Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

DEXMEDETOMIDINE PROVIDES BETTER HEMODYNAMIC STABILITY COMPARED TO CLONIDINE IN SPINE SURGERY Suyasa, I Ketut; Ryalino, Christopher; Pradnyani, Ni Putu Novita
Bali Journal of Anesthesiology Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (574.328 KB) | DOI: 10.15562/bjoa.v2i3.100

Abstract

Introduction: Spine surgery presents a number of challenges to the anesthesiologist. The α2 adrenergic agonist drugs are commonly used in such cases to provide hemodynamic and sympathoadrenal stability. Dexmedetomidine (DEX) is one of the most potent and highly selective α2-adrenergic receptor agonists. Another α2 adrenergic agonist drug that is used widely is clonidine. The study aims to compare both drugs in terms of hemodynamic stability in spine surgeries.Patients and Methods: 30 patients underwent spinal surgery were classified into one of the following group: DEX group (received DEX 1 mcg/kg in 10 minutes followed by 0.5 mcg/kg/hour during the course of the surgery) or CLO group (received clonidine 1 mcg/kg in 10 minutes followed by 1 mcg/kg/hour during surgery), by consecutive sampling. All other treatments and medications were similar in both groups. The systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure, and heart rate were recorded every 5 minutes. Data was then analyzed by SPSS.Result: The patients in the DEX group had a better mean arterial pressure (p=0.002) and heart rate (p=0.018) stability compared to those in the CLO group.Conclusion: The administration of dexmedetomidine provides a better hemodynamic stability compared to clonidine in patients underwent spinal surgery.
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN SPONDILITIS TUBERKULOSA Suyasa, I Ketut
Medicina Vol 38 No 2 (2007): Mei 2007
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Spondilitis tuberculosis merupakan fokus sekunder infeksi tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Keterlibatan tulang belakang akan dapat memperberat morbiditas karena adanya potensi defsit neurologis dan deformitas yang permanent. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis, laboratories, imaging, bakteriologis dan histopathologis. Sampai saat ini belum ada therapi definitif yang baku. Masih ada kontroversi antara terapi konservative dengan pembedahan. Telah dikembangkan metode total treatment yang merupakan gabungan terapi konservatif dan tindakan operatif berdasarkan identifikasi masalah yang dihadapi masing ? masing penderita.Therapi pembedahan dapat berupa radikal atau middle path, anterior atau posterior, atau kombinasi anterior posterior dengan atau tanpa instrumentasi.
NECK SUPPORT PADA HEAD CONTROL EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL BERJALAN ANAK CEREBRAL PASLY SPASTIK DIPLEGI DI YAYASAN PENDIDIKAN ANAK CACAT (YPAC) JAKARTA Agus Frandes Sariaman; I Ketut Suyasa; Muhammad Irfan; Luh Putu Ratna Sundari; I Made Krisna Dinata; I Putu Adiartha Griadhi
Sport and Fitness Journal Vol 8 No 1 (2020): Volume 8, No. 1, Januari 2020
Publisher : Program Studi Magister Fisiologi Keolahragaan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.095 KB) | DOI: 10.24843/spj.2020.v08.i01.p04

Abstract

Pendahuluan: Aktivitas motorik anak cerebral palsybiasanya mengalami keterlambatan activity daily livingyang dipengaruhi olehhead control, karena kepala berfungsi dalam melawan gravitasi dan sebagai inisiasi gerakan awal saat berjalan. Penelitian ini dilakukan dengan hipotesis bahwa penambahan neck support pada head control exercise lebih baik dalam peningkatan kemampuan fungsional berjalan anak CP spastic diplegic. Materi & Metode: Penelitian merupakan studi eksperimental dengan rancangan pre test and post test control group design. Jumlah responden sebanyak 14 sampel yang dibagi menjadi 2 grup secara random, pada kelompok kontrol mendapat head control exercise, pada kelompok perlakuan mendapatneck support dan head control exercise. Fungsional berjalan yang di teliti dengan diukur dengan GMFM, perlakuan diberikan selama 8 minggu. Hasil Penelitian: Dari hasil penelitian terdapat peningkatan fungsional berjalan yang signifikan pada anak Kelompok kontrol yang mendapatkan intervensi head control exercise dengan nilai pre (17,31 ± 5,06) dan nilai post (18,30 ± 3,16) didapat nilai p=0,011. Terdapat peningkatan fungsional berjalan yang signifikan pada kelompok perlakuan yang mendapat intervensi neck supportdan head control exercise dengan nilai pre (15,53 ± 4,23) dan nilai post (24,59 ± 4,98) dengan didapat nilai p=0,001. Terdapat perbedaan yang signifikan pada peningkatan fungsional berjalan pada Kelompok kontrol yang mendapatkan head control exercise dan pada Kelompok perlakuan yang mendapat neck support dan head control exercise dengan nilai Kelompok kontrol ( 18,30 ± 4,96 ) dan nilai pada Kelompok perlakuan (24,59 ± 4,98) dan didapat nilai p=0,036. Simpulan: Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan neck support pada head control exercise lebih baik dibandingkan hanya head control exercise dalam meningkatkan fungsional berjalan anak CPspastic diplegic.
UPPER LIMB NEURODYNAMIC BILATERAL LEBIH MENURUNKAN SKOR NYERI DAN TENSION NERVUS MEDIANUS DIBANDINGKAN DENGAN UPPER LIMB NEURODYNAMIC IPSILATERAL PADA PENDERITA CERVICAL RADICULOPATHY Gede Parta Kinandana; I Ketut Suyasa; Wahyuddin Wahyuddin; Putu Astawa; I Made Ady Wirawan; Nyoman Mangku Karmaya
Sport and Fitness Journal Vol 8 No 3 (2020): Volume 8, No. 3, September 2020
Publisher : Program Studi Magister Fisiologi Keolahragaan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/spj.2020.v08.i03.p10

Abstract

Pendahuluan: Cervical radiculopathy merupakan suatu kondisi klinis dimana terjadinya kompresi pada akar saraf yang menyebabkan perubahan fisiologis pada jaringan saraf. Tujuan Penelitian: membuktikan upper limb neurodynamic bilateral lebih menurunkan nyeri, meningkatkan range of motion (ROM) cervical, dan ekstensi elbow pada penderita cervical radiculopathy jika dibandingkan dengan neurodynamic ipsilateral. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan pre dan post-test control group design menggunakan 24 orang sampel yang dibagi ke dalam 2 kelompok. Pada Kelompok 1 diberikan upper limb neurodynamic ipsilateral sedangkan Kelompok 2 diberikan intervensi upper limb neurodynamic bilateral. Intervensi diberikan sebanyak 12 kali. Pengukuran skor nyeri menggunakan numerical pain rating scale (NPRS) dan ROM cervical menggunakan goniometer dan tension nervus medianus diukur melalui ROM ekstensi elbow. Hasil: Perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok didapatkan pada pengukuran skor nyeri dengan nilai p = 0,000 (p<0,05) pada pengukuran nyeri diam dan saat neurodynamic testing. Perbedaan yang bermakna juga ditemukan pada pengukuran ekstensi elbow dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Perbedaan yang tidak bermakna ditemukan pada pengukuran ROM cervical (ekstensi, rotasi, dan lateral fleksi ipsilateral) dengan nilai p = 0,377; 0,110; dan 0,342 secara berurutan (p > 0,05). Kesimpulan: upper limb neurodynamic bilateral lebih menurunkan skor nyeri dan menurunkan tension nervus medianus dibandingkan dengan upper limb neurodynamic ipsilateral dan tidak lebih meningkatkan ROM cervical pada penderita cervical radiculopathy. Kata kunci: nyeri, ROM cervical, ROM ekstensi elbow, neurodynamic ipsilateral, neurodynamic bilateral, cervical radiculopathy
Gambaran Karakteristik Fraktur Intertrokanter Femur di RSUP Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 2019 - 31 Desember 2019 Made Priska Arya Agustini; I Ketut Suyasa; I Wayan Suryanto Dusak; Anak Agung Gde Yuda Asmara
E-Jurnal Medika Udayana Vol 10 No 9 (2021): Vol 10 No 09(2021): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2021.V10.i9.P17

Abstract

Fraktur intertrokanter merupakan fraktur yang terjadi di antara trokanter mayor dan trokanter minor. Diperkirakan angka kejadian fraktur intertrokanter meningkat setiap tahunnya. Namun, data mengenai fraktur intertokanter di Indonesia khususnya di Denpasar masih sulit ditemukan. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik fraktur intertrokanter femur di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dan teknik penentuan sampel adalah total sampling. Data yang didapat sesuai kriteria inklusi dan eksklusi adalah 60 data yang kemudian dianalisis dengan SPSS versi 25. Penelitian ini menujukkan 66,7% pasien adalah perempuan. Sebagian besar pasien berusia di atas 65 tahun (73,3%). Mekanisme trauma terbanyak adalah low energy trauma (86,7%). Jenis fraktur intertrokanter yang banyak ditemukan adalah Boyd dan Griffin (BG) Tipe II (61,7%). Semua pasien dilakukan pembedahan dengan jenis prosedur terbanyak adalah proximal femoral nail anti rotation atau PFNA (45%). Mayoritas pasien menunggu lebih dari dua hari untuk operasi (90%). Sebagian besar karakteristik pasien fraktur intertrokanter di RSUP Sanglah adalah perempuan, usia > 65 tahun, mekanisme penyebab cedera adalah low energy trauma, jenis fraktur BG Tipe II, pembedahan dilakukan dengan prosedur PFNA, dan waktu tunggu operasi > 2 hari.
PRIMARY MALIGNANT BONE TUMOR CHONDROSARCOMA OF THE STERNUM I Ketut Suyasa; Gede Ketut Alit Satria Nugraha; I Gede Eka Wiratnaya
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 10 (2019): Vol 8 No 10 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.012 KB)

Abstract

The primary sternal tumor is rare, with its incidence representing 0.6-0.9% of all primary bone tumors. The current study aimed to report a rare case of chondrosarcoma in the body of sternum, which was successfully treated.Chondrosarcoma is a primary malignant bone tumor that is composed of cartilage-producing cells or chondrocytes. It is one of the most challenging bone tumors to diagnose and treat. These cartilage lesions may have inconclusive features, necessitating close follow-up or biopsy. On radiographs, the radiologist should look for aggressive features such as focal erosion with abrupt margins, periosteal reaction or cortical breakthrough. In our case, none of the typical radiographic changes of chondrosarcoma appeared on chest imaging studies, and the diagnosis was based on biopsy. Surgery is the best therapeutic option for a sternal tumor. In some cases, radiation and or chemotherapy may be used pre- or post-operatively. Chondrosarcoma is a malignant cartilage-forming tumor of bone. It is rarely found in the sternum, making the case presented herein rare and the diagnosis to be complicated. Multidisciplinary management of this case is necessary to make diagnosis and treatment. Keywords: Chondrosarcoma, Sternum, Sternal tumor, rare bone tumor, Primary malignant bone tumor, Tumor diagnostic, Tumor histopathology
LUMBAR SPINAL CANAL STENOSIS, DIAGNOSTIC AND MANAGEMENT Putu Indah Budi Apsari; I Ketut Suyasa; Sri Maliawan; Siki Kawiyana
E-Jurnal Medika Udayana vol 2 no 9 (2013):e-jurnal medika udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.476 KB)

Abstract

Lumbar spinal canal stenosis is a narrowing of the osteoligamentous vertebral canal and/or the intervertebral foramina causing compression of the thecal sac and/or the caudal nerve roots. The prevalence are five per 1000 person over 50 years old in USA. Male more than female, the most affect L4 -L5 and L3-L4. Low back pain is the most symptom. Routine diagnostic examination can be done plain x-ray lumbosacral, CT scan, and MRI. Management therapy can divide to two conservative and operative therapy. Complication of operative therapy is infection, vacular injury, cardiorespiratory disturbance due to embolization and death. The prognosis related with severity of symptom, degree of stenosis, surgical procedure and comorbid conditions.
Serial Kasus: Pembedahan Minimal Invasif pada Herniasi Diskus Lumbal di RSUP Sanglah Suyasa IK; Wiguna I G.L.N.A.A; Vidyaputra T.A.; Wibowo T; Yudhi I GN
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 9 (2019): Vol 8 No 9 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (655.197 KB)

Abstract

Pendahuluan. Herniasi diskus lumbal adalah keluarnya nukleus pulposus atau annulus fibrosis di luarruang diskus intervertebralis yang ditandai dengan nyeri pinggang bawah. Metode penatalaksanaan awaldilakukan dengan pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Salah satu pendekatan non farmakologiyang dilakukan pada kasus – kasus dengan penanganan konservatif yang gagal adalah tindakanpembedahan. Pembedahan pada herniasi diskus lumbar dengan prosedur bedah terbuka yang bertujuanuntuk melakukan dekompresi dengan atau tanpa disertai instrumentasi untuk stabilisasi tulang belakang.Kemajuan di bidang teknologi dan instrumentasi bedah terkini telah menuntun pengembangan teknikbedah minimal invasif yang meminimalkan kerusakan pada struktur tulang belakang dan neuromuskuler,sehingga mengurangi nyeri pinggang bawah paska pembedahan. Prosedur bedah minimal invasif denganmikroskop memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan lapangan operasi melalui luka bedah yanglebih kecil. Metode. Dilaporkan enam orang pasien dengan herniasi diskus lumbar menjalani diskektomi mikroskopistanpa instrumentasi posterior di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar antara bulan April –Agustus 2014 yang diobservasi selama 3 bulan paska operasi. Hasil. Pasien dengan herniasi lumbar pada penelitian ini berumur rata – rata 44,5 ± 14,9 tahun, sebanyak16,67% wanita dan 83,3% laki – laki. Herniasi multilevel terjadi pada 66,67 % kasus, dengan keterlibatanlevel L4/L5 ditemukan pada semua kasus, sekitar 50% pada level L5/S1 dan level L2/L3, L3/L4 masing –masing sebanyak 16,67%. Perdarahan selama operasi 41,67 ± 14,38 mL. Rata – rata lama rawat 1 – 2hari (1,3 ± 0,51) tergantung dari keluhan pasien. Hampir semua subjek menunjukkan peningkatan skorJOA pretreatment dan skor posttreatment sebesar 20 poin.Simpulan. Serial kasus ini menunjukkan bahwa prosedur dekompresi mikroskopis denganmempertahankan posterior tension band adalah prosedur yang aman dengan kehilangan darahintraoperatif yang minimal, lama rawat inap yang lebih singkat, hasil fungsional yang tinggi dan tingkatketidakstabilan sekunder yang rendah.Kata kunci: nyeri pinggang bawah, herniasi diskus lumbar, dekompresi mikroskopis.
Profil penderita dengan cedera tulang belakang akibat trauma di RSUP Sanglah tahun 2015 Jonathan Pratama Swannjo; I Ketut Suyasa
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (322.226 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.549

Abstract

Background: Vertebrae are the bones supporting the head and torso. Vertebra protects the spinal cord, and as a liaison ribs and muscles. At the location of the vertebra the spinal cord that are the source of innervation of peripheral and connecting parts neurological signals between the brain with other body parts. Thus, the injuries that occur in the vertebra is fatal and can result in neurological defects such as paralysis. In Indonesia is still very little research on spine injury and spinal cord injury. Therefore, the authors wanted to know about the profile of patients with spine injuries due to trauma in Sanglah Hospital 2015Methods: This study uses descriptive observational research with cross sectional design is to collect data one by using medical records. In terms of retrospective time, respondents in this study were selected through the total sampling. Variables examined in this study include gender, age, location of the injury, and the most common cause of the injury.Results: According on the research profile vertebra due to trauma patients injured in Sanglah Hospital in 2015 is largely male sex (75%), are in the age group 51-60 years (26.7%), with the most common cause is a fall from a height (62.9%), the location of most injured are the cervical part with 45.8%, and most cases of spine injury patients are without SCI with a percentage of 52.4%.Conclusions: Based on the results, it can be concluded profiles of patients with spine injuries due to trauma in 2015 under the Sanglah Hospital is the same when compared to other literatures and experiments with just little differences Latar Belakang: Tulang belakang merupakan tulang penyangga kepala dan batang tubuh. Tulang belakang berfungsi melindungi spinal cord. Pada lokasi tulang belakang terdapat spinal cord yang menjadi sumber persarafan bagian perifer dan menghubungkan sinyal neurologis antara otak dengan bagian tubuh lainnya. Maka dari itu cedera yang terjadi pada bagian tulang belakang sangatlah fatal dan mengakibatkan defek – defek neurologis seperti kelumpuhan. Di Indonesia masih sedikit penelitian mengenai cedera tulang belakang dan spinal cord injury. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui mengenai profil penderita cedera tulang belakang akibat trauma di RSUP Sanglah tahun 2015Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan desain cross sectional study yaitu dengan melakukan pengumpulan data satu kali dan menggunakan data rekam medis. Dari segi waktu secara retrospektif, Responden dalam penelitian ini dipilih melalui total sampling. Variabel yang diteliti pada penelitian ini antara lain jenis kelamin, umur, lokasi cedera, penyebab terbanyak cedera pada tulang belakang.Hasil: Hasil penelitian di RSUP Sanglah menunjukkan bahwa profil penderita cedera tulang belakang akibat trauma di RSUP Sanglah tahun 2015 adalah sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (75%), berada dalam kelompok umur 51-60 tahun (26.7%), dengan penyebab terbanyak adalah jatuh dari ketinggian (62.9%), lokasi terbanyak yang mengalami cedera adalah pada bagian cervical dengan 45.8% dan paling banyak kasus penderita cedera tulang belakang adalah tanpa disertai SCI dengan presentase 52.4%.Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan profil penderita cedera tulang belakang akibat trauma di RSUP Sanglah tahun 2015 sesuai dengan hasil penelitian lain dan literatur yang ada.
Flushing intramedular dengan epinefrin pada prosedur Cemented Hip Arthroplasty menstabilkan mean arterial pressure tanpa mempengaruhi profil lipid Aakash Aakash; Ketut Siki Kawiyana; I Wayan Suryanto Dusak; Ketut Gede Mulyadi Ridia; I Ketut Suyasa; I Gusti Ngurah Wien Aryana; I Gede Eka Wiratnaya; Anak Agung Wiradewi Lestari
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.644 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.554

Abstract

Background: Cemented Hip Arthroplasty is the first choice of surgical treatment in fractures of neck femur and advanced hip osteoarthritis. Nevertheless, the complication, Bone Cement Implantation Syndrome can produce intra/postoperative mortality. The systemic effects of bone cement uses is hemodynamic disturbance and pulmonary embolism. These complications are thought due to the entry of semen particles into the systemic circulation caused by increased intramedullary pressure and local vasodilation. Intramedullary flushing with epinephrine after cement implantation is one of the interventions that is expected to reduce this impact. This study aims to determine the difference in hemodynamic effects and lipid profile in patients undergone flushing with epinephrine versus NaCl 0.9%.Methods: A cross-sectional study involving 30 patients who underwent Cemented Hip Arthroplasty, randomly divided into 2 groups. Surgical procedures differ only in the components used for intramedullary flushing, namely NaCl 0.9% (control) and epinephrine 1: 50000 (intervention). Vital signs are observed and recorded at minute 2,4,6,8, and 10 after cementation. Serial data were analyzed with repeated measures ANOVA. Lipid profile examination was performed before and 12 hours postoperatively and the results were analyzed with Wilcoxon-test.Results: The study observed a decreased of mean arterial pressure (MAP) in the control group after two minutes of cementation, and reached its lowest point in the sixth minute (p <0.05). In the intervention group, the decrease occurred in second to sixth minutes, but the decrease was more stable and there was no significant difference between time-point (p> 0.05). There were no significant differences of triglyceride and cholesterol level before and 12 hours after the procedure (p> 0.05).Conclusion: Intramedullary flushing with epinephrine after semen implantation in the Cemented Hip Arthroplasty procedure results in a minimal reduction of MAP compared to flushing without epinephrine. However, there were no difference in preoperative and postoperative cholesterol and triglyceride levels.Latar Belakang: Cemented Hip Arthroplasty menjadi pilihan utama terapi pembedahan pada fraktur collum femoris (Neck of Femur) serta osteoarthritis sendi panggul stadium lanjut. Meskipun demikian, komplikasi Bone cement implantation syndrome dapat menghasilkan morbiditas dan mortalitas intra/pasca operasi. Efek sistemik dari penggunaan semen tulang adalah gangguan hemodinamik dan emboli paru yang diduga akibat masuknya dari partikel semen ke sirkulasi sistemik akibat peningkatan tekanan intrameduler dan vasodilatasi lokal. Flushing intramedula dengan epinefrin paska implantasi semen merupakan salah satu intervensi yang diharapkan mengurangi dampak tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan dampak hemodinamik dan profil lipid pada pasien dengan flushing epinefrine dan NaCl 0,9%.Metode: Penelitian potong lintang dengan melibatkan 30 pasien yang menjalani cemented arthroplasty, dibagi rata menjadi 2 kelompok secara acak. Prosedur pembedahan hanya berbeda pada komponen yang digunakan untuk flushing intramedula, yakni NaCl 0,9% (kontrol) dan epinefirn 1:50.000 (intervensi). Tanda vital diamati dan dicatat pada menit ke-2,4,6,8, dan 10 setelah sementasi. Data serial dianalisis dengan repeated measure Anova. Pemeriksaan profil lipid dilakukan sebelum dan 12 jam pasca operasi dan hasil dianalisis dengan Wilcoxon-test. Hasil: Penurunan mean arterial pressure (MAP) pada kelompok kontrol sejak menit ke 2 setelah sementasi, dan mencapai titik terendah pada menit ke 6 (p<0,05). Pada kelompok intervensi didapatkan penurunan terjadi pada menit ke 2 hingga ke 6, tetapi penurunan lebih stabil dan tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0.05). Pada profil lipid (trigliserida dan kolesterol), tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kadar sebelum operasi dan 12 jam setelah tindakan operatif (p>0,05).Kesimpulan: Flushing epinefrin paska implantasi semen pada prosedur Cemented Hip Arthroplasty menghasilkan penurunan MAP yang minimal dibandingkan flushing tanpa epinefrin. Akan tetapi, flushing epinefrin tidak memberikan perbedaan pada kadar kolesterol dan trigliserida paska operasi.