cover
Contact Name
Miski
Contact Email
miski@uin-suka.ac.id
Phone
+6285292197146
Journal Mail Official
miski@uin-suka.ac.id
Editorial Address
Jln. Marsda Adisucipto No. 1, Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 55281, Indonesia
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
ISSN : 28095421     EISSN : 28096703     DOI : https://doi.org/10.14421/staatsrecht
The journal "Staatsrecht:Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" is a scientific journal published twice a year by the Constitutional Law Study Program, Faculty of Sharia and Law, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. The scientific journal "Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" invites all authors who have a concentration in the fields of state law and Islamic politics. Or those who have a focus on studies on constitutional law and siyasah.
Articles 62 Documents
Islam dan Nasionalisme: Studi Atas Pergumulan Islam dan Nasionalisme Masa Pergerakan Nasional Indonesia Hairiyah, Hairiyah
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 1 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i1.2804

Abstract

Abstract: The discourse of Islam and nationalism became an interesting topic of conversation at the beginning of the 20th century when the Islamic world intersected with the idea of a Western-style nation-state in the Islamic world. The nation-state concept is considered a-historical for Muslim societies. Almost all Muslim countries in the third world, including Indonesia, experience nation-state problems in finding their national identity and character (nation character buildings). Especially in Indonesia, this kind of nation-state problem has sometimes not been completely resolved which in turn will always give rise to the "Islam vs. State” with a dichotomous designation; religious state (diniyyah) and a secular state (la diniyyah). Opposition and dichotomy like this will become an obstacle in the administration of the state in the context of a nation-state. This paper uses an analytical-historical approach that is focused on the role of Sarekat Islam (SI) in the struggle for Islamic politics during the period of the national movement. This organization breathed the spirit of nationalism based on Islam for the first time in Indonesia. The current existence of political Islam should follow in the footsteps of Sarekat Islam, in upholding nationalism as a nation, Muslims must be able to become pioneers in maintaining harmony in a very pluralistic society.Keywords: Islam, Nationalism, Politic Abstrak: Wacana Islam dan Nasionalisme menjadi perbincangan menarik pada awal abad ke 20 ketika dunia Islam bersinggungan dengan ide nation-state ala Barat ke dunia Islam. Konsep nation-state dianggap a-historis bagi masyarakat Muslim. Hampir semua negara Muslim di dunia ketiga termasuk Indonesia, mengalami problem nation-state dalam mencari identitas dan karakter kebangsaannya (nation character buildings). Khususnya di Indonesia, problem nation-state semacam ini terkadang belum terselesaikan tuntas yang pada gilirannya akan selalu melahirkan penghadapan “Islam vs. Negara” dengan sebutan yang dikotomis; negara agama (diniyyah) dan negara sekuler (la diniyyah). Pertentangan dan dikotomi seperti ini akan menjadi ganjalan dalam penyelenggaraan negara dalam konteks nation-state. Tulisan ini menggunakan pendekatan analytical-historis yang difokuskan pada peran Sarekat Islam (SI) dalam pergumulan politik Islam pada masa pergerakan nasional. Organisasi inilah yang menghembuskan semangat nasionalisme yang berbasiskan Islam pertama kali di Indonesia. Eksistensi politik Islam saat ini seharusnya mengikuti jejak Sarekat Islam, dalam menegakkan nasionalisme berkebangsaan, umat Islam harus bisa menjadi pelopor dalam menjaga kerukunan hidup bermasyarakat yang sangat majemuk. Kata Kunci: Islam, Nasionalisme, Politik
Kedudukan dan Peran Ahl Al-Hall wa Al-‘Aqd serta Relevansinya pada Kinerja DPR Huda, Muhamad Nurul
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 1 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i1.2527

Abstract

Abstract: In the government system, there are institutions that function as the channel for the voices of the people's aspirations. The Indonesian government system is known as the People's Representative Council while in the Islamic government system it is known as Ahl Al-Hall Wa Al-Aqd. The People's Representative Council is a people's representative institution that accommodates people's aspirations. Meanwhile, ahl al-hall wa al-aqd can be interpreted as those who have the authority to loosen and bind. And also the people in it are influential people. His every decision is binding on those who appointed him. Because they are considered to have more ability in it. The position and role of this institution is very strategic in the government system, ahl al-hall wa al-aqd in carrying out its position and role has a relationship with the performance of the DPR. The problem in this research is First, what is the position and role of the ahl al-hall wa al-aqd and the DPR. Second, what is the relevance of the position and role of ahl al-hall wa al-aqd to the performance of the DPR. This research is a type of library research (library research), this research is descriptive comparative, using a normative approach. The position of the ahl al-hall wa al-aqd institution is at the same level as the government, it is this assembly that conducts deliberations on legal issues and helps the caliph carry out state government. The role of the ahl al-hall wa al-aqd is to nominate, elect and inaugurate the caliph, consult to resolve problems and make regulations. Meanwhile, the position of the DPR as a high state institution means that it is the same as other government institutions, to supervise each other between institutions so that fraud does not occur. The role of the DPR is to form laws, absorb, collect and follow up on people's aspirations. The conclusion of this research is that the two institutions have an equal position in the government system, which is equivalent to other government institutions. And in general they have a relationship in carrying out their position and role in the government system.Keywords: Government, DPR, and Ahl Al-Hall Wa Al-‘AqdAbstrak: Sistem pemerintahan terdapat lembaga yang  berfungsi sebagai penyalur suara aspirasi rakyat. Sistem pemerintahan Indonesia dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan dalam sistem pemerintahan Islam dikenal dengan sebutan Ahl Al-Hall Wa Al-Aqd. Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang menampung aspirasi masyarakat. Sedangkan ahl al-hall wa al-aqd dapat diartikan dengan orang-orang yang mempunyai wewenang melonggar dan mengikat. Dan juga orang berada didalamnya adalah orang-orang yang berpengaruh. Setiap keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkatnya. Karena mereka di anggap mempunyai kemampuan lebih didalamnya. Kedudukan dan peran lembaga ini sangat strategis dalam sistem pemerintahan, ahl al-hall wa al-aqd dalam menjalankan kedudukan dan perannya memiliki hubungan dengan kinerja DPR. Masalah dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimana kedudukan dan peran ahl al-hall wa al-aqd dan DPR. Kedua, bagaimana kedudukan dan peran ahl al-hall wa al-aqd relevansinya pada kinerja DPR. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), penelitian ini bersifat deskriptif komparatif, dengan  menggunakan metode pendekatan normatif. Kedudukan lembaga ahl al-hall wa al-aqd ini setingkat dengan pemerintah, majelis inilah yang melakukan musyawarah dalam masalah hukum dan membantu khalifah melaksanakan pemerintah negara. Peran ahl al-hall wa al-aqd mencalonkan, memilih, dan melantik khalifah, bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan dan membuat peraturan. Sedangkan kedudukan DPR sebagai lembaga tinggi negara artinya sama seperti lembaga pemerintah lainnya, untuk saling mengawasi antar lembaga agar tidak terjadi penyelewengan. Peran DPR membentuk undang-undang, menyerap, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Kesimpulan dari penilitian ini, kedua lembaga tersebut memiliki persamaan kedudukan dalam sistem pemerintahan yaitu setara dengan lembaga pemerintah lainnya. Dan secara umum mereka mempunyai hubungan dalam menjalankan kedudukan maupun perannya dalam sistem pemerintahan.Kata kunci : Pemerintah, DPR, dan Ahl Al-Hall Wa Al-Aqd
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ummah, Vina Rohmatul
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2813

Abstract

Pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan tindak lanjut Pemerintah atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan adanya Putusan MK No. 91/PUU-XVIIII/2020 ini Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat atau cacat formil sebagaimana dalil permohonan gugatan uji formil Undang-Undang Cipta Kerja tertanggal 15 Oktober 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji sejauh mana arah kebijakan atau politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan yuridis normatif dengan metode library research. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa arah politik hukum pembentukan pembentukan UU No. 13 Tahun dengan jelas hanya dimaksudkan untuk menambah metode omnibus dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan atau semata-mata hanya untuk memberikan payung hukum terhadap pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Meskipun mendapat penolakan dari berbagai kalangan, adanya demonstrasi, diskusi interaktif, hingga kritik dalam bentuk kertas kebijakan, Pembentuk Undang-Undang tetap tidak melakukan perubahan terhadap substansi maupun prosedur pembentukan UU Cipta Kerja. Hal ini semakin memperjelas political will pembentuk undang-undang hanya menjadikan revisi kedua UU No. 12 Tahun 2011 sebagai karpet merah melegitimasi UU Cipta Kerja.
Problematika Penerapan Presidential Threshold 20% dalam Sistem Presidensial Indonesia Aqdamana, Tsabbit
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2801

Abstract

Desain konstitusional presidential threshold merupakan ketentuan tambahan mengenai pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI. Penyelenggaran Pemilihan Umum Serentak pada Tahun 2024 masih menyisahkan problematika yang berkelanjutan dari tahun 2008-2022 yakni presidential threshold. Penelitian ini mengkaji dua hal, pertama bagaimana problematika penerapan presidential threshold 20% dalam sistem ketatanegaran Indonesia? Kedua, bagaimana gagasan atas problematika penerapan presidential threshold 20% dalam sistem ketatanegaran Indonesia? Penelitian bersifat normatif serta pendekatan perundang-undanga dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan pertama, dalam logika sistem presidensial hasil pemilu legislatif menjadi dasar syarat pencalonan presiden dalam pilpres merupakan hal yang tidak lazim. Sebab, basis ligitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak di tentukan oleh dukungan politik parlemen hasil pemilu legislatif serta tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak. Kedua, mengingat kembali peran dan fungsi dari lembaga eksekutif dengan legislatif untuk menjaga prinsip check and balances. Selanjutnya perlu adanya penghapusan presidential threshold melalui merevisi pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 setelah pemilu serentak 2024 dilaksanakan karena merevisi saat ini tidak mungkin terjadi karena proses tahapan pemilu 2024 sudah berjalan maka tidak mungkin untuk dilakukan revisi saat ini
Politik Hukum Desain Otonomi Khusus Ibu Kota Nusantara Wibowo, Torik Abdul Aziz
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2810

Abstract

Pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia dari Jakarta ke pulai Kalimantan menjadi semakin mendekati kenyataan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Salah satu materi muatan dalan UU ini adalah mengenai desain dari otonomi khusus yang diterapkan pada Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun demikian, desain otonomi khusus IKN ini memiliki setidaknya dua persoalan konseptual, yakni: tidak jelasnya kedudukan pemerintahan daerah IKN dalam struktur pemerintahan Indonesia dan adanya kewenangan kepala otorita untuk memungut pajak dan retribusi sedangkan dalam desain otonomi khususnya IKN tidak dilembagakan dengan adanya DPRD. Tulisan ini kemudian mencoba melihat bagaimana politik hukum dari desain otonomi khusus IKN ini. Dan bagaimana desain perbaikan yang relevan terhadap desain Ikn tersebut. Hasil yang diperoleh yakni IKN memang sengaja didesain berada dalam kendali penuh pemerintah pusat. Dengan demikian perbaikan yang relevan adalah memang menempatkan IKN sebagai bagian dari pemerintah pusat.
Tantangan Pembangunanan dan Hukum di Indonesia Pasca Pandemic Covid-19 Kusuma, M. Aldi Jaya
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2808

Abstract

Pembangunan merupakan keadaan suatu negara yang sedang memiliki berbagai macam permasalahan dalam aspek baik itu aspek dari struktur sosial, perubahan-perubahan dalam sikap hidup yang ada di masyarakat, perubahan dalam kelembagaan dalam sistem bernegara. bahkan, pembangunan suatau negara juga adanya evolusi dalam peningkatan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, pengurangan ketimpangan inkam pendapatan nasional suatu negara, peningkatan taraf kesehatan dan taraf pendidikan serta tingkat kemiskinan. Penelitian ini ditulis dengan metode penelitian Pustaka dengan menggunakan pendekatan analysis content, metode penelitian pustaka adalah pendekatan studi yang mempelajari dan menggunakan berbagai buku sebagai referensi serta menggunakan dan menganalisis hasil penelitian yang telah ada sebelumnya dan sejenis. Nantinya dapat berguna untuk memperoleh landasan teori yang digunakan untuk menganalisis mengenai masalah yang akan diteliti. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif yang merupakan metode untuk mendapatkan data-data yang mendalam serta suatu data yang mengandung makna. Yang dalam hal ini adalah data mengenai permasalahan ekonomi, pembangunan serta aturan-aturan hukum yang ada pada masa pandemi Covid-19. Adapun teori yang digunakan adalah teori hukum pembengunan yang nantinya di gunkan untuk menganalisa fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hasil dari penelitian ini adalah menganalisis mengenai Dampak sosial serta ekonomi yang ada di seluruh dunia bahkan Indonesia dampak dari pandemic Covid-19 ini membuat semua sektor pemerintahan, dari tingkat daerah bahkan hingga tingkat nasional untuk melakukan evaluasi terhadap rencana atau plan pembangunan yang telah disetujui unutk dilaksanakan. Terutama rencana atau plan yang telah tertuang didalam dokumen-dokumen perencanaan dan anggaran yang pada saat itu dalam penyususnan sama sekali tidak memperhitungkan pandemi yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia. Adaptasi dan pengambilan kebijakan yang terukur dalam mengatasi wabah corona akan menjadi titik awal yang bagus untuk pemulihan suatu negara.
Political Will Sistem Otorita IKN (OIKN) dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Ahliyan, Yusqiy
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2806

Abstract

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 adalah produk hukum pemerintah dalam melegitimasi pemerintah daerah khusus yang dalam hal ini berbentuk Otorita IKN Nusantara dan dipimpin oleh Kepala Otorita yang ditunjuk Presiden melalui persetujuan DPR RI. Konsep tersebut juga diperkuat dengan turunnya Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2022 tentang Otorita Ibu Kota Nusantara yang memberikan pedoman terkait pelaksanaan sistem pemerintahan baru di wilayah IKN. Sedangkan, tidak ada keterangan yang jelas mengenai hak asal usul dan kebutuhan yang nyata yang melekat di wilayah IKN yang menjadikan Otorita IKN begitu berbeda dalam pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahannya Penelitian dilakukan dengan metode pendekatan "yuridis normatif". Pendekatan normatif adalah penelitian pustaka, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Penelitian normatif juga dikenal dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian terhadap hukum yang dikonsepsikan dan dikembangkan di atas dasar doktrin yang dianut dan dikembangkan. Berdasarkan objek penelitannya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan-undangan dan pendekatan konsep. Akan tetapi keputusan pemerintah memberikan status khusus dengan mekanisme pemerintahan otoriter mengajukan kontra karena dinilai inkonstitusional dan tidak sesuai dengan paradigma pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat seperti menempatkan posisi sebagai pihak tunggal yang mampu menentukan arah pembangunan. Hal tersebut juga mereduksi semangat demokrasi atas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi. yaitu penelitian terhadap hukum yang dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut dan dikembangkan. Berdasarkan objek penelitannya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan-undangan dan pendekatan konsep. Akan tetapi keputusan pemerintah memberikan status khusus dengan mekanisme pemerintahan otoriter mengajukan kontra karena dinilai inkonstitusional dan tidak sesuai dengan paradigma pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat seperti menempatkan posisi sebagai pihak tunggal yang mampu menentukan arah pembangunan. Hal tersebut juga mereduksi semangat demokrasi atas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi. yaitu penelitian terhadap hukum yang dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut dan dikembangkan. Berdasarkan objek penelitannya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan-undangan dan pendekatan konsep. Akan tetapi keputusan pemerintah memberikan status khusus dengan mekanisme pemerintahan otoriter mengajukan kontra karena dinilai inkonstitusional dan tidak sesuai dengan paradigma pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat seperti menempatkan posisi sebagai pihak tunggal yang mampu menentukan arah pembangunan. Hal tersebut juga mereduksi semangat demokrasi atas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi. Akan tetapi keputusan pemerintah memberikan status khusus dengan mekanisme pemerintahan otoriter mengajukan kontra karena dinilai inkonstitusional dan tidak sesuai dengan paradigma pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat seperti menempatkan posisi sebagai pihak tunggal yang mampu menentukan arah pembangunan. Hal tersebut juga mereduksi semangat demokrasi atas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi. Akan tetapi keputusan pemerintah memberikan status khusus dengan mekanisme pemerintahan otoriter mengajukan kontra karena dinilai inkonstitusional dan tidak sesuai dengan paradigma pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat seperti menempatkan posisi sebagai pihak tunggal yang mampu menentukan arah pembangunan. Hal tersebut juga mereduksi semangat demokrasi atas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi. Kata kunci: Otorita, IKN, Inkonstitusional
Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi Anwar, Ahmad Syaifudin; Saputro, Lilik Agus
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2877

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk membahas mengenai pola seleksi Hakim di Mahkamah Konstitusi yang sesuai dengan asas-asas kekuasaan kehakiman sebagaimana mestinya. Walaupun penekanan dalam Undang-Undang menyebutkan bahwa mekanisme seleksi Hakim Konstitusi dijalankan berdasarkan prinsip akuntabel dan transparan, namun ketentuan tersebut masih memungkinkan untuk ditafsirkan bebas oleh masing-masing lembaga dalam pelaksanaan proses seleksi Hakim Konstitusi itu sendiri. Atas dasar inilah kemudian lahir berbagai macam corak mekanisme seleksi yang beda-beda. Terkadang bentuk pelaksanaan seleksi dilaksanakan secara internal dan mutlak oleh lembaga tersebut, dan adakalanya seleksi dilakukan oleh tim panitia seleksi yang modelnya beragam. Ada yang panitia seleksi bagian dari lembaga pengusul dan dari pihak eksternal yaitu akademisi, praktisi dan mantan Hakim Konstitusi. Kajian yang dilakukan penulis menggunakan metode kajian hukum normatif yang menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep dan sumber data dalam kajian. Kemudian pokok bahasan yang dihasilkan Periode masa jabatan hakim konstitusi 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya merupakan open legal policy dan belum pernah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 oleh MK. Meskipun demikian, periode masa jabatan hakim konstitusi perlu diubah dengan memperpanjang masa jabatan menjadi 9 (sembilan), 10 (sepuluh), atau 12 (dua belas) tahun tanpa ada tambahan periode kedua. Masa jabatan yang diperpanjang tanpa periode ini perlu dikombinasikan dengan usia pensiun 70 (tujuh puluh) tahun, sehingga hakim konstitusi berhenti dengan hormat pada saat berusia 70 (tujuh puluh) tahun atau telah menyelesaikan masa jabatannya.
25 Tahun Reformasi: Mengawal Upaya Mewujudkan Supremasi Hukum dan Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Indonesia Basuki, Udiyo; Subiyakto, Rudi
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 1 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v3i1.3366

Abstract

Reformasi 1998 yang diusung oleh mahasiswa dan masyarakat berhasil menyudahi do minasi kekuasaan Orde Baru dengan berhentinya Presiden Soeharto. Gerakan yang diinisiasi dari lingkungan kampus ini mengajukan beberapa tuntutan yaitu penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan bagi mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amendemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI dan pemberian otonomi daerah seluas luasnya. Keenam tuntutan ini sesungguhnyamerupakan momentum fundamental menuju ke arah penegakan hukum dan demokratisasi yang menjadi spirit reformasi dan menjadi dasar kehidu pan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sayangnya apa yang menjadi tuntutan dan cita cita ideal reformasi belumlah tercapai. Reformasi belum selesai. Maka, memaknai 25 tahun reformasi, akan dikaji bagaimana upaya yang harus ditempuh untuk mewujudkan su premasi hukum dan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Law Enforcement Againts Corruption Crimes (A Case Study of Village Land Misuse in Sleman Regency) Zidni, Irfan; Tahir, Ach
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/dhn6pc18

Abstract

Corruption is a significant crime requiring extraordinary measures for its eradication. The legal framework for addressing corruption in Indonesia is provided by Law No. 31 of 1999, amended by Law No. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes. Despite this, corruption is frequently perpetrated by government officials who are expected to avoid corruption, collusion, and nepotism. An example of this can be observed in Sleman Regency, where government officials have been implicated in the misuse of village land. This land, intended as a source of village income, is often exploited, becoming a focal point for corruption. This research focuses on the law enforcement mechanisms and the challenges encountered by the Yogyakarta High Prosecutor's Office in addressing corruption cases related to village land in Sleman Regency. This study employs a field research design with a juridical-empirical approach. Data collection was conducted through structured interviews. The analysis method is qualitative, involving a detailed descriptive analysis of the data collected from the field, which is then correlated with existing legal regulations. Furthermore, the research utilizes two theoretical frameworks for analysis: the law enforcement theory and the fraud triangle. The result of this study is a law enforcement effort carried out by Kejati DIY on the criminal offences of corruption cases of land abuse in the village district of Sleman was done through preventive and repressive efforts. The repressive attempt was to conduct investigations, investigations and prosecutions in accordance with both the Constitution and the Criminal Code of Corruption. Although the implementation of the DIY is still impressed by the "repressive" attempt, given that the case has not yet been jurisprudent. This is characterized by differences in the views of law enforcement agencies, insufficient processes of handling by supervisors, and lack of public attention to the legal issues surrounding them. Tindak pidana korupsi merupakan jenis kejahatan luar biasa yang harus dilakukan penindakan secara luar biasa. Tindak pidana korupsi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada praktiknya, tindak pidana korupsi seringkali dilakukan oleh aparatur pemerintahan yang seharusnya menjalankan kewajibannya dalam hal tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sleman, terdapat tindak pidana korupsi dalam hal pemanfaatan tanah desa yang menyangkut aparatur pemerintahan. Pemanfaatan tanah desa seharusnya digunakan sebagai sumber pemasukan desa, namun sering disalahgunakan dan menjadi ladang tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal itu penelitian ini mempunyai pokok masalah mengenai penegakan hukum dan hambatan yang dialami oleh Kejaksaan Tinggi DIY dalam menangani tindak pidana korupsi tanah desa di Kabupaten Sleman. Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (filed research) dengan pendekatan yuridis-empiris. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara. Adapun metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan melakukan analisis deskripsi data yang diperoleh dari lapangan dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan. Pada penelitian ini juga digunakan dua kerangka teori sebagai bahan analisis berupa teori penegakan hukum dan fraud triangle. Hasil dari penelitian ini adalah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejati DIY pada tindak pidana korupsi kasus penyalahgunaan tanah desa di Kabupaten Sleman dilakukan melalui upaya preventif dan represif. Upaya preventif dilakukan dengan cara mealukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat maupun aparatur pemerintah desa dalam hal tindak pidana korupsi yang dapat terjadi di lingkungan terdekat, seperti halnya tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan tanah desa. Sedangkan upaya represif yang dilakukan adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan KUHAP maupun UU Tindak Pidana Korupsi. Meskipun pada pelaksanaannya Kejati DIY masih terkesan “meraba-raba” dalam melakukan upaya represif, mengingat kasus ini belum ada yurisprudensinya. Hal tersebut ditandai berupa perbedaan pendapat aparat penegakan hukum, proses penanganan yang kurang tegas oleh aparat pengawas, serta kurangnya kepedulian masyarakat mengenai isu hukum di sekitarnya.