Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : El-HARAKAH : Jurnal Budaya Islam

Ibn Khaldun dan Pemikir Sosial Budaya Zainuddin, M.
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 2, No 2 (2000): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v2i2.5186

Abstract

The greatness of Ibn Khaldun's name makes the world recognized and reviewed his thoughts. If we revisit the treasury of medieval Islamic intellectual thought and develop a tradition of thought in the world of campus, this tradition and culture is good to do. This paper raises who is really the figure of Ibn Khaldun and how his thoughts are especially on his social cultural thinking. Ibn Khaldun's theory of social phenomena includes the theory of evolution that views social phenomena as the dynamics of society, nations and states that differ across generations. The human society according to Ibn Khaldun is an independent entity. and can be perfectly managed regardless of religious values. He says humans can be good and evil at the same time. Man is evil because of animal nature, and on the contrary, man is good because of his involvement with other human beings. Ibn Khaldun's mind is so visionary that it is relevant to the context of the development of the era as developed by modern philosophers which actually comes from the socio-cultural view of Ibn Khaldun. Begitu besar nama Ibn Khaldun sehingga dunia mengakui dan mengkaji kembali pemikiran-pemikirannya. Jika kita menguak kembali khazanah pemikiran intelektual Islam abad pertengahan dan mengembangkan tradisi pemikiran di dunia kampus, tradisi dan budaya ini bagus untuk dilakukan. Tulisan ini mengangkat siapakah sesungguhnya sosok Ibn Khaldun itu dan bagaimana pemikirannya khususnya pada pemikiran sosial budayanya. Teori fenomena sosial Ibn Khaldun termasuk teori evolusi yang memandang fenomena sosial sebagai dinamika masyarakat, bangsa dan negara yang berbeda antar generasi. Masyarakat manusia menurut Ibn Khaldun adalah suatu entitas yang independen. dan dapat diurus secara sempurna lepas dari nilai-nilai agama. Menurutnya manusia bisa baik clan jahat pada saat yang sama. Manusia jahat karena adanya sifat dasar kebinatangan, dan sebaliknya, manusia itu baik karena keterlibatannya dengan manusia lain. Pemikiran Ibn Khaldun sangat visioner sehingga relevan dengan konteks perkembangan jaman sebagaimana yang kemudian dikembangkan oleh filsuf modern yang sesungguhnya bermuara dari pandangan sosial budaya Ibnu Khaldun.
Islam: Agama Kemanusiaan Zainuddin, M.
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 1, No 3 (1999): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v1i3.4692

Abstract

Islam provides the guidance of human life from the smallest problem to the greatest affairs, ranging from household affairs, sleep, eat and drink up to the affairs of the nation and state. This paper raises how Islam covers all aspects of life as a religion of humanity. If taken seriously in the verses of the Qur'an or as Sunnah, will undoubtedly be found, that the core of the teachings of Islam is faith and righteousness. Islam is more than a formal religion, but it is also a great treatise for social transformation and a challenge to personal interests. Islam is a humanism, a religion that is very concerned with humanity as a central goal. This is the basis of Islam. Therefore, the greatest task of Islam is actually to transform social and cultural transformation with Islamic values. Islam memberikan tuntunan hidup manusia dari persoalan yang paling kecil hingga ke urusan yang paling besar, mulai dari urusan rumah tangga, tidur, makan dan minum sampai pada urusan bangsa dan negara. Tulisan ini mengangkat bagaimana Islam mencakup segala aspek kehidupan sebagai agama kemanusiaan. Jika dicermati secara serius dalam ayat-ayat al Quran maupun as sunnah, niscaya akan ditemukan, bahwa inti ajaran Islam adalah iman dan amal saleh. Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Inilah dasar Islam. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai Islam.
Pendekatan Multikultural menuju Pemahaman Agama yang Plural Zainuddin, M.
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 7, No 1 (2005): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v7i2.4656

Abstract

We have the expectation of the birth of change which makes our life blissful. Among the educators and the intellects, a new awareness is now there for growing and developing the open-mindedness (inclusive) on religion comprehension. The birth of intellectual thinking of transformative Islam, liberal, inclusive, contextual, and many other terms whatsoever are the new era for desecration of the thought of Islam (alla taqsidiyyah). Moreover, the contemporary liberal-inclusive thoughts such as Hassan Hanafi, Arkoun, al Jabiri, al Naim, and so forth were already introduced to the young intellects generation in Indonesia. This article discusses about the absolute claims of some religions and also multicultural approach to create the harmony life among people with different religions. Kita masih memiliki harapan akan lahirnya perubahan yang menggembirakan. Di kalangan akademisi dan intelektual kita, kini telah muncul ‘kesadaran baru’ bagi tumbuh dan berkembangnya pemikiran terbuka (inklusif) dalam pemahaman agama. Munculnya pemikiran intelektual Islam transformative, liberal, inklusif, kontekstual, dan apapun istilahnya merupakan era baru bagi desakralisasi pemikran Islam (alla taqdisiyyah). Apalagi kemudian pemikiran-pemikiran kontemporer liberal-inklusif seperti Hassan Hanafi, Arkoun, al Jabiri, al Naim, dan seterusnya telah disosialisasikan oleh generasi intelektual muda di Indonesia. Artikel ini membahas klai-klaim absolut dari beberapa agama dan juga pendekatan multicultural untuk menciptakan kehidupan harmonis di kalangan umat beragama.
Aksiologi dalam Perspektif Islam Zainuddin, M.
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 4, No 2 (2002): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v4i2.4632

Abstract

Islam is the religion of Allah which contains the teachings and guidance that must be held and used as a guidance by its adherents to the happiness of the world and in the afterlife. The teachings of Islam include the teachings of monotheism and shari'a or faith and charity. Of course these aspects of Islamic teachings must be understood well through learning or seeking knowledge. This is where science is necessary and important. Thus science is part of the religion itself. It occupies a position or as part of religion and has a function as an instrument or means to obtain the goal of religion, which is to obtain the happiness of the world and the hereafter. In other words, the relationship between religion and science is symbiotic, because religion calls on the pursuit of science and gives a noble position to the scientist. Similarly, the relationship occurs between religion and philosophy. Both have the same direction. Philosophy is the knowledge of what is right. The religion explains what is right and good based on revelation and reason. Islam adalah agama Allah SWT yang berisikan ajaran-ajaran dan tuntunan yang harus dipegang dan dijadikan pedoman oleh pemeluknya untuk kebahagiaan dunia maupun di akhirat. Ajaran-ajaran Islam tersebut meliputi ajaran tauhid dan syari’ah atau iman dan amal. Sudah barang tentu aspek-aspek ajaran Islam tersebut harus dipahami dan dimengerti melalui belajar atau mencari ilmu. Di sinilah ilmu itu perlu dan penting. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari agama itu sendiri. Ia menempat posisi atau kedudukan sebagai bagian dari agama dan memiliki fungsi sebagai instrumen/sarana untuk memperoleh tujuan agama, yaitu memperoleh kebahagiaan dunia maupun akhirat. Dengan kata lain, hubungan agama dan ilmu bersifat simbiotik, karena agama menyeru pada pencarian ilmu dan memberikan posisi mulia bagi ilmuwan. Demikian pula hubungan antara agama dan filsafat. Keduanya memiliki arah yang sama. Filsafat adalah pengetahuan tentang apa yang benar. Adapun agama menerangkan apa yang benar dan baik berdasarkan wahyu dan akal.
Haji dan Status Sosial: Studi tentang Simbol Agama di Kalangan Masyarakat Muslim Zainuddin, M.
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 15, No 2 (2013): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v15i2.2764

Abstract

Religion as a fact and history has symbolic and sociological dimensions as a structure of abstract realm regardless of space and time. Pilgrimage substantially contains humanity values, such as the doctrines of equality, the necessity to preserve life, property, and honor of others, a ban of oppressing or exploiting the weak people, either economically or others. For example, releasing daily wear and changing it with ihram wear has meaning to erase the social gaps between the rich and the poor. That is the ideal teaching of pilgrimage making one aware that he is a social human. This paper is sociologically intended to see the phenomenon of pilgrimage in the Muslim society of Indonesia, especially in Java. The study showed that the pilgrimage of the majority of Indonesian Muslim is loaded with social attributes. Although the pilgrim is a part of the religion pillars, it has been utilized   by the local ruling elite as a political resource or a mean to establish power legitimacy. Agama sebagai fakta dan sejarah memiliki dimensi simbolis dan sosiologis sebagai struktur sebuah makna yang berada pada ranah abstrak, terlepas dari ruang dan waktu. Ibadah haji secara substansial mengandung nilai-nilai kemanusiaan, seperti ajaran tentang: persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah, baik di bidang ekonomi maupun bidang-bidang lain. Misalnya, menanggalkan pakaian yang dipakai sehari-hari dan menggantinya dengan baju ihram untuk menghapus kesenjangan sosial antara kaya dan miskin. Itulah harapan ideal ajaran haji untuk membuat pelakunya menyadari bahwa ia adalah makhluk sosial. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap fenomena haji dalam masyarakat Indonesia, terutama di Jawa, secara sosiologis. Studi ini menunjukkan bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh mayoritas muslim Indonesia dipenuhi dengan atribut-atribut sosial. Meski merupakan salah satu pilar agama, ibadah haji telah digunakan elit penguasa lokal sebagai sumberdaya politik atau alat membangun legitimasi kekuasaan.
Kebebasan Beragama dan Demokratisasi di Indonesia Zainuddin, M.
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 11, No 2 (2009): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v0i0.431

Abstract

The objective of this research is to understand the religious freedom and the process of democratization in Indonesia. The result of this research shows that the religious freedom in Indonesia is regulated by the law. In this sense, religious freedom means freedom to choose and believe in certain religion, it does not mean that people have freedom to be atheism. In fact, the religious freedom in Indonesia has not run well since there is a religion banned by claiming it as a wrong and deviate religion. Furthermore, the violence by a religion to another religion is common in social life. Tujuan penelitian ini untuk memahami kebebasan beragama dan proses demokratisasi di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama di Indonesia diatur oleh undang-undang. Dalam pengertian ini, kebebasan beragama berarti kebebasan memilih dan percaya pada agama tertentu, tidak berarti orang memiliki kebebasan untuk bersikap ateis. Sebenarnya, kebebasan beragama di Indonesia belum berjalan dengan baik karena ada agama yang dilarang dengan mengklaimnya sebagai agama yang salah dan menyimpang. Selanjutnya, kekerasan oleh agama ke agama lain biasa terjadi dalam kehidupan sosial.
Wanita Muslimah dalam Problema Kehidupan Modern Zainuddin, M.
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 3, No 1 (2001): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v3i1.4713

Abstract

This paper describes how Muslim women face problems in the modern era. Modern life is characterized by technological sophistication and industrial advancement as well as the diminishing of the agrarian sector. The strengthening of rationalism and the emergence of individualism that has implications for the alliance signifies that existence. The problem faced by Muslim women today is a matter of modernization that leads to the demands of emancipation. Emancipation is the result of the demands of western women who feel unaccounted for and eliminated from men. Male dominance and arbitrary acts implicate the emergence of the demands of women's freedom are also excessive. The idea of equality of rights itself also contains a contradiction that is quite confusing in terms of concepts and applications in social laws and policies. Tulisan ini memaparkan bagaimana muslimah menghadapi persoalan di era modern. Kehidupan modern dicirikan oleh sofistikasi teknologi dan kemajuan dibidang industri serta semakin berkurangnya sektor agraris. Menguatnya rasionalisme dan munculnya individualisme yang berimplikasi kepada alinasi menandai adanya itu. Problematika yang dihadapi wanita muslimah kini adalah masalah modemisasi yang mengarah pada tuntutan emansipasi. Emansipasi adalah akibat dari tuntutan kaum wanita barat yang merasa tidak mendapatkan tempat dan teralinasi dari kaum pria. Dominasi kaum pria dan pcrlakuan yang semena-mena berimplikasi munculnya tuntutan kebebasan kaum wanita yang juga berlebihan. Ide persamaan hak (equal rights) sendiri juga mengandung kontradiksi yang cukup membingungkan tern tarn a dalam hal konsep dan aplikasinya dalam undang-undang dan kebijakan sosial.