DPR, atau masyarakat. Setelah dibahas dan disetujui DPR, RUU dikirim ke presiden untuk disahkan. Di Amerika Serikat, prosesnya lebih rumit karena melibatkan dua lembaga: Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Keduanya harus menyetujui RUU sebelum diajukan ke presiden. Anggota DPR Indonesia dipilih setiap lima tahun, sedangkan anggota Kongres AS memiliki masa jabatan berbeda: senator dipilih setiap enam tahun dan anggota DPR setiap dua tahun. Proses legislasi di Indonesia dilakukan melalui pembahasan di komisi-komisi sebelum diputuskan dalam rapat paripurna
Perbandingan Penggunaan Metode Sainte Lague dan Kuota Hare pada Negara Indonesia-Korea Selatan-Irak Salsa Zahrotun
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/2cnprd68

Abstract

This research discusses methods for calculating election votes. The aim of this research is to find out the differences in method use in each country. The use of election vote counting methods varies by country, the ones highlighted in this article are the Sainte Lague method and the Hare quota. Sainte lague is converting the results of valid votes by dividing them using a certain number, while hare quota is converting election results by reducing the results of valid votes by the price of one seat. In this research, differences in the use of vote conversion are due to the assumptions of each country regarding the effectiveness value of each method so that each country has its own method. In this study, it is stated about the differences in each country in using each election model, be it Saint Lague and Hare quota. Because the basis for using the election model is based on the conditions and political developments in each country. Although for example in Indonesia, Iraq and South Korea use their respective model choices. The model used still has advantages and disadvantages as evidence of the plurality of political problems in each country that are diverse. But regardless of the advantages and disadvantages, the use of the election model shows the seriousness of each country to improve its electoral democracy.   Abstrak Penelitian ini mambahas tentang metode dalam perhitungan suara pemilu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui perbedaan penggunaan metode pada tiap negara. Penggunaan metode perhitungan suara pemilu berbeda tiap negara, yang disoroti dalam artikel ini adalah metode sainte lague dan kuota hare. Sainte lague adalah mengkonversi hasil suara sah dengan membaginya menggnakan bilangan tertentu, sedangkan kuota hare adalah pengonversian hasil pemilu dengan mengurangi hasil suara sah dengan harga satu kursi. Dalam penelitian ini dikemukakan mengenai perbedaan dalam setiap negara dalam menggunakan masing-masing model pemilihan, baik itu saint lague dan kuota hare. Karena memang dasar penggunaan model pemilihan berdasarkan kondisi dan perkembangan politik di tiap negara. Meskipun sebagai contoh di Indonesia, Iraq dan Korea selatan menggunakan pilihan modelnya masing-masing. Tetaplah model yang digunakan memiliki kekurangan dan kelebihan sebagai bukti pluralitas permasalahan politik di tiap negara yang beraneka macam. Tetapi terlepas dari kekurangan dan kelebihan, penggunaan model pemilihan menunjukkan keseriusan tiap negara untuk memperbaiki demokrasi pemilihannya