Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak harus diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam setiap pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan menganalisis implementasi kewajiban pendampingan dan akibat hukumnya. Metode yang digunakan adalah hukum sosiologis, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kasus. Penelitian dilakukan di wilayah Kepolisian Resor Rokan Hulu dengan narasumber yang relevan. Sumber data meliputi data primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data mencakup observasi, wawancara terstruktur, dan studi dokumen. Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif dengan kesimpulan induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kewajiban pendampingan oleh Balai Pemasyarakatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di wilayah hukum Kepolisian Resor Rokan Hulu belum terlaksana dengan baik, terutama pada tahun 2022 dan 2023. Hal ini membawa beberapa akibat hukum signifikan. Pertama, hak anak tidak terpenuhi dalam proses peradilan pidana. Kedua, jika diversi tercapai, keterlambatan hasil penelitian kemasyarakatan mempersulit proses dan memperpanjang waktu penetapan hasil diversi oleh Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian. Ketiga, hasil penelitian kemasyarakatan sering melebihi batas waktu 3x24 jam, memaksa kepolisian mengajukan perpanjangan penahanan. Keempat, resume yang kurang maksimal memperlambat proses pelimpahan berkas dan tersangka ke Kejaksaan Negeri Rokan Hulu. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa anak harus didampingi petugas kemasyarakatan dalam proses pemeriksaan. Ketika ketentuan ini tidak terpenuhi, hakim pengadilan setempat akan menyampaikan keberatannya. Hal ini menunjukkan pentingnya implementasi kewajiban pendampingan yang optimal oleh Balai Pemasyarakatan untuk memastikan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dapat terpenuhi sesuai dengan regulasi yang berlaku.Kata Kunci: Pendampingan, Anak, Rokan Hulu