Claim Missing Document
Check
Articles

Found 35 Documents
Search

THE POLITICS OF THE SUNDANESE KINGDOM ADMINISTRATION IN KAWALI-GALUH Widyonugrahanto, Widyonugrahanto; Lubis, Nina Herlina; Muhzin Z., Mumuh; Mahzuni, Dede; Sofianto, Kunto; Mulyadi, R.M.; Darsa, Undang Ahmad
Paramita: Historical Studies Journal Vol 27, No 1 (2017): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v27i1.9187

Abstract

The focus of the study is the politics of the Sundanese Kingdom administration during a period when the power was centered in Kawali-Galuh. Astana Gede Kawali is a historical site that used to be the center of the Sundanese kingdom as solidly proven by the existence of a number of remaining historical plaques found in the site.  The study employed a four-step historical method that involved heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The main concept underlying the study is Montesquieu’s Division of Power, also known as the Trias Politica. In general, the politics of the Sundanese kingdom administration remained unchanged despite the shifts of the administrative center to Galuh, Kawali, and Pakuan. The Sundanese kingdoms actually adopted a unique concept called Tri Tangtu di Buana, according to which administrative power was distributed triadically among Prebu, Rama, and Resi. The concept of Tri Tangtu Buana is similar to that of Montesquieu’s Trias Politica, which is commonly adopted by today’s modern states. Penelitian ini adalah tentang politik pemerintahan Kerajaan Sunda ketika kekuasaan berpusat di Kawali-Galuh. Astana Gede Kawali adalah salah satu situs peninggalan bersejarah yang merupakan bekas pusat pemerintahan Kerajaan Sunda Kawali-Galuh. Beberapa prasasti tentang Kerajaan Sunda yang ditemukan disana adalah bukti keras tentang itu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Sejarah yang didalamnya terdapat empat tahapan yaitu Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Pembagian Kekuasaan Montesquieu yang terkenal dengan namaTrias Politica. Politik pemerintahan dalam kerajaan Sunda pada umumnya adalah sama walaupun pusat pemerintahannya berpindah pindah dari Galuh, Kawali dan Pakuan. Pemerintahan Kerajaan Sunda memiliki kekhasannya tersendiri dengan konsepnya Tri Tangtu di Buana yang didalamnya membagi kekuasaan pemerintahan dalam Prebu-Rama-Resi.Tri Tangtu di Buana ini memiliki kemiripan dengan pembagian kekuasaan yang terkenal dengan sebutan Trias Politica dari Montesquieu yang sekarang banyak digunakan dalam negara modern. 
THE POLITICS OF THE SUNDANESE KINGDOM ADMINISTRATION IN KAWALI-GALUH Widyonugrahanto, Widyonugrahanto; Lubis, Nina Herlina; Muhzin Z., Mumuh; Mahzuni, Dede; Sofianto, Kunto; Mulyadi, R.M.; Darsa, Undang Ahmad
Paramita: Historical Studies Journal Vol 27, No 1 (2017): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v27i1.9187

Abstract

The focus of the study is the politics of the Sundanese Kingdom administration during a period when the power was centered in Kawali-Galuh. Astana Gede Kawali is a historical site that used to be the center of the Sundanese kingdom as solidly proven by the existence of a number of remaining historical plaques found in the site.  The study employed a four-step historical method that involved heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The main concept underlying the study is Montesquieu’s Division of Power, also known as the Trias Politica. In general, the politics of the Sundanese kingdom administration remained unchanged despite the shifts of the administrative center to Galuh, Kawali, and Pakuan. The Sundanese kingdoms actually adopted a unique concept called Tri Tangtu di Buana, according to which administrative power was distributed triadically among Prebu, Rama, and Resi. The concept of Tri Tangtu Buana is similar to that of Montesquieu’s Trias Politica, which is commonly adopted by today’s modern states. Penelitian ini adalah tentang politik pemerintahan Kerajaan Sunda ketika kekuasaan berpusat di Kawali-Galuh. Astana Gede Kawali adalah salah satu situs peninggalan bersejarah yang merupakan bekas pusat pemerintahan Kerajaan Sunda Kawali-Galuh. Beberapa prasasti tentang Kerajaan Sunda yang ditemukan disana adalah bukti keras tentang itu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Sejarah yang didalamnya terdapat empat tahapan yaitu Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Pembagian Kekuasaan Montesquieu yang terkenal dengan namaTrias Politica. Politik pemerintahan dalam kerajaan Sunda pada umumnya adalah sama walaupun pusat pemerintahannya berpindah pindah dari Galuh, Kawali dan Pakuan. Pemerintahan Kerajaan Sunda memiliki kekhasannya tersendiri dengan konsepnya Tri Tangtu di Buana yang didalamnya membagi kekuasaan pemerintahan dalam Prebu-Rama-Resi.Tri Tangtu di Buana ini memiliki kemiripan dengan pembagian kekuasaan yang terkenal dengan sebutan Trias Politica dari Montesquieu yang sekarang banyak digunakan dalam negara modern. 
Sosialisasi Nilai-nilai Kepahlawanan di Lingkungan Sekolah Dasar Negeri Rahayu 06 Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung Adyawardhina, Rina; Nugrahanto, Widyo; Yuniadi, Agusmanon
Dharmakarya Vol 6, No 2 (2017): Juni
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1080.06 KB)

Abstract

Nilai-nilai kepahlawanan menjadi penting bagi pengembangan karakter anak-anak di masa kini. Penanaman nilai-nilai kepahlawanan dalam pembentukan karakter anak masih minim dilakukan. Langkah ini berpengaruh terhadap pengetahuan dan kesan yang didapat anak-anak mengenai nilai-nilai kepahlawanan. Kegiatan Sosialisasi Nilai-nilai Kepahlawanan di Lingkungan Sekolah Dasar Negeri Rahayu 06 Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada peserta didik sebagai upaya pembentukan karakter sehingga makna nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sosialisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan presentasi materi tentang nilai kepahlawanan dan penyelenggaraan lomba mengarang dengan mengambil tema nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sosialisasi yang dilakukan diperoleh gambaran bahwa pemahaman siswa kelas VI terhadap nilai kepahlawanan sudah cukup tinggi. Namun tetap harus dilakukan revitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai kepahlawanan sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.   
Makna Seni Ukiran Gorga Pada Rumah Adat Batak Sianipar, Karolina; Gunardi, Gugun; -, Widyonugrahanto; Rustiyanti, Sri
PANGGUNG Vol 25, No 3 (2015): Ekspresi, Makna dan Fungsi Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v25i3.20

Abstract

Tulisan ini berjudul “Makna seni ukiran gorga pada rumah adat batak”. Ukiran gorga merupakan salah satu bentuk kesenian ukiran khas kebudayaan adat batak. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui berbagai bentuk dari ukiran gorga pada rumah adat batak. Bentuk ukiran gorga bermacam-macam, sehingga pada setiap bentuk ukiran gorga memiliki makna yang  berbeda-beda. Oleh karena itu, tulisan ini juga bertujuan untuk memahami makna yang ada pada ukiran gorga. Dalam pemaknaan ukiran gorga menggunakan pendekatan semiotika. Semiotika ialah pendekatan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Pada ukiran gorga rumah adat batak memiliki makna kehidupan, yang mana hal ini tergambar melalui bentuk-bentuk pada setiap ukiran.Kata kunci : Ukiran, Gorga, Rumah Adat Batak
COAST, LOWLAND, AND HIGHLAND: A GEOGRAPHICAL UNITY IN SUPPORTING THE ECONOMY OF CIREBON FROM XIX-XX CENTURY Arovah, Eva Nur; Lubis, Nina Herlina; Dienaputra, Reiza; Nugrahanto, Widyo
Paramita: Historical Studies Journal Vol 28, No 2 (2018): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v28i2.14663

Abstract

Since 14th and 15th century, the kingdoms located among the islands of archipelago, including Cirebon, have involved in trading activities among the islands of archipelago or even international. Started from the fall of Majapahit and Demak kingdoms, the northern coastal areas of Java mostly are dominated by the rulers and Moslem traders. In 17th century, by the equal disintegration of traditional politics and taking over of the power of Cirebon Palace by VOC and the system and direction of policy which are made by the Dutch government, the sector-based trade in the coastal area of Cirebon becomes increasingly advanced and widespread. Started from the coastal area, in its development, the developing center trade becomes in hand with the developing of agricultural sectors in the lowlands and plantation in the highlands. By the historical method and structural approach from Fernand Braudel, this research is trying to explain Cirebon’s Geography as a synthesis that plays a role in Cirebon economic activity. No less important, archaeological evidences will be included as an attempt to identify the historical fact. Because in reality, the three regions (coastal area, agriculture and plantation) are a unity of the mutually bounded and have a reciprocal relationship in its contribution to the economic progress of the Dutch. Semenjak abad ke-14 dan ke-15, kerajaan-kerajaan yang terletak di kawasan pesisir Nusantara, termasuk Cirebon, telah terlibat dalam perdagangan antarpulau Nusantara maupun perdagangan antarnegara. Dimulai semenjak runtuhnya Majapahit dan kejayaan Demak, kawasan pantai utara Jawa hampir seluruhnya dikuasai oleh para penguasa dan pedagang muslim. Memasuki abad ke-17, bersamaan dengan disintegrasi politik tradisional dan pengambil-alihan kekuasaan keraton Cirebon oleh VOC serta pola dan arah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, sektor perdagangan yang berpusat di kawasan pesisir Cirebon menjadi semakin mengikat dan meluas. Dimulai dari kawasan pesisir, dalam perkembangannya pengembangan pusat perdagangan menjadi beriringan dengan perkembangan pertanian di dataran rendah dan perkebunan di dataran tinggi. Dengan menggunakan metode penelitian sejarah dan pendekatan struktur sebagaimana yang dilakukan Fernand Braudel, penelitian ini mencoba mendeskripsikan geografis Cirebon sebagai sebuah sintesa yang berperan besar dalam kegiatan ekonomi Cirebon. Karena dalam kenyataannya tiga kawasan di atas merupakan suatu kesatuan yang saling terikat dan memiliki hubungan timbal balik dalam sumbanganya terhadap perkembangan ekonomi Hindia Belanda. 
PUISI INDONESIA ABAD KE-5: KAJIAN STRUKTURAL DAN SOSIOLOGI SASTRA TEKS YŪPA MUARAKAMAN Sarathan, Indra; Nugrahanto, Widyo; Ridwansyah, Randy
SUAR BETANG Vol 14, No 1 (2019)
Publisher : Balai Bahasa Kalimantan Tengah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (587.515 KB) | DOI: 10.26499/surbet.v14i1.113

Abstract

The history of modern Indonesian poetry often begins in the 1920s. The first modern Indonesian poem refers to the poem ?Tanah Air?/ ?Motherland? by Muhammad Yamin. The canonization of M. Yamin (1903-1962) as one of pillar modern Indonesian poetry was known from the contribution of A. Teeuw (1921-2012). And, the results of his research on Indonesian poetry continue to resonate in the spaces of literary and language education to this day (2018). However, there is still little attention that explains the process of transformation from old poetry (mantra, pantun, karmina, seloka, gurindam, syair, etc.) to modern Indonesian poetry. The data only explained the milestones of modern Indonesian poetry starting in the 1920s. Even though the history of world literature dived until the time Before Century in his explanation of the history of poetry. Such as the Gilgamesh epic written on the 3rd century BC stone remains of the Sumerians in Mesopatami or the Beawulf long poem derived from oral literature as the beginning of the history of Anglo-Saxon (ancient English) poetry of the 8th century CE. Referring to the not strict definition of poetry, this paper will review the oldest text of the inscription in the Indonesia archipelago (5th century AD) as a form of old poetry by examining the structure and typology, as well as the social history of Indonesian ancient people that produced the inscription text in viewpoints sociology of literature. Thus, the results of this study are also expected to offer an alternative historiography of the history of Indonesian poetry.
Puisi Indonesia Abad ke-5: Kajian Struktural dan Sosiologi Sastra Teks Yūpa Muarakaman Indra Sarathan; Widyo Nugrahanto; Randy Ridwansyah
SUAR BETANG Vol 14, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Balai Bahasa Kalimantan Tengah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/surbet.v14i1.113

Abstract

The history of modern Indonesian poetry often begins in the 1920s. The first modern Indonesian poem refers to the poem ―Tanah Air‖ ‗Motherland‘ by Muhammad Yamin. The canonization of M. Yamin (1903—1962) as one of pillar modern Indonesian poetry was known from the contribution of A. Teeuw (1921—2012). The results of his research on Indonesian poetry continue to resonate in the spaces of literary and language education to this day (2018). However, there is still little attentions that explain the process of transformation from old poetry (mantra, pantun, karmina, seloka, gurindam, syair, etc.) to modern Indonesian poetry. The data only explained the milestones of modern Indonesian poetry starting in the 1920s. Even though the history of world literature dived until the time Before Century in his explanation of the history of poetry. Such as the Gilgamesh epic written on the 3rd century BC stone remains of the Sumerians in Mesopatami or the Beowulf long poem derived from oral literature as the beginning of the history of Anglo-Saxon (ancient English) poetry of the 8th century CE. Referring to the not strict definition of poetry, this paper will review the oldest text of the inscription in the Indonesia archipelago (5th century AD) as a form of old poetry by examining the structure and typology, as well as the social history of Indonesian ancient people that produced the inscription text in viewpoints sociology of literature. Thus, the results of this study are also expected to offer an alternative historiography of the history of Indonesian poetry.
DEMOKRASI DALAM SEJARAH MILITER INDONESIA; Kajian Histois Tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Tahun 1945 Widyo Nugrahanto; Rina Adyawardhina
Sosiohumaniora Vol 20, No 1 (2018): SOSIOHUMANIORA, MARET 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.654 KB) | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v20i1.14368

Abstract

Penelitian ini berjudul Demokrasi dalam Sejarah Militer Indonesia; Kajian Historis Tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Tahun 1945. Penelitian ini adalah tentang bagaimana Soedirman terpilih sebagai Panglima Tentara Indonesia yang pertama. Begitu juga bagaimana cara pemilihannya sehingga Soedirman terpilih dan Oerip Soemohardjo terpilih mendampinginya sebagai kepala staf. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Sejarah.Metode Sejarah memiliki empat tahapan yaitu Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi. Sumber-sumber penelitian ini menggunakan Koran-koran sezaman, majalah sezaman, buku, dan jurnal. Terpilihnya Soedirman (Panglima Tentara) dan Oerip Soemohardjo (kepala Staf Tentara) ternyata sangat menarik.Pemilihan tersebut menggunakan sistem demokrasi langsung (voting) yang ketika itu belum popular dilaksanakan di Indonesia.Ini merupakan cara-cara demokrasi langsung yang dilaksanakan pertama kali setelah Indonesia meredeka. Uniknya adalah justru cara ini digunakan oleh tentara dalam pemilihan panglima tertingginya.
Sosialisasi Nilai-nilai Kepahlawanan di Lingkungan Sekolah Dasar Negeri Rahayu 06 Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung Rina Adyawardhina; Widyo Nugrahanto; Agusmanon Yuniadi
Dharmakarya Vol 6, No 2 (2017): Juni
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1080.06 KB) | DOI: 10.24198/dharmakarya.v6i2.14802

Abstract

Nilai-nilai kepahlawanan menjadi penting bagi pengembangan karakter anak-anak di masa kini. Penanaman nilai-nilai kepahlawanan dalam pembentukan karakter anak masih minim dilakukan. Langkah ini berpengaruh terhadap pengetahuan dan kesan yang didapat anak-anak mengenai nilai-nilai kepahlawanan. Kegiatan Sosialisasi Nilai-nilai Kepahlawanan di Lingkungan Sekolah Dasar Negeri Rahayu 06 Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada peserta didik sebagai upaya pembentukan karakter sehingga makna nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sosialisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan presentasi materi tentang nilai kepahlawanan dan penyelenggaraan lomba mengarang dengan mengambil tema nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sosialisasi yang dilakukan diperoleh gambaran bahwa pemahaman siswa kelas VI terhadap nilai kepahlawanan sudah cukup tinggi. Namun tetap harus dilakukan revitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai kepahlawanan sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.   
Zending and Culture of Tolaki Tribe in Southeast Sulawesi, 1916-1942 Basrin Melamba; Nina Herlina; Widyo Nugrahanto; Aswati Mukadas
Jurnal Sejarah Citra Lekha Vol 4, No 1 (2019): Politik Ingatan, Identitas Kota, dan Warisan Budaya
Publisher : Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (130.118 KB) | DOI: 10.14710/jscl.v4i1.20673

Abstract

This study analyses the cultural problems as the entity of Tolaki Tribe about Christianity in Southeast Sulawesi in the period 1916-1942. The historical method is used to find and identify the cultural problems that detained the Christianity process by occupying the four stages begins with heuristic, critic, interpretation, until historiography. During the period also, found a pattern of negotiations between traditions or customs and the teachings of Christianity that were played by the evangelists. So, there was a harmonious dialogue between Christians and the indigenous people. In this case, the agent or pastor succeeded in carrying out interactions and playing on the strategies and rules of religion with the provisions of the indigenous people. It was concluded that culture became an obstacle and challenge in the process of Christianity. However, at the same time, it became an opportunity used by the evangelists in the process of spreading religion among the Tolaki society. The culture and religion of Protestant Christian are always united and together in the reality of the living in indigenous people.