Ni Made Ayu Surasmiati
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Published : 23 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Prosthetic Contact Lens Combined with Strabismus Surgery : Confronting Psychosocial Prejudice in Anomalous and Misaligned Eyes: Poster Presentation - Case Report - Resident PRISCILLA DWIANGGITA; Ariesanti Tri Handayani; Ni Made Ayu Surasmiati
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 49 No S2 (2023): Supplement Edition
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35749/j2hr6d77

Abstract

Introduction : Patients with defects in the cornea such as abnormal size, opacities as well as misalignment of the eyes may feel inferior about their physical appearance. Such patients will benefit from prosthetic contact lenses (CL) and strabismus surgery to restore anatomical appearance. The majority of patients also seek strabismus surgery for both cosmetic and psychosocial reasons along with decreased levels of anxiety and depression. Our goal not merely cosmetic, but also improving psychosocial health and quality of life. Case Illustration : We reported a 14-year-old male with complaints of white spot on his left eye and squint since birth. On ophthalmology examination, we found 45 degree esotropia with BCVA 6/6 in the right eye and 1/300 in the left eye. Corneal diameter was 10 mm and 9 mm on the right and left eye, respectively. He was diagnosed with right eye posterior embryotoxon, left eye corneal dystrophy, microcornea on both eye, congenital esotropia and deprivative amblyopia. He had developed low self-esteem due to his eyes. To enhance his appearance, left eye lateral rectus resection and medial rectus recession with adjustable suture was done to align the eye. Afterwards, brown-tinted soft contact lens with power -0.50 D, diameter 14,2 mm, and base curve 8,5 mm was given to disguise the corneal opacities and microcornea. Patient felt very satisfied with the result. Discussion : Conclusion : Prosthetic contact lens combined with strabismus surgery provides satisfactory cosmetic and psychosocial benefit with minimal complications. As clinicians, functional, cosmetic and psychosocial indications must be considered for a comprehensive management.
Profile Penderita Kelainan Refraksi Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Pada Tahun 2016-2021 Karunika, Ni Luh Putu Pritha Dewi; Sutyawan, Wayan Eka; Surasmiati, Ni Made Ayu
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 11 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i11.P10

Abstract

Pendahuluan: Kelainan refraksi banyak dialami anak-anak di Indonesia maupun di Bali. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi profil kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan jenis kelainan refraksinya serta menganalisis prevalensi kelainan refraksi pada anak yang ditangani Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar selama tahun 2016-2021. Metoda: Penelitian deskriptif ini menggunakan data sekunder yang dianalisis dengan desain cross sectional study terhadap populasi pasien usia sekolah 7-18 tahun sebanyak 655 sampe dengan melakukan pengambilan data rekam medis mulai tahun 2016-2021. Hasil: Kelainan refraksi tertinggi dijumpai pada usia 16-18 tahun 40,9%, usia 13-15 tahun 35,7%, dan usia 7-12 tahun 23,4%, dengan jenis kelamin perempuan 68,9% dan laki-laki 31,1%, jenis kelainan refraksi berupa miopia pada laki-laki 26,4% dan perempuan 57,4%, serta jarang adanya anisometropia. Prevalensi kelainan refraksi pada anak usia 16-18 tahun 40,9%, usia 13-15 tahun 35,7%, dan usia 7-12 tahun 23,4%, yang didominasi pasien perempuan (68,9%) daripada laki-laki (31,1%), dengan prevalensi miopia pada perempuan cenderung lebih tinggi (57,4%) dibandingkan pada laki-lakinya (26,4%), serta pemberian kacamata sebagai penatalaksanaan yang paling banyak dilakukan dan tidak ada pemberian kontak lens maupun tindakan pembedahan. Simpulan: Profil kelainan refraksi dari anak yang memeriksakan diri di Rumah Sakit Wangaya mulai Tahun 2016 sampai awal Januari 2021 didominasi anak SMA (usia 16-18 tahun), berjenis kelamin perempuan, dengan jenis kelainan refraksi berupa miopia, serta memberikan kacamata sebagai penatalaksanaannya. Kata kunci : Penderita, Kelainan refraksi, Mata, Usia Sekolah
OVERVIEW OF CONTACT LENS USE IN MEDICAL FACULTY STUDENTS UDAYANA UNIVERSITY Cawis, Ni Luh Suras Amoura; Surasmiati, Ni Made Ayu; Utari, Ni Made Laksmi; Sutyawan, I Wayan Eka
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 4 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i04.P15

Abstract

ABSTRAK Lensa kontak digunakan sebagai alat bantu penglihatan pada gangguan refraksi dan untuk gaya hidup. Penggunaan lensa kontak sering tanpa disertai pengetahuan cara perawatan sehingga menimbulkan komplikasi seperti mata merah. Bertambahnya jumlah pengguna lensa kontak mengakibatkan komplikasi lensa kontak juga meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan lensa kontak berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis lensa kontak, pola penggunaan, intensitas penggunaan, perawatan dan komplikasi. Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang menggunakan data kuesioner dan diolah menggunakan SPSS. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 232 mahasiswa menggunakan lensa kontak. Hasil penelitian menunjukan bahwa usia pengguna lensa kontak terbanyak adalah 20 tahun sebanyak 46,1%, mayoritas adalah perempuan yaitu sebanyak 94,4%. Sebanyak 96,6% mahasiswa menggunakan lensa kontak lunak dengan pola penggunaan harian sebanyak 100%. Intensitas penggunaan lensa kontak paling banyak adalah kurang dari sekali sebulan yaitu 49,1%. Cara perawatan yang banyak dilakukan adalah dibilas, direndam dan dibersihkan menggunakan enzim pembersih protein sebanyak 53,4%. Mahasiswa yang mengalami mata merah sebanyak 61,6% dan keluhan lain yang banyak dialami adalah gatal dan berair sebanyak 19,4%. Pengguna lensa kontak sebanyak 91,8% tidak berkonsultasi ke dokter mata. Dari penelitian disimpulkan bahwa penting dilakukan pemantauan lanjutan terutama pada mahasiswa yang memiliki risiko guna mengurangi komplikasi pada penggunaan lensa kontak. Kata kunci : lensa kontak, mahasiswa, mata merah.
GAMBARAN KUALITAS HIDUP PASIEN STRABISMUS MENGGUNAKAN KUESIONER ADULT STRABISMUS 20 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH PERIODE JANUARI 2019 - DESEMBER 2020 Elvira, .; Surasmiati, Ni Made Ayu; Putrawati Triningrat, Anak Agung Mas; Sutyawan, I Wayan Eka; Manuaba, Ida Bagus Putra
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 4 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i04.P07

Abstract

Latar Belakang: Strabismus merupakan keadaan posisi kedua mata tidak sejajar yang disebabkan oleh abnormalitas penglihatan binokuler atau anomali kontrol neuromuskuler terhadap motilitas okuler. Seseorang dengan strabismus dapat mengalami penurunan kualitas hidup, memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan keterbatasan dalam pengembangan diri. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tatalaksana pada pasien strabismus. Tujuan: Mengetahui karakteristik kualitas hidup pasien dengan strabismus sebelum dan sesudah operasi strabismus dengan menggunakan kuesioner Adult Strabismus (AS-20). Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Data dikumpulkan restrospektif berdasarkan rekam medis dan kuesioner AS-20 di Poliklinik Mata Divisi Strabismus RSUP Sanglah. Data karaktristik pasien menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuesioner AS-20 menggunakan uji T tes berpasangan dan tes wilcoxon sign rank. Hasil: Subjek penelitian berjumlah 15 orang, terdiri atas delapan (53,3%) laki-laki dan mayoritas berusia 20-29 tahun. Sembilan (60%) subjek penelitian mengeluhkan penglihatan buram dan empat (26,7%) mengeluhkan diplopia. Mayoritas subjek memiliki deviasi lebih besar dari 20 prisma dioptri dengan diagnosis terbanyak adalah eksotropia intermiten (46,7%). Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner AS-20 didapatkan peningkatan signifikan antara sebelum dan setelah operasi secara umum, aspek psikososial, dan fungsional (P<0,05). Tidak didapatkan hubungan jenis kelamin atau jenis strabismus dengan kualitas hidup pasien. Simpulan: Pasien strabismus mengalami penurunan kualitas hidup pada aspek fungsional dan psikososial. Terapi pembedahan dapat memperbaiki manifestasi strabismus. Berdasarkan kuesioner AS-20 didapatkan peningkatan kualitas hidup pasien seiring dengan perbaikan manifestasi klinis setelah pasien menjalani operasi strabismus.
Karakteristik Ambliopia Pada Anak Strabismus di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah Tahun 2021 Mahesadhana Ardika, Putu Abhinaya; Surasmiati, Ni Made Ayu; Kusumadjaja, Made Agus; Juliari, I Gusti Ayu Made
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 7 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i07.P11

Abstract

Mata merupakan salah satu organ yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Apabila terjadi penurunan visual, maka salah satu faktor resiko yang muncul adalah strabismus. Strabismus umum terjadi pada anak-anak dan menjadi salah satu faktor umum penyebab ambliopia. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui apa karakteristik ambliopia pada anak strabismus di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah Denpasar pada tahun 2021. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan sampel dilakukan dengan total sampling dengan melihat rekam medis di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah periode Januari 2021 sampai dengan Desember 2021. Terdapat 18 pasien yang didiagnosis strabismus dengan adanya penurunan visus. Jumlah laki-laki 11 (61,1%) dan perempuan 7 (38,7). Sebagian besar pasien berada pada rentang usia 6-11 dan 12-17 tahun (n=8, 44,4%). Sebagian besar pasien berdomisili di daerah Badung (n=5, 83,3%). Terdapat 15 pasien (83,3%) tidak dijelaskan mengenai adanya riwayat keluarga dalam lembar rekam medis. Sebagian besar pasien memiliki arah deviasi keluar atau eksotropia (n=10, 55,6%). Sebagai kesimpulan, terdapat 18 kasus strabismus dengan ambliopia. Sebagian besar adalah laki-laki dengan kelompok usia 6-11 dan 12-17 tahun, memiliki arah deviasi eksotropia, berdomisili di Badung, dan tidak dijelaskan adanya riwayat keluarga pada rekam medis
KARAKTERISTIK PASIEN KATARAK PADA ANAK YANG TELAH DILAKUKAN OPERASI DI RSUP PROF. DR. I.G.N.G. NGOERAH PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2021 Millah, Nurhidayatul; Surasmiati, Ni Made Ayu; -, Siska
E-Jurnal Medika Udayana Vol 13 No 1 (2024): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2024.V13.i01.P05

Abstract

ABSTRAK Katarak tengah menjadi persoalan kesehatan di dunia, pada data World Health Organization (WHO) disebutkan bahwa katarak berkontribusi sekitar 51% sebagai penyebab utama kebutaan di dunia. Insiden katarak di Indonesia diperkirakan 0,1% setiap tahun, maka di antara 1.000 orang ditemukan satu orang pengidap katarak yang baru setiap tahunnya. Masyarakat Indonesia cenderung berisiko 15 tahun lebih cepat menderita katararak daripada masyarakat yang tinggal di daerah yang beriklim subtropis. Diperkirakan kebutaan yang dialami oleh anak-anak di seluruh dunia kurang lebih 5-20% disebabkan oleh katarak, dan sekitar 20.000 – 40.000 anak lahir dengan katarak kongenital setiap tahunnya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik pasien katarak pada anak yang telah dilakukan operasi di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah periode 1 januari – 31 desember 2021. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan studi potong lintang, data diambil pada catatan rekam medis pasien. Sampel penelitian ini adalah pasien anak yang didiagnosis katarak dan dioperasi di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah pada periode 1 Januari hingga 31 Desember 2021. Hasil studi ini menunjukkan bahwa terdapat 18 pasien katarak pada anak yang telah dilakukan operasi. Rerata usia pasien saat terdiagnosis adalah 3,61 ± 3,15 tahun dan kelompok rentang usia paling banyak adalah 2 – 5 tahun (50,0%), mayoritas berjenis kelamin perempuan (61,1%). Lateralitas terbanyak yaitu bilateral (55,6%) dengan etiologi paling banyak adalah idiopatik (44,4%). Rerata usia pasien saat dioperasi adalah 4,06 ± 3,12 tahun dan kelompok rentang usia paling banyak adalah 2 – 5 tahun (44,4%). Jenis katarak terbanyak adalah katarak kongenital (66,7%). Seluruh pasien katarak pada anak tidak ditemukan memiliki riwayat keluarga yang menderita katarak (100%). Dapat disimpulkan bahwa katarak pada anak yang telah dilakukan operasi lebih banyak didiagnosis pada usia 2 – 5 tahun dan paling sering ditemukan pada anak perempuan. Mayoritas katarak adalah bilateral dengan etiologi idiopatik. Mayoritas pasien katarak pada anak menjalani operasi pada saat berusia 2 – 5 tahun. Jenis katarak terbanyak adalah katarak kongenital. Semua pasien tidak memiliki riwayat keluarga katarak. Kata kunci: katarak pada anak, karakteristik, usia
Karakteristik Miopia pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah Periode 2020/2021 Desriyanti, Putri Tamia; Surasmiati, Ni Made Ayu; Ratna Suryaningrum, I Gusti Ayu; Kusumadjaja, I Made Agus
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 12 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i12.P05

Abstract

Myopia is the main cause of visual impairment suffered by school-age children in the world. Myopia causes children unable to see clearly at a distance so that if not corrected it can affect children's activities and achievements. This study aims to determine the characteristics of myopia in pediatric patients who came at Eye Polyclinic Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah in 2020/2021. This study is a descriptive retrospective cross-sectional design with total sampling from secondary medical record which analyzed and processed using SPSS. Based on the study results, it was found that 32 pediatric patients suffered myopia. The results showed that myopia was more common in women (59.4%) with an age range 6-12 years (62.5%). Most of the patients were from Denpasar (62.5%). All cases of myopia were present in both eyes or bilateral (100.0%). The most common classification of myopia found compound myopic astigmatism in right eye (53.1%) and left eye (65.6%). Patients most often experienced moderate visual impairment with visual acuity <6/18 – 6/60 in right eye (46.9%) and left eye (40.6%). The highest degree of myopia was low myopia (40.6%) in right eye with a correction lens <S-3.00 and high myopia in left eye (43.8%) with >S-6.00. Most of patients experienced improvement to normal vision 6/6 – 6/12 after correction in right eye (59.4%) and left eye (65.6%). Amblyopia was found (56.3%) myopia in children. The results of this study are expected to be basis for further research and to realize the importance of preventing and proper management myopia in children. Keywords: Myopia, school-age children, visual acuity, degree of myopia, post-correction visual acuity.
Systemic Metastase in Late Management of Group D Retinoblastoma: A Case Report Suryawijaya, Ernes Erlyana; I Wayan Eka Sutyawan; Ni Made Ayu Surasmiati; I Made Agus Kusumadjaja
Bioscientia Medicina : Journal of Biomedicine and Translational Research Vol. 8 No. 10 (2024): Bioscientia Medicina: Journal of Biomedicine & Translational Research
Publisher : HM Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/bsm.v8i10.1085

Abstract

Background: Retinoblastoma (RB) is a common malignancy that affects children and is fatal if left untreated. This case report aims to raise awareness the importance of starting therapy immediately in RB patients. Case presentation: A girl aged 1 year 9 months, came with complaints that her left eye (LE) appeared white for 2 weeks. Anterior segment examination was normal. On funduscopic examination, optic nerve was difficult to evaluate, covered by a mass, multiple mass scars on the retina, a size of > 6 mm at the posterior pole, and vitreous seeding. Ultrasound examination and CT scan showed an intraocular mass with calcification. The patient was diagnosed with group D intraocular LE RB and was planned for enucleation but was postponed due to cost constraints. The patient came back after 1 year and was diagnosed with extraocular LE RB stage IVB. Conclusion: Early diagnosis without adequate therapy leads to tumor spread and reduces patient survival.
Congenital Orbital Teratoma of the Newborn: A Rare Case Report Yuliawati, Putu; Wetarini, Krisnhaliani; Sutyawan, I Wayan Eka; Surasmiati, Ni Made Ayu; Utari, Ni Made Laksmi; Sunariasih, Ni Nyoman
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 33 No. 2 (2024)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2024.033.02.19

Abstract

Congenital orbital teratoma is a rare and complex congenital anomaly due to abnormal tissue growth within the orbit. This case report aims to highlight the significance of early prenatal screening in identifying congenital orbital teratoma and its potential complications. A 6-day-old male newborn presented with macrocephaly and a unilateral massive protrusion of the left eye. Prenatal ultrasonography performed at 36 weeks gestation showed a suspicion of fetal craniofacial mass. Further brain CT scan revealed an orbital heterogeneous mass, with calcified components dominantly in the anterior and middle cranial fossa into the left orbit, which was subsequently diagnosed as congenital orbital teratoma associated with non-communicating hydrocephalus. This finding prompted an urgent ventriculoperitoneal (VP) shunt. Unfortunately, despite prompt intervention, the patient passed away after the procedure. Pathological examination was compatible with an immature teratoma. Multidisciplinary management is warranted to improve diagnostic screening and refine management strategies for better outcomes in such cases.
Stereoacuity test as a screening tool for amblyopia and binocular vision in children 6-12 years of age Surasmiati, Ni Made Ayu; Wetarini , Krisnhaliani; Wijayati , Made Paramita; Suryathi, Ni Made Ari
Universa Medicina Vol. 43 No. 3 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2024.v43.280-286

Abstract

BackgroundStereoacuity is essential for depth perception and daily activities, complementing visual acuity. Assessing stereoacuity in children is vital for detecting binocular vision disorders and amblyopia. This study aimed to compare the Toegepast Natuurwetenschappelijk Onderzoek (TNO) test and the Titmus Fly test in school-based vision screening for children aged 6-12 years. MethodsA cross-sectional study was conducted in social service settings with 122 elementary school children aged 6-12 years. Examinations included visual acuity, refraction, Ishihara color vision, and stereoacuity using both the TNO and Titmus Fly tests. Statistical comparisons were made using the Wilcoxon Signed-Ranks Test, and stereoacuity differences based on demographic factors and visual acuity were assessed using the Mann-Whitney U Test. The level of agreement between the two tests was determined using Bland-Altman analyses. Results Visual acuity significantly influenced stereoacuity results in the Titmus Fly test (p=0.001), with children having abnormal visual acuity performing worse. Approximately 68% of children reported that the Titmus Fly test was easier to perform. The mean difference between TNO and Titmus Fly measurements was 79.52 ± 63.75 (95% CI = 68.14–90.90; p=0.001), demonstrating a consistent bias between the two tests. Conclusion The Titmus Fly test is easier for children (6–12 years) to perform, but it tends to overestimate stereoacuity values compared to the TNO test, making the two methods non-interchangeable and not reliable. Stereoacuity assessment remains essential in school-based vision screening for evaluating binocular vision and amblyopia, especially in children with refractive errors.