Claim Missing Document
Check
Articles

Found 52 Documents
Search
Journal : Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA) Saputra, Tengku Addi; Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1448.211 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i3.16

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Penilaian status nutrisi merupakan hal vital untuk menentukan rencana pemberian nutrisi dan memperbaiki luaran pasien dengan cedera otak traumatik (COT). Pada pasien COT terjadi hipermetabolisme, hiperkatabolisme, dan intoleransi glukosa yang dapat mempengaruhi luaran pasien. Penilaian status gizi dilakukan dengan Subjective Global Assessment (SGA). Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan status nutrisi antara pasien COT sedang dan berat yang dinilai dengan SGA.Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross sectional ini dilakukan pada 22 pasien COT yang dirawat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung sejak November 2016 - Juli 2017, yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu COT sedang dan berat. Status nutrisi subjek penelitian dinilai dengan SGA selama 7 hari. Analisis data dilakukan dengan Chi Square, Kolmogorof-Smirnof dan Exact Fisher. Hasil: Terdapat perbedaan status nutrisi yang signifikan antara kelompok COT sedang dan berat pada hari perawatan ke-6 dan 7, dimana lebih banyak didapatkan malnutrisi berat pada kelompok COT berat (p0,05).Simpulan: Pada penelitian ini malnutrisi lebih banyak terjadi pada pasien dengan COT berat, disebabkan oleh perlambatan pemberian nutrisi akibat disfungsi gastrointestinal yang terjadi pada pasien COT berat sehingga diperlukan strategi pemberian nutrisi khusus pada kelompok COT berat.Comparison of a One Week Nutritional Status between Moderate and Severe Traumatic Brain Injury Patient in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Assessed with Subjective Global Assessment (SGA)Background and Objective: Assessment of nutritional status is vital in determining nutritional plans and improving outcomes of traumatic brain injury (TBI) patients. Hypermetabolism, hypercatabolism, and glucose intolerance occur in patients with TBI can affect its outcome. The used nutritional status assessment is Subjective Global Assessment (SGA). The aim of this study was to compare nutritional status in moderate and severe TBI patients assesed with SGA.Subject and Method: This cross sectional observational analytic study was conducted on 22 TBI patients treated in RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung since November 2016 - July 2017, divided into 2 groups, moderate and severe TBI. Assessment of SGA in study subjects was conducted for 7 days. Data was analyzed with Chi Square, Kolmogorof-Smirnof and Exact Fisher test. Results: This study showed a significant difference in nutritional status between moderate and severe TBI groups during the 6th and 7th treatment days, whereas more severe malnutrition was found in the severe TBI group (p 0.05).Conclusion: Compares to patients with moderate TBI, malnutrition is more prevalent in patients with severe TBI, because of delayed of nutrient delivery due to gastrointestinal dysfunction occurring in severe TBI patients requiring specific nutritional strategies in severe TBI group.
Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2530.905 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i1.130

Abstract

Kognisi adalah proses untuk mengetahui atau berpikir, memilih, mengerti, mengingat, dan menggunakan informasi. Gangguan kognitif adalah gangguan dalam melakukan perhatian dan konsentrasi, proses dan mengerti informasi, ingatan, komunikasi, perencanaan, organisasi, pemikiran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, mengendalikan rangsangan dan hasrat. Lebih dari 50.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera otak traumatik (COT) dan 70.00090.000 mengalami kecatatan permanen di USA. Walaupun pasien dengan COT sedang, secara fisik mengalami pemulihan penuh, tapi sering mengalami perubahan tingkah laku jangka lama yang mempengaruhi pekerjaan, cara hidup, dan keluarganya. Setelah COT yang lebih berat, gangguan kognitif merupakan masalah paling umum dan memberikan kontribusi lebih daripada gangguan fisik. Luasnya defisit kognitif ditunjukkan oleh 1) beratnya diffuse axonal injury (DAI) yang ditunjukkan lamanya posttraumatic amnesia (PTA), luasnya atropi umum, dan 2) lokasi, dalamnya, dan volume lesi serebral fokal. Terapi difokuskan pada rehabilitasi neurokognisi. Sampai saat ini tidak ada terapi untuk cedera otak primer dan terapi yang dilakukan adalah mengurangi cedera sekunder yang dipicu oleh cedera primer. Jadi secara umum tetap menggunakan ABCDE neuroanestesi/neuroresusitasi dan secara khusus dengan pemberian infus lidokain, natrium laktat hipertonik, obat kholinergic, catecholaminergic, tricyclic antidepressants.Prevention and Management of Cognitive Dysfunction after TBICognition is the act of knowing or thinking process. It includes the ability to choose, understand, remember and use information. Cognition function disorder includes disturbances in accessing and optimizing attention and concentration, processing and understanding information, memory, communication, planning, organizing, and assembling, reasoning, problem-solving, decision-making, and judgment, controlling impulses, desires and being patient. More than 50,000 people die from traumatic brain injury (TBI) each year and other 70,00090,000 people are permanently disabled in the US. Even individuals with moderate head injuries who appear to be physically fully recovered, often have long lasting behavioral sequelae, which in turn affects the individuals occupation, lifestyle and interaction with family members. After a more severe injury, cognitive function disorder is considered more common compared to physical impairment. The extent of cognitive function deficit after TBI is reflected by a number of factors 1) the severity of diffuse axonal injury, as indicated by the length of post traumatic amnesia (PTA), the extent of generalized atrophy; and 2) the location, depth, and volume of focal cerebral lesions. Therapy is focused to neuro cognitive rehabilitation. Until now, there is no specific therapy for primary brain injury and commonly applied therapy is focused on reducing secondary brain injury. In general, the ABCDE of neuroanesthesia/neuroresuscitation is still commonly used, and in specific case, the need to administration of lidocaine infusion, sodium lactate hyperosmolar, cholinergic, catecholaminergic, and tricyclic antidepressants.
Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015Desember 2016 Nugraha, Ade Aria; Sudjud, Reza Widianto; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.536 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i3.51

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Operasi tulang belakang mengalami peningkatan secara signifikan selama dekade terakhir. Posisi prone dibutuhkan sebagai akses pada operasi tulang belakang melalui pendekatan posterior. Operasi tulang belakang dengan posisi prone memiliki risiko terjadi cedera yang dapat menyebabkan morbiditas serius.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka morbiditas pascaoperasi tulang belakang dengan posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.Subjek dan Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dan menjalani operasi tulang belakang dengan posisi prone dari bulan November 2015 sampai dengan bulan Desember 2016.Hasil: Hasil penelitian ini dari 99 subjek penelitian diperoleh 8 kasus (8,1%) cedera penekanan, 1 kasus (1%) cedera mata, dan 1 kasus (1%) cedera pada saraf tepi. Perubahan fisiologi dan efek penekanan akibat posisi prone serta keadaan selama operasi memengaruhi terjadinya morbiditas pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang.Simpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah angka morbiditas pascaoperasi tulang belakang akibat posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode November 2015Desember 2016 sebanyak 10 kasus (10%).The Incidence of Patients Morbidity After Spinal Surgery with Prone Position in Dr. Hasan Sadikin General Hospital During November 2015December 2016Background and Objective: The rate of spine surgeries has increased significantly over the past decade. Prone position is required as an access to spinal surgery through the posterior approach. Spinal surgery with prone surgery poses a risk of injury that can lead to serious morbidity. The purpose of this study was to determine the number of postoperative morbidity of the spine due to prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung Subjects and Methods: The methods of this research is descriptive observational with cross sectional design and subjects of this study is patient undergo spine surgery in prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung period November 2015 ? December 2016. Results: Results of this study had shown that among 99 subjects, 8 cases (8.1%) were diagnosed with pressure ulcer, 1 case (1%) with eye injury, and 1 case (1%) with peripheral nerve injury. The physiological changes in a prone position, pressure effect and conditions during surgery might lead to morbidity in patients undergoing spinal surgery.Conclusion: The conclusion of this study is the rate of postoperative morbidity of the spine due to prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung period November 2015December 2016 as many as 10 cases (10%).
Penatalaksanaan Anestesi Pada Shaken Baby Syndrome Mafiana, Rose; Saleh, Siti Chasnak; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.873 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i4.183

Abstract

Shaken Baby Syndrom adalah suatu kondisi perdarahan intraserebral atau intraokuler tanpa atau dengan hanya minimal trauma pada kepala, leher atau wajah. Kasus ini sering disebut kasus kekerasan anak- orang tua. Jumlah kejadian ini cukup banyak terjadi di US, sekitar 50.000 kasus pertahun, sepertiganya meninggal dunia dan setengah dari kasus yang bertahan hidup mengalami defisit neurologis yang berat. Umumnya prognosa penderita buruk. Di Indonesia sendiri data mengenai hal ini belum ada. Tapi mempunyai kecenderungan untuk meningkat.Gejala yang sering didapat adalah hematom subdural, perdarahan retina dan edema otak. Sering diikuti juga dengan multipel fraktur, trauma cervical dan jaringan leher lainnya. Peneliti lain melaporkan banyaknya kasus Diffuse Axonal Injury (DAI) pada kasus ini. Penanganan neuroanestesinya secara umum sama dengan neuroanestesi cedera otak traumatika pada pediatrik, karena terjadi peningkatan ICP sehingga mempengaruhi CBF, CMRO2 dan autoregulasi otak. Obat, tehnik anestesi yang digunakan dan perhitungan cairan selama operasi diusahakan tidak memperburuk keadaan . Pasca operasi penderita dirawat dan diobservasi di PICU.Anesthesia Management For Shaken Baby SyndromeShaken Baby Syndrome is a condition of intracerebral hemorrhage or intraocular without or with only minimal trauma to the head, neck or face. This case is often referred to cases of child-parent violence. This cases in the U.S, approximately 50,000 cases per year. From all event, one third died and half of the cases that survive with severe neurological deficit. Generally, prognosis of patients is poor. In Indonesia data on this subject does not exist. But it has a tendency to increase. Symptoms of a subdural hematoma is often obtained, retinal hemorrhages and brain edema.This case often followed by multiple fractures, cervical and other neck trauma tissues. Diffuse axonal injury researchers often reported for this case. Generally neuroanestesi technique for pediatric equal with pediatric trauma neuroanesthesia. Anesthesi challenges for this case was ICP, because increased ICP could influence for CBF, CMRO2 and cerebral autoregulation. Avoid anesthesi drugs , technique and the calculation of fluid during surgery to damaged this condition. Postoperative patients were treated and observed in the PICU.
Keberhasilan Resuitasi Jantung Paru Otak (RJPO) dengan Posisi Telungkup pada Pada Pasien Pediatrik saat Pengangkatan Tumor Infratentorial Satriyanto, M. Dwi; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1591.587 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i1.84

Abstract

Tumor infratentorial merupakan tumor yang paling sering ditemukan pada anak-anak dengan gejala klinis antara lain ataksia, kelainan saraf kranial, muntah, sakit kepala, penurunan kesadaran, dan hidrosefalus. Umumnya tumor infratentorial memerlukan tindakan bedah. Kasus seorang anak laki-laki 3 tahun dengan tumor infratentorial yang mendesak ventrikel IV, dilakukan tindakan craniotomy tumor removal dengan posisi telungkup. Saat tumor diangkat terjadi perdarahan dan menyebabkan perubahan hemodinamik sampai henti jantung yang berlangsung sangat cepat, kemudian operasi dan seluruh obat anestesi dihentikan, dilakukan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) dalam posisi telungkup dengan pemberian obat resusitasi (adrenalin dan sulfas atropin), dan melakukan pengisian intravaskuler volume (pemberian cairan dan darah), setelah dilakukan RJPO selama 10 menit hemodinamik kembali stabil. Tindakan operasi dilanjutkan untuk menutup luka operasi. Post operasi pasien di rawat di ICU dengan ventilasi mekanik (propofol dan vecuronium kontinu), pada hari ke 3 dilakukan operasi kembali untuk menyempurnakan operasi yang telah dilakukan. Post operasi pasien dirawat kembali di ICU, selama perawatan hemodinamik stabil, hari ke 4 pasien sadar dengan sequele motorik pada sisi tubuh sebelah kiri. Pada operasi pengangkatan tumor infratentorial, salah satu risiko yang dapat terjadi yaitu perdarahan masif selama operasi yang dapat mempengaruhi hemodinamik. Diperlukan persiapan dan pengawasan ketat selama operasi. Pada kasus ini, RJPO tetap dapat dilakukan pada posisi yang terbatas (posisi telungkup).Successfully of Cardio Pulmonary Cerbral Resuscitation (CPCR) in Prone Position on Pediatric Patient during Infratentorial Tumor SurgeryInfratentorial tumor is more frequent in children, with sign and symptom of ataxia, cranial nerve disorder, vomiting, headache, decrease of consciousness level and hydrocephalus. Infratentorial tumor usually requires surgical removal. Case report of a 3 year old boy with infratentorial tumor, which depressed the 4th ventricle, undergone craniotomy tumor removal with prone position. When tumor was removed, massive bleeding occurred and caused sudden change in hemodynamic and cardiac arrest. The operation and anesthetic agents were discontinued, followed by Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation (CPCR) in prone position with resuscitation drugs (i.e adrenalin and sulfas atropin), as well as blood and fluids to replace the intravascular volume. After approximately 10 minutes of CPCR, hemodynamic was stable. Operation was continued to close operation wound. Post operation, patient was admitted to ICU and being treated with mechanical ventilation under sedation with continues propofol and vecuronium. On the 3rd day, re-operation was conducted to establish the previous operation as planned. The patient was admitted to the ICU post operatively. During management in ICU, hemodynamic was stable and the patient woke up on the 4th day with motoric squele on his left body side. In conducting an infratentorial tumor removal, an anesthesiologist should be aware for the risk of massive bleeding durante operation which could manipulate hemodynamic. There for special preparation and tight monitoring are required during the operation. In this case, CPCR can be done in limited position (prone position).
Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 20152016 Ningsih, Diana Fitria; Suwarman, Suwarman; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.852 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.4

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Operasi tumor otak berhubungan erat dengan risiko perdarahan dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan anemia. Efek klinis anemia dapat diperbaiki dengan pemberian transfusi darah. Transfusi diberikan dengan target level Hemoglobin (Hb) antara 9 sampai 10 gr/dL. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kadar Hb dan hematokrit prabedah dan pascabedah, jumlah perdarahan serta pemberian transfusi darah pada pasien yang menjalani operasi tumor otak di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2016.Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 126 objek penelitian yang diambil di bagian rekam medis.Hasil dan Simpulan: Penelitian ini memperoleh hasil kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,231,35 gr/dL dan hematokrit prabedah rata-rata sebesar 39,193,54%. Kadar Hb pascabedah 9 gr/dL sebanyak 15 pasien, Hb 910 gr/dL sebanyak 6 pasien dan Hb 10 gr/dL sebanyak 105 pasien. Hematokrit pascabedah rata-rata sebesar 34,036,03%. Jumlah perdarahan rata-rata sebesar 11591032,66cc. Transfusi yang diberikan pada 56 pasien terdiri atas PRC dengan jumlah rata-rata sebesar 365,81258,70cc, FFP rata-rata sebesar 425,45274,78cc dan WB 250cc.Hemoglobin Levels, Blood Loss and Transfusionin Patients Underwent Brain Tumor Surgery atDr. Hasan Sadikin Bandung General Hospital During 20152016Background and Objective: Brain tumor surgery is closely related to the risk of numerous bleeding that can cause the patient to be in an anemic condition. The clinical effects of anemia can be improved by administered blood transfusions. Transfusion can be administered with target Hemoglobin (Hb) level between 9 to 10 gr/dL.The purpose of this study was to describe of preoperative and postoperative levels of Hb and hematocrit, blood loss and how blood transfusion administered in patients undergoing brain tumor surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung during June 2015 to June 2016.Subject and Method: This is a descriptive observational study with retrospective approach to 126 objects taken at medical records.Result and Conclusion: The average of preoperative Hb level was 13,231,350 gr/dL and the average of preoperative hematocrit level was 39,193,54%. Number of patients with postoperative Hb level 9 gr/dL were 15 patients, Hb 9-10 gr/dL were 6 patients and Hb10 gr/dL were 105 patients. The average of postoperative Ht were 34,036,032%. The rate of blood loss was 11591032,66cc. The rate of transfusions administered to 56 patients was pack red cell 365,81258,70cc, fresh frozen plasma 425,45274,78cc and whole blood 250cc.
Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat Harimin, Kusuma; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.996 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i2.140

Abstract

Anestesi aliran rendah adalah teknik anestesi yang menggunakan aliran gas 1L/menit. Oleh karena adanya rebreathing, maka pada anestesi aliran rendah yang menggunakan sevofluran akan terjadi produk degradasi dengan CO2 absorber sehingga terbentuk senyawa A dan senyawa B. Senyawa A bersifat neprotoksik pada ginjal tikus, karena enzim ? liase 30 kali lebih aktif pada tikus dari pada manusia, sedangkan pada manusia tidak terbukti senyawa A berefek neprotoksik. Anestesia sevofluran dapat menimbulkan respons inflamasi yang diawali dengan pelepasan interleukin (IL)1 dan TNF?, kemudian menstimulasi IL6 yang sangat berperan pada respons fase akut. Akan terjadi interaksi antara sistem imun dengan sistem neuroendokrin, yang mana IL1 dan IL6 dapat menstimulasi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) sehingga terjadi peningkatan pelepasan kortisol. Metabolit sevofluran dan senyawa A tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga pengaruh negatif dari metabolit dan produk degradasi sevofluran terhadap otak tidak ada. Bahkan, melalui penelitian lebih lanjut, sevofluran diketahui mempunyai efek neuroproteksi.The Effect of Sevoflurane Low Flow Anesthesia to Inflammatory Response on Central Nervous SystemLow flow anesthetic is an anesthesia technique using gas flow less than 1 L/ min. Due to the rebreathing system, a low flow anaesthesia using sevoflurane will produce degradation products through reaction with the CO2 absorber which will form compound A and compound B. Compound A is nephrotoxic to rat kidney because the ? -lyase enzyme in rat is 30-fold more active than in human, and this compound has been proven to be not nephrotoxic in human. Sevoflurane can cause inflammatory response which started with the release of interleukin (IL)-1 and TNF-? followed by stimulation of IL-6, which plays important part in the acute phase. Interaction between the neuroendocrine and immune systems will occur where IL-1 and IL-6 cytokines will stimulate the production of adrenocorticotrophic hormone (ACTH), which in turn will increase the production of cortisol. Sevoflurane metabolites and compound A can not penetrate blood brain barrier, therefore, the negative effects of sevoflurane metabolites and degradation products to the brain does not happen. Further advanced studies even showed that sevoflurane has a neuroprotective effect.
Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi Sumardi, Fitri Sepviyanti; Fuadi, Iwan; Rahardjo, Sri; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (436.902 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i2.43

Abstract

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnik operasi bedah saraf ini berbanding lurus dengan kemajuan keilmuan anestesi. Tatalaksana anestesi sangat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan pasien pascabedah. Seorang laki-laki 58 tahun dengan diagnosis trigeminal neuralgia sinistra, berat badan 60 kg dan tinggi badan 165 cm. Pasien mengeluh nyeri wajah sebelah kiri yang terkadang disertai nyeri kepala. Riwayat hipertensi dan penyakit penyerta lain disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti carbamazepine disangkal. Dilakukan induksi anestesi umum dengan tehnik total intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan teknik target controlled infuse (TCI): propofol, dexmetomidine, fentanyl dan rocuronium, sebagai alat pantau/monitoring digunakan index of consciousness (IoC), lama operasi 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 30 menit. Pascabedah pasien dirawat di ICU selama 1 hari, lalu dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari ke-6 perawatan. Mikrovaskular dekompresi merupakan operasi bedah otak yang minimal invasif menuntut para ahli anestesi untuk bertanggung jawab menyokong pascabedah yang lebih optimal, sehingga pasien cepat bangun dan penilaian neurokognitif dilakukan sedini mungkin. Penggunaan IoC sebagai alat pantau pasien/monitoring selama diberikan anestesi TIVA sangatlah berguna. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya pasien tetap sadar selama operasi berlangsung, dengan melihat kedalaman anestesi yang diberikan, agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan dosis obat-obatan anestesi yang diberikan.The role of index of consciousness (IoC) Total Intravenous Anesthesia Management for Microvascular Decompression SurgeryThe development of science and engineering neurosurgical operation is directly proportional to the scientific advancement of anesthesia. Management of anesthesia greatly affect quality of life and health of patients postoperatively. A man 58 years old with a diagnosis of the left trigeminal neuralgia, weighing 60 kg and height 165 cm. Patients complain of pain left face is sometimes accompanied by headache. A history of hypertension and other comorbidities denied. A history of consumption of drugs such as carbamazepine denied. Induction of general anesthesia with TIVA technique using TCI: propofol, dexmetomidine, fentanyl and rocuronium, as a means of monitoring / monitoring use IoC (index of consciousness), long operating time of 2 hours and anesthetized patients 2 hours 30 minutes. Postoperative patients admitted to the ICU for 1 day, and then transferred to the wards and go home on the 6th day of treatment. Microvascular decompression is a brain surgery less invasive and requires minimal bleeding anesthesiologists responsible for more optimal postoperative support, so patients quickly get up and neurocognitive assessment done as early as possible. The use IoC as a tool to monitor patients during anesthesia TIVA, its very useful. It aims to prevent the patient awareness during surgery, to see the depth of anesthesia is given, in order to avoid under- or overdosing anesthesia agents.
Membran Sel Neuron dan Sawar Darah Otak sebagai Struktur Proteksi Otak Mafiana, Rose; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (482.419 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.174

Abstract

Otak adalah organ vital tubuh yang rentan untuk rusak. Mempunyai kebutuhan oksigen yang tinggi, sangat tergantung terhadap glukosa, mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi, tetapi mempunyai daya adaptasi yang rendah terhadap cedera serta sangat sulit beregenerasi. Cedara pada sel otak (neuron) adalah suatu kondisi yang serius yang dapat menyebabkan disfungsi dan kematian sel otak. Kebutuhan otak yang tinggi akan oksigen dan glikogen secara konstan adalah untuk memproduksi energi tubuh berupa adenosine-5-triposphate (ATP) yang berguna untuk mempertahankan kehidupannya. Injuri sel dapat mengganggu metabolisme tersebut, mengurangi produksi ATP, menurunkan cadangan ATP dan menyebabkan proses glikolisis dan penggunaan laktat tubuh sebagai sumber energi metabolisme. Kondisi patologis ini memicu untuk terjadinya kerusakan sampai kematian sel melalui jalur nekrosis maupun apoptosis. Oleh karena itu otak dilindungi oleh membran sel dan sistem pembuluh darah otak yang bersifat spesifik, yang disebut sawar darah otak.Membrane Neuronal Cell and Blood Brain Barriere as Structure Brain Protection The brain is the body's vital organs are susceptible to damage. Have a high oxygen demand, is highly dependent on glucose, has a high metabolic rate, but have low adaptability of the injury and it is very difficult to egeneration. Injury on brain cells (neurons) is a serious condition because of risk for dysfunction and cells death. The brain needs for oxygen and glycogen constanly to produce the body's energy in the form of adenosine-5'-triposphate (ATP) which is useful for maintaining life. Injury can interfere with the metabolism of these cells, reducing the production of ATP, reducing ATP reserves and cause glycolysis process in the body and the use of lactate as an energy source metabolisme. This pathological condition for the occurrence of damage cell and trigger to cell death through necrosis or apoptosis process. Therefore, the protective structure cell membran and cerebral vascular system such as special, the vascular structure is blood brain barrier.
Korelasi antara Tipe Hematoma Intrakranial dengan Kejadian dan Beratnya Post Traumatic Headache (PTH) Halimi, Radian Ahmad; Fuadi, Iwan; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2553.274 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.100

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Keluhan sakit kepala setelah cedera otak traumatik (COT) disebut sebagai Post Traumatic Headache (PTH), yang dapat terjadi setelah cedera otak ringan, sedang atau berat. Tujuan penelitian ini untuk menemukan korelasi antara tipe hematoma intrakranial dengan kejadian dan beratnya PTH.Subjek dan Metode: Penelitian observasional cohort prospektif pada 31 pasien, umur1359 tahun, laki-laki dan perempuan, yang mengalami COT ringan atau sedang. Pengambilan sampel secara consequetive sampling. Parameter yang dicatat adalah umur, jenis kelamin, berta badan, Glasgow Coma Scale (GCS), tipe hematoma intrakranial, kejadian PTH dan beratnya PTH dengan menggunakan skor numeric rating scale (NRS). Analisis korelasi linier dengan dua variable dengan analisis korelasi Spearman. Korelasi dianggap signifikan bila koefisien korelasi (R) 0,4 dan p0,05.Hasil: Seratus persen pasien subdural hematoma (SDH) dan Intracerebral Hematoma (ICH) mengalami post traumatic headache dan hanya 70,6% pada pasien EDH. Pasien dengan depressed fractur tanpa perdarahan intrakranial mengalami PTH sebanyak 33,3%.Simpulan: Perdarahan yang terjadi dibawah duramater menunjukkan kejadian PTH yang paling tinggi.The Correlation between Type of Intracranial Hematoma with The Incidence and Severity of Post Traumatic Headache (PTH)Background and Objective: Headache occurs after Traumatic Brain Injury (TBI) is known as Post Traumatic Headache (PTH), which could manifest after a mild, moderate, or severe head injury. The aim of this study is to evaluate the correlation between type of intracranial hematoma with the incidence and severity of PTH.Subject and Method: This prospective observational cohort study was performed in 31 patients aged from 1359 years old with mild or moderate TBI usig a consequetive sampling retrieval. Parameters recorded in this study were age, gender, weight, GCS, type of hematoma intracranial, the incidence of PTH, and severity of pain of PTH using the numeric rating score (NRS) score. Linear correlation analysis of two variables was calculated using Spearman correlation analysis. The correlation is significant if the correlation coefficient (R) 0.4 and p 0.05.Result: One hundred percent of subdural hematoma (SDH) and intracerebral hematoma (ICH) patients were experienced PTH and only 70,6% in epidural hematoma (EDH) patients. PTH also found in 33.3% of patient with depressed fracture without intracranial bleeding.Conclusion: Hematoma under duramater causes the highest incidence of PTH
Co-Authors , Rizki , Suwarman - Irwan, - A. Himendra Wargahadibrata A. Muthalib Nawawi Agus Junaidi Aini, Quratul Akbar, Ieva B Alifahna, Muhammad Rezanda Andie Muhari Barzah, Andie Muhari Ardi Zulfariansyah Arief Kurniawan Bambang Suryono, Bambang Christanto, Sandhi Christanto, Sandhi christiana, monica Dedi Fitri Yadi Dewi Yulianti Bisri Diana C. Lalenoh, Diana C. Diana Lalenoh Erias, Muhammad Erwin Pradian Ezra Oktaliansah Firdaus, Riyadh Firdaus, Riyadh Fithrah, Bona Akhmad Fithrah, Bona Akhmad Fitri Sepviyanti Sumardi Giovanni, Cindy Giovanni, Cindy Hamzah, Hanzah Hermawanto, Agung Hindun Saadah, Hindun Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan Ieva B. Akbar Ike Sri Redjeki Indrayani, Ratih Rizki Iwan Abdul Rachman Iwan Fuadi Jasa, Zafrullah Khany Kusuma Harimin, Kusuma Laksono, Buyung Hartiyo Lalenoh, Diana Christine Lalenoh, Diana Christine Limawan, Michaela Arshanty M. Dwi Satriyanto M. Erias Erlangga, M. Erias M. Sofyan Harahap Mariko Gunadi Martinus, Fardian Martinus, Fardian MM Rudi Prihatno, MM Rudi Muh. Rumli Ahmad Muhamad Adli Boesoirie, Muhamad Adli Muhammad Habibi Ningsih, Diana Fitria Ningsih, Diana Fitria Noer Rochmah, Elly Nugraha, Ade Aria Nugraha, Ade Aria Nuryanda, Dian Oetoro, Bambang J. Oetoro, Bambang J. Okatria, Ahmado Pontjosudargo, Fransiska Ambarukmi Priyadi, Hendri Putri, Andika C. Putu Pramana Suarjaya Radian Ahmad Halimi Rahmadsyah, Teuku Rahordjo, Sri Rasman, Marsudi Rasman, Marsudi Reza Widianto Sudjud Rose Mafiana Rovina Ruslami, Rovina Ruby Satria Nugraha Ruli Herman Sitanggang Saleh, Siti Chasnak Saleh, Siti Chasnak Saputra, Tengku Addi Saputra, Tengku Addi SATRIYAS ILYAS Septiani, Gusti Ayu Pitria Soefviana, Stefi Berlian Sri Rahardjo Stella, Angela Subekti, Bambang Eko Subekti, Bambang Eko Suryaningrat, IGB Susanto, Bahtiar Sutanto, Sigit Sutanto, Sigit Suwarman Suwarman, Suwarman Suwarman, S Suwarman, S Syafruddin Gaus Thayeb, Srilina Theresia C. Sipahutar Theresia Monica Rahardjo Uhud, Akhyar Nur Widiastuti, Monika - Wirawijaya, Dear Mohtar Wirawijaya, Dear Mohtar Wirawijaya Wullur, Caroline Wullur, Caroline Yunita Susanto Putri Zaka Anwary, Army