Penetapan PKPU No 10 Tahun 2023 dalam mengatur proses pencalonan  legislatif pada pemilu 2024, dianggap  bertentangan dengan UU No 7 Tahun 2017. Keputusan Mahkamah Agung, Bawaslu dan DKPP, menetapkan bahwa pasal 18 ayat 2 point (a) yang memperbolehkan perhitungan desimal kebawah tidak sah dan memerintahkan KPU mencabut pasal persebut karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan polemik di tengah masyarakat. KPU mengabaikan keputusan-keputusan tersebut, dan menetapkan 267 DCT DPR dan 1.016 DCT DPRD Provinsi yang belum mencapai 30% keterwakilan perempuan. Kasus Gugatan ke MK terhadap hasil pemilu legislatif 2024 di Daerah Pemilihan 6 Provinsi Gorontalo merupakan dampak dari malapraktek pemilu nasional serius dan dilakukan secara hirarkis. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis bagaimana KPU 2022-2027 memanipulasi PKPU No 10 Tahun 2023, serta melihat dampak dari pelanggaran peraturan pencalonan perempuan dalam DCT di Dapil 6 DPRD Provinsi Gorontalo. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan terpilih, semua data dianalisis dengan teori malapraktik pemilu Sarah Birch (2013). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa malapraktik pemilu dengan manipulasi PKPU dapat terjadi karena (1) keterbatasan dan kesulitan partai politik dalam merekrut caleg perempuan yang potensial, (2) asumsi ketidakadilan pada perhitungan desimal dengan pembulatan ke atas, (3) upaya partai politik untuk lolos verifikasi DCT pemilu 2024, serta (4) kekhawatiran KPU akan hambatan politik dalam penetapan PKPU yang tepat waktu. Sedangkan pelanggaran di dapil Gorontalo 6 terjadi dengan alasan (1) KPU Provinsi Gorontalo memiliki kewajiban untuk menjalankan PKPU No 10 Tahun 2023 dalam menentukan DCT perempuan, dan (2) waktu pelaksanaan pemilu yang singkat. Temuan utama penelitian ini adalah malapraktik pemilu di Provinsi Gorontalo terjadi karena KPU tidak mampu menjaga kemandirian dan integritasnya dalam membuat regulasi teknis PKPU.