Claim Missing Document
Check
Articles

IMPLEMENTASI BIMBINGAN KEAGAMAAN BAGI NARAPIDANA BERAGAMA ALIRAN KEPERCAYAAN TRIDHARMA Manulang, Johanes Gabe Saputra; Kadaryanto, Bagio; Harahap, Irawan
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 1 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i1.1263

Abstract

The observance of religious practices for inmates adhering to the Tridharma faith in Bagansiapiapi City based on Law No. 6 of 2013 has not been properly implemented, as the facilities for religious practices of other faiths are not equal to those already existing. The purpose of this research is to analyze the implementation of religious guidance for inmates adhering to the Tridharma faith in Bagansiapiapi City based on Government Regulation Number 32 of 1999 on terms and procedures for the implementation of the rights of correctional inmates, and to analyze the obstacles and efforts to overcome these obstacles in the implementation of religious guidance for inmates adhering to the Tridharma faith in Bagansiapiapi City. The method used is sociological legal research. Based on the research results, it is known that the implementation of religious guidance for inmates adhering to the Tridharma faith in Bagansiapiapi City has not been fully realized, as some inmates have not fully received the necessary religious guidance. This results in some inmates not receiving the spiritual support they need. Government Regulation Number 32 of 1999 on terms and procedures for the implementation of the rights of correctional inmates emphasizes the importance of fulfilling the rights of inmates, including the right to receive religious guidance.
Pelaksanaan Roya Atas Benda Bergerak di Kota Pekanbaru Winstar, Yelia Nathassa; Harahap, Irawan
Jurnal Hukum Respublica Vol. 16 No. 2 (2017): Hukum Bisnis dan Hukum Tata Negara
Publisher : Faculty of Law Universitas Lancang Kuning

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.257 KB) | DOI: 10.31849/respublica.v16i2.1437

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan pelaksanaan roya atas benda bergerak berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia di Kota Pekanbaru. Metode penelitian yang digunakan penelitian hukum sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UUJF tidak efektif dijalankan karena adanya hambatan-hambatan. Hambatan dalam pelaksanaan roya dapat terjadi disebabkan lima faktor, yakni faktor hukumnya sendiri (undang-undang), faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, yakni lingkungan hukum tersebut berlaku atau diterapkan, faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan pelaksanaan roya fidusia merupakan kewajiban hukum dalam pelaksanaannya di Kota Pekanbaru masih terdapat banyak hambatan. Hambatan ini menyebabkan tidak efektifnya pengaturan roya di Pekanbaru. Hambatan tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan teori efektifitas.
Tinjauan Yuridis Perlidungan Data Pribadi Dalam Transaksi E-Commerce Pratiwi, Riantika; m, Tri Novita Sari; Harahap, Irawan
Pagaruyuang Law Journal volume 7 Nomor 2, Januari 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31869/plj.v7i2.5126

Abstract

AbstrakTujuan tulisan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum perlindungan data pribadi di Indonesia dan untuk mengetahui perlindungan hukum data pribadi dalam transaksi E-Commerce. Metode penelitian yang digunakan metode penelitian normatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah Statute Approach (Pendekatan Undang-Undang), dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Tehnik penelusuran bahan hukum menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif. Hasil pembahasan dalam penelitian ini bahwa pengaturan perlindungan data pribadi di indonesia saat ini sudah memiliki aturan khusus yang tertuang dalam Undang-Undang Perlidungan Data Pribadi . Pada transaksi E-Commerce, marketplace bertanggungjawab atas perlindungan data pribadi konsumen. Demi memberikan kepastian hukum dalam transaksi E-Commerce, Undang-Undang Perlidungan Data Pribadi mengatur mengenai sanksi pidana bagi  pelanggar dalam kejahatan terhadap data pribadi yang diatur dalam Pasal Undang-Undang Perlidungan Data Pribadi.
Perlindungan Hukum Kreditur Terhadap Jaminan Fidusia yang Tidak Dapat di Eksekusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-VXII/2019 Welli, Dion; Harahap, Irawan; Winstar, Yelia Nathassa
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 4 No. 5 (2024): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v4i5.15651

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah mengubah secara signifikan mekanisme eksekusi jaminan fidusia di Indonesia. Sebelumnya, kreditor memiliki hak untuk mengeksekusi jaminan fidusia secara langsung jika debitor wanprestasi, tanpa perlu melalui pengadilan. Namun, dengan putusan ini, kreditor kini diharuskan memperoleh penetapan eksekusi dari pengadilan terlebih dahulu sebelum dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih besar kepada debitor dengan memastikan bahwa proses eksekusi dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai dengan prosedur hukum. Namun, perubahan ini juga membawa dampak signifikan bagi kreditor. Proses yang harus dilalui menjadi lebih panjang dan kompleks, dengan tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi dari pengadilan. Hal ini berpotensi mengurangi efektivitas jaminan fidusia sebagai alat perlindungan bagi kreditor, karena kreditor kini harus menghadapi risiko kredit yang lebih besar dan prosedur eksekusi yang lebih memakan waktu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pasca putusan tersebut dan perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditor. Kesimpulannya, meskipun putusan ini meningkatkan perlindungan hukum bagi debitor, ia juga menghadirkan tantangan baru bagi kreditor. Oleh karena itu, kreditor perlu mengadopsi strategi baru dan memanfaatkan mekanisme perlindungan hukum yang ada untuk memastikan hak-hak mereka tetap terlindungi. Penting untuk melakukan upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga peradilan, dan pihak-pihak terkait guna menciptakan sistem yang adil dan efektif dalam eksekusi jaminan fidusia.
Implementasi Terhadap Larangan Penggunaan Lampu Strobo Pada Kendaraan Pribadi Di Wilayah Hukum Polresta Pekanbaru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Arifin, Dhani Fratama; Harahap, Irawan; Kadaryanto, Bagio
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 4 No. 6 (2024): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v4i6.16707

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi larangan penggunaan lampu strobo pada kendaraan pribadi di wilayah hukum Polresta Pekanbaru, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Lampu strobo, yang seharusnya hanya digunakan oleh kendaraan dinas atau kendaraan dengan kepentingan tertentu, sering disalahgunakan oleh pengendara kendaraan pribadi untuk mendapatkan prioritas di jalan raya. Hal ini berpotensi mengganggu ketertiban lalu lintas dan keselamatan jalan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sosiologis, yang bertujuan untuk memahami penerapan hukum dalam masyarakat dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan larangan tersebut. Pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan peraturan perundang-undangan, analisis konseptual, dan pendekatan analitis. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan kajian kepustakaan, dengan sampel yang melibatkan pihak kepolisian, tokoh masyarakat, serta pengguna lampu strobo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun larangan tersebut telah diatur dalam undang-undang, implementasinya masih terkendala oleh kurangnya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum yang lemah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan sosialisasi, penegakan hukum yang lebih tegas, serta kerjasama antara instansi terkait untuk mengatasi permasalahan ini.
CRIMINAL RESPONSIBILITY OF BUSINESS ENTITY LEADERS FOR DEDUCTIONS OF PARTICIPANTS OF EMPLOYMENT SOCIAL SECURITY ORGANIZING AGENCY IN PEKANBARU CITY Silaen, Gabriel Francius; Afrita, Indra; Harahap, Irawan
EKSEKUSI Vol 6, No 2 (2024): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v6i2.32891

Abstract

ABSTRACTArticle 55 of Law Number 24 of 2011 concerning the Social Security Administering Body regulates criminal sanctions in imprisonment and fines for business entities that do not pay and deposit their workers' BPJS employment membership contributions to the local BPJS employment. The purpose of the study is to analyze criminal liability; and to examine obstacles and efforts to overcome them. The research method is sociological legal research, legislative approach, and cases; the research location is the Pekanbaru BPJS Employment Branch Office; population and samples from relevant sources; data sources are primary, secondary, and tertiary; data collection techniques are observation, structured interviews, and document/literature studies; data analysis is qualitative with conclusions: inductive. The study results are that Article 55 of Law Number 24 of 2011 concerning BPJS has not been fully implemented, because of the 25 business entities in Pekanbaru City that have not paid and deposited membership contributions, only 2 business entities have been subject to criminal sanctions. The implementation of criminal sanctions against the leaders of the business entity has encountered obstacles. The obstacles and efforts to overcome the obstacles are legal factors/legislation, namely: Legal factors/legislation, namely the lack of regulations governing expert witnesses so that evidence is difficult, the police's efforts to allocate a budget to present expert witnesses; Criminal law enforcement procedures in regulations must go through long and multi-sector stages, efforts to improve coordination and cooperation between agencies. Law enforcement/government factors, namely the lack of coordination and cooperation between agencies for settlement through litigation, these agencies by improving coordination and cooperation to take the litigation route; police investigators' knowledge is still limited, investigators are taking Vocational Education; ultimatum remidium is prioritized by the police, efforts if it has been 2 times then the police must apply criminal penalties; The commitment to law enforcement that has not been fully implemented by the Riau Regional Police, efforts to enforce the law according to the law; Lack of socialization so that companies are not aware of the existence of criminal sanctions, efforts to increase the intensity of the approach in terms of coaching and supervision. Community factors, namely differences in worker positions make workers afraid to report their superiors, efforts are made so that workers have the courage to report; Low worker awareness to protect themselves from the risk of work accidents, efforts are made to organize education and training; uncooperative business entities and workers have complicated the handling process at the Riau Province Manpower and Transmigration Service, efforts are made to provide guidance by the agency to business entities. Keywords: Criminal Liability, BPJS Contributions, Pekanbaru            ABSTRAKPasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengatur sanksi pidana penjara dan denda bagi badan usaha yang tidak membayar dan menyetorkan iuran kepesertaan BPJS kerenagakerjaan pekerjanya kepada BPJS kerenagakerjaan setempat. Tujuan penelitian ialah Untuk menganalisispertanggungjawaban pidananya; Untuk menganalisis hambatan dan upaya mengatasinya. Metode penelitiaan yaitu penelitian hukum sosiologis, pendekatan perundang–undangan dan kasus; lokasi penelitian yaitu Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Pekanbaru; populasi dan sampel dari narasumber–narasumber relevan; sumber data ialah primer, sekunder dan tersier; teknik pengumpulan data ialah observasi, wawancara terstruktur dan studi dokumen/kepustakaan; analisis datanya kualitatif dengan kesimpulan: induktif.  Hasil penelitian yaitu belum terlaksana sepenuhnya dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS , dikarenakan dari 25 badan usaha di Kota Pekanbaru yang belum membayar dan menyetor iuran kepesertaan  baru 2 badan usaha yang diterapkan sanksi pidananya. Penerapan sanksi pidana terhadap pimpinan badan usaha tersbeut mengalami hambatan. Hambatan dan upaya mengatasi hambatannya adalah Faktor hukum/peraturan perundang-undangan, yaitu: Faktor Hukum/peraturan perundang-undangan yaitu masih kurang regulasi yang mengatur saksi ahli sehingga sulitnya pembuktian, upayanya pihak Kepolisian mengalokasikan anggaran guna menghadirkan saksi ahli; Prosedur penegakan hukum pidana dalam regulasi harus melalui tahapan panjang dan multi sektor, upayanya meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar instansi. Faktor aparat penegak hukum/pemerintah yaitu Kurangnya koordinasi dan kerjasama  antar instansi untuk penyelesaian secara litigasi, para instansi tersebut dengan meningkatkan  koordinasi dan kerjasama untuk menempuh jalur litigasi; pengetahuan penyidik kepolisian masih terbatas, penyidiknya mengikuti Pendidikan Kejuruan; ultimum remidium dikedepankan kepolisian, upayanya jika sudah 2 kali maka pihak kepolisian harus menerapkan pemidanaan; Komitmen penegakan hukum yang belum sepenuhnya oleh Kepolisian Daerah Riau, upayanya melaksanakan penegakan hukum sesuai undang-undang; Kurangnya sosialiasai sehingga perusahaan tidak mengetahui adanya sanksi pidana, upayanya meningkatkan intensitas pendekatan dalam hal pembinaan dan pengawasan. Faktor masyarakat yaitu  perbedaan posisi pekerja membuat pekerja takut melaporkan pimpinannya, upayanya Agar pekerja mempunyai keberanian melaporkan; Rendahnya kesadaran pekerja untuk memproteksi diri dari resiko kecelakaan kerja, upayanya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; badan usaha dan pekerjanya yang tidak kooperatif telah mempersulit proses penangannnya di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Riau, upayanya dilakukan pembinaan oleh Dinas instansi tersebut terhadap badan usaha.Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Iuran BPJS, Pekanbaru
PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELAKU KECELAKAAN LALU LINTAS Kadri; Fahmi; Harahap, Irawan
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1384

Abstract

Law Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation, specifically Article 310 paragraph (4), states that accidents causing the death of a person due to the negligence of the perpetrator can result in criminal sanctions. This article specifies that anyone who, due to their negligence, causes a traffic accident that results in the death of another person can be sentenced to a maximum of 6 (six) years in prison and/or a fine of up to IDR 12,000,000.00 (twelve million rupiah). The method used is sociological legal research. Based on the research findings, it is known that the rights of the perpetrator and the victim in a traffic accident include that the perpetrator has the right to be treated in accordance with applicable legal principles, including the right to legal defense, the right to fair treatment in legal proceedings, and the right to amend their wrongdoing through rehabilitation or mediation if necessary. On the other hand, the victim of a traffic accident also has the right to compensation for the losses they have suffered, including medical expenses, property damage, and other losses. These rights must be guaranteed and fulfilled with full responsibility by the parties involved, whether the perpetrator, law enforcement officials, or other relevant parties. Legal resolution of traffic accident perpetrators based on Law Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation in the jurisdiction of Polresta Pekanbaru indicates that this law provides a clear framework regarding the procedures for law enforcement against traffic accident perpetrators. The law emphasizes that perpetrators who violate traffic regulations and cause accidents must be held accountable for their actions. The legal process is expected not only to focus on imposing sanctions but also to provide space for the perpetrators to correct their mistakes through appropriate mechanisms, such as fines, imprisonment, or administrative sanctions.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR ANAK Susanti, Susi; Fahmi; Harahap, Irawan
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1385

Abstract

Traffic law enforcement is one of the important components in maintaining safety and order on the road. In Indonesia, traffic regulations are governed by Law Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation (UU LLAJ). This phenomenon not only endangers the safety of the children riders themselves but also other road users. Law No. 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation provides a legal basis to regulate this phenomenon to create order, security, and safety in traffic. The method used is sociological legal research. Based on the research findings, it is known that the regulation on the ownership of a driver's license (SIM) for child motor vehicle riders is regulated in Law Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation. The requirement for someone to have a driver's license is to be 17 (seventeen) years old for SIM A, C, and D, while 20 years old for SIM B1, and 21 years old for SIM B II. The regulation regarding the ownership of a driver's license (SIM) for child motor vehicle riders is an important preventive measure to ensure safety on the road. Law enforcement against child motor vehicle riders in the jurisdiction of Polresta Pekanbaru is still faced with the issue of motor vehicles being ridden by children, which could trigger traffic accidents. Efforts to address this have been implemented through various measures, including traffic raids and vehicle administrative checks.
PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG ITE, UNDANG-UNDANG HAM, DAN UNDANG-UNDANG KEBEBASAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM Hutagaol, Hendra DM; Fahmi; Harahap, Irawan
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1434

Abstract

Aturan hukum yang harus dikedepankan, peneliti harus mempertimbangkan konteks hukum yang paling relevan dengan esensi ujaran kebencian. Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik cenderung digunakan dalam kasus ini karena secara spesifik mengatur ujaran kebencian di ruang digital, yang sering menjadi medium utama untuk penyebaran ujaran kebencian di era modern. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, seperti Pasal 28 ayat (2), mengatur larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berbasis SARA. Namun, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan kerangka yang lebih luas, yakni memastikan bahwa hak atas kebebasan berekspresi tetap dijaga, selama tidak melanggar hak orang lain. Sementara itu, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan jaminan terhadap ekspresi di ruang publik, dengan beberapa pembatasan demi menjaga ketertiban umum. Metode yang dipergunakan adalah penelitian hukum sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan hukum Sanksi terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Dan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum bahwa g-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, memberikan landasan hukum bagi penindakan ujaran kebencian yang disampaikan melalui media elektronik. Pasal 28 ayat (2) g-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, melarang tindakan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Pelanggaran ini dapat dikenai sanksi pidana berupa hukuman penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pemerintah berupaya memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari dampak negatif penyebaran ujaran kebencian di dunia maya. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan perspektif bahwa setiap individu memiliki hak untuk tidak didiskriminasi dan untuk hidup damai tanpa adanya ancaman. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia, yang menjadi landasan perlindungan terhadap korban ujaran kebencian. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengimbau agar penegakan hukum dilakukan dengan tetap menghormati hak asasi manusia, termasuk hak terdakwa untuk diperlakukan secara adil. Sementara itu, Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum memberikan jaminan konstitusional terhadap kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan ini tidak bersifat absolut, karena Pasal 6 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum tersebut mengatur bahwa hak menyampaikan pendapat harus dilaksanakan dengan memperhatikan hak asasi manusia orang lain, moral, dan ketertiban umum. Dengan demikian, ujaran kebencian yang melanggar batas ini tidak dapat dibenarkan. Penyelesaian Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Ujaran Kebencian Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Dan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum bahwa penyelesaian hukum terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian mengacu pada asas keadilan, efektivitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam praktiknya, pendekatan ini melibatkan beberapa mekanisme, termasuk langkah preventif, mediasi, hingga proses hukum formal. Langkah preventif dapat dilakukan melalui edukasi masyarakat terkait dampak ujaran kebencian serta peningkatan literasi digital untuk mencegah penyebaran konten yang melanggar hukum. Pendekatan ini bertujuan menciptakan kesadaran kolektif bahwa ujaran kebencian dapat merusak harmoni sosial. Ketika ujaran kebencian telah terjadi, mekanisme mediasi dapat menjadi alternatif penyelesaian untuk menghindari eskalasi konflik. Mediasi ini, jika memungkinkan, dapat menyelesaikan masalah tanpa harus melalui proses peradilan. Namun, untuk kasus-kasus dengan dampak serius atau melibatkan kepentingan publik, proses hukum formal menjadi langkah yang tidak dapat dihindari. Dalam proses hukum formal, aparat penegak hukum diharapkan menerapkan ketentuan UU ITE dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan yang memadai, baik secara fisik maupun psikologis, selama proses hukum berlangsung.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN MANUSIA DARI DAN LUAR INDONESIA Saputra, Dodi Ripo; Harahap, Irawan; Triana, Yeni
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1448

Abstract

Immigration in Indonesia is regulated by Law Number 6 of 2011 on Immigration, which replaced the previous immigration law, Law Number 9 of 1992. The law states that anyone who enters or exits Indonesia without undergoing immigration inspection, or without valid travel documents or visas, will be subject to criminal sanctions. The legal foundation for human trafficking offenses is also outlined in Law Number 18 of 2017 on the Protection of Indonesian Migrant Workers. Immigration matters are closely related to the movement of people across international borders, which has increased in the era of globalization and free trade, and has now become a concern for countries around the world, including Indonesia. Smuggling, which involves trafficking people for exploitation or physical and psychological abuse, is a violation of human dignity. The method used in this research is sociological legal research. Based on the results, it is known that law enforcement at the Bengkalis Immigration Checkpoint Office (TPI) is in accordance with the provisions set out in the Immigration Law. However, challenges remain, such as limited human resources, inadequate infrastructure, and suboptimal coordination between agencies. Handling human trafficking requires active involvement from various parties, including the police, customs, and other related agencies, to strengthen oversight and prevent this transnational crime. This research concludes that to improve the effectiveness of law enforcement, there needs to be enhanced training for officers, improvement of inspection facilities and infrastructure, and strengthened cooperation between agencies involved in the prevention and prosecution of human trafficking. Additionally, a broader socialization to the public regarding the dangers and impacts of human trafficking should also be conducted to strengthen preventive efforts.