Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

KAIDAH NIAT DAN PENENTUAN KESENGAJAAN PEMBUNUHAN DALAM HUKUM ISLAM Ropei, Ahmad
Ahkam: Jurnal Hukum Islam Vol 9 No 1 (2021): Juli 2021
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/ahkam.2021.9.1.55-80

Abstract

This study aims to reveal the application of the rule of intent and its relevance of determination intentional murder in Islamic law. The approach used in this research is library research, with the data collected by literatural technique. The process of data analysis was carried out by descriptive-analytical techniques. The results of this study indicates that the rule of intent in Islamic law is an important instrument to determine the element of intent in a murder case. Practically, the rule to reveal the existence of a murder intent is to look into several things, including through the tools used to kill and the existence of hostility or disputes between the perpetrator and the victim before the murder occurred, where this can be used as a legal fact to explore the element of intent in the murder. Element of intent used as a prove for the perpetrator so be punished in the form of qishash.
PENERAPAN ASAS CEPAT, SEDERHANA, DAN BIAYA RINGAN TERHADAP PELAKSANAAN E-COURT DI PENGADILAN AGAMA Ropei, Ahmad; Dini, Hakimah Nurazmina
VARIA HUKUM Vol 6, No 1 (2024): VARIA HUKUM
Publisher : Ilmu Hukum, Sharia and Law Faculty, Sunan Gunung Djati Islamic State University of Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/vh.v6i1.27462

Abstract

Electronic court or E-Court has become one of the latest innovations in the justice system. Through electronic case administration services, E-Court aims to overcome obstacles in the judicial process and realize a simple, fast, and cheap court. The use of information technology allows litigants to access the court online, reducing delays, minimizing physical presence, and increasing interaction with court officials. Regulations such as Supreme Court Regulation No. 7 of 2022 provide a legal foundation for the use of technology in case and court administration. However, it is important to maintain accuracy, precision and fairness in the judicial process. Evaluation of the effectiveness of E-Court implementation needs to be done to ensure optimal service for justice seekers. Electronic court through E-Court brings significant potential benefits in increasing accessibility to the court and accelerating case settlement while still paying attention to aspects of justice. The author conducts research using normative legal research methods. Where normative legal research is legal research that focuses on rules or principles in the sense that the law is conceptualized as norms or rules sourced from laws and regulations, court decisions, and doctrines from leading legal experts.Pengadilan elektronik atau E-Court telah menjadi salah satu inovasi terkini dalam sistem peradilan. Melalui layanan administrasi perkara secara elektronik, E-Court bertujuan untuk mengatasi hambatan dalam proses peradilan dan mewujudkan pengadilan yang sederhana, cepat, dan murah. Penggunaan teknologi informasi memungkinkan para pihak yang berperkara untuk mengakses pengadilan secara online, mengurangi keterlambatan, meminimalkan kehadiran fisik, dan meningkatkan interaksi dengan aparat pengadilan. Regulasi seperti Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 7 Tahun 2022 memberikan landasan hukum bagi penggunaan teknologi dalam administrasi perkara dan persidangan. Evaluasi terhadap efektivitas penerapan E-Court perlu dilakukan untuk memastikan layanan yang optimal bagi pencari keadilan. Pengadilan elektronik melalui E-Court membawa potensi manfaat signifikan dalam meningkatkan aksesibilitas ke pengadilan dan mempercepat penyelesaian perkara dengan tetap memperhatikan aspek keadilan. Penulis melakukan penelitian dengan metode penelitian hukum normatif. Dimana Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang berfokus pada kajian terhadap kaidah-kaidah atau asas-asas hukum. Dalam konteks ini, hukum dipahami sebagai norma atau kaidah yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta doktrin yang dikemukakan oleh para pakar hukum terkemuka.
Paradigma Pemikiran Abraham Maslow Mengenai Kontruksi Hukum Poligami (Studi Kasus Praktik Poligami di Kabupaten Subang Jawa Barat) Abdurohim, Abdurohim; Ropei, Ahmad; Saman, Saman
Jurnal Bisnis Mahasiswa Vol 4 No 4 (2024): Jurnal Bisnis Mahasiswa
Publisher : PT Aksara Indo Rajawali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.60036/jbm.v4i4.art26

Abstract

Penelitian ini membahas faktor-faktor yang menyebabkan poligami di Kabupaten Subang, dengan menggunakan metode penelitian lapangan (field research). Berdasarkan analisis, poligami dilakukan karena berbagai alasan, seperti jarak dengan istri yang jauh, tidak terpenuhinya nafkah lahir dan batin, serta upaya menghindari perbuatan tidak bermoral. Dari sudut pandang hirarki kebutuhan Abraham Maslow, poligami dipandang sebagai langkah darurat untuk memenuhi kebutuhan individu. Namun, jika tidak dilakukan sesuai aturan, poligami dapat menimbulkan dampak negatif. Penelitian juga mencatat lemahnya efektivitas regulasi poligami dalam UU Perkawinan, yang disebabkan oleh tidak adanya sanksi tegas, kelemahan administrasi, serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam menaati aturan agama dan hukum. Hasil ini menunjukkan perlunya peningkatan edukasi dan pengawasan pemerintah, terutama dalam pelaksanaan kursus calon pengantin, untuk meminimalisir penyimpangan dalam praktik poligami.
Dinamika Penjatuhan Talak Melalui Whatsapp dalam Paradigma Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Ropei, Ahmad; Sururie, Ramdani Wahyu
Al-Hukama': The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 11 No. 1 (2021): Juni
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/alhukama.2021.11.1.160-184

Abstract

This article aims to describe the paradigm of Islamic family law reform against the dynamics of the imposition of divorce through WhatsApp  media, one of the problems often faced in various divorce cases. This paper is classified as a qualitative type, with the approach used being library research. Data analysis was carried out using descriptive-analytical techniques. The results of this article indicate that the adoption of divorce via WhatsApp according to most legal scholars is valid with the qiyas approach as the delivery of divorce through writing in the form of a letter. Meanwhile, in the paradigm of reforming Islamic family law in Indonesia, the imposition of divorce via WhatsApp  is considered invalid, considering that the validity of the divorce is only recognized when it is sworn in before the court. This paradigm is based on various efforts to achieve the benefit, especially to avoid arbitrary actions by the husband against his wife unilaterally in terms of imposing divorce and obtaining legal legality. [Artikel ini bertujuan menggambarkan paradigma pembaharuan hukum keluarga Islam terhadap dinamika penjatuhan talak melalui media WhatsApp yang menjadi salah satu persoalan yang seringkali dihadapi pada berbagai kasus perceraian. Tulisan ini tergolong ke dalam jenis kualitatif dengan pendekatan yang dipakai adalah studi kepustakaan (library research). Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif-analisis. Hasil penulisan artikel ini menunjukkan bahwa penjatuhan talak melalui WhatsApp dalam pandangan jumhur ulama hukumnya sah dengan argumentasi pendekatan qiyas sebagaiman penjatuhan talak melalui tulisan berupa surat. Sementara dalam paradigma pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia, penjatuhan talak melalui WhatsApp dihukumi tidak sah, mengingat keabsahan talak hanya diakui ketika diikrarkan di hadapan sidang pengadilan. Paradigma ini didasarkan pada berbagai upaya meraih kemaslahatan, terutama dalam usaha menghindari tindakan semena-mena suami terhadap isteri secara sepihak dalam hal menjatuhkan talak dan juga untuk mendapatkan legalitas hukum, maka kehadiran ulil amri melalui sidang pengadilan dinilai sejalan dengan nilai-nilai kemaslahatan.]
PENERAPAN ASAS CEPAT, SEDERHANA, DAN BIAYA RINGAN TERHADAP PELAKSANAAN E-COURT DI PENGADILAN AGAMA Ropei, Ahmad; Dini, Hakimah Nurazmina
VARIA HUKUM Vol. 6 No. 1 (2024): VARIA HUKUM: Jurnal Forum Studi Hukum dan Kemasyarakatan
Publisher : Ilmu Hukum, Sharia and Law Faculty, Sunan Gunung Djati Islamic State University of Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/vh.v6i1.27462

Abstract

Electronic court or E-Court has become one of the latest innovations in the justice system. Through electronic case administration services, E-Court aims to overcome obstacles in the judicial process and realize a simple, fast, and cheap court. The use of information technology allows litigants to access the court online, reducing delays, minimizing physical presence, and increasing interaction with court officials. Regulations such as Supreme Court Regulation No. 7 of 2022 provide a legal foundation for the use of technology in case and court administration. However, it is important to maintain accuracy, precision and fairness in the judicial process. Evaluation of the effectiveness of E-Court implementation needs to be done to ensure optimal service for justice seekers. Electronic court through E-Court brings significant potential benefits in increasing accessibility to the court and accelerating case settlement while still paying attention to aspects of justice. The author conducts research using normative legal research methods. Where normative legal research is legal research that focuses on rules or principles in the sense that the law is conceptualized as norms or rules sourced from laws and regulations, court decisions, and doctrines from leading legal experts.Pengadilan elektronik atau E-Court telah menjadi salah satu inovasi terkini dalam sistem peradilan. Melalui layanan administrasi perkara secara elektronik, E-Court bertujuan untuk mengatasi hambatan dalam proses peradilan dan mewujudkan pengadilan yang sederhana, cepat, dan murah. Penggunaan teknologi informasi memungkinkan para pihak yang berperkara untuk mengakses pengadilan secara online, mengurangi keterlambatan, meminimalkan kehadiran fisik, dan meningkatkan interaksi dengan aparat pengadilan. Regulasi seperti Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 7 Tahun 2022 memberikan landasan hukum bagi penggunaan teknologi dalam administrasi perkara dan persidangan. Evaluasi terhadap efektivitas penerapan E-Court perlu dilakukan untuk memastikan layanan yang optimal bagi pencari keadilan. Pengadilan elektronik melalui E-Court membawa potensi manfaat signifikan dalam meningkatkan aksesibilitas ke pengadilan dan mempercepat penyelesaian perkara dengan tetap memperhatikan aspek keadilan. Penulis melakukan penelitian dengan metode penelitian hukum normatif. Dimana Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang berfokus pada kajian terhadap kaidah-kaidah atau asas-asas hukum. Dalam konteks ini, hukum dipahami sebagai norma atau kaidah yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta doktrin yang dikemukakan oleh para pakar hukum terkemuka.
Rethinking the Minimum Age of Marriage Law in Indonesia: Insights from Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s Epistemology Ropei, Ahmad; Alijaya, Adudin; Hasan, Muhammad Zaki Akhbar; Fadhil, Fakhry
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 2 (2022)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1111

Abstract

Abstract: This article analyzes the renewal of Indonesia’s minimum age of marriage law. Previously, the legal age for men was 19 years, and for women was 16 years. However, Law No. 16 of 2019 amended the law, setting the minimum age of marriage at 19 years for both genders. Notably, this increase for women contradicts certain fiqh texts and is the highest age limit among several Muslim countries. This study employs Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s bayānī (indication/explication) and burhānī (demonstration/proof) epistemology to examine the subject. This article identifies the ideal age range for marriage as 19 to 25 years, when individuals reach balig (maturity) and rusydan (legal capacity), demonstrating readiness and mental maturity for marital life. The renewal of Indonesia’s marriage age limit aligns with Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s epistemology, which integrates naṣ (Al-Qur’an and hadīth) with rational reasoning and empirical evidence.   Abstrak: Artikel ini menganalisis pembaruan ketentuan batas usia perkawinan di Indonesia. Sebelumnya, batasan usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Setelah diubah melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, ketentuan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu 19 tahun. Peningkatan batas usia perkawinan bagi perempuan di Indonesia ini menarik untuk dikaji dan dianalisis, karena bertentangan dengan sejumlah teks fikih dan sekaligus paling tinggi di antara beberapa negara muslim lainnya. Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan yang dianalisis menggunakan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī. Artikel ini menemukan bahwa kriteria ideal batas minimal usia perkawinan berada pada rentang usia 19 sampai dengan 25 tahun. Pada rentang usia tersebut, pasangan calon pengantin telah memasuki masa baligh dan sekaligus cakap hukum (rusydan) sehingga mereka telah memiliki kesiapan dan kematangan mental untuk melangsungkan perkawinan dan menjalani kehidupan rumah tangga. Pembaruan batas usia perkawinan di Indonesia tersebut sesuai dengan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī karena ketentuan tersebut tetap mengacu pada naṣ (Al-Qur’an dan hadis) yang dilengkapi dengan penalaran rasional dan bukti-bukti empiris.   Keywords: Minimum age of marriage; bayānī; burhānī; marriage law; Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī
Dinamika Hukum Waris Islam: Hak Anak Angkat antara Hibah dan Wasiat Wajibah Haenudin, Didin; Ropei, Ahmad; Hasyim, Adam; Ramadhani, Febri
RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business Vol. 4 No. 3 (2025): Agustus - October
Publisher : Prodi Bisnis Digital Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/riggs.v4i3.2344

Abstract

Penelitian ini mengkaji dinamika hukum waris Islam terkait hak anak angkat melalui mekanisme hibah dan wasiat wajibah, dalam konteks perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Latar belakangnya berangkat dari ketentuan fiqh yang tidak mengakui anak angkat sebagai ahli waris karena ketiadaan hubungan nasab, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat 4, sehingga hak anak angkat hanya dapat dijamin melalui instrumen hibah atau wasiat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis status hukum anak angkat, landasan normatif hibah, serta implementasi wasiat wajibah berdasarkan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan analisis putusan pengadilan agama. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa hibah menjadi solusi preventif karena dilakukan saat pewaris masih hidup, sedangkan wasiat wajibah merupakan inovasi hukum positif yang menjamin maksimal sepertiga harta bagi anak angkat meski tanpa wasiat eksplisit. Namun, implementasi keduanya menghadapi tantangan berupa minimnya edukasi hukum, lemahnya dokumentasi legal, dan perbedaan interpretasi hakim. Implikasi penelitian ini menegaskan pentingnya integrasi hukum Islam dan hukum nasional melalui regulasi teknis, edukasi masyarakat, serta prosedur pengadilan yang konsisten, guna melindungi hak anak angkat secara adil tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syari’ah.
Penerapan Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah Pidana Berdasarkan Hukum Pidana Islam Ropei, Ahmad
AL-KAINAH: Journal of Islamic Studies Vol. 1 No. 2 (2022): Al-Kainah: Journal of Islamic Studies
Publisher : Institute for Research and Community Services (P3M), The Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Miftahul Huda in Subang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69698/jis.v1i2.14

Abstract

Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan penyelesaian masalah hukum yang berupaya untuk memulihkan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang telah dirusak oleh kejahatan. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apa yang menjadi dasar pertimbangan penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana? Bagaimana konsep penerapan keadilan restoratif dalam persepsi hukum pidana Islam? Bagaimana hubungan antara asas legalitas dan keadilan restoratif dalam penyelesaian masalah pidana? Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif. Metode yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Jenis data penelitian adalah data kualitatif, yaitu jenis data yang berkaitan dengan pengaturan mengenai penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana baik dalam hukum positif maupun dalam hukum pidana Islam. Hasil kajian menunjukkan bahwa: dasar pertimbangan penerapan restorative justice dalam penyelesaian masalah pidana adalah pertimbangan aspek keadilan, aspek kemanusiaan, aspek kepentingan umum, aspek pemaafan, dan aspek perdamaian atau al-Islah. Dalam hukum pidana Islam, pendekatan restorative justice telah digunakan sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab dalam kasus pencurian unta yang dilakukan oleh seorang pembantu pada musim paceklik, namun Umar r.a membebaskan pelakunya dengan alasan kemanusiaan. Selain itu, konsep keadilan restoratif juga dapat dilihat dalam kasus pembunuhan (al-Qatl) dan penganiayaan, dimana pelakunya dapat dibebaskan dari hukum qishash jika ada pemaafan dari korban atau walinya dan juga jika ada perdamaian. al-Islah) antara pelaku dan korban atau walinya. Keterkaitan antara asas legalitas dan keadilan restoratif dapat dilihat sebagai berikut: asas legalitas dan keadilan restoratif merupakan instrumen penegakan hukum, baik asas legalitas maupun pendekatan keadilan restoratif, keduanya sama-sama bertujuan untuk memberikan rasa keadilan. Asas legalitas dan pendekatan restorative justice dapat saling melengkapi dalam proses penegakan hukum.
MANAGING ‘BALIGH’ IN FOUR MUSLIM COUNTRIES: Egypt, Tunisia, Pakistan, and Indonesia on the Minimum Age for Marriage Ropei, Ahmad; Huda, Miftachul; Alijaya, Adudin; Fadhil, Fakhry; Zulfa, Fitria
Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 16 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ahwal.2023.16106

Abstract

In Islamic law, the concept of baligh has long been debated among clerics. The debate also appears to have resulted in different rules regarding the minimum age of marriage among Muslim countries. This paper aims to reveal the maturity standard regarding the minimum age of marriage in four Muslim countries: Egypt, Pakistan, Tunisia, and Indonesia. This paper is based on library research and employs a comparative study approach. This paper argues that Egypt, Pakistan, Tunisia, and Indonesia have a different minimum age for marriage. In Egypt and Pakistan, the minimum age for marriage is 18 years for men and 16 years for women. However, Pakistan has gone further by instituting legal sanctions if the regulation of the minimum age is violated. In Tunisia, the minimum age for marriage is 18 years for men and women, while in Indonesia it is 19 years for men and women. The determination of the minimum age for marriage is intended for several purposes, including limiting the number of early marriages, reducing the divorce rate, and preparing a strong national generation through the maturity of the marriage age. These interests, from the perspective of Islamic law, are the manifestation of the principle of maslahah (fundamentally aimed at achieving goodness and rejecting harm concerning marital life).[Dalam hukum Islam, konsep balig sudah lama diperdebatkan di kalangan ulama. Perdebatan tersebut juga tampaknya telah menghasilkan aturan yang berbeda mengenai usia minimum pernikahan di antara negara-negara Muslim. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan standar kedewasaan mengenai usia minimum menikah di empat negara Muslim: Mesir, Pakistan, Tunisia, dan Indonesia. Makalah ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dan menggunakan pendekatan studi komparatif. Tulisan ini berpendapat bahwa Mesir, Pakistan, Tunisia, dan Indonesia memiliki perbedaan usia minimum untuk menikah. Di Mesir dan Pakistan, usia minimum untuk menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, Pakistan telah melangkah lebih jauh dengan memberikan sanksi hukum jika peraturan usia minimum dilanggar. Di Tunisia, usia minimum untuk menikah adalah 18 tahun untuk pria dan wanita, sedangkan di Indonesia adalah 19 tahun untuk pria dan wanita. Penetapan usia minimal menikah dimaksudkan untuk beberapa tujuan, antara lain membatasi jumlah pernikahan dini, menekan angka perceraian, dan mempersiapkan generasi bangsa yang kuat melalui pendewasaan usia pernikahan. Kepentingan-kepentingan tersebut, dalam perspektif hukum Islam, merupakan manifestasi dari prinsip maslahah (menarik kebaikan dan menolak keburukan dalam kehidupan berumah tangga).]
Merger and Its Impact on Strengthening the Development of Sharia Banks in Indonesia Rosmiati, Ii; Ropei, Ahmad; Ramadhani, Febri; Suharto, Suharto
International Conference on Islamic Economic (ICIE) Vol. 2 No. 1 (2023): April
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58223/icie.v2i1.202

Abstract

Sharia banking in Indonesia today continues to experience development in line with the increasingly advanced growth of the shari'ah economy. This is of course caused by many factors, including the existence of regulations that support the development of Islamic banking, especially related to the merger of Islamic banking. This shari'ah bank merger needs to be seen as an important part of the development of shari'ah banking in Indonesia. This paper is a type of qualitative research with the method used is the study of literature. The results of this paper reveal that the background of the merger of Islamic banks was the desire to strengthen the condition of Islamic banking in Indonesia by increasing the financial literacy of the Indonesian Muslim community. The merger of Islamic banks has had an impact on the development of Islamic banks in Indonesia, including after the merger, Bank Syariah Indonesia was able to become the 7th best national level bank; able to generate greater assets; increasing the total amount of financing, third party funds, and profits and succeeding in increasing shari'ah financial literacy in Indonesia.