cover
Contact Name
Kadimuddin Baehaki
Contact Email
kadimuddinbaehaki@gmail.com
Phone
+6282271633683
Journal Mail Official
kadimuddinbaehaki@gmail.com
Editorial Address
Jalan Dewi Sartika, No. 67 Luwuk Banggai
Location
Kab. banggai,
Sulawesi tengah
INDONESIA
Jurnal Media Hukum
ISSN : 23375302     EISSN : 27757595     DOI : https://doi.org/10.59414/jmh
Core Subject : Social,
Jurnal Media Hukum (JMH) mencakup bidang: Hukum Tata Negara Hukum Perdata Hukum Pidana Hukum Islam Hukum Adat Hukum Internasional
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 65 Documents
DIMENSI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Andi Munafri
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 1 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana korupsi memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tindak pidana lainnya karena adanya unsur kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara memiliki dimensi normatif sesuai dengan asas legalitas, sehingga berkepastian hukum. Pembuktian terhadap adanya kerugian keuangan negara tidak semata-mata mengacu pada analisis teknis yuridis, namun analisis audit terhadap kerugian keuangan negara perlu adanya analisis akuntansi forensic, sehingganya kerugian keuangan negara dalam bentuk kuantitas dan kualitasnya dapat diketahui secara obyektif, dan akhirnya pengembalian terhadap kerugian keuangan negara dapat dilakukan dengan upaya hukum perdata (civil procedure) maupun melalui upaya pidana (criminal procedure). Corruption has very different characteristics from other criminal acts because of the element of financial loss to the state. State financial losses have a normative dimension in accordance with the principle of legality, so that they have legal certainty. Proof of the existence of state financial losses does not merely refer to juridical technical analysis, but audit analysis of state financial losses requires forensic accounting analysis, so that state financial losses in the form of quantity and quality can be objectively known, and ultimately the return to state financial losses. can be done by means of civil law (civil procedure) or through criminal procedure (criminal procedure).
PRINSIP KETERBUKAAN (DISCLOSURE) PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Hari Sapto Adjie
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 1 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana Prinsip Keterbukaan (Disclosure) wajib diterapkan di dunia Pasar Modal, khususnya sebelum perusahaan melakukan go public dan setelah saham didaftarkan di Pasar Modal sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal ? Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yuridis normatif, temuan penelitian mengungkapkan bahwa : Pertama, adanya perusahaan go public perlu untuk menaati kewajibannya untuk menerapkan Prinsip Keterbukaan sebelum melakukan go public. Kedua, Prinsip Keterbukaan wajib selalu diterapkan setelah saham didaftarkan di dunia Pasar Modal. Bahkan kewajiban perusahaan go public (emiten) dilarang melakukan tindakan yang berupa transaksi yang melibatkan orang dalam perusahaan (Insider Trading). Berdasarkan temuan penelitian, ada tiga hal yang disarankan penulis. Pertama agar perusahaan go public untuk selalu mentaati kewajibannya dalam menerapkan Prinsip Keterbukaan (Disclosure). Kedua,perlunya pihak calon investor atau investor memperhatikan resiko bisnis yang berkaitan dengan investasi mereka dalam dunia pasar modal. Ketiga, perlunya profesi penunjang pasar modal untuk meningkatkan kualitas, integritas dan mematuhi kode etik profesi masing-masing guna mengoptimalkan pasar modal sebagai sarana investasi yang tertib dan aman. The main problem of this research is how the Principle of Openness (Disclosure) must be applied in the world of the Capital Market, especially before companies go public and after shares are registered in the Capital Market in accordance with Law no. 8 of 1995 About the Capital Market? Using normative juridical qualitative research methods, the findings of the study reveal that: First, the existence of a publicly traded company is necessary to comply with its obligation to apply the Principle of Openness before going public. Second, the Principle of Disclosure must always be applied after shares are registered in the Capital Market world. Even the obligation of a go public company (issuer) is prohibited from taking action in the form of transactions that involve insiders in the company (Insider Trading). Based on the research findings, there are three things suggested by the author. First, for companies to go public to always comply with their obligations in implementing the Principle of Openness (Disclosure). Second, the need for potential investors or investors to pay attention to the business risks associated with their investment in the world of capital markets. Third, the need for capital market supporting professions to improve quality, integrity and comply with the respective professional code of ethics in order to optimize the capital market as an orderly and safe investment vehicle
SISTEM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945: SUATU KAJIAN DALAM TEORI PERUBAHAN KONSTITUSI Mohammad Ilyas
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 1 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penulisan ini mengkaji sejauh mana sistem perubahan yang dianut oleh UUD 1945 (sebelum Amandemen) menjadi UUD NRI Tahun 1945 (Pasca Amandemen), dilihat dari Teori Perubahan Konstitusi secara umum, baik menyangkut sistem perubahan maupun proses perubahannya. Tipe penelitian ini adalah normatif dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan analisis bahan hukum yang meliputi Deskriptif, Komparatif, Deduktif dan Induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pertama, perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Pasca Amandemen), tidak menganut salah satu teori Perubahan Konstitusi, baik constitutional reform maupun constitutional amendment. Hal ini dikarenakan dalam proses perubahan lebih mengedepankan semangat reformasi ketimbang teori hukum. Kedua, terlalu mudahnya melakukan perubahan padahal di banyak negara perubahan konstitusi bersifat rigid dan sangat sulit. Dengan bertolak dari temuan penelitian ini, maka penulis mengajukan saran; Pertama, setiap perubahan suatu konstitusi seharusnya tidak merubah maksud filosofis substansi Undang-Undang Dasar tersebut. Kedua, bagi kalangan yang ingin melakukan perubahan, harus mengetahui betul urgensi perlu tidaknya merubah suatu konstitusi. This writing examines the extent to which the system of change adopted by the 1945 Constitution (before the Amendment) to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (Post Amendment), is seen from the Theory of Constitutional Change in general, both regarding the system of change and the process of change. This type of research is normative using literature research methods and analysis of legal materials which include descriptive, comparative, deductive and inductive. The results show that: First, the amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (Post Amendment) does not adhere to any of the theories of Constitutional Amendment, either constitutional reform or constitutional amendment. This is because the process of change puts forward the spirit of reform rather than legal theory. Second, it is too easy to make changes even though in many countries constitutional amendments are rigid and very difficult. Based on the findings of this study, the authors propose a suggestion; First, every amendment to a constitution should not change the philosophical intent of the substance of the Constitution. Second, those who wish to make changes must know very well the urgency of changing a constitution
TANGGUNG JAWAB BIDAN SEBAGAI TENAGA KESEHATAN TERHADAP KERUGIAN PASIEN Isnanto Bidja
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 1 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan utama terhadap kajian kepustakaan terutama mengkaji dengan pendekatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Masalah utama penelitian ini adalah: Pertama, Kedudukan Hukum Bidan Terhadap Kerugian Pasien. Kedua, Penyelesaian Hukum Terhadap Kerugian Pasien Akibat Kesalahan Bidan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pertama, Kedudukan hukum bidan sebagai tenaga kesehatan profesional menurut hukum perlindungan konsumen di Indonesia adalah mengganti kerugian berupa harga barang atau perawatan kesehatan yang diderita oleh pasien selaku konsumen akibat kesalahan yang ditimbulkan oleh bidan sebagai pelaku usaha. Kedua, Penyelesaian hukum terhadap kerugian pasien akibat kelalaian dan kesalahan bidan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah meminta ganti kerugian kepada bidan dengan cara menggugat ke pengadilan dengan dasar gugatan wanprestasi (jika ada hubungan dengan kontraktual) atau perbuatan melawan hukum (jika tidak ada hubungan kontraktual). Health development is an integrated part of the development of human resources (HR) in realizing a nation that is advanced and independent as well as physically and mentally prosperous. Health development is aimed at realizing healthy, intelligent and productive people. This study uses a normative juridical method with the main approach to literature review, especially assessing the approach of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. The main problems of this research are: First, the Legal Position of Midwives Against Patient Losses. Second, Legal Settlement for Patient Losses Due to Midwife Mistakes Connected with Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. The results showed that, First, the legal position of midwives as health professionals according to consumer protection law in Indonesia is to compensate for losses in the form of prices for goods or health care suffered by patients as consumers due to errors caused by midwives as business actors. Second, the legal settlement of patient losses due to negligence and mistakes of midwives related to Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection is to ask for compensation from the midwife by suing the court on the basis of a suit of default (if there is a contractual relationship) or illegal actions (if there is no contractual relationship).
SISTEM PENDAFTARAN TANAH MENURUT HUKUM POSITIF NASIONAL Moh. Akli Suong
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 1 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tanah merupakan kebutuhan mendasar setiap subyek hukum. Keberadaan tanah dan hubungannya dengan subyek hukum harus mendapatkan status hukum agar dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah telah menjadi dasar hukum pertanahan nasional dan sistem pendaftaran tanah untuk dapat memberikan kepastian hak atas tanah yang tentunya memberikan perlindungan hukum hak atas tanah. Sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, dikenal dua sistem pendaftaran tanah. Pertama, disebut dengan model pendaftaran akta atau "registration of deeds" atau pendaftaran tanah dengan stelsel negatif atau pendaftaran tanah negatif. Kedua, pendaftaran hak atau "registration of title", dimana lazim pula disebut dengan nama "pendaftaran dengan stelsel positif" ataupun seringkali disebut "sistem Torrens". Kedua sistem pendaftaran tanah ini mempunyai perbedaan dan persamaan, serta kelebihan dan kekurangan satu dengan yang lainnya. Land is a basic requirement of every legal subject. The existence of land and its relationship with legal subjects must obtain legal status in order to provide legal certainty for holders of land rights. Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Affairs and Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration have become the basis of national land law and land registration systems to provide certainty of land rights which of course provide legal protection of land rights. As stipulated in statutory regulations, there are two systems of land registration. First, it is called the deed registration model or "registration of deeds" or land registration with a negative system or negative land registration. Second, registration of rights or "registration of title", which is commonly referred to as "registration with a positive system" or often called the "Torrens system". These two land registration systems have differences and similarities, as well as advantages and disadvantages of one another.
UNSUR MEMPERKAYA DAN MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI, ORANG LAIN ATAU KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI : ELEMENTS OF ENRICHING AND BENEFITING YOURSELF, OTHERS OR CORPORATIONS IN CRIMINAL ACTS OF CORRUPTION Andi Munafri D Mappatunru
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 2 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.788 KB) | DOI: 10.59414/jmh.v9i2.430

Abstract

Penelitian ini untuk mengetahui batasan unsur “memperkaya” dan “menguntungkan” diri sendiri, orang lain atau korporasi dalam tindak pidana korupsi beserta pembuktiannya. Metode Penelitian digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan bahan hukum terkait selanjutnya dianalisis secara kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor berlaku SEMA Nomor 7 Tahun 2012 yang mengatur jika nilai kerugian uang negara di atas Rp.100.000.000,00 diterapkan Pasal 2 ayat (1), namun jika kerugian uang negara kurang dari Rp.100.000.000,00 diterapkan Pasal 3. Pembuktian dilakukan berdasarkan KUHAP dan ketentuan khusus Undang-Undang Tipikor. Saran-saran yang dikemukakan, perlu adanya kesepahaman Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam mamaknai unsur “menguntungkan” dan “memperkaya” untuk menjaminan kepastian hukum. Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus melibatkan saksi ahli pidana, ahli hukum administrasi dan ahli keuangan negara yang memiliki kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan serta memiliki kapasitas keilmuan dan pengalaman dan tentunya menggunakan metodologi audit investigasi kerugian uang negara yang baku dan diakui secara professional.
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN : CONSEQUENCES OF SIRI MARRIAGE LAW BASED ON LAW NUMBER 1 OF 1974 CONCERNING MARRIAGE Asri S. Mansoba
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 2 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.376 KB) | DOI: 10.59414/jmh.v9i2.433

Abstract

Kawin siri dalam masyarakat telah menjadi fenomena yang sangat lazim. Kawin siri dilihat dari berbagai kajian teori memiiki hukum yang berbeda-beda. Dalam jurnal ini akan dikupas secara komprehensif terkait kawin siri. Kawin siri akan dijelaskan berdasarkan perspektif hukum fiqih, kemudian hukum positif dan juga disenggol sedikit mengenai gender dan HAM. Secara umum tulisan ini akan memberikan perspektif feminis kaitannya dengan fenomena kawin siri. Sebagaimana kita tahu, bahwa kawin siri adalah perkawinan yang dilakukan hanya secara hukum agama. perkawinan siri memiliki banyak akibat negatif, misalnya bagi status istri, istri tidak dianggap sebagai istri yang sah di mata hukum yang berakibat pada hak-hak istri tidak terjamin secara hukum. Begitu juga dengan anak, di mata hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan siri dianggap sebagai anak tidak sah atau anak luar kawin, sehingga anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, artinya si anak tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya.
KEDUDUKAN DAN TUGAS DEWAN PENGUPAHAN DALAM PENETAPAN UPAH MINIMUM TERHADAP PENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PEKERJA : POSITION AND DUTIES OF THE WAGE COUNCIL IN DETERMINING MINIMUM WAGES TO IMPROVE WORKER WELFARE Marno Maruni Hipan
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 2 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.126 KB) | DOI: 10.59414/jmh.v9i2.434

Abstract

Dewan Pengupahan merupakan organ non-struktural yang anggotanya terdiri dari pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah serta akademisi yang bertugas untuk melakukan kajian dan saran atas adanya KHL untuk ditentukannya upah minimum oleh pemerintah. Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan pengupahan tinngkat Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur. Untuk menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan/atau Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota, Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota melakukan penelitian serta menghimpun data dan informasi mengenai Homogenitas perusahaan, Jumlah perusahaan, Jumlah tenaga kerja, Devisa yang dihasilkan, Nilai tambah yang dihasilkan, Kemampuan perusahaan, Asosiasi perusahaan dan Serikat pekerja/serikat buruh terkait. Standar Komponen Hidup Layak menjadi acuan dan pertimbangan bagi pelaksanaan survey Komponen Hidup Layak di wilayahnya masing-masing serta menjadi penetapan Upah Minimum.
PERAN DAN KEDUDUKAN HUKUM ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM : THE ROLE AND LEGAL POSITION OF AN ADVOCATE IN LAW ENFORCEMENT Zulharbi Amatahir
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 2 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (450.71 KB) | DOI: 10.59414/jmh.v9i2.435

Abstract

Sistem peradilan kita di Indonesia adalah sebagai bentuk mekanisme penegakan hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim kemudian advokat. 4 pilar ini melalui sistem peradilan diharapkan dapat menghadirkan proses penegakan hukum yang berkeadilan sesuai dengan cita negara hukum. Berdasarkan Konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa dalam Pasal 1 ayat 3 Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstaat) dimana secara jelas Indonesia bukan negara yang didasarkan atas sebuah kekuasaan belaka (Machstaat). Karena itu kekuasaan tertinggi dalam arti kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar serta terdapat Polisi dan Jaksa yang merupakan lembaga yang berada pada kekuasaan eksekutif atau pemerintah. Sementara di sisi lain Advokat yang merupakan cerminan salah satu penegak hukum yang berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya di mana dalam hal ini membela kepentingan rakyat untuk membantu menemukan kebenaran materiil atau nyata, yang dalam pelaksanaannya bercita-cita mewujudkan dan mengimplementasikan negara hukum yang mencerminkan keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu sebagaimana istilah hukum yaitu equality before the law yang memiliki arti bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN PERILAKU HAKIM : AUTHORITY OF THE SUPREME COURT AND THE JUDICIAL COMMISSION IN SUPERVISION OF THE BEHAVIOR OF JUDGES Ari Sukady Talaba
Jurnal Media Hukum Vol. 9 No. 2 (2021): Jurnal Media Hukum (JMH)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (554.117 KB) | DOI: 10.59414/jmh.v9i2.436

Abstract

Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam pengawasan perilaku hakim mempunyai Hubungan Konstitusional. Sehingga hubungan tersebut, bukan karena diterapkannya teori pemisahan kekuasaan (doktrin trias politica) dengan prinsip checks and balance, tetapi dalam kerangka hubungan kemitraan (partnership). lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang-undang Komisi Yudisial dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ada beberapa pasal yang dibatalkan. Dengan demikian pengawasan hakim Mahkamah konstitusi bukanlah menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial. Pengawasan perilaku hakim yang di lakukan melalui wadah Majelis Kehormatan Hakim. Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam pengawasan perilaku hakim memiliki kedudukan yang sama dan sederajat didalam pasal 24 dan pasal 24B Undang-undang Dasar 1945. Dimana Mahkamah Agung adalah Organ Utama (main Organ) dalam kedudukannya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (code of law). Sedangkan Komisi Yudisial sebagai organ penunjang (supporting organ) yang bersifat organ pengawas eksternal yang melaksanakan fungsi penegakkan kode etika (code of etic).