Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

Implementasi “One Student Saves One Family (Ossof)” Sebagai Strategi dalam Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Ni Luh Arjani
Sunari Penjor : Jurnal of Anthropology Vol 1 No 1 (2017)
Publisher : Department of Anthropology Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (558.946 KB) | DOI: 10.24843/SP.2017.v1.i01.p02

Abstract

Dewasa ini fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak di masyarakat tampaknya semakin marak dan mengkhawatirkan karena kasus ini hampir setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 di Bali tercatat 186 kasus kekerasan terhadap anak dan meningkat menjadi 197 kasus di tahun 2015, sementara kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat sebagai kasus KDRT di Kota Denpasar pada tahun 2015 mencapai 78 kasus, dan meningkat menjadi 82 kasus pada tahun 2016 (P2TP2A Provinsi Bali dan Kota Denpasar, 2014-2016). Ada berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di masyarakat di antaranya: (1) kekerasan fisik (2) kekerasan seksual (3) kekerasan Psikis; (4) kekerasan ekonomi. Pada kelompok muda, kekerasan dapat terjadi dalam relasi berpacaran, praktik perdagangan anak perempuan, sampai dengan bentuk-bentuk tradisi yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. ( https://act.oxfam.). Hal ini beralasan, karena ternyata kekerasan merupakan manifestasi perilaku emosional manusia, ketimbang perilaku rasionalnya. Oleh sebab itu, menjadi persoalan bagi kita semua adalah, sejauhmana kita semua ikut merasa bertanggungjawab untuk mencari solusi pemecahan masalah ini. Untuk kepentingan ini, kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong perguruan tinggi untuk ikut berperan dalam menciptakan ketahanan keluarga melalui program “one student saves one family (OSSOF)”. Program OSSOF merupakan program yang khusus ditujukan untuk perguruan tinggi yang mengintegrasikan kebutuhan keluarga dan anggota keluarganya (laki-laki, perempuan, orang tua, anak) ke dalam kegiatan yang memberikan pengalaman praktis mahasiswa untuk langsung belajar dan bekerja bersama masyarakat serta dapat berlanjut pada kegiatan tri dharma perguruan tinggi yakni: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Program OSSOF berbentuk partisipasi aktif mahasiswa dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapi oleh keluarga yang ada di masyarakat. Peran utama mahasiswa adalah sebagai fasilitator dalam melakukan pendataan keluarga, menyusun rencana kegiatan dan memberikan penyuluhan dan edukasi secara partisipatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kepekaan serta perilaku kepedulian terhadap permasalahan yang dialami oleh keluarga terutama yang ada di daerah pedesaan (KPPA,2015,11). Target program ini adalah individu (perempuan), keluarga (orangtua, pasangan suami-istri), dan komunitas (opinion leader, kelompok, warga komunitas). Strategi yang digunakan melalui pendekatan partisipatif (subject-to-subject), berorientasi kebutuhan, membangun empathy, dan berbasis personal atau komunitas. Salah satu strateginya, menjadikan mahasiswa sebagai sahabat yang membantu keluarga serta menggerakan komunitas dalam mengatasi kasus kekerasan, perlindungan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, mahasiswa juga menjadi konselor keluarga di daerah-daerah pelosok dalam bentuk Kuliah Kerja Profesi (KKP) atau Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Tradisi Kawin Lari (Merariq) pada Suku Bangsa Sasak di Desa Wanasaba, Lombok Timur Muh. Muhsinin; Ni Luh Arjani; Ni Made Wiasti
Sunari Penjor : Jurnal of Anthropology Vol 6 No 1 (2022)
Publisher : Department of Anthropology Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.541 KB) | DOI: 10.24843/SP.2022.v6.i01.p06

Abstract

This study analyzes the tradition of elopement (merariq) of the Sasak tribe in Wanasaba Village, East Lombok Regency. The merariq tradition is a tradition that exists in the marriage of the Sasak people. The merariq tradition is considered an extreme tradition among the people, especially those outside the island of Lombok. This study focuses on two problem formulations namely; first, how is the existence of the merariq tradition in Wanasaba Village and the impact of the merariq tradition on family life and social life in Wanasaba Village. The approach used in this research is qualitative with descriptive type and analysis with Nurture and Nature theory and feminism theory. The existence factors of merariq are economic, ceremonies in the merariq tradition, extreme merariq tradition debate, and disapproval or no blessing from parents both from the female parents and the male parents.
Tradisi Kawin Lari (Merariq) pada Suku Bangsa Sasak di Desa Wanasaba, Lombok Timur Muh. Muhsinin; Ni Luh Arjani; Ni Made Wiasti
Sunari Penjor : Jurnal of Anthropology Vol 6 No 1 (2022)
Publisher : Department of Anthropology Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.541 KB) | DOI: 10.24843/SP.2022.v6.i01.p06

Abstract

This study analyzes the tradition of elopement (merariq) of the Sasak tribe in Wanasaba Village, East Lombok Regency. The merariq tradition is a tradition that exists in the marriage of the Sasak people. The merariq tradition is considered an extreme tradition among the people, especially those outside the island of Lombok. This study focuses on two problem formulations namely; first, how is the existence of the merariq tradition in Wanasaba Village and the impact of the merariq tradition on family life and social life in Wanasaba Village. The approach used in this research is qualitative with descriptive type and analysis with Nurture and Nature theory and feminism theory. The existence factors of merariq are economic, ceremonies in the merariq tradition, extreme merariq tradition debate, and disapproval or no blessing from parents both from the female parents and the male parents.
Kesetaraan Gender di Bidang Politik Antara Harapan dan Realita Ni Luh Arjani
Sunari Penjor : Jurnal of Anthropology Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Department of Anthropology Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (592.308 KB) | DOI: 10.24843/SP.2021.v5.i01.p01

Abstract

Sampai saat ini persoalan kesetaraan gender masih tetap menjadi permasalahan yang belum terpecahkan, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik secara nasional maupun internasional. Di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya kesenjangan gender yang masih sangat menonjol adalah di bidang politik. Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan quota 30% keterlibatan perempuan di bidang politik. Selain kebijakan ini, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG). Kebijakan ini dimaksudkan agar semua program pembangunan mengintegrasikan isu gender di dalamnya. Namun demikian kebijakan affirmative action dan PUG ini sampai saat ini belum tercapai, artinya perempuan yang terlibat sebagai penentu kebijakan di legislative masih sangat minim. Ini artinya antara harapan dan realitas untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik masih belum berjalan maksimal.
Kesetaraan Gender di Bidang Politik Antara Harapan dan Realita Ni Luh Arjani
Sunari Penjor : Jurnal of Anthropology Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Department of Anthropology Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (592.308 KB) | DOI: 10.24843/SP.2021.v5.i01.p01

Abstract

Sampai saat ini persoalan kesetaraan gender masih tetap menjadi permasalahan yang belum terpecahkan, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik secara nasional maupun internasional. Di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya kesenjangan gender yang masih sangat menonjol adalah di bidang politik. Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan quota 30% keterlibatan perempuan di bidang politik. Selain kebijakan ini, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG). Kebijakan ini dimaksudkan agar semua program pembangunan mengintegrasikan isu gender di dalamnya. Namun demikian kebijakan affirmative action dan PUG ini sampai saat ini belum tercapai, artinya perempuan yang terlibat sebagai penentu kebijakan di legislative masih sangat minim. Ini artinya antara harapan dan realitas untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik masih belum berjalan maksimal.
Dinamika Pola Kepemimpinan Adat di Dusun Adat Karampuang Sulawesi Selatan Fakhira Yaumil Utami; Ni Luh Arjani; Ni Made Wiasti Ni Made Wiasti
Sunari Penjor : Jurnal of Anthropology Vol 4 No 1 (2020)
Publisher : Department of Anthropology Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (761.506 KB) | DOI: 10.24843/SP.2020.v4.i01.p04

Abstract

This research discusses the dynamics of customary leadership patterns in the Karampuang customary hamlet of South Sulawesi and the impact of these dynamics. The problems that will be discussed in this research are (1) Why is there a dynamic of customary leadership patterns in Karampuang village (2) What is the impact of the dynamics of customary leadership patterns in Karampuang customary village. This research is a qualitative research using social change theory and leadership theory. as a basis for answering both problems. The results of this study reveal that the dynamics of customary leadership patterns in the Karampuang customary village are influenced by internal factors and external factors. The dynamics of customary leadership towards the community can be classified into several fields, namely the impact in the legal and environmental, economic, socio-cultural fields all of which have a beneficial impact on indigenous peoples; whereas the field of education is less profitable for indigenous peoples due to less motivation to demand higher education.
DANCE PERFORMANCE TO ACHIEVE MURI: STUDY OF REJANG SANDAT RATU SEGARA DANCE PERFORMANCE IN TANAH LOT, TABANAN, BALI Ni Made Ari Yanti Putri Negara; I Nyoman Darma Putra; Ni Luh Arjani
E-Journal of Cultural Studies Vol 15 No 3 (2022): Volume 15, Number 3, August 2022
Publisher : Cultural Studies Doctorate Program, Postgraduate Program of Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/cs.2022.v15.i03.p01

Abstract

Rejang is a sacred dance that has certain standards in its creation and performance. This sacred dance is performed during the Dewa Yadnya ceremony by taking into account the place, time, and means of offerings that have been determined. However, recently a new creation of Rejang dance has emerged which has a function not for religious ceremonies, but for other purposes such as entertainment to achieve a MURI (Indonesian Record Museum) record. This type of Rejang Dance is the Rejang Sandat Ratu Segara Dance which was staged on August 18, 2018 in Tanah Lot, Tabanan, Bali. This certainly attracts the attention of the people of Tabanan and causes this dance to be widely discussed on social media and in real life. This article examines the form of the Rejang Sandat Ratu Segara Dance and finds out how it differs from the Rejang dance in Bali. The research method used is qualitative research with descriptive and explanatory exposure. In this study, there are several differences in the form of the Rejang Sandat Ratu Segara dance with the Rejang dance that developed in Bali such as movement, dancers, clothing, and settings. Keywords: Rejang Sandat Ratu Segara Dance, Tanah Lot Tabanan, MURI record, sacred art
THE IMPLICATION OF SYMBOLIC VIOLENCE CULTURE TO INTROVERTED STUDENTS OF BALI UNIVERSITIES ON THE EDUCATIONAL PROCESS Ni Putu Desi Wulandari; I Ketut Ardhana; I Made Pageh; Ni Luh Arjani
E-Journal of Cultural Studies Volume 14, Number 1, February 2021
Publisher : Cultural Studies Doctorate Program, Postgraduate Program of Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/cs.2021.v14.i01.p02

Abstract

This article is aimed at describing the implications of symbolic violence towards introvert students in English education departments of universities in Bali on the educational process. There were three universities to be decided as the setting of this research; (1) Mahasaraswati University Denpasar, (2) Ganesha University of Education Singaraja and (3) IKIP Saraswati Tabanan. The subject of this study was the introvert students and distinctive lecturers of those three English education departments. The result of this study reveals that the implication on process can be perceived through class’ behavioral management, classroom learning management and classroom physical space management. Those kinds of managements were applied reversely from the critical pedagogy and emancipatory learning idealism that leads to symbolic violence, especially to the introvert students. The application was not considering the personality uniqueness of introverted students and created a one-size-fits-all idealism by adopting extroverted idealism and force introverted students to fit in it. Key words: symbolic violence, introvert, English education, critical pedagogy